Wednesday 21 September 2016

MAKALAH IDEOLOGI PENDIDIKAN KONSERVATIF



              MAKALAH
IDEOLOGI PENDIDIKAN KONSERVATIF





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Ideologi  adalah ketidak perubahan sampai taraf  tertentu dan mendorong sebuah kecenderungan ke arah pengamanan dan propaganda. Perubahan pada dasarnya ada di dalam setiap sistem keyakinan mendasar, karena rangkaian keyakinan apapun yang menjulang tinggi di jadikan pedoman dan tolak ukur penilaian memang cenderung untuk menjadikan bentuk ramalan yang di penuhi sendiri.
Konservatif  pada dasarnya posisi yang mendukung ketaatan terhadap pada lembaga dan  proses budaya yang sudah teruji oleh waktu dan konservatif adalah bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang ada. Paradigma pendidikan konservatif bermula dari suatu kontruksi filosofis yang lebih banyak berakibat pada aliran fi;safat pendidikan perenialisme dan Esensialisme.
Secara teologis paham konservatif  merujuk pada teologi jabariyah atau determenisme, bahwa masyarakat pada dasarnya tidak dapat mempengaruhi perubahan sosial, semuanya tuhan yang menentukan. Kaum konservatif ini dalam memperjuangkan nasib rakyat enggan melakukan konflik, yang disebut dalam bahasa agamanya disebut (qonaah).
Konservatif pendidikan sebenarnya berkembang ketika filsafat Skolastik Berjaya. Aliran filsafat Skolastik telah mendominasi kontruksi pengetahuan di Barat. Tepatnya ketika filosof Thomas Aquinas Berjaya dengan seluruh pandangan-pandangan filosofisnya. Konservatisme pendidikan itu sebenarnya tercermin dari suatu model pembelajaran di Barat yang menggunakan istilah school  dan kemudian menjadi popular sebagai abad skolastik. Dan jika mengkaji lebih jauh pandangan-pandangan fiosofi Aquinas, sebenarnya dia banyak mengadopsi pandangan-pandangan Al-Ghazali yang lebih menekankan pada aspek filsafat perenialisme (keabadian).
.
Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam kehidupan masyarakat. Isu tentang pendidikan menarik dan senantiasa aktual serta pendidikan tidakpernah lekang oleh zaman, mulai dari zaman Adam, Hermes, sampai pada zaman kita sekarang bahkan juga pada zaman-zaman berikutnya.
Pendidikan juga tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang di tengah-tengah mayarakat. Ieologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga pendidikan yang dilakukan di tengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu yang  identik dengan ideologi tertentu pula.
Mengacu pada ulasan di atas maka penulis berproses kreatif untuk menulis makalah yang berjudul “Ideologi Pendidikan Konservatif”

B.       Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dimaikmmksudkan agar karya penulis tidak terlalu luas pembahasannya sehingga penjelasan penulis tidak terlalu  mendalam. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan membahas tentang ideologi pendidikan konservatif

C.      Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini pokok permasalahan yang akan dirumuskan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1.         Apakah pengertian ideologi pendidikan konservatif?
2.         Bagaimana karakteristik ideologi pendidikan konservatif?
3.         Apa saja macam-macam ideologi pendidikan konservatif?


D.      Tujuan Penulisan
1.         Mengetahuipengertian ideologi pendidikan konservatif
2.         Mengetahui karakteristik ideologi pendidikan konservatif
3.         Mengetahui macam-macam ideologi pendidikan konservatif

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ideologi Pendidikan Konservatif
Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu idea dan logia. Idea berasal dari idein yang berarti “melihat”. Idea juga diartikan sesuatu yang ada di dalam pikiransebagai hasil perumusan sesuatu pemikiran atau rencana. Kata logia mengandung makna “ilmu pengetahuan atau teori”, sedang kata “logis” berasal dari kata logos dari kata legein yaitu “berbicara”.[1]Ideologi juga dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur menangani bermacam-macam masalah politik, ekonomi, dan sosial; asas haluan; pandangan hidup dunia.[2]
Secara istilah, ideologi  adalah sebuah nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu, ideologi tersusun dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat, ideologi menyediakan gambaran tentang dunia.[3]
Senada dengan Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, mereka dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud ideologi adalah gagasan atau ide yang bersumber dari sekelompok manusia yang mempunyai tujuan yang sama dan kemudian dijadikan sebagai  penunjuk arah segala keputusan yang akan diambil.[4]
Istilah ideologi sendiri pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836) ketika bergejolaknya Revolusi Perancis untuk mendefinisikan sains tentang ide.[5]
Menurut Nurani Soyomukti, pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Jadi, banyak hal yang dibicarakan ketika kita membicarakan pendidikan. Aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan antara lain: penyadaran, pencerahan, pemberdayaan dan perubahan perilaku.[6]
Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan daya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelect) dan jasmani anak-anak supayadapat memajukan kesempurnaan hidup, yaknikehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.[7]
Pengertian ideologi pendidikan kemudian dirumuskan sebagai suatu konstruksi pemikiran pendidikan yang berada pada level abstraksi lebih tinggi atau bisa dipahami sebagai rangkaian konsep pendidikan dari sudut filosofi tertentu yang kemudian menjadi model pendidikan tertentu. Di sinilah pengertian ideologi pendidikan setara dengan konstruksi filsafat pendidikan. Ideologi pendidikan adalah suatu konstruksi filosofis dari beragam aliran-aliran filsafat pendidikan.[8]
Pengertian konservatif berdasarkan Kamus Ilmiah Populer adalah tertutup (dari pengaruh/pembaharuan); kolot; adat mempertahankan tradisi/kebiasaan.[9]
Ideologi pendidikan konservatif adalah ideologi di dalam pendidikan yang lebih banyak memproduksi kesadaran semu karena memiliki kecenderungan ke arah nilai-nilai transendental yang lebih dekat maknanya dengan mistik. Ideologi ini lebih bersifat tertutup terhadap perubahan yang terjadi. Ideologi ini cenderung memahami peran manusia sebagai  subjek nasib (takdir Tuhan), maka dia hanya sekedar meyakini ketentuan nasib itu, tanpa berbuat seperti yang dikehendakinya.
Ideologi pendidikan konservatif adalah ideologi yang mempunyai keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik itu semua.
Konservatif berkaitan dengan cara- cara di mana pengetahuan mutlak dapat dan mustahil diketahui, apakah melalui Tuhan ataukah penalaran; wahyu ataukah keyakinan; kata hati ataukah otoritatif. Sedangkan perbedaan dalam ideologi- ideologi liberal berkaitan dengan hubungan antara individu dengan masyarakatnya.
Paradigma pendidikan konservatif bermula dari suatu kostruksi filosofis yang lebih banyak berkiblat pada aliran filsafat pendidikan Parenialisme dan Esensialisme. Konsep-konsep dasar tentang berbagai unsur pendidikan cenderung bersifat statis serta kurang mampu mengakomodir pandangan-pandangan baru (eksklusif). Orientasi pendidikan konservatif adalah untuk mempertahankan nilai-nilai normatif yang telah mapan (status quo). Pendidikan tidak jauh berbeda dengan prses transfer nilai yang kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup.
Dua aliran filsafat pendidikan ini (parenialisme dan esensialisme) sebenarnya memiliki orientasi yang sama, yakni lebih meyakini nilai-nilai keabadian sebagai tujuan akhir. Jika parenialisme langsng memahami rientasi akhir dari pendidikan sebagai pengakuan terhadap nilai-nilai transendental. Sedangkan esensialisme lebih meyakini nilai-nilai kemanusiaan yang lebih fundamental, yaitu dimensi moralitas yang bersumber dari ajaran agama. Meskipun model atau perwujudan aliran filsafat pendidikan kelihatan berbeda, namun secara substantif adalah sama.
Paradigma konservatif, bagi mereka ketidak kesederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan  takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja.[10]
Pendidikan yang berhaluan konservatif kemudian lebih banyak memproduksi kesadaran semu karena mamiliki kecenderungan ke arah nilai-nilai transendental. Karena, sejatinya nilai-nilai traansendental itu lebih dekat maknanya dengan mistik. Dalam bahasanya Paulo Freire nilai-nilai transendental itu kemudian mempengaruhi pola kesadaran manusia yang kemudian disebut magic consciousness (kesadaran magis). Proses transformasi nilai lebih disandarkan pada aspek-aspek dogmatis yang bersifat supra natural sehingga manusia hanyalah sebatas menjadi objek dari perintah-perintah (dogma) magis itu. Bahkan, konsep-konsep dasar tentang hakikat manusia dan pendidikan terlalu  menenggelamkan aspek-aspek potensi manusia. Mu’arif sering menyatakan dengan terang-terangan tanpa tedeng aling-aling, bahwa pendidikan konservatif atau tradisionalis itu tidak humanis.
Dalam mengkonsumsi konsep hakikat manusia misalnya, pendidikan konservatif menempatkan posisi manusia sebagai objek dogma-dogma. Bahkan dalam implementasinya, manusia sering dijadikan sebagai objek dogma-dogma itu sehingga melahirkan kesadaran magis yang cenderung menempatkan posisi manusia sebagai  objek tak berdaya (cognizable).
Karena cenderung menahami peran dan posisi manusia sebagai subjek nasib (takdir Tuhan), maka dia hanya sekedar meyakini ketentuan nasib itu, tanpa berbuat seperti yang dikehendakinya. Malah keyakinan pada kekuatan di luar dirinya lebih dominan sehingga mengakibatkan sikapnya cenderung fatalistik.
Manusia itu tidak berdaya melawan nasib misalnya, karena itu dia tidak bisa memahami potensi-potensi diri sendiri dan realitas sosial yang dihadapinya. Dalam perspektif teologi Islam, posisi manusia dengan ketakberdayaannya menghadapi nasib (takdir) tertuang dalam doktrin-doktrin (jabbariyah). Persoalan nasib manusia merupakan suratan takdir yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Jika manusia melawan nasib, sama artinya dia melawan takdir (Tuhan).
Setara dengan John Dewey, teori konservatif mengemukakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan terhadap pribadi anak tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada dalam diri anak. Pendidikan akan menentukan segalanya. Dalam arti, pendidikan merupakan suatu proses pembentukan jiwa dari luar, dimana mata pelajaran telah ditentukan menurut kemauan pendidik, sehingga anak tinggal menerima saja.[11]
Konsep pendidikan konservatif kemudian lebih banyak dimanfaatkan oleh sekelompok orang dengan kepentingan tertentu untuk melanggengkan norma-norma atau untuk konteks kekuasaan dijadikannya sebagai legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Karena, keyakinan fatalistik itu memaang sangat rentan ditumpangi oleh kepentingan politik tertentu.
Konservatisme pendidikan sebenarnya berkembang ketika filsafat Skolastik berjaya. Aliran filsafat Skolastik telah mendominasi konstruksi pengetahuan di Barat. Tepatnya ketika filosof Thomas Aquinas berjaya dengan seluruh pandangan-pandangan filosofisnya. Konservativisme pendidikan itu sebenarnya tercermin dari suatu model pembelajaran Barat yang menggunakan istilah school dan kemudian menjadi populer sebagai abad Skolastik. Dan jika mengkaji lebih jauh seputar pandangan-pandangan filosofi Aquinas, sebenarnya dia banyak mengadopsi pandangan-pandangan Al-Ghazali yang lebih menekankanpada aspek filsafat Parenialisme (keabadian).
Pandangan konservatisme pendidikan sebenarnya  bermuara pada satu prinsip fundamental, bahwa sejatinya realitass kosmis ini merupakan suatu tatanan statis dan baku yang datang dari Sang Pencipta-nya. Manusia dengan segenap makhluk ciptaan Tuhan yang lain di bumi tidak memiliki daya upaya untuk mengubah tatanan semesta kosmis itu. Termasuk dalam konteks ini adalah masalah nasib dan kebebasan hiup manusia. Seluruh nasib manusia merupakan suatu suratan takdir yang tidak bisa  diganggu gugat.

B.       Karakteristik Ideologi Pendidikan Konservatif
Dari konservatif pendidikan, terdapat beberapa cirri-ciri umum yang mana ciri-ciri ini sebagian besar memiliki konsep yang sama dengan pemikiran filsafat secara umum, diantaranya:
1.      Menganggap bahwa nilai dasar pengetahuan ada pada kegunaan sosialnya, bahwa pengetahuan adalah sebuah cara untuk mengajukan nilai-nilai yang bagus.
2.      Memusatkan perhatian kepada tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga sosial yang ada menekankan situasi sekarang (yang dipandang melalui sudut pandang kesejarahan yang relatif dangkal dan berpusat pada etnisnya sendiri).
3.      Menekankan stabilitas budaya melebihi kebutuhan akan pembaharuan atau perombakan budaya, hanya menerima perubahan-perubahan yang pada dasarnya cocok dengan tatanan sosial yang sudah mapan.
4.      Menekankan manusia sebagai warga negara, manusia dalam perannya sebagai anggota negara yang mapan.
5.      Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi adalah budaya dominan dengan segenap sistem keyakinan dan perilaku yang mapan.
6.      Menekankan penyusuaian diri yang menalar menyandarkan diri pada jawaban-jawaban terbaik dari masa silam sebagai tuntunan yang paling bisa dipercaya untuk memadukan tindakan di masa kini.
7.      Berdasarkan sebuah sistem budaya tertutup (etnosentrisme), menekankan tradisi-tradisi sosial yang dominan, dan menekankan perubahan secara bertahap di dalam situasi sosial yang secara stabil.
8.      Mengakar pada kepastian-kepastian yang telah teruji oleh waktu, dan meyakinkan bahwa gagasan-gagasan serta praktek-praktek yang lahir dari spekulasi yang relatif dan tak kendali.
9.      Memandang pendidikan sebagai sebuah pembelajaran (sosialisasi) nilai system-sistem yang mapan.[12]
Dalam strateginya, pendidikan konservatif lebih mempertentangkan antara pihak pendidik dan peserta didik dalam pola hubungan struktural. Paulo Freire sering mengasosiakan pola pemahaman pendidikan konservatif sebagai model pendidikan “gaya bank” (banking concept of education).[13] Pembelajaran gaya bank sebagai berikut:
·           Guru mengajar, murid belajar
·           Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
·           Guru mengatur, murid di atur
·           Guru memaksakan pilihan, murid menuruti
·           Guru berfikir, murid difikirkan
·           Guru memilih apa yang di ajarkan, murid menyesuaikan diri
·           Guru adalah subjek proses belajar, murid adalah  objeknya
·           Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
Akibatnya, Pendidikan tidak dinamis dan hanya memberikan kontribusi dogma-dogma magis dan tidak mampu mengubah nasib hidup manusia. Proses pendidikan seakan-seakan seperti proses transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada muridnya. Bisa dikatakan transfer ilmu yang cenderung satu arah dan mengabaikan kreatifitas peserta didik.
Dengan preferensi demikian, pendidikan tentu saja jauh dari konsepsi sebagai suatu aktivitas interaksi sosial yang menjadi wahana individu menemukan kepribadiannya dan budaya masyarakatnya. Padahal dalam konsepsi semacam ini, setidaknya pendidikan dimungkinkan mampu  membuka ruang untuk pelatihan-pelatihan dasar dalam rangkapengaturan perilaku dan tata cara pemenuhan kebutuhan selaras dengan ketentuan sosial, pemerolehan norma-norma sosial dan pembelajaran peran-eran sosial.[14]
Namun, di balik itu semua, ideologi pendidikan konservatif berperan dalam melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan masa lalu. Peran ideologi konservatif dalam kurikulum misalnya, salah  satu tanggung jawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial pada generasi muda. Dengan adanya peranan konservatif ini, maka sesungguhnya kurikulum itu berorientasi pada masa lampau. Meskipun demikian, peranan ini sangat mendasar sifatnya.[15]Dikaitkan dengan era globalisasi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan mudahnya pengaruh budaya asing menggerogoti budaya lokal. Melalui ideologi konservatifnya, berperan dalam menangkal  berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga identitas masyarakat akan terpelihara dengan baik.[16]
Hal positif aliran konservatif di  sisi lain, yakni rasa tanggungjawab keagamaan yang kuat yang belum pernah ditemukan adanya rasa tanggungjawab moral serupa pada generasi berikutnya. Dengan aktivitas mengajar bukan sekedar tanggungjawab kemanusiaan tetapi merupakan tanggungjawab yang sangat penting.[17]
Kaum konservatif cenderung untuk memandang perwujudan diri sebagai sebuahtujuan yang hanya bisa didekati secara tidak langsung melalui dedikasi yang kuat terhadap kenyataan mutlak Tuhan, hukum, alam, tradisi, atau apapun yang melampaui pengalaman manusia biasa.
Ideologi konservatif memandang tujuan pendidikan sebagai memelihara nilai-nilaiyang dipercaya sudah mapan, telah teruji sejarah bahwa nilai-nilai tersebut benar. Benar karena berdasarkan agama (fundamentalis), benar karena berdasarkan ilmu (intelektualisme), benar karena tradisi. Keyakinan-keyakinan ini disamping menentukan tujuan memelihara atau melestarikan nilai-nilai mapan, juga berpengaruh pada memandang posisi guru sebagai subjek pendidikan, memandang posisi anak sebagai objek pendidikan, dan materinya adalah ilmu-ilmu yang telah tersusun mapan dalam teori-teori ilmiah.[18]

C.      Macam-macam Ideologi Pendidikan Konservatif
Bagi kaum konservatif, ketidaksejajaran masyarakat merupakan suatu keharusan hukum alam, suatu hal yang mustahil dihindari, serta seakan-akan sudah menjadi ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara. Dalam bentuk yang klasik awal, paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara. Dalam bentuknya yang klasik atau awal paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan atau mempengaruhi perubahan sosial. Hanya Tuhanlah yang merencanakan masyarakat.
Ideologi-ideologi pendidikan konservatif terdiri dari tiga tradisi pokok, yaitu:
1.         Fundamentalisme Pendidikan
Fundamentalisme pendidikan ini meliputi dari semua corak konservatisme politik yang pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan / intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang mapan (yang biasa diabsahkan sebagai akal sehat).[19] Dari sisi politik, konservatime reaksioner merupakan gagasan untukkembali kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan masa silam, baikyang pernah ada ataupun sekedar dikhayalkan.
Dalam sebuah ungkapan politisnya, terdapat dua variasi atau sudut pandang jika diterapkan dalam pendidikan. Variasi yang pertama fundamentalisme pendidikan religius,  yang tampak dalam gereja-gereja kristen tertentu yang lebih bersifat fundamentalis, yang memiliki komitmen sangat kuat terhadap pandangan atas kenyataan yang cukup kaku. Variasi yang kedua fundamentalisme pendidikan sekular yang mempunyai ciri mengembangkan komitmen yang sama tidak luwesnya dibanding yang religius, terhadap cara pandang dunia melalui akal sehat yang sudah disepakati, menjadi pandangan dunia orang biasa.
2.         Intelektualisme Pendidikan
Intelektualisme lahir dari ungkapan-ungkapan konservatisme politik yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis atau religius yang pada dasarnya otoritarian. Konservatisme filosofis ingin mengubah praktik politik yang ada (termasukpraktik pendidikan) guna menyesuaikan lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau ruhaniah yang sudah apan dan tidak bervariasi.
Terdapat dua variasi mendasar: intelektualisme pendidikan yang pada intinya bersifat sekular, dan intelektualisme teologis yang memiliki orientasi sebagaimana terpantul dalam tulisan-tulisan para filosof pendidikan KatolikRoma kontemporer, William Mc Gucken dan John Donahue.[20]
3.         Konservatisme Pendidikan
Konservatisme pendidikan ini berbeda dengan kedua ideologi yang ada di atas karena ideologi konservatisme ini cenderung untuk mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu. Konservatisme ini menaruh hormat terhadap hukum dan tatanan sebagai landasan perubahan sosial yang kontruktif.
Dalam dunia pendidikan, seorang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola-pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan. Ada dua unngkapan dasar konservatisme dalam pendidikan yaitu konservatisme pendidikan religius yang mana lebih menekankan peran sentral pelatihan rohaniah sebagai landasan pembangunan karakter moral yang tepat. Yang kedua yaitu konservatisme pendidikan sekular, yang memusatkan perhatiannya pada perlunya melestarikan dan meneruskan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang sudah ada.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Ideologi pendidikan konservatif adalah ideologi di dalam pendidikan yang lebih banyak memproduksi kesadaran semu karena memiliki kecenderungan ke arah nilai-nilai transendental yang lebih dekat maknanya dengan mistik. Ideologi ini lebih bersifat tertutup terhadap perubahan yang terjadi. Ideologi ini cenderung memahami peran manusia sebagai  subjek nasib (takdir Tuhan), maka dia hanya sekedar meyakini ketentuan nasib itu, tanpa berbuat seperti yang dikehendakinya.Ideologi pendidikan konservatif adalah ideologi yang mempunyai keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik itu semua.
Karakteristik ideologi pendidikan konservatif, diantaranya: menganggap bahwa nilai dasar pengetahuan ada pada kegunaan sosialnya, memusatkan perhatian kepada tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga sosial yang ada menekankan situasi sekarang, menekankan stabilitas budaya melebihi kebutuhan akan pembaharuan atau perombakan budaya, hanya menerima perubahan-perubahan yang pada dasarnya cocok dengan tatanan sosial yang sudah mapan, menekankan manusia sebagai warga negara, manusia dalam perannya sebagai anggota negara yang mapan, menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi adalah budaya dominan dengan segenap sistem keyakinan dan perilaku yang mapan.
Macam-macam ideologi pendidikan konservatif ada tiga, yaitu:
1.             Fundamentalisme pendidikan
2.             Intelektualisme pendidikan
3.             Konservatisme pendidikan




DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transfomatif. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Dananjaya, Utomo. 2011. Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Nuansa.
Hamalik, Oemar. 2007. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hamidi, Jazim. dan Mustafa Lutfi. 2010. Civic Education; antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kosim, Mohammad. 2013. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Pena Salsabila
Maragustam.2010. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna; Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha Litera.
Maulana, Achmad dkk. 2008. Kamus Ilmiah  Populer Lengkap; dengan EYD dan Pembentukan Istilah serta Akronim Bahasa Indonesia Edisi Terbaru. Yogyakarta: Absolut.
Mu’arif. 2008. Liberalisasi Pendidikan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
O’Neill, William F. 2002. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Partanto, Pius dan M. Dahlan Barry. 2001. Kamus Ilmiah  Populer. Surabaya: Arkola Offset.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran; Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soyomukti, Nurani. 2010. Teori-teori Pendidikan; Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Suardi, Moh. 2015. Ideologi Politik Pendidikan Kontemporer. Yogyakarta: Deepublish.




[1] Moh. Suardi, Ideologi Politik Pendidikan Kontemporer, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), hlm. 9.
[2]Pius Partanto dan M. Dahlan Barry, Kamus Ilmiah  Populer, (Surabaya: Arkola Offset, 2001), hlm. 245-246.
[3]William F. O’Neill, Ideologi-ideologi Pendidikan,  (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2002), hlm. 33.
[4]Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Civic Education; antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 60.
[5]Suardi, Ideologi Politik Pendidikan Kontemporer, hlm. 9.
[6]Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan; Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 27.
[7]Mohammad Kosim, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 24.
[8]Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008), hlm.
[9]Achmad Maulana, dkk, , Kamus Ilmiah  Populer Lengkap; dengan EYD dan Pembentukan Istilah serta Akronim Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, (Yogyakarta: Absolut, 2008), hlm. 239.
[10]William F.O’neil, Ideologi- ideologi Pendidikan,, hal, 97.

[11]Pandangan tersebut dikemukakan oleh Dewey sebagai berikut: “it is rather formation of mind by setting up certain associations or connection  of content by means of a subject matter presented from without. Education proceeds by instructions taken a stricly liberal sense, a building into the mind from without”. Lihat, Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 124.
[12]. William F.O’neil, hlm. 336-337
[13]. Mu’arif,LiberalisasiPendidikan, hlm. 70
[14]Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transfomatif, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2008), hlm. 116-117.
[15]Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 12.
[16]Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran; Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 10-11.
[17]Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna; Falsafah Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010), hlm. 100-101.
[18]Utomo Dananjaya, Media Pembelajaran Aktif, (Bandung: Nuansa, 2011), hlm. 11
[19]William F. O’Neill, hlm.  105.
[20]Utomo Dananjaya, Media Pembelajaran Aktif, hlm. 12.