Umar bin khattab adalah orang yang memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada msa yang akan datang. Tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Pengangkatan khalifah Umar bin Khattab terjadi ketika Abu Bakar sakit yang kemudian ketika itu beliau berwasiat kepada Umar sebagai waliy al �had (putera mahkota). Khalifah Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun dari tahun 634 sampai 644 (13-23 H). Umar bin khattab adalah khalifah yang melakukan banyak pembaharuan dalam sistem pemerintah. Ia mneruskan lngkah abu bakar melakukan perluasan wilayahislam keluarsemenanjung arabia. Pada masanya terjadi perluasan wilayah isalm secra besar-besaran.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Umar bin khattab adalah orang yang memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada msa yang akan datang. Tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Pengangkatan khalifah Umar bin Khattab terjadi ketika Abu Bakar sakit yang kemudian ketika itu beliau berwasiat kepada Umar sebagai waliy al �had (putera mahkota). Khalifah Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun dari tahun 634 sampai 644 (13-23 H). Umar bin khattab adalah khalifah yang melakukan banyak pembaharuan dalam sistem pemerintah. Ia mneruskan lngkah abu bakar melakukan perluasan wilayahislam keluarsemenanjung arabia. Pada masanya terjadi perluasan wilayah isalm secra besar-besaran.
2. Rumusan Masalah
a) Apa peran Umar dalam pengembangan peradilan islam pada masa dulu?
b) Bagaimana sistem yang direalisasikan Umar dalam membentuk kepemerintahan yang adil bagi rakyatnya?
c) Adakah struktural resmi serta lembaga yang diakui dan dipakai pada masanya
3. Tujuan Pembahasan
a) Agar pembaca dapat mengetahui terlebih dahulu sejarah hidup Umar serta peran penting beliau ketika menjadi khalifah kedua.
b) Untuk menjadikan tauladan jika dirasa perlu diterapkan di era sekarang guna menegakan keadilan bagi rakyat.
c) Agar pembaca dapat memahami bentuk kepemerintahan masa dulu serta mengetahui sejarah dari orang-orang yang terlibat dalam pembangunan peradilan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengenal Sisi Sejarah Kehidupan Umar bin Khattab
Umar bin khattab adalah salah satu seorang sahabat utama Rosulullah saw. Yang termasuk dalam khulafaur rasyidin. Dia berasal dari suku Adi, suku yang terpandang dan mulia serta mempunyai derajat tinggi di kalanagn orang-orang arab. Postur tubuhnya kuat, dan tegap. Wataknya keras dan pemberani, juga memiliki disipin yang tinggi. Pada masa remajanya di dikenal sebagai penggulat perkasa dan sering menampilkan kemampuannya itu didalam pesrta tahunan di pasar Urkaz yang terletak di Mekkah.[1]
Ia memeliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada msa yang akan datang. Tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Sebelum masuk isla, ia terpilih menjadi wakil kabilahnya. Selalu diberi kepercayaan untuk diutus mewakili suku Quraisy dalam melakukan perundingan dengan suku-suku lain. Memang, dia memiliki keunggulan berdiplomasi di acara-acara perundinagn itu, di hadapan wakil suku-suku lain. Keungulannya berdiplomasi itu akhirnya membuat dia populer dikalngan berbagai suku di Arab. Khalifah Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun dari tahun 634 sampai 644 (13-23 H). Pada masa Khalifah Umar kekuasaan Negara Madinah makin menjadi luas meliputi semenanjung Arabia, Palestina, Suria, Irak, Persia dan Mesir. Inilah sejarah kehidupan Umar sebelum pada pembahasan tentang peradilan pada masanya, Umar dikenal admininstator yang terampil dan pandai, sebagai seorang negarawan, beliau juga seorang pembaharu yang membuat kebijakan mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan yang luas itu.
Bahkan Michael H. Hart menempatkannya sebagai salah stau oang yang sangat berpengaruh didunia. Hart menyatakan bahwa Umar merupakan tokoh terbesar dari semua khalifah islam. Keberhasilan Umar benar-benar mengesankan. Sesudah Nabi Muhammad ia merupakan tokoh utama dalam hal penyerbuan oleh umat islam. Tanpa penaklukannya yang secepat kilat, diragukan apakah islam bisa tersebar luas seperti sekarang ini[2]
Pengangkatan khalifah Umar bin Khattab terjadi ketika Abu Bakar sakit yang kemudian ketika itu beliau berwasiat kepada Umar sebagai waliy al �had (putera mahkota).[3]Saat itu pula muncul suara sumbang terutama dari kalangan bani umayyah. Mereka ngeri tentang pritotipe umar yang tegas, tidak muda dikalahkan dan tidak mudah ditipu. Tampaknya penunjukan waliy al-�ahad oleh Abu Bakar hanya bertujuan untuk lebih mempertimbangkan kemaslahatan umat. Sebab saat itu adalah masa transisi selama dua tahun ditinggal Nabi. Abu Bakar sepertinya tidak ingin kejadian saqifah terulang kembali setelah beliau wafat. Akan tetapi pada kenyataannya penunjukan tersebut diamini atau disetujui oleh sahabat-sahabat senior, setelah mereka mempertimbangkan segala sesuatunya dengan seksama.
Ketika Abu Bakar wafat, para sahabat mengadakan musyawarah terbesar arah untuk mencari dan menetapkan salah seorang sahabat utama untuk menjadi seorang khalifah. Para sahabat sepakat untuk mengangkat umar menjadi Khalifah. Sebagai seorang khalifah ia adalah pemimpin yang sangat bijaksana. Ia terkenal pemimpin yang adil, juga mempelajari dasar-dasar hukum baik dalam Al quran dan hadist Rasulullah. Dengan melakukan ijtihad ketika diperlukan.
Umar bin khattab adalah khalifah yang melakukan banyak pembaharuan dalam sistem pemerintah. Ia mneruskan lngkah abu bakar melakukan perluasan wilayahislam keluarsemenanjung arabia. Pada masanya terjadi perluasan wilayah isalm secra besar-besaran. Oleh karena itu, periode pemerintahan umar dikenal dengan period perluasan wilayah. Ditingkat daerah umar memberikan wewenang dan otonomi yang seluas-luasnya kepeda pemerintah daerah, guna mengemban dan menggali potensi daerahnya.
Umar tampil sebagai khilafah kedua pengganti abu bakar. Ia memerintah selama 10 tahun, ia mengenalkan kebjakan islam dalam mengkomodir sahabat nabi dari kalangan Mekkah dan Anshar. Mengangkat gubernur dari klan yang ikut mendukung penaklukan iraq, serta mengangkat pegawai pemerintah dengan sistem gaji, mengizinkan mereka menguasai sawah(lahan pertanian) yang ditinggalkan oleh pengusa sasania. Menjalankan pemerintahn dengan sistem desantralisasi. Namun apapun kebijakan politik yang dijlankam umar masih saja ada kelompok-kelompok yang tidak puas. Kelompok oposisi dan kelompok aristokrat Quraisy kecewa terhadap kebijakan tersebut. Menjelang akhir pemerintahan umar, konflik interes yang rumit mulai berkembang, yang nantinya akan berpengaruh terhadap khalifah dan perkembangan islam selanjutnya.
B. Sistem Peradilan Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Pranata Sosial lain yang dibangun oleh Khalifah Umar adalah pelaksanaan administrasi pemerintah di daerah dengan menerapkan sistem desentralisasi. Yaitu pelimpahan wewenang dan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Umar berjasa membentuk Majelis Permusyawaratan, Anggota Dewan, dan memisahkan lembaga pengadilan. Wilayah kekuasaan Negara Madinah yang luas di bagi ke dalam delapan propinsi, yaitu Madinah, Mekkah, Syria, Jazirah, Bashrah , Kufah, Mesir, dan Palestina. Dengan demikian untuk beberapa propinsi Khalifah Umar telah memisahkan jabatan peradilan dari jabatan eksekutif.
Hakim diberikan wewenang sepenuhnya untuk melaksanakan peradilan yang bebas, dan bebas dari pengaruh dan pengawasan gubernur bahkan Khalifah sekalipun. Sehubungan dengan itu, Umar membuat beberapa diktum peraturan yang berkaitan dengan peradilan, yaitu:
a. Hakim harus berlaku adil dalam memutus perkara siapapun.
b. Bebas dari rasa takut dan tidak memihak siapapun.
c. Memperlakukan semua orang sama dihadapan hukum.
d. Si penggugat harus menunjukkan bukti yang akurat.
e. Si tertuduh harus disumpah jika menyangkal.
f. Penyelesaian perselisihan secara damai boleh selama tidak bertentangan dengan hukum.
g. Keputusan yang telah mempunyai kepastian hukum tidak boleh diubah bila kemudian terbukti salah.
h. Keputusan harus berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
i. Analogi atas kasus-kasus sejenis yang telah diputuskan hukumnya atas dasar ijtihad,
j. Jika tidak ada bukti maka perkara gugur,
k. Setiap muslim dapat dihadirkan menjadi saksi kecuali yang pernah dihukum atau pernah memberikan kesaksian palsu.
Para hakim pada masa Umar bin Khattab merujuk kepada Al-Qur�an dan Sunnah. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sesuatu di dalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah di antara mereka terdapat seorang yang mengetahui sesuatu dalam Sunnah mengenai perkara-perkara yang dihadapi. Dalam kaitannya dengan proses penetapan hukum, periode ini juga ditandai dengan munculnya diskursus tentang siapa saja yang berhak menetapkan sebuah hukum. Diskursus ini mengerucut pada karakteristik yang harus dipenuhi oleh mereka yang akan menetapkan hukum yang dimaksud, yakni:[4]
1) Sampai sejauh mana keahlian mereka dalam masalah hukum
2) Berapa lama mereka bergaul dan berdampingan dengan Nabi Muhammad Saw semasa beliau hidup
3) Seberapa jauh pengetahuan mereka terhadap al-Quran baik itu asbabun nuzulnya ataupun hadits serta asbabul wurudnya.
4) Disamping syarat diatas, hafal al Quran dan hadits juga menjadi dasar pertimbangan
Jika tidak didapatkan suatu ketetapan dengan jalan tersebut, maka mereka berijtihad secara kolektif jika dalam topic permasalahan terdapat dasar-dasar yang bersifat universal, dan berijtihad secara individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus menyangkut individu. Untuk lebih dijelasnya berikut ini dipaparkan beberapa contoh terkait dengan kasus peradilan yang terjadi pada masa Umar bin Khattab, sebagaimana dikutip dari beberapa referensi:
v Masalah nasab
Seorang anak mengaku di depan Umar bahwa seorang wanita adalah ibunya. Maka, wanita tersebut datang dengan beberapa orang yang bersaksi bahwa dia belum menikah dan anak tersebut telah berbohong. Umar pun memerintahkan untuk menghukum anak itu dengan had qadaf (tuduhan zina). Lali, hal tersebut terdengar oleh Ali, maka dia mengintervensi perkara ini dan menawarkan kepada anak tersebut agar menikahi wanita yang diakui sebagai ibunya. Wanita itu pun berteriak � Allah, Allah, itu neraka, Demi Allah, dia adalah anakku�. Kemudian dia mengakui bahwa keluarganya telah menikahinya dengan seseorang tanpa kerelaannya, lalu ia mengandung anak ini darinya, dan suaminya pergi berperang lalu terbunuh. Kemudian dia mengirimkan anaknya kepada kaum yang bersedia merawatnya, dan dia tidak mengakuinya sebagai anak. Maka, Ali menetapkan bahwa nasab anak tersebut dengan wanita yang ditunjuknya�.[5]
Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, terjadi perkembangan baru di bidang peradilan. Beliau yang pertama kali meletakan prinsip-prinsip peradilan dengan menyusun risalah yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa Al Asy�ary. Risalah disebut Dustur Umar atau Risalah Umar.[6]
Khalifah Umar jugatelah berhasil memisahkan antara kekuasaan peradilan (yudikatif) dengan kekuasaan pemerintahan (eksekutif), hal ini dipengaruhi oleh semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, semakin banyaknya beban-beban yang menyangkut bidang peradilan, tugas-tugas yang dihadapi oleh pemerintahan dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, keharusan peningkatan perhatian dalam urusan pemerintahan di daerah-daerah, serta telah berbagai corak ragamnya dan pergaulan orang - orang. Umar juga orang pertama yang menetapkan hakim-hakim daerah yang memiliki independensi dan otonomi yang tinggi. Mereka tidak terpengaruh oleh siapapun dan pihak manapun dalam memutuskan sebuah perkara. Untuk menjamin nilai-nilai persamaan dimata hukum, dan hak atas keadilan bagi masyarakat, maka dibentuklah hakim banding (al Nadzar fi al madzalim) dan pengadilan damai (al hisbah)[7]
Arab dengan orang-orang lain pun sudah sangat erat. Maka khalifah Umar Bin Khatab mengangkat Abu Darda� sebagai qodi� di Madinah, dan Syuraih Bin Qais Bin Abil Ash di Mesir, Abu Musa Al Asy�ari di Kuffah, sedang untuk daerah Syam diberi pula hakim sendiri. Menurut kitab Tarikhul Islam, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Usman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah.[8]
Oleh karena tugas peradilan sebagian dari kewenangan umum itu, maka kepala negaralah yang memegang wewenang ini dan dialah yang mengangkat para hakim untuk perkara-perkara khusus. Karena itulah diwaktu Umar mengangkat beberapa orang menjadi hakim, beliau membatasi wewenang mereka dalam perkara-perkara perdata saja, perkara-perkara pidana dipegang sendiri oleh khalifah, atau oleh penguasa daerah. Para khalifah senantiasa mengawasi perbuatan para penguasa daerah danhakimnya. Serta terus-menerus memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan-bimbingan.
Umar juga meletakkan dasar-dasar yang sistematis sebagai pegangan hakim dalam menjalankan persidangan sebagaimana ditetapkan oleh khalifah Umar, yaitu:[9]
a. Memutus perkara berdasarkan Al Qur�an dan sunah Rasul adalah suatu kewajiban.
b. Memutus suatu perkara apabil telah jelas (kedudukannya).
c. Pihak yang berperkara adalah sama dalam majlis, pandangan dan keputusannya
d. Bukti wajib atas penggugat dan penuduh, sedang sumpah wajib atas pihak yang menolak gugatan atau tuduhan.
e. Memberi kesempatan untuk pembuktian, jika mampu membuktikan dan meyakinkan, dapat dimenangkan.
f. Putusan tidak dapat dibatalkan oleh apapun, kecuali adanya peninjauan kembali yang didasarkan petunjuk kebenaran.
g. Orang-orang Islam dianggap adil, kecuali yang pernah dianggap bersaksi palsu atau pernah dijatuhi hukuman had atau yang diragukan asal usulnya.
h. Perkara yang tidak terdapat ketentuan hukumnya di dalam Al Qur�an dan As Sunah, diperbolehkan berijtihad dengan pendapat yang diyakini lebih diridhoi Allah dan RasulNya, serta lebih mendekati kebenaran.
C. Penataan Struktur serta Kelembagaan dalam Pemerintah
Ustman adalah khalifah yang mula-mula membangun gedung pengadilan, yang di masa Abu Bakar dan Umar masjidlah yang dijadikan sebagai tempat pengadilan. Di dalam masa Khulafa� Rasyidin, belum diadakan panitera dan buku register untuk mencatat putusan-putusan yang telah dilakukan, hal ini disebabkan karena qhodi�lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya. Pada masa itu, hakim di samping bertindak sebagai pemutus perkara, juga bertindak sebagai pelaksana hukum agar dijalani. Kebanyakan hakim pada masa itu duduk di rumahnya sendiri menerima dan memutuskan perkara, karena pada masa itu qhodi� belum memiliki tempat khusus (gedung pengadilan). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikan tempat untuk menyelesaikan segala sengketa, karena masjid-masjid pada masa itu tidak hanya khusus untuk tempat bersembahyang, yang memang demikian sebenarnya fungsi masjid merupakan pusat bagi memecahkan segala urusan sosial seperti peradilan, bahkan merupakan kantor pusat pemeritahan, dan juga sebagai tempat perguruan tinggi.
Pada masa khalifah ar rasyidun ini sistem pemerintahan tidak lagi berbentuk teokrasi karena khalifah itu bukan sebagai wakil tuhan di bumi melainkan sebagai pengganti Nabi dalam menangani urusan keagamaan dan keduniaan, sehingga ketika muncul persoalan baru mereka memutuskannya melalui ijtihad dan musyawarah diantara sahabat
Ia menata struktur kekuasaan dan administrasi pemerintahan Negara Madinah. Kekuasaan tertinggi yang bertugas membuat keputusan atas masalah-masalah umum kenegaraan yang dihadapi Khalifah adalah Majelis Permusyawaratan, yang dibentuk oleh Khalifah Umar. Anggota Majelis ini terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar (suku Khazraj dan Aus). Dari sudut ketatanegaraan majelis ini dapat disebut sebagai pemegang kekuasaan legislative, sekalipun penentu keputusan akhir adalah Khalifah sendiri
Umar telah memberikan kontribusi besar bagi penataan pemerintahan dan perkembangan peradaban islam yaitu Kekuasaan tertinggi yang bertugas membuat keputusan atas masalah-masalah umum kenegaraan yang dihadapi Khalifah yang disebut dengan Majelis Permusyawaratan. Anggota Majelis ini terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar (suku Khazraj dan Aus). Dari sudut ketatanegaraan majelis ini dapat disebut sebagai pemegang kekuasaan legislative, sekalipun penentu keputusan akhir adalah Khalifah sendiri.
Umar selaku orang yamg pandangan politiknya cemerlang dan jauh kedepan ia telah memberikan batasan-batasan yang jelas tentang hak dan kewajiban khalifah sebagaimana yang disyartkan oleh Nabi. Menurut umar tidak ada kebaikan pada suatu urusan yang diputuskan dengan tidak musyawarah dan wajib atas orang islam memusyawarahkan urusan mereka diantara mereka, dan diantara ornag-orang yang memiliki pikiran tajam, dan tidak ada pemerintahan tanpa musyawarah sehingga ini telah dilembagakan oleh umar sebagai institusi tertinggi pemegang kekuasaan legislatif dengan anggotanya sahabat-sahabat senior dan para cendekiawan lainnya.[10] berikut nama-nma yang tercatat dalam anggota mejelis ini adalah:
1. Ustman
2. Ali
3. Abdurraman bin auf
4. Muaz ibn jabal
5. Ubay ibn kaab
6. Zaid bin tsabit
7. Dan lain-lain.[11]
Susunan tata usaha negara pada masa pemerinthan awal islam sangatlah sederhana, kemudian pada masa umar berkembang dan semakin disempurnakan. Tata usaha negara meliputi: al dawamin, al imarah ala albuldan, al barid, dan al syurthah. Serta wilayah kekusaannyapun semakin luas. Untuk mengefektifkan pembinaan teritorial ia membuat kebijakan-kebijakan. Ia menata struktur dan administrasi pemerintahan negara madinah. Ia juga membentuk badan permusyawaratan yang bertugas membuat keputusan atas masalah-masalah umat dan kenegaraan yang dihadapi khalifah, sedangkan kekuasaan eksekutif dipegang langsung oleh khlaifah umar.
Guna kelancaran jalannya administrasi, umar melengkapinya dengan berbagai jawatan(dewan) yaitu:
1. Diwan kharraj (dewan pajak) yang megurus dan mengelola administrasi pajak tanah daerah yang ditaklukan.
2. Diwan al ahdats (kepolosian) bertugas memelihara keterriban dan menindak pelanggar-pelanggar hukum yang kemudian diadili oleh hakim.
3. Zazarat al nafi�at (jawatan pekerjaan umum), bertugas untuk membuat dan memelihara saluran-saluran irigasi, jalan-jalan, jembatan-jembatan, rumah sakit, gedung-gedung pemerintah dan lainnya.
4. Diwan al jund (jawatan militer), berkewajiban menginventarisir dan mengelola administrasi negara. Dewan ini didampingi oleh diwan umar, yang mencatat para tentara asal-usul dan ketetapan gajinya berdasarkan pertimbangan pengadilan dan lamanya mengabdi.
5. Bait al mal yaitu lembaga perbendaharaan negara yang bertugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan keunagn negara.[12]
Keberhasilan umar tersebut pere lamnen (seorang sarjana barat) menyebutnya sebagai seorang penakluk sekaligus administrator.[13] Pada masanya pula, rakyat memiliki hak politik yang luas mengontrol dan memberikan kontribusi bagi jalannya pemerintahan. Sebaliknya penguasa harus secara terbuka menerima aspirasi rakyat. Umar menegangkat seorang gubernur yang disebut wali atau amir yang bertuga sebagai wakil khalifahdi daerah. Tugas-tugasnya antara lain adalah:
1. Imam shalat
2. Memelihara keamanan dan ketertiban di daerah
3. Memimpin eksepedisi
4. dan, mengawasi pemungutan pajak.
Bahkan untuk pengangkatan gubernur, umar selalu memeperhatikan suara dan aspirasi rakyat dari daerah yang bersangkutan. Dan umar meminta laporan langsung dari rakyat tentang kinerja gubernur di derah mereka tinggal.[14] Untuk lebih efektifnya jalannya pemerintahan di daerah, maka diangkat pula katib (sekretaris), shahib al kharraj (pejabat pajak), shahib ala ahdats (kepolosian), shahib al bait al mal (pejabat keuangan), dan qadi (hakim).
Untuk menjamin adanya supremasi hukum dan tegaknya keadilan didaerah, umar telah membentuk lembaga peradilan yang terpisah dari jabatan eksekutif. Hakimpun diberikan wewenang sepenuhnya untuk melaksanakan pengadilan yang bebas dari segala pengaruh kekeuasaan.tercatat beberapa hakim daerah saat itu antara lain[15]:
1. syarih ibn al harits (hakim kufah)
2. abu musa al asy�ary (hakim basyrah)
3. qais ibn abi al-ash (hakim mesir)
4. dan abu darda� (hakim madinah)
Salah satu modus operandi yang dilakukan oleh kelompok yang tidak puas terhadap kebijakan umar tersebut, mereka mengusulkan kepada umar untuk mendatangkan ahli pedang dalam rangka memperkuat scurity umat islam. Umar memasrahkan hal tersebut kepada mereka untuk mencarinya. Maka didatangkanlah seorang majusy yang barnama Fairus, yang selanjutnya dikenal dengan abu lu�luah atas prakarsa bani umayyah. Meskipun fairus tersebut diangkat sebagai pengawal resmi khalifah namun ia tetap yang dimanfaatkan oleh kelompokyanga tidak puas terhadap umar dengan menghasut fairus. Tampaknya fairus pun termakan hasutan tersebut, sehingga ia berani maju kepada khalifah meminta keadilan untuk membebaskan dia dari jizyah. Sementara umar bersikeras tidak mengabulkan permintaan tersebut. Kesumat itu terus diprovokasi oleh kaum munafiq tersebut, hingga akhirnya fairus bertindka nekad membunuh umar saat ia menjadi imam shalat subuh.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada masa khalifah ar rasyidun ini sistem pemerintahan tidak lagi berbentuk teokrasi karena khalifah itu bukan sebagai wakil tuhan di bumi melainkan sebagai pengganti Nabi dalam menangani urusan keagamaan dan keduniaan, sehingga ketika muncul persoalan baru mereka memutuskannya melalui ijtihad dan musyawarah diantara sahabat. .tercatat beberapa hakim daerah saat itu antara lain[16]:
5. syarih ibn al harits (hakim kufah)
6. abu musa al asy�ary (hakim basyrah)
7. qais ibn abi al-ash (hakim mesir)
8. dan abu darda� (hakim madinah)
Pada masa khalifah ar rasyidun ini sistem pemerintahan tidak lagi berbentuk teokrasi karena khalifah itu bukan sebagai wakil tuhan di bumi melainkan sebagai pengganti Nabi
DAFTAR PUSTAKA
Tamam M Badrut, jejak manusia pilihan, jawa timur: MASmedia Buana Pustaka, 2009
Michael H. Hart,seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Terj. Mahbub junaidi jakarta: pustaka jaya, 1993
Hasan Nor, Sejarah Peradaban Islam Surabaya: Pena Salsabila, 2013
Naim Ngainum, Sejarah Pemikiran Hukum Islam, yogyakarta: penerbit TERAS Komplek POLRI Gowok Blok D 2 No. 186, 2009
Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta: Khalifa, 2004
TM Hasby as siddiqy, peradilan dan hukum acara islam
Asadullah al faruq, hukum acara peradilan islam
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1980
Tahir Muhammad, Sejarah Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
Suyuthi. J Pulungan, fiqh siyasah, jakarta: grafindo persada, 1989
[2] Michael H. Hart, seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Terj. Mahbub junaidi (jakarta: pustaka jaya, 1993), hlm. 164.
[4] Ngainum Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam, (yogyakarta: penerbit TERAS Komplek POLRI Gowok Blok D 2 No. 186, 2009), hlm. 59
[5] Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), hlm. 297.
[8] TM Hasby as siddiqy, peradilan dan hukum acara islam, hlm. 16
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 1980), Hlm. 58.
[12] Nor Hasan, Sejarah Peradaban Islam(Surabaya: Pena Salsabila, 2013), Hlm. 48-49
[13] Muhammad Thahir, Sejarah Islam,(Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), Hlm. 55
[14] Suyuthi. J Pulungan, fiqh siyasah, (jakarta: grafindo persada, 1987), hlm. 125