Wednesday, 29 June 2016

Tafsir AL-Qur�an Surat Al-Baqarah Ayat 283 tentang Gadai


Rahn (gadai) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariat sebagai jaminan hutang, sementara si penerima barang gadai gadai dimungkinkan bisa mengambil barang itu sebagai ganti utang atau mengambil sebagian manfaatnya. Pemilik barang yang berhutang disebut Rahin (penggadai), pemberi utang yang menahan barang dibawah kekuasaannya disebut Murtahin (penerima gadai) dan barang yang digadaikan disebut Rahn (barang gadaian).


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna dan telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah maupun mu�amalah. Setiap orang pasti butuh berinteraksi dengan orang lainnya untuk saling menutupi  kebutuhan dan saling tolong-menolong diantara mereka. Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidak percayaan diantara manusia. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual-beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan hukumnya. Akan tetapi, banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu, kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah penjelasan QS Al-Baqarah ayat 283?
2.      Apa sajakah makna mufradat QS Al-Baqarah ayat 283?
3.      Bagaimanakah munasabah ayat QS Al-Baqarah ayat 283?
4.      Bagaimanakah kandungan QS Al-Baqarah ayat 283?
5.      Apa sajakah dampak sosial dan ekonomi tentang gadai?

C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui penjelasan QS Al-Baqarah ayat 283.
2.      Untuk mengetahui makna mufradat QS Al-Baqarah ayat 283.
3.      Untuk mengetahuimunasabah ayat QS Al-Baqarah ayat 283.
4.      Untuk mengetahuikandungan QS Al-Baqarah ayat 283.
5.      Untuk mengetahuidampak sosial dan ekonomi tentang gadai.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Penjelasan QS Al-Baqarah Ayat 283

Rahn (gadai) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariat sebagai jaminan hutang, sementara si penerima barang gadai gadai dimungkinkan bisa mengambil barang itu sebagai ganti utang atau mengambil sebagian manfaatnya. Pemilik barang yang berhutang disebut Rahin (penggadai), pemberi utang yang menahan barang dibawah kekuasaannya disebut Murtahin (penerima gadai) dan barang yang digadaikan disebut Rahn (barang gadaian).[1]Allah berfirman :

??? ???? ??? ??? ? ?? ????? ????? ???? ??????  ??? ??? ????? ???? ????? ???? ????? ? ???? ????? ???? ??? ??? ????????????  ??? ?????? ???? ???? ????  ????? ??? ????? ? ????
Artinya:
Jika kamu dalam perjalanan dan bermu�amalah secara tunai sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
            Tentu saja tuntunan-tuntunan ayat yang lalu tidak sukar dilaksanakan jika seseorang berada dalam kota., dimana para saksi dan penulis berada. Tetapi, jika kamu dalam perjalanan, dan bermu�amalah tidak secara tunai sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis yang dapat menulis hutang-piutang  sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang.Ayat ini menjadi dalil atas bolehnya menggadai.[2]Ayat ini juga menunjukkan adanya gadaian itu ketika dalam perjalanan atau ketika tidak terdapat juru tulis yang akan menuliskannya.
Bolehnya memberi barang tanggungan sebagaimana jaminan atau dengan kata lain menggadai, walau dalam ayat ini dikaitkan dengan perjalanan, tetapi itu bukan berarti bahwa menggadaikan hanya dibenarkan dalam perjalanan.  Nabi SAW pernah menggadaikan  perisai beliau kepada seorang Yahudi, padahal ketika itu beliau sedang berada di Madinah. Dengan demikian, penyebutan kata dalam perjalanan, hanya karena seringnya tidak ditemukan penulis dalam perjalanan. Dari sisni pula dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak masa turunnya ayat ini Al-Qur�an telah menggarisbawahi bahwa ketidak mampuan menulis hanya dapat ditoleransi untuk sementara bagi yang tidak bertempat tinggal atau nomad.[3]
            Bahkan menyimpan barang sebagai jaminan atau menggadainya pun yang tidak harus dilakukan, karena itu jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, hutang atau apapun yang dia terima. Disini jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi, tetapi kepercayaan dan amanah timbal balik. Hutang diterima oleh pengutang, dan barang jaminan diserahkan kepada pemberi utang.
            Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kepadanya itu akan terpelihara sebagaimana mestinya. Dan pada saat yang menyerahkan memintanya kembali, maka ia akan menerimanya utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerima pun menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi, bahwa apa yang diterimanya diterima sebagaimana adanya dan kelak si pemberi/penitip tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan atau disepakati kedua pihak. Karena itu, lanjutan ayat ini mengingatkan agar hendaklah ia, yakni yang menerima dan memberi bertakwa kepada Allah Tuhan PemeliharaNya.
            Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan jangnlah kamu wahai para saksi menyembunyikan persaksian  yakni jangan mengurangi, melebihkan atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.
            Ayat ini menguatkan keterangan diatas, yaitu juru tulis atau saksi jangan sampai mendatangkan mudarat karena menyembunyikan apa yang telah disaksikan atau enggan untuk menyaksikannya.  Allah menyebutkan �yang menyembunyikan itu hatinya telah berdosa�. Seseorang dapat dituntut oleh karena niat jahatnya itu, sebagaimana seseorang telah mendapatkan kebajikan dengan niatnya yang baik (good will).[4]
            Penyebutan kata hati dalam ayat ini adalah untuk mengukuhkan kalimat ini. Bukankah jika anda berkata, �Saya melihatnya dengan mata kepala� maka ucapan anda ini lebih kuat daripada sekedar berkata, �Saya melihatnya�. Disisi lain, penyebutan kata itu juga mengisyaratkan bahwa dosa yang dilakukan adalah dosa yang tidak kecil. Anggota badan yang lain boleh jadi melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan kebenaran, tetapi apa yang dilakukannya itu belum tentu dinilai dosa jika tidak ada dorongan atau pembenaran hati atas perbuatannya.[5]
            Akhirnya allah mengingatkan semua pihak, bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Walau sekecil apapun, pekerjaan yang nyata maupun yang tersembunyi, yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati.


B.  Makna Mufradat

?????        : Bentuk tunggalnya rahnun, artinya adalah barang-barang yang dijadikan jaminan.
????          : Penulis, yaitu orang yang menuliskan transaksi untukmu.  Ibnu Abbas mengatakan : atau mereka mendapatkan penulis tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta atau pena maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang boleh pemberi pinjaman. Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi pinjaman.
??????     : Yang dipegang, yaitu barang jaminan harus merupakan sesuatu yang dapat dipegang.


C.  Munasabah Ayat
Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 bahwasanya yang dimaksud piutang  adalah  meminjam atau memberi pinjaman yang merupakan salah satu bentuk kegiatan bermuamalah. Dalam ayat ini, Allah menunjukkan beberapa aturan kepada hamba-Nya apabila mereka bermuamalah dengan cara utang piutangdan pengembalian dalam jangka waktu tertentu, maka hendaklah menulis perjanjian dengan menghadirkan dua orang saksinyang mampu bersifat adil. [6]
Ayat ini memiliki kaitan dengan surat Al-Baqarah ayat 283 bahhwa salah satu bentuk utang piutang adalah melakukan transaksi tidak tunai yang dilakukan dalam perjalanan, tidak ada saksi dan tidak pula tesedia fasilitas tulis-menulis.
Dengan demikian, orang yang berpiutang hendaknya diberikan barang tangguhan apabila apabila masing-masing pihak tidak saling percaya. Apabila masing-masing pihak saling percaya dan menyerahkan diri kepada Allah SWT, maka barang tangguhan tersebut tidak diperlukan.

D. Kandungan Ayat
Jaminan yang ada ditangan pihak piutang adalah amanah dan dia tidak memiliki hak untuk  memanfaatkan/menggunakannya di jalan yang tidak benar. Melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar pinjamannya, maka jaminan tersebut dikembalikan secara utuh. Orang yang berhutang pada hakekatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan pinjaman, maka ia harus membayar hutangnya tepat pada waktunya agar orang yang meberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian.  Khususnya tempat dimana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berhutang  sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan. Maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berhutang harus memandang Allah dan tidak memakan harta orang lain.

            Dari ayat tersebut, terdapat pelajaran yang dapat dipetik yaitu :[7]
     1)      Transaksi bukan tunai, janganlah ditegaskan atas janji lisan melainkan dengan tertulis dan mengambil kesaksian.
     2)      Dengan jalan membayar utang tepat pada waktunya, berarti kita telah memelihara kepercayaan dan keamanan ekonomi masyarakat terjaga.


E. Dampak Sosial dan Ekonomi Gadai
Orang yang menerima gadai membantu menghilangkan kesedihan orang yang menggadaikan, yaitu suatu kesedihan yang membuat pikiran dan hati yang galau. Diantara manusia ada yang membutuhkan harta untuk mencukupi kebutuhannya. Kebutuhan manusia itu banyak, mungkin ia meminta harta pada seseorang dengan cara berhutang tapi orang itu menolak untuk memberikan hartanya, kecuali dengan adanya jaminan yang nyata sampai dikembalikan jaminan itu.
Dengan kenyataan seperti itu, Allah  yang Maha Bijaksana mensyari�atkan dengan membolehkan sistem gadai agar orang yang menerima barang gadai merasa tenang atas hartanya. Alangkah baiknya manusia itu mengikuti syari�at dalam pergadaian, karena kalau mereka mengikuti syari�at tidak ada yang menjadi korban keserakahan orang yang kaya yang dapat menutup pintu-pintu yang sudah terbuka dan menjadikan melarat orang yang dahulunya makmur dengan kemewahan dan kebahagiaan.
Berbagai kemanfaatan secara ekonomis sistem gadai adalah timbulnya saling percaya dan saling menyayangi dalam mengemban perekonomian meningkatkan daya beli dan menambah peredaran uang di pasaran. Belum lagi pahala bagi orang yang menerima gadai dari Allah SWT disuatu hari tiada guna harta dan anak kecuali orang yang datang dengan hati yang lurus.[8]


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan

Allah mengajarkan kepada kita sebagai orang yang beriman tentang pentingnya pencatatan transaksi. Caranya dengan menunjuk seseorang untuk menjadi penulis dari setiap transaksi, terutama yang dilakukan secara tidak tunai. Etika seperti ini, harus dimiliki penulis untuk bersdikap adil dengan menuliskan kebenaran transaksi yang dilakukan.
Diperlukan juga saksi apabila terjadi masalah di kemudian hari. Jika utang-piutang dilakukan dalam perjalanan, maka yang berhutang harus memberikan barang tangguhan kepada yang berpiutang disertai dengan sikap moral yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.
B.       Saran

Dari pengkajian yang telah dilakukan diharapkan kita mau lebih memahami tentang salah satu sistem aturan yang ada dalam agama kita salah satunya tentang gadai. Selain itu, para pembaca dan juga penulis mau melibatkan diri dalam pengkajian sistem ekonomi Islam dan juga memiliki kepercayaan diri untuk menyerukan ekonomi Islam khususnya tentang gadai di tengah-tengah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Syaikh. Tafsir Imam Syafi�i. Jakarta : Almahira, 2001.

Halim Hasan, Abdul. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta : Almahira, 2008.

Musthafa Al-Maraghi, Ahmad. Tafsir Al-Maraghi. Semarang : Toha Putra, 1986.

Nawawi, Ismail. Ekonomi Kelembagaan Syari�ah. Surabaya : Putra Media Nusantara, 2009.

Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta : PT Niaga Swadya,2007

Yahya A, Syaikh Sulaiman Ahmad. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2013.



[1]Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq. (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm.783.
[2]Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam. (Jakarta : Almahira, 2008), hlm.176.
[3]Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah.  (Jakarta : PT Niaga Swadya , 2007), hlm.610.
[4]Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam. (Jakarta : Almahira, 2008), hlm.178.
[5]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi. (Semarang : Toha Putra, 1986), hlm.136.
[6]Syaikh Ahmad, Tafsir Imam Syafi�i. (Jakarta : Almahira, 2001), hlm.522.
[7]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi. (Semarang : Toha Putra, 1986), hlm.138.
[8]Ismail Nawawi, Ekonomi Kelembagaan Syari�ah. (Surabaya : Putra Media Nusantara, 2009), hlm.137.