Tuesday, 27 September 2016

Peran Umat Islam dalam Kebangkitan Nasional


Pasca pengakuan kedaulatan, bangsa Indonesia mengalami permasalahan ekonomi yang sangat kompleks. Misalnya inflasi tinggi, rusaknya infrastruktur, hutang negara meningkat, defisit anggaran, rendahnya investasi, dan lain sebagainya.
Langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah ekonomi pasca pengakuan kedaulatan, antara lain kebijakan pemotongan uang, konsep ekonomi nasional, program gerakan benteng, kebijakan Indonesianisasi, dan lain-lain.

A.    Kondisi Riil Politik Umat Islam
            Di bidang politik, sesuai dengan isi UUDS 1950, maka Indonesia menerapkan Demokrasi Liberal dengan sistem kabinet parlementer. Akibatnya muncul banyak partai politik. Di sisi lain sistem pemerintahan tidak stabil karena sering terjadi pergantian kabinet. Beberapa kabinet yang memerintah pada masa Demokrasi Liberal antara lain Kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamijoyo I, Burhanudin Harahap, Ali Sastroamijoyo II, dan Djuanda.
            Pemilu tahun 1955 dilaksanakan dua tahap, yaitu 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Pemilu ini ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas politik.
            Konstituante yang diharapkan mampu menghasilkan UUD ternyata gagal, sehingga tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante, menyatakan kembali ke UUD 1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Keluarnya Dekrit Presiden menjadi tonggak lahirnya Demokrasi Terpimpin.
            Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi beberapa penyimpangan terhadap Pancasila, dan UUD 1945 termasuk kebijakan politik luar negeri. Pembubaran DPR hasil pemilu, pengangkatan presiden seumur hidup, terbentuknya poros Jakarta-Peking, konfrontasi dengan Malaysia, sampai keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB merupakan sejumlah contoh dari penyimpangan tersebut.


            Politik Islam dalam Pembentukkan Negara pada Masa Kemerdekaan, sebagai realisasinya maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 9 April 1944. Dalam pembahasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka terdapat dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan Islam dan nasionalis Sekuler. Salah satu kepentingan umat Islam ketika itu adalah menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tuntutan ini menimbulkan reaksi dari kelompok nasionalis sekuler, sosialis, dan nasrni yang pada masa itu merupakan mayoritas dalam BPUPKI. Kelompok tersebut mengajukan pancasila sebagai dasar negara. untuk mengatasi permasalahan ini dibentuklah �Panitia Sembilan�. Panitia ini terdiri atas lima orang dari golongan nasionalis sekuler dan empat orang dari golongan Islam. Berdasarkan keputusan dari �Panitia Sembilan� pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai kesepakatan menambah tujuh kata dalam sila pertama pancasila menjadi � Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari�at Islam bagi pemeluk-pemeluknya�. Konsep ini kemudian disebut Piagam Jakarta. Piagam ini adalah sebuah kompromi politis ideologis antara golongan yang beraspirasi Islam dan kelompok nasionalis yang sebagian besar juga beragama Islam, akan tetapi menolak ide negara berdasarkan Islam.
            Meskipun demikian UUD 1945 yang disyahkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan ternyata menghapuskan tujuh kata dalam piagam Jakarta diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menetapkan pencasila sebagai dasar Negara. Umat Islam terpaksa mengalah dengan tuntutan kelompok pendukung Pencasila. Perubahan ini dipandang oleh sebagian orang sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam Pada era pasca kemerdekaa harapan untuk semakin berperan dalam politik tetap ada. Sarana perjuangan politik yang paling utama di era ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua kelompok besar, yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era Demokrasi Liberal (1945-1959) peran partai Masyumi cukup menggembirakan. Tetapi partai ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang pada awalnya merupakan sebuah organisasi keagamaan keluar dari masyumi dan membentuk partai baru pada tahun 1952. Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR sedang yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu tahun 55 ini telah menghasilkan empat partai besar pemenang pemilu yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Setelah pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD perihal dasar negara yang akan digunakan. Pada saat itu ada tiga rancangan dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi yang diajukan oleh partai buruh dan Murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir setelah Bung karno membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap berdasarkan pancasila. Suasana diatas setidaknya menggambarkan dinamika pemikiran politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara agama (Islam) dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa politik tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan Legalistik antara Islam dan sistem politik negara selalu berujung pada kebuntuan dan pertentangan ideologis antara dua kelompok pemikiran politik di kalangan aktivis politik muslim yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler. Kelompok pertama menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar negara sedangkan kelompok kedua menolak hubungan agama dan negara yang bersifat formalistik dan legalistik seperti yang dituntut oleh kelompok Islam.
            Berdasarkan pengalaman sejarah umat Islam tersebut sejumlah tokoh dan ilmuwan muslim telah berusaha untuk merumuskan konsep-konsep dasar mengenai negara Islam Dalam perdebatan mengenai dasar negara tersebut. Menurut Mohammad Natsir Islam bukan semata -mata religi, yaitu agama dalam pengertian ruhaniah saja. Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara sesama  manusia. Islam merupakan pedoman dan falsafah hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dan politik.
            Bagi negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, abad ke-20 dapat disebut Abad Nasionalisme, artinya sejak awal sampai penutupan abad ini timbul kesadaran berbangsa. Dalam kurun waktu ini, dalam sejarahnya, telah terjadi pertumbuhan kesadaran berbangsa serta gerakan nasionalis di beberapa negara untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya masing-masing. Peta pemikiran dan pergerakan nasionalisme maupun Islam bisa dilihat dari kebangkitan nasionalisme dan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 ini. Bangkitnya pergerakan di Indonesia ditandai dengan perubahan kesadaran politik berbangsa. Di era mulai bangkitnya perjuangan dan pergerakan modern tersebut, kepulauan Nusantara telah menyaksikan tumbuhnya pemikiran politik yang penuh gairah, semangat, dan elan pergerakan. Tema tersebut tidak dapat dipisahkan dari situasi umum dunia Islam yang pada abad ke-19 dan ke-20 memang berada dalam kekuasaan bangsa-bangsa Eropa.[1]

B.     Upaya-upaya mencapai Kemerdekaan
Umat Islam Indonesia punya peranan yang menentukan dalam dinamika perjuangan untuk memdapatkan kemerdekaan. Dalam perjuangan ini dapat dibagi menjadi :
1.      Perjuangan Kerajaan-Kerajaan Islam melawan Kolonial
            Dimulai sejak awal masuknya bangsa barat dengan pendekatan kekuatan yang represif (bersenjata), maka dilawan oleh karajaan-kerajaan Islam di kawasan Nusantra ini. Perjuangan ini antara lain : Malaka melawan serangan Portugis (1511) diteruskan oleh Ternate di Maluku (Portugis berhasil dihalau sampai Timor Timur), kemudian Makasar melawan serangan Belanda(VOC), Banten melawan serangan Belanda (VOC), dan Mataram Islam juga melawan pusat kekuasaan Belanda(VOC) di Batavia (1628-1629) dan masih banyak lagi. Mereka gigih, dan Belanda pun kalangkabut, namun setelah ada politik �Devide Et Impera� (pecah belah), satu persatu kerajaan ini dapat dikuasai.
     Meskipun demikian semangat rakyat tidak pudar melawan penjajahan kolonial, maka selanjutnya perjuangan melawan penjajahan diteruskan oleh rakyat dipimpin Ulama.
2.      Perjuangan Rakyat Dipimpin oleh Para Ulama
Setelah kaum kolonial berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia, namun umat Islam bersama para ulamanya tidak berhenti melawan penjajahan. Munculah era Gerakan Sosial merata di seluruh pelosok tanah air. Ulama sebagai Elite Agama Islam memimpin umat melawan penindasan kedloliman penjajah. Sejak dari Aceh muncul perlawanan rakyat dipimpin oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya� Dhien; di Sumatera Barat muncul Perang Paderi dipimpin oleh Imam Bonjol; Perlawanan KH. Hasan dari Luwu; Gerakan R. Gunawan dari Muara Tembesi Jambi; Gerakan 3 Haji di Dena Lombok; Gerakan H. Aling Kuning di Sambiliung Kal-Tim; Gerakan Muning di Banjarmasin; Gerakan Rifa�iyah di Pekalongan; Gerakan KH. Wasit dari Cilegon; Perlawanan KH. Jenal Ngarib dari Kudus; Perlawanan KH. Ahmad Darwis dari Kedu; Perlawanan Kyai Dermojoyo dari Nganjuk; dan juga perlawanan P. Dipanegara,  masih banyak lagi.
Dari perlawanan itu, sesungguhnya pihak Belanda sudah goyah kekuasaaanya, sebagai bukti tiga perlawanan : Rakyat Aceh, Sumatera Barat, dan Java Oorlog (Dipanegara) telah mengorbankan : 8000 tentara Belanda mati dan 20.000.000 Gulden kas kolonial habis. Oleh karena itu, mereka kemudian mencari jalan lain, yaitu mengubah politik kolonialnya dengan pendekatan � Welfere Politiek� (Politik Kemakmuran) untuk menarik simpati rakyat jajahan. Namun, pada kenyataannya politik itu dijalankan dengan perang kebudayaan dan idiologi, terutama untuk memecah dan melemahkan potensi umat Islam Indonesia yang dianggapnya musuh utama pemerintah kolonial.
3.      Pergerakan Nasional di Indonesia
Sebelum memesuki era Pergerakan Nasional, pihak kolonial mencoba politik kemakmuran dan balasbudi. Munculah Politik Etische oleh Van Deventer; Politik Assosiasi oleh Ch.Snouck Hurgronje; dan Politik De Islamisasi (Dutch Islamic Polecy) oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Kelihatannya politik itu humanis untuk kesejahteraan rakyat, namun karena landasannya tetap kolonialisme, maka jadinya tetap eksploitatif dan menindas rakyat. Khusus politik De Islamisasai sangat merugikan umat Islam, karena :
  1. Memecah umat Islam jadi dua dikotomi Abangan dan Putihan
  2. Membenturkan Ulama dengan Pemuka Adat
  3. Memperbanyak sekolah untuk memdidik anak-anak umat Islam agar terpisah dari kepercayaan pada agama Islamnya.
  4. Menindas segenap gerakan politik yang berdasar Islam
  5. Membikin masjid dan memberangkatkan haji gratis untuk meredam gerakan Islam.( Snouck Hurgronje, Islam in de Nederlansch Indie )
            Akibat dari politik kolonial di atas, maka  perjuangan melawan kolonial menjadi terpecah. Menurut Thesis Endang Syaifuddin Anshari,MA. perjuangan di Indonesia terpecah jadi dua kelompok besar yaitu: Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler. Kondisi inilah sampai sekarang masih tampak dalam dinamika perpolitikan kita.
            Sebagai salah satu yang penting pelopor awal Pergerakan Nasional di Indonesia ialah umat Islam, yaitu pada tanggal 16 Oktober 1905, lahir Sarekat Dagang Islam (SDI) (baca wawancara Tamardjaja dengan H. Samanhudi, 1955, di majalah Syiyasyah 1974), yang kemudian th. 1912 jadi Sarekat Islam (SI), sebagai gerakan Ekonomi dan politik.  Pada Tanggl 18 November 1912 lahir Muhammadiyah sebagai gerakan Sosial Keagamaan, dari lembaga pendidikannya menghasilkan pimpinan bangsa Indonesia yang menentang Belanda,kemudian selanjutnya Jami�atul Khoir, Al Irsyad, Jong Islamieten Bond (1922), Persatuan Islam (Persis) th. 1920, Nahdlotul Ulama ( 1926 ), dan lainnya adalah dalam kategori nasionalis Islami, yang kesemuanya punya andil dalam melawan Belanda. Di samping itu lahirlah Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, dan Indische Partij (1912), Jong Java, PKI, Perhimpunan Indonesia (PI), PNI (1927) dan sebagainya, adalah dalam kategori nasionalis sekuler. ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta: 22 Juni 1945. Thesis di Mac Gill University, Canada ).
            Dalam menghadapi gerakan umat Islam, Belanda menggunakan �Christening Politiek� (dalam Pidato Ratu Belanda yang dibacakan oleh:Gub.Jend. Idenburg) namun tidak berhasil. Ketika gencarnya SI menuntut �Boemi Poetera Zelfbestuur� (Bangsa Indonesia berpemerintahan sendiri), dengan gerakan  Rapat Akbar dan pemogokan yang dilakukan hampir merata di pelosok kepulauan Indonesia, maka Belanda grogi dan segera bertindak. Untuk menghadapi gelombang gerakan umat Islam itu, maka upaya Politik Belanda  dengan mendatangkan VIRUS KOMUNIS, yaitu menggunakan tokoh-tokoh komunis Belanda Snevliet, Barandesteder, Ir. Baars, Brigsma dan Van Burink, didatangkan ke Indonesia untuk menghadapi Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh komunis itu kemudian mengkader Semaun, Alimin Dharsono & Tan Malaka, disusupkan ke SI, terjadilah pembusukan dari dalam, pecahlah SI jadi dua: SI Putih yang asli, dan SI Merah yang komunis bergabung dengan ISDV ( Indische Socialis Democratische Vereeniging ) jadi PKI (23 Mei 1920). Mulai dari sinilah maka umat Islam berhadapan terus dengan komunis. ( A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. dan A. Adaby Darban, Peranserta Islam dalam Perjuangan Indonesia. ).
            Pada tahun 1937 organisasi-organisasi Islam bersatu membentuk MIAI ( Majlisul Islam A�la Indonesia ), diprakarsai oleh Muhammadiyah, NU, Persis, Alwasliyah dan lainnya. Pada zaman Jepang MIAI diubah namanya jadi MASJUMI ( Majlis Syurau Muslimin Indonesia ), dan memiliki pasukan Hizbullah Sabilillah, sebagai modal perjuangan bersenjata di kemuidian hari.
            Pada saat mempersiapkan kemerdekaan dalam BPUPKI disidangkan konsep dasar negara, muncul konsep Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang telah diajukan, namun sidang belum menerima, kemudian dibentuklah panitia Ad Hock (9 anggota), yang memutuskan Rumusan Piagam Djakarta 22 Juni 1945 ( Djakarta Charter ). Rumusan itu melalui debat yang panjang akhirnya disetujui pada tanggal 16 Juli 1945. (Komentar Soekarno, bahwa Djakarta Charter merupakan konsesnsus nasional persatuan antara Kaum Kebangsaan dan   Islam). Namun, pada tanggal 18 Agustus 1845, keputusan itu dianulir atas usul Opsir Jepang mengatasnamakan utusan dari Indonesia Timur, yang menyatakan bahwa bila kalimat � Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluknya� tidak diubah, maka Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia . Dengan demikian Hatta lobi dengan para ulama agar dapat mengubah Piagam Djakarta demi persatuan Nasional RI. Pada awalnya para ulama tidak setuju, sebab itu sudah keputusan BPUPKI sebagai konsensus nasional, namun demi toleransi dan menjaga negara RI dari perpecahan, akhirnya disepakati dengan kalimat : � Ketuhanan Yang Maha Esa � (peranan Ki Bagus menempatkan Yang Maha Esa sebagai Taukhid Rakyat Indonesia ). ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta.)

C.    Sejarah Kebangkitan Nasional
            Pada permulaan XX bangsa Indonesia mengubah caranya didalam melawan kolonialis Belanda, Bentuk perlawanan itu ialah dengan menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya bernegara. Maka lahirklah bermacam macam organisasi politik disamping bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial yang dipelopori oleh Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Kita mengenal nama nama pahlawan perintis pergerakan nasional diantara lain : H.O.S Tjokroaminoto ( S.IO. 1912), Douwes Dekker ( Indische Partij 1912) Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajjar Dewantoro Tjiptomangunkusumo dan nama nama yang lain. Sumpah Pemuda/ Persatuan Bangsa Indonesia (28 Oktober 1928)
Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peritiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia didalam mencapai cita-citanya. Pada saat itu pemuda pemuda Indonesia yang dipelopori oleh Muh. Yamen, Kuntjoro Purbopranoto, Wongsonegoro dan lain lainnya mengumandangkan Sumpah Pemuda Indonesia yang berisi pengakuan akan adanya bangsa , tanah-air fan bahasa yang satu , yakni Indinesia. Dengan sumpah pemuda in makin tegaslah apa yang diinginkan oleh bangsa Indonesia iaitu kemerdekaan tanah-air dan bangsa Indonesia. Untuk mencapai kemerdekaan perlu adanya rasa persatuan sebagai bangsa yang merupakan syarat mutlak.
            Sejarah Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari tidak kurang 13.000 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke (hasil survei dan verifikasi terakhir Kementerian Kelautan dan Perikanan). Beragam suku bangsa, bahasa dan agama juga menjadi hal yang unik dari Bangsa Indonesia. Sedikit saja gesekan yang terjadi dalam masyarakat maka akan berakibat fatal, sering kita saksikan dalam media massa beberapa peristiwa yang mencabik-cabik rasa nasionalisme kebangsaan. Perang antar suku, pemberontakan, tawuran warga dan lain-lain yang dapat menjadi pemicu disintegrasi bangsa.
            Untuk itu diperlukan rasa kebangsaan yang tinggi agar Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan yang menjadi slogan belaka, tetapi benar-benar dapat menjiwai perilaku seluruh rakyat Indonesia. Dan salah satu hal yang bisa menumbuhkan rasa kebangsaan adalah Kebangkitan Nasional, bangkit dari keterpurukan, bangkit dari ketertinggalan, bangkit dari ketidakadilan, bangkit dari kemiskinan dan kebodohan. Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesaia (NKRI) seharusnya Pemerintah memberikan perlakuan yang sama terhadap rakyatnya dari Sabang sampai Marauke, bila rakyat di satu wilayah sejahtera maka selayaknya rakyat di wilayah lainpun sejahtera agar asas Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Organisasi Boedi Oetomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji serta digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo pada awalnya bukan organisasi politik, tetapi lebih kepada organisasi yang bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Namun seiring waktu Boedi Oetomo kemudian menjadi cikal bakal gerakan yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia.
            Kongres pertama Boedi Oetomo diselenggarakan tanggal 3 - 5 Oktober 1908 di Yogyakarta. Saat itu organisasi Boedi Oetomo telah memiliki tujuh cabang di beberapa kota yaitu Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Pada kongres pertamanya ini Raden Adipati Tirtokoesoemo (mantan bupati Karanganyar) yang berasal dari kaum priyayi diangkat sebagai presiden Budi Utomo yang pertama. Dan sejak itu banyak anggota baru yang berasal dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo, namun hal ini justru membuat anggota dari kalangan pemuda memilih keluar dari organisasi ini.
            Organisasi Boedi Oetomo sendiri dalam perjalanan sejarahnya mengalami beberapa kali pergantian pimpinan dan sebagian besar berasal dari kalangan bangsawan seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo mantan Bupati Karanganyar yang menjadi presiden pertama Budi Utomo dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman Berturut-turut setelah Boedi Oetomo didirikan pada tahun 1908 diikuti berdirinya Partai Politik pertama di Indonesia Indische Partij pada tahun 1912, kemudian pada tahun yang sama Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta, Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Boemi Poetra di Magelang. Karena dianggap sebagai organisasi yang menjadi pelopor bagi organisasi kebangsaan lainnya sebagaimana disebutkan di atas, maka tanggal kelahiran Boedi Oetomo yaitu 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.




[1] Nor Huda. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 105-106.