KATA PENGANTAR
MAKALAH
( SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM )
Dosen Pengampu : Bapak. Muhammad Jamaluddin, M.Pd
Disusun Oleh : KELOMPOK V
RANI AMELIA SYAFRIDA (20170701092091)
ZAIMATUL UMMAH (20170701092116)
FINA MAULANI (20170701092034)
ACHMAD KHORIL ANAM (20170701091002)
SUBRIADI (20170701091103)
MASRUL (20170701091073)
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
Assalamualaikum
Wr.Wb
Pertama-tama
saya mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. Karena atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat kami selesaikan. Kedua
kalinya sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi kita Nabi
Muhammad Saw. yang telah membawa kita dari alam Jahiliyah menuju alam ilmiah.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah “Pengantar Studi Islam” kami
mengucapakan terima kasih banyak terutama kepada dosen pengampu Bapak. Muhammad
Jamaluddin, M.Pd karena telah memberi kesempatan kepada kami untuk
menyelesaikan tugas makalah ini, kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu kami sangat
mengharapakan adanya kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
sebagai masukan dan kesempurnaan makalah kami.
Selesainya
tugas ini tidaklah terlepas dari adanya bimbingan, bantuan dan petunjuk serta
saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum
Wr.Wb.
Pamekasan, 13 November 2017
KELOMPOK V
BAB I
PENDAHLUAN
A.
Latar Belakang
Hukum Islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan
dari al-fiqh al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syarah
al-islamy. Istilah ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.
Dalam Al-Quran dan Sunnah, istilah al-hukum al-islam tidak ditemukan.
Namun yang digunakan adalah kata syari’at Islam, yang kemudian dalam
penjabarannya disebut istilah fiqh. Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum
yang dimaksud adalah hukum Islam. Sebab, kajiannya dalam perspektif hukum
Islam, maka yang dimaksudkan pula adalah hukum syara’ yang berkaitan dengan
akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum Islam sering dipakai sebagai terjemahan dari
syari’at Islam atau fiqh Islam. Apabila syari’at Islam diterjemahkan sebagai
hukum Islam, maka berarti syari’at islam Islam yang dipahami dalam makna yang
sempit. Pada dimensi lain penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan
legalitas formal suatu Negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh
maupun yang belum. Menurut T.M, Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam
adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas
kebutuhan masyarakat. Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia, istilah
hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hukum dan Islam. Hukum
adalah seperangkat peraturan tentang tidak tanduk atau tingkah laku yang diakui
oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dang mengikat untuk seluruh
anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata islam. Jadi, dapat
dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu
Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat
dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua
pemeluk agama Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian Sumber Hukum Islam ?
2.
Bidang kajian apa sajakah yang erat kaitannya dengan Sumber Hukum
Islam ?
3.
Bagaimana pengertian tentang Ahkam Al-Khamsah ?
C.
Maksud Dan Tujuan
1.
Untuk mengetahui tentang pengertian Sumber Hukum Islam
2.
Untuk mengetahui bidang kajian apa saja yang berkaitan dengan
Sumber Hukum Islam
3.
Untuk mengetahui pengertian Ahkam al-Khamsah
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Sumber Hukum Islam
Pengertian
sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat, yaitu peraturan yang apabila
dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber Hukum
Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi
sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah
Rasulullah SAW). Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqh sepakat bahwa pada
prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist. [1]
2.
Bidang kajian Sumber Hukum Islam
Terdapat
beberapa bidan kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu :
a.
Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam.
Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu “Sesungguhnya Kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat”.
Definisi
tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama’, akan tetapi
dari beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur pokok yaitu :
o Bahwa Al-Qur’an
itu dibentuk lafazt yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah
mlalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuknmakna dan di lafaztkan
oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an
o Bahwa Al-Qur’an
itu adalah berbahasa Arab
o Bahwa Al-Qur’an
itu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
o Bahwa Al-Qur’an
itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan beberapa
cara dan keadaan, antara lain yaitu :
o Malaikat
memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
o Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki yang
mengucapkan kata-katanya
o Wahyu datang
seperti gemerincing lonceng
o Malaikat
menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana rupa aslinya
Ayat – ayat yang diturunkan tadi terbagi menjadi dua bagian, yaitu
:
o Ayat-ayat
Makkiyah
o Ayat-ayat
Madaniyah
Di dalam ajaran
islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu hukum, yaitu
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqh. Pengertian bahasa arab
“Ushul Fiqh” secara harfiah adalah akar pikiran, dan secara ibarat (tamsil)
adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqh. Pada umumnya para
fuhaka sepakat menetapkan dan Qiyas.
b.
Sunnah Nabi/Hadist
Hadist adalah
ucapar Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia
atau tentang suatu hal, atau disebut pula sunnah Qauliyyah. Hadist merupakan
bagian dari sunnah Rasulullah. Pengertian sunnah sangat luas, sebab sunnah
maecakup dan meliputi :
o Semua ucapan
Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
o Semua perbuatan
Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
o Semua
persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah
Pada prinsipnya
fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum yang ada dalam
Al-Qur’an. Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an, sebagai
penjelasan/penafsirpemerinci hal-hal yang masih global. Sunnah dapat juga
membentuk hukum sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan dalam
Al-Qur’an. Dalam sunnah terdapat unsur-unsur sanad (keseimbangan antar
perawi), matan (isi materi) dan rowi (periwayat).
Dilihat dari
segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu :
o Sunnah
Mutawatir : sunah yang diriwayatkan banyak perawi
o Sunnah Masyur :
sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan
mutawattir
o Sunah Ahad :
sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan
rawinya dan berdasarkan sifat perawinya.
o Matan, teks
atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dala susunan kalimat yang tertentu
o Sanad, bagian
yang menjadi dasar untuk menentukan dapat dipercaya atau tidaknya suatu hadist.
Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang sambung-bersambung menerima dan
menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari orang memberiannya sampai kepada
sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut rawi.
Ditinjau dari susdut periwayatnya (rawi) maka hadist dapat di golongkan
ke dalam empat tingkatan yaitu :
o Hadist
mutawatir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai
pada Nabi Muhammad SAW
o Hadisr masyur,
hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tesebar luas. Dari nabi
hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih
o Hadist ahad,
hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada Nabi
Muhammad
o Hadist mursal,
hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah, sehingga tidak
sampai kepada Nabi Muhammad SAW
Sunah
berkedudukan sebagai dalil hukum islam. Hal ini didasarkan kepada nash
Al-Qur’an yaitu : Apa saja nikmat yang kamu peroleh dari dari Allah, dan apa
saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah allah menjadi
saksi.(QS.annisa’:79) dll.
Didalamnya
memahami hadist terdapat dari kutub yang harus diperhatikan, yaitu :
o Hadist shahih
o Hadist dhaif
Ciri-ciri
hadist yang shahih itu ialah yang kata-katanya bebas dari bahasa yang rendah
(tidak pantas) serta maksudnya tidak bertetangga dengan ayat atau kabar
(hadist) yang mutawir atau jima’ (yang gamblang_, dan yang meriwayatkannya
orang-orang yang pantas dipercaya.
Adapun
ciri-ciri hadist dhaif sebagaimana diungkapkan K.H.E Abdurrohman ialah
bertentangan dengan nash al-qur’an sunnah dengan mutawir, atau bertentangan
dengan putusan akal yang gamblang.
Didalam ilmu
hadist dikenal adanya ulama hadist uyang masykur. Keenam ulama tersebut ialah :
o Al-Bukhari
(194-256 H / 810 – 870 M)
o Muslim (204 –
261 H / 817 – 875 M)
o Abu Daud (202 –
275 H / 817 – 889 M)
o An-Nasai (225 –
303 H / 839 – 915 M)
o At-Turmudzi
(209 – 272 H / 824 – 892 M)
o Ibnu Majah (207
– 273 H / 824 – 887 M) [2]
c.
Al-Ijma’
Ijma’ menurut
hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau
sejumlah mujtahid umat silam setelah masa Rasulullah tentang hukum atau
ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syari’at atau suatu hal. Ijma’
merupakan salah satu upaya istihad umat islam setelah qiyas.
Kata ijma’
berasal dari kata jam’ artinya menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai
dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal yang tak teratur, oleh sebab itu
berarti menetapkan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula istilah ulama
fiqih (fuqaha). Ijma berarti kesepakatan pendapat di antara mujtahid, atau
persetujuan pendapat di antara ulama fiqih dari abad tertentu mengenai masalah
hukum.
Apabila di kaji
lenih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka terdapat
dua macam ijma’ yaitu :
o Ijma’ shoreh
(jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau
mujtihad menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan
jelas
o Ijma’ sukuti
(diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah
mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas
Adapaun
ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka ijma’ dapat
digolongkan menjadi :
o Ijma’ qathi
yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum (tentang suatu hal)
o Ijma’ dzanni
yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak pasti
Pada hakikatnya
ijma’ harsu memiliki sandaran, dan keharusan tersebut memiliki beberapa aturan
yaitu :
Pertama : bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’
tidak akan sampai kepada kebenaran
Kedua : bahwa para sahabat keadaannya tidak akan lebih baik keadaan
nabi, sebagaimana diketahui, nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum
kecuali berdasarkan kepada wahyu
Ketiga : bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat
maupun lemah adalah salah kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka
sepaka berbuat suatu kesalahan yang demikian tidak mungkin terjadi
Keempat : bahwa pendapat yang tidak disasarkan kepada dalil tidak dapat
diketahui kaitannya dengan hukum syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepasa
syara’ tidak wajib diikuti
d.
Al-Ijtihad
Mencurahkan
seluruh potensi pikiran untuk mengambil suatu hukum dari dalil-dalil syara’
(Al-Qur’an dan Sunnah). Menurut definisi bahasa arab ijtihad ialah
mencurahkan segala kemampuan di dalam mendapatkan hukum syara’ dengan cara
istimbat dari Al-Qur’an dan hadist. Mujtadid adalah seseorang yang melakukan
ijtihad. Para mujtahid pada zaman sahabat hingga zaman tabi’in mengambil
hukum-hukum suatu masalah langsung dari Al-Qur’an dan hadist Muhammad SAW.
Mujtahid dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi :
o Mujtahi
berkemampuan berijtihad seluruh amsalah hukum islam dan hasilnya diikuti oleh
orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Mereka berusaha sendiri, tanpa
memungut pendapat orang lain
o Mujtahid
filmadzhab atau mujtahid yang di dalam berijtihad mengikuti pendapat salah satu
madzab dengan beberapa perbedaan. Misalnya abu yusuf yang mengikuti pendapat
madzhab manafi
o Mujtahid fil
masail atau mujtahid yang hanya membidangi dalam masalah-masalah tertentu. Ciri
mujtahid kelas ini yaitu :
·
Dalam berijtihad mengikuti pendapat imam madzhab tertentu
·
Lapangan ijtihadnya terbatas pada soal-soal tertentu dan menyangkut
hal-hal yang cabang saj
o Mujtahid yang
mengikatnya diri muqoyyad. Ciri-ciri mujtahid yang termasuk dalam kelas
muqoyyad yaitu :
·
Mengikuti pendapat-pendapat ulama’ salaf
·
Mengikuti sumber-sumber hukum dan masalahnya
·
Mampu memilih pendapat yang di anggap lebih baik dan benar
e.
Al-Qiyas
Qiyas ialah
menyamakan suatu oeristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian
yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam
illat hukumnya. Seterusnya dalam perkembangan hukum islam kita jumpai qiyas
sebagai sumber hukum yang keempat. Arti perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah
menurut bahasa ukuran, timbangan. Persamaan (analogy) dan menurut istilah ahli
ushul fiqih mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua peristiwa dengan
mempergunakan cara dedukasi (analogical deducation). Yaitu menciptakan atau
menyalurkan atau menarik suatu garis hukum yang baru dari garis hukum yang lama
dengan maksud memakaikaikan garis hukum yang baru itu kepada suatu keadaan,
karena garis hukum yang baru itu ada persamaannya dari garis hukum yang lama.
Qiyas sebagai
salah satu hukum islam yang tidak dapat dikesampingkan keberadaannya di dalam menetapkan
beberapa ketentuan hukum islam memiliki 4 hukum yaitu :
o Sesuatu yang
hukumnya tidak terdapat dalam nash atau hukum islam
o Sesuatu yang
hukumnya tidak terdapat dalam nash
o Hukum syara’
yang terdapat dalam nash berdasar unsur pokok
o Illat, yaitu
sebab [3]
f.
Al-Istikhsan
Istihsan
menurut bahasa artinya “menganggap sesuatu itu baik” sedang menurut istilah
ulama ushul fiqih adalah “Istihsan,
ialah berpindahnya seseorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas
jally (terang) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar), atau
dari hukum kully (meliputi) kepada hukum yang bersifat pengecualian karena
dalil yang dhahir pada akalnya yang menguatkan perpindahan ini”.
Disamping itu
ditegaskan pula bahwa imam syafi’i berpendapat bila seseorang dibenarkan
menggunakan istihsan ia akan berpendapat orang lain pun bebas menggunakan
istihsan, tentu akan dapat menimbulkan beberapa putusan yang benar atau
beberapa fatwa dalm kasus yang sama. Oleh karena itu imam syafi’i menetapkan
tidak boleh memutuskan berdasrkan istihsan. Yang dibenarkan hanya menggunakan
ijtihad dengan qiyas, bila dalam suatu kejadian tidak ditemukan nash dalam
bentuk al-quran maupun al-sunnah.
Dalam istihsan
pada suatu peristiwa terdapat dalil untuk dipilih. Untuk itu seorang mujtahid
salh satu dalil yang jelas atau kuat untuk menjalankan dalil yang tidak jelas
disebabkan adanya sesuatu hal. Istihsan berbeda dengan qiyas sebab dalamqiyas
tentang sesuatu belum ada baik berupa nash atau ijma’ karena adanya hukum, maka
peristiwa atau hal dipersamakn dengan peristiwa yang sudah ada hukumnya. Karena
adanya persamaan illat sedangkan dalam istihsan hukumnya sudah ada bahkan ada
dua hukum yang harus dipilih.
Dalam istihsan
ada dua aspek penting yaitu:
o Aspek yang
ditinggalkan dan dalil yang dipakai
o Aspek dalil
yang dijadikan landasan dasar istihsan.
Meninggalkan
dalil yang umum dan menggunakan dalil yang khusus karena adanya darurat.
Contoh : kasus
seperti tersebut dalam (QS. Al-Maidah : 38) tentang pengecualian potong tangan
bagi pencuri karena keadaan yang tidak memungkinkan seerti dalam keadaan atau
musim kelaparan. Hal ini pernah diperatekkan umar bin khatab yang berati
menyalahi dari kandungan surat Al-Maidah ayat : 38 yaitu :
38.” Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan kedua saya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari allah. Dan
allah maha perkasa lagi maha bijaksana (QS. Al-Maidah : 38).
g.
Al-Maslahah Mursalah
Maslahah
mursalah atau lengkapnya “al-masalihul mursalah” berarti kemaslahatan yang
dilepaskan. Maslahah mursaah adalah kebaikan atau kemaslahatan yang tidak
disunggung-singgung syara’ mengenai hukumnya, baik di dalam mengerjakan atau
meninggalkannya akan tetapi dikerjakannya, akan tetapi dikerjakan akan membawa
manfaat dan menjauhkan kemudhoratannya,
bahkan kemudhorotan tersebut dapat hilang sama sekali
Syarat maslahat
mursalah yaitu :
o Hanya berlaku
dalam bidang muamalah jadi tidak berlaku dibidang aqidah dan ibadah
o Tidak
bertentang dengan maksud hukum islam atau salah satu dalilnya yang sudah
dikenal (dalam hal ini Al-Qur’an dan hadist nabi)
o Ditetapkan
karena kepentingan yang jelas dan sangat diperlukan masyarakat yang luas
Menurut A.
Hanafi di dalam pengantar dan sejarah hukum islam ditegaskan bahwa :
“maslahat
mursalah ialah pembinaan (penetapan hukum berdasarkan maslahat, kebaikan,
kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan secara umum
atau secara khusus”
Oleh karena itu
maka maslahat tersebut dinamai “mursal” artinya terlepas dengan tidak terbatas.
Akan tetapi jika sesuatu maslahat telah ada ketentuan dari syarat yang menuju
kepadanya secara khusus, seperti penulisan qur’an karena dikhawatirkan akan
tersia-sia atau seperti memberantas buta huruf (mengejarkan menulis dan
membaca), atau ada nash umum yang menunjukkan macamnya maslahat yang harus
dipertimbangkan, seperti wajibnya mencari dan menyiarkann ilmu pengetahuan pada
umumnya, atau seperti amar ma’ruf dan nahi munkar, maka maslahat-maslahat
tersebut tidak lagi disebut maslahat mursalah, dan penetapan hukumannya
didasarkan atas nash bukan didasarkan atas aturan maslahat mursalah.
h.
Al-Urf
“urf diakui keberadaannya di dalamenentukan hukum, terutama dalam
menghadpi lafal-lafal yang bersifat umum. Untuk maksud tersebut, mujtahid harus
berusaha mendapatkannya. Billa tidak mungkin mendapatkannya daklam al-quran dan
sunnah dapat di tempat cara lain diluar dua dalil tersebut,diantara ‘urf atau
adat. Kebanyakan ulama menggunakan dalil ‘urf atau adat sebagai dalil takhsin.
Karena fungsi dari takhsis itu adalah menjelaskan, maka ini berarti bahwa nash
(teks) yang umum dalam al-quran atau
sunnah dapat dijelaskan atau dipahami menurut pemahaman ‘urf atau adat.
Sehingga tidak perlu heran jika banyak ayat-ayat yang maksudnya umum berlaku
universal di pahami.
Sedangkan madzhab hanafi meletakkan ‘urf sebagai salah satu hukum
madzhabnya. Yang disimpulkan oleh abdullah siddik yang menegaskan bahwa:
o Qur’an
o Sunnah rasul
atau hadist. Hadist yang diterima adalah hadit mutawir dan hadist masyhur.
Hadist ahad(sanad tunggal) di tolak,mereka lebih abik mendahulukan qiyas
daripada menggunakan hadist ahad.
o Fatwa-fatwa
para sahabat didahulukan dari qiyas
o Qiyas
o Istihsan
(menjalankan keputusan pribadi, yang tidak didasarkan pada qiyas, tetapi
didasarkan kepada kepentingan umum atau kepentingan keadilan. Contoh maslah
musyatarakah dalm hukum waris (fara’id) tidak memberikan pusaka kepada para
saudara lelaki sekandung dengan jalan berserikat dengan para saudara lelaki
seibu adalh atas dasar qiyas. Sedangkan memberi pusaka kepada para saudara
lelaki dengan jalan menerima faraidh sudara-saudara lelaki seibu yang sepertiga
itu apabila dhu-faraid menghabisi harta peninggalan, hingga tak ada yang
tinggal untuk saudara lelaki saudara sekandung sebagainashabah adalah atas dasr
istihsan.
o Adat yang telah
berlaku di dalam masyarakat, apabila tidak bertentangan dengan Quran dan sunnah
rasulnya.
i.
Al-Istihab
Istlah istihab
memiliki arti tersendiri, sedangkan dalam ilmu ushul sendiri, menetapkan hukum
sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang
merubahnya. Pada dasarnya istihab adalah menjadikan hukum tentang sesuatu hal
yang telah ada sejak semula tetap berlaku sampai adanya peristiwa berikutnya,
kecuali ada dalil yang mengubah hukum itu.
Istihab
merupakan salah satu cara dari istidlal, istihab dapat dibagi ke dalam dua
jenis yaitu :
o Istihab kepada
hukum akal dalam predikat “boleh”. Istihab ini berdasarkan atas prinsip bahwa
asal sesuatu itu boleh. Karena itu kalau tidak ada dalil pelarangan atau
suruhan, maka sesuatu itu di hukumi boleh atau mubah
o Istihab kepada
hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada sesuatu dalil yang
merubahnya[4]
3.
Pengertian Ahkam Al-Khamsah
Istilah Ahkam berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak
dari kata hukum Khamsah artinya lima. Adapun arti “al-hukmu” adalah menetapkan
suatu hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima
ketentuan. Pada dasarnya “ahkamul khamsah” erat kaitannya dengan perbuatan
manusia. Oleh karena itu, gabungan kedua kata dimaksud (Al-ahkam Al-Khamsah)
atau biasa juga disebut hukum taklifi. Hukum taklifi adalah ketentuan hukum
yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum cakap
melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk
larangan. Hukum taklifi di maksud, mencakup lima macam kaidah atau lima
kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam hukum islam
yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib, dan haram. Lain halnya hukum wadh’I yaitu
hukum yang mengandung sebab, syarat, halangan yang akan terjadi atau terwujud
sesuatu ketentuan hukum. Al-Ahkam Al-khamsahakan dijelaskan sebagai berikut :
1.
Jaiz atau mubah
Jaiz atau mubah
adalah sesuatu perbuatan yang dibolehkan untuk memilih oleh Allah SWT atau Rasul-Nya
kepada manusia mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakan atau meninggalkan
(sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan kalau ditinggalkan tidak
dapat pahala dan tidak berdosa). Hal ini dalam pembahasan asas hukum Islam
(ushul fiqh) disebut hukum takhyiri. Ketentuan mubah biasanya dinyatakan dalam
tiga bentuk, yaitu meniadakan dosa bagi sesuatu perbuatan, pengungkapan halal
bagi sesuatu perbuatan dan tidak ada pernyataan bagi sesuatu perbuatan.
Contohnya : seorang
laki-laki boleh menikahi dua orang, tiga dan empat orang perempuan sebagai
istrinya selama ia mampu berbuat adil.
2.
Sunnah (mandub)
Sunnah (mandub)
alah sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada
manusia mukallaf (aqil-baligh). Namun bentuk anjuran itu diimbangi dengan
pahala kepada orang mukallaf yang mengerjakannya dan tidak mendapat dosa bagi
yang meninggalkannya.
Sunnah (mandub) ini terbagi menjadi tiga yaitu :
a.
Sunnah muakkad yaitu suatu ketentuan hukum islam yang tidak
mengikat tetapi penting. Karena Rasulullah saw. senatiasa melakukannya, dan
hampir tidak pernah meninggalkannya atau dengan ketentuan kalau perintah sunnah
itu dikerjakan, ia dapat pahala sebaliknya kalau tidak dikerjakan tidak
berdosa.
Contohnya : azan
sebelum shalat, memberi sedekah, shalat jamaah untuk shalat fardhu, dan dua
shalat hari raya yakni idhul fitri dan idhul adha.
b.
Sunnah zaidah yaitu ketentuan hukum islam yang tidak mengikat dan
tidak sepenting sunnah muakkad. Sebab, Nabi Muhammad biasanya melakukannya dan
sering juga meninggalkannya.
Contohnya : puasa
senin dan kamis, bersedekah kepada fakir miskin.
c.
Sunnah fadhilah yaitu ketentuan hukum yang mengikuti tradisi Nabi
Muhammad dari segi kebiasaan-kebiasaan budayanya.
Contohnya : tata cara makan, minum, dan tidur dan sebagainya.
3.
Makruh
Makruh
(tercela) adalah sesuatu perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT atau Rasul-Nya
kepada manusia mukallaf (aqil-baligh). Namun bentuk larangan itu tidak sampai
kepada yang haram.
Contohnya : masuk
rumah orang dengan tidak mengucapkan salam, ketika melaksanakan ibadah puasa di
bulan ramadhan memperlambat berbuka puasa.
4.
Haram
Haram
adalahlarangan keras dengan pengertian kalau dikerjakan akan berdosa atau dikenakan
hukuman dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala.
Cohtohnya : berzina,
minum yang memabukkan, mencuri, menipu dan sebagainya.
5.
Wajib
Wajib menurut
hukum islam adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia
mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakannya, mesti dikerjakannya ia mendapat
pahala, sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan hukuman.
Contohnya :
melaksanakan shalat 5 waktu yang telah diperintahkan oleh Allah, puasa di bulan
ramadhan dll. [5]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Sebagai
umat islam, kita diwajibkan untuk mengetahui serta memperdalam sumber ajaran
agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena sumber ajaran agama islam
merupakan media penuntun agar kita dapat melaksanakan semua perintah Allah dan
semua larangan-Nya. Agama islam pun tidak mempersulit kita dalam mempelajari
seluk beluk agama islam. Karena terdapat tingkatan sumber ajaran agama islam
yang harus kita pedomani.
2.
Saran
Kajian
tentang makalah SUMBER SUMBER HUKUM islam ini akan memberikan pengetahuan dan
wawasan. Hal ini sangat penting agar para pendidik dapat memahami dan pada
gilirannya kelak terhadap dinamika pendidikan itu sendiri. Dan yang tidak kalah
pentingnya adalah bahwa dengan pengetahuan SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM itu
sendiri.
Demikianlah
makalah kami yang berjudul SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM kami menyadari makalah ini
masih banyak kekurangannya, karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun
kami terima. Semoga makalah ini sangat berguna bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Didiek A. Supandie, Pengantar Studi Islam,
(Surabaya ; Rajawali Pers, 2011), hlm. 143
Rosihan Anwar,
Pengantar Studi Islam, (Bandung ; Pustaka Setia, 2009) hlm. 162 – 182
http://markijar.com/2016/07/hukum-hukum-dalam-islam.html?m=1