Saturday, 15 November 2014

Makalah Akutansi Agency Theory



I. Pendahuluan.
            Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan (Conflict of Interest). 
            Pertentangan dan tarik menarik kepentingan antara prinsipal dan agen dapat menimbulkan permasalahan yang dalam Agency Theory dikenal sebagai Asymmetric Information (AI) yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Ketergantungan pihak eksternal pada angka akuntansi, kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan sendiri dan tingkat AI yang tinggi, menyebabkan keinginan besar bagi manajer untuk memanipulasi kerja yang dilaporkan untuk kepentingan diri sendiri.
     Dengan adanya hal tersebut, dalam praktik pelaporan keuangan sering menimbulkan ketidak transparanan yang dapat menimbulkan konflik principal dan agen. Akibat adanya perilaku manajemen yang tidak transparan dalam penyajian informasi ini akan menjadi penghalang adanya praktik GCG (Good Corporate Governance) pada perusahaan-perusahaan karena salah satu prinsip dasar dari GCG adalah Transparency (keterbukaan).
            Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa dalam rangka menegakan prinsip GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya prinsip transparasi dan akuntabilitas,penyajian informasi akuntasi yang berkualitas dan lengkap dalam laporan tahunan sangat diperlukan. Hal ini akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan. Untuk itu dalam uraian berikut ini akan dibahas tentang Agency Theory sebagai awal timbulnya isu tentang Good Corporate Governance (GCG), kemudian Good Corporate Governance beserta prinsip-prinsip yang melandasi dan peran akuntan dalam menegakkan prinsip GCG di Indonesia. Konsepsi CG dalam bahasan ini didasarkan sudut pandang organisasi perusahaan privat sebagai open system. Burrel dan Morgan (1979) menyatakan bahwa suatu organisasi mempunyai fungsi yang sama dengan organisme yang berhadapan dengan lingkungannya. Untuk dapat bertahan hidup,organisasi tersebut harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana organisasi tersebut berada (misal budaya masyarakat,pemerintah,aturan dan regulasi lainnya)
II. Bahasan Agency Theory
            Pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal,sedangkan managemen sebagai agen. Agency Theory mendasarkan hubungan kontrak agar anggota-anggota dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal kepadanya.
            Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan,return maupun resiko-resiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997).
Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 buah asumsi yaitu:
(a) Asumsi tentang sifat manusia
            Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion).
(b) Asumsi tentang keorganisasian
            Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen.
(c) Asumsi tentang informasi.
            Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan.
            Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining position. Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan agen yang menjalankan operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang mutlak dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang bersifat strategis, jangka panjang dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap menjadi wewenang dari prinsipal selaku pemilik perusahaan.
            Adanya posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang prinsipal dan agen yang berbeda saling bertolak belakang namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam praktiknya akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik pengaruh dan kepentingan antara satu sama lain. Apabila agen (yang berperan sebagai penyedia informasi bagi prinsipal dalam pengambilan keputusan) melakukan upaya sistematis yang dapat menghambat prisipal dalam pengambilan keputusan strategis melalui penyediaan informasi yang tidak transparan, sedang di lain pihak prinsipal selaku pemilik modal bertindak semaunya atau sewenang-wenang karena ia merasa sebagai pihak yang paling berkuasa dan penentu keputusan dengan wewenang yang tak terbatas, maka kemudian yang terjadi adalah pertentangan yang semakin tajam yang akan menyebabkan konflik yang berkepanjangan yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang ekonomik (homo economicsus) yang berperilaku ingin memaksimalkan kepentingannya masing-masing.
Dalam konsep Agency Theory, manajemen sebagai agen semestinya on behalf the best interest of the shareholders, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan manajemen hanya mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utililitas. Manajemen bisaa melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asimmetric Information.
            Asimmetric Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilanyang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang dipercakan kepada agen.
            Akibatnya adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 (dua) permsalahan yang disebabkan adanya kesulitan prisipal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah :
(a)     Moral Hazard
                        Yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.
(b)    Adverse Selection
                        Yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
            Adanya agency problem di atas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari :
(a)     The monitoring expenditures by the priciple
                        Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor prilaku agen, termasuk juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget restriction, compensation policies.
(b)    The bonding expeditures by the agent.
                        The bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan.
(c)     The residual loss
                        Merupakan penurunan tingkat kesjahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship.
            Dari penambahan diatas, bila dibuatkan ringkasan tentang asumsi dan penerapan agency theory dalam organisasi akan tampak dalam label 1 dibawah ini :
Tabel 1. Asumsi Dasar dalam Agency Theory
Asumsi Manusia
:  Homo Economicus, yang memaksimalkan utilitasnya
Model Perilaku
:  Self serving behavior
Fakta Penerapannya
:  Prinsipal dan agen cenderung menerapkan tujuan secara kaku (rigid)
Akibat yang timbul
:  Conflict of Interest
Konsekuensi
:  Timbul agency cost dalam mengawasi kinerja manager / agen
Pemecahan
:  Sharing rule antara prinsipal dan agen perlu dibuat
Reward
:  Ekstrinsik, yaitu komoditi berwujud dan bisa dipertukarkan dan memiliki nilai pasar yang bisa diukur
Asumsi Informasi
:  Sebagai komoditi yang dapat diperjual belikan
III. Aplikasi Agency Theory pada Pengelolaan Perusahaan.
            Konsep pemisahan antara kepemilikan (ownership) para pemegang saham dan pengelolaan (management) para agen atau manger dalam perusahaan telah menjadi kajian sejak tahun 1930-an. Manajemen perusahaan publik yang besar biasanya bukan pemilik. Bahkan sebagaian besar manjemen puncak (top mangement)hanya memiliki saham nominal dalam peerusahaan yang mereka kelola.
            Bila dilihat dari perkembangan teori perusahaan dan hubungannya dengan kebutuhan GCG, dari perspektif Agency Theory, Tabel 2 berikut ini menunjukan perkembangan akan kebutuhan GCG pada teori korporasi klaasik.modern,dan post-modern.
Tabel 2. Perkembangan Teori Korporasi dan Implikasinya Terhadap
Good Coorperate Governance
TEORI KORPORASI KLASIK
TEORI KORPORASI MODERN
TEORI KORPORASI POST-MODERN
KARAKTERISTIK :
1.Perusahaan dengan single majority shreholders.
2.Prinsipal merangkap sebagai agen.
3.Keseimbangan kepentingan antara prinsipal dan agen tidak penting.
KARAKTERISTIK :
1.Perusahaan dengan banyak pemegang saham, namun masih ada kepemilikan mayoritas.
2.Fungsi Prinsipal dan Agen mulai terpisah.
3.Meskipun pemilik mayoritas masih memiliki otoritas yang besaar, kepentingan pemegang saham minoritas sudah diperhatikan.
KARAKTERISTIK :
1.Perusahaan dengan banyak pemegang saham, dan tidak ada kepemilikan mayoritas.
2.Sulit untuk mengidentifikasi the true principal.
3.Prinsipal umumnya tidak atau kurang memahami bisnis.
4.Agen memiliki pengaruh yang besar dalam menjalankan perusahaan.
5.Terjadi ketidakseimbangan kepentingan (conflict of interest).
IMPLIKASI:
Aspek Good Corporate Governance tidak diperlukan.
IMPLIKASI :
Aspek Good Corporate Governance mulai diperlukan.
IMPLIKASI :
Aspek Good Corporate Governance sangat diperlukan.
           
            Dalam uraian diatas tentang Agency Theory diatas disebutkan bahwa adanya perilaku dari manager/agen untuk bertindak hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain/pemilik, dapat terjadi karena manjer mempunyai informasi yang lengkap mengenai perusahaan, sedangkan informasi tersebut tidak dimilki oleh pemilik perusahaan (dalam hal ini timbul Asymmetric Informationatau AI).
            Adanya AI dan Self Serving Behaviorpada manager/agen, memungkinkan mereka untuk mengambil keputusaan dan kebijakan yang kurang bermanfaat bagi perusahaan. Adanya kondisi ini menimbulkan tata kelola perusahaan yang kurang sehat karena tidak adanya keterbukaan dari manajemen untuk mengungkapkan hasil kinerjanya kepada prinsipal sebagai pemilik perusahaan. Agency Theorymenganalisis dan mencari solusi atas dua permasalahan yang muncul dalam hubungan antara para prinsipal (pemilik/pemegang saham) dan agen (manajemen).
 IV. Kesimpulan
            Agency theory merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model ekonomi. Dalam Agency Theory mengenal adanya Asymmetric Information (AI) yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen.
            Agency Theory mendasarkan hubungan kontrak antar anggota-anggota dalam perusahaan dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prisipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanat oleh prinsipal kepadanya.
            Inti dari Agency Theory ( Teori Keagenan) adalah pendesainan kotrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan.
Agency Theory memiliki 3 landasan asumsi :
a.  Asumsi tentang sifat manusia
b.  Asumsi tentang keorganisasian
c.  Asumsi tentang informasi
 
V. Daftar Pustaka
Arifin, Drs.M.Com.(hons,),Akt.Ph.D. (2005) � Tinjauan Perspektif Teori Keagenan (Agency Theory) �. Pidato Pengusulan Jabatan Guru Besar. Universitas Diponegoro. Semarang.
www. wikipedia.co.id � Agency Theory �
Soegiharto. (2005). � Peran Akuntan Dalam Menegakkan Good Corporate Governance� Auditor. Edisi 18. Hal. 38 � 41.