Saturday, 22 November 2014

Makalah Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Yang melatar belakangi membuat makalah dengan judul Pengulangan Tindak Pidana ( Recidive ), ini adalah untuk memenuhi Tugas mata kuliah Hukum Pidana Fakultas Hukum Semester II � Universitas Trunojoyo, dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami salah satu bab mengenai tentang Pengulangan Tindak Pidana ( Recidive ).
Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. Sama seperti dalam concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan. Sebagai contoh, seperti yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa karena alasan recidive pidana penjara boleh diputuskan sampai 20 tahun, walaupun secara umum pidana penjara maksimum dijatuhkan selama 15 tahun.
Recidive tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum", namun diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III. Dengan demikian, KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive khusus,artinya pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan jenis tindak pidana tertentu saja dan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
Rumusan Masalah
1. Definisi Recidive
2. Recidive kejahatan dan beserta unsur-unsurnya
3. Recidive pelanggaran
4. Dan tujuan penghukuman beserta teori yang ada

Tujuan Permasalahan
1. Agar dapat memahami tentang pengertian Recidive
2. Untuk memahami Recidive kejahatan dan unsur-unsurnya
3. Untuk Memahami Recidive Pelanggaran yang ada pada Buku II KUHP
4. Untuk mengetahui tujuan penghukumannya

BAB II
PEMBAHASAN
A.        Definisi Recidive
            Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi pada dalam hal seorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap, kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Recidive ini menjadi alasan untuk memperberat pemidanaan.

Sistem Pemberatan Pidana Berdasarkan Recidive
Sistem pemberatan pidana berdasarkan recidive dibagi menjadi dua yaitu :
Recidive Umum
Dalam sistem ini dianut bahwasanya setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk pemberatan pidana. Dalam sistem ini tidak dikenal adanya daluarsa recidive.
Recidive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.

B.        Recidive Kejahatan Beserta Unsur-unsur Kejahatan
Recidive kejahatan menurut KUHP adalah recidive ( kejahatan-kejahatan tertentu ), yang membedakan antara lain :
Recidive terhadap kejahatan-kejahatan yang sejenis
Mengenai hal tersebut diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam buku II KUHP, yaitu pasal 137 ayat 2, 144 ayat 2, 157 ayat 2, 161 ayat 2, 163 ayat 2,208 ayat 2, 216 ayat 3, 321 ayat 2, 293 ayat 2, dan 303 bis ayat 2.
Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam kelompok jenis.
Yang termasuk recidive jenis ini diatur dalam pasal 486, 487 dan 488 KUHP.
Menurut Edwin: H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah :
Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.
Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana.
Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan.
Harus ada maksud jahat ( mens rea )
Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan.
Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri.
Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selanjutnya dapat diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing :
a.         Pengertian secara praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma dalam masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma itu merupakan suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar pada suatu pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan tercela. Perbuatan yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan kebalikannya yang di seberang garis disebut dengan kejahatan.
b.         Pengertian secara religius : mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa. Setiap dosa diancam dengan hukman api neraka terhadap jiwa yang berdosa
c.         Pengertian dalam arti juridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiri tidak membedakan dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan kejahatan dan pelanggaran dalam 2 buku yang berbeda.
Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan antara rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang). Pelanggaran termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hat yang terlarang.
Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu merupakan suatu delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya sebagai perbuatan yang terlarang.
Sedangkan kejahatan termasuk dalam rehtsdelicten (delik hukum), yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang.
Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu (misalnya) belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan.
  
C.        Recidive Pelanggaran
  Terdapat 14 jenis pelanggaran di dalam Buku II KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu : pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Adapun yang menjadi syarat-syarat recidive pelanggaran adalah sebagai berikut :
Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu.
Harus sudah ada putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran terdahulu.
Tenggang waktu pengulangannya baru lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang berkekuatan tetap.
Belum lewat 1 tahun untuk pelanggaran pasal 489, 492, 495, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Belum lewat 2 tahun untuk pelanggaran pasal 501, 512, 516, 517, dan 530.
Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan \ hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hak puniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan

a. Teori absolut
Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3.  Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :
1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2.  Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis', sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.

b. Teori relatif atau teori tujuan
Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi pelanggaran.
Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi mereka yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.

c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.

  BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau menguranagi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik.
Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat.
 

Daftar Pustaka
Muhammad, Gerry R, KUHP & KUHAP, Permata press, 2007.
Prof, Dr, Prodjodikoro Wirjono SH, Asas-asas HUKUM PIDANA Di Indonesia, retika aditama, 2003
Windari. Rusmilawati SH MH, Buku Ajar Hukum Pidana, Bangkalan, 2009.
www.google.com artikel pengulangan tindak pidana.
www.google.com Edwin H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969.
www.google.com Recedive.