Friday 18 March 2022

“DASAR – DASAR PRINSIP ARBITRASE BERBASIS SYARIAH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH”


 


DASAR – DASAR PRINSIP ARBITRASE BERBASIS SYARIAH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Arbitrase syariah

Yang diampu oleh Bapak Faqih ali syari’ati

 

 

 

 

Disusun Oleh:

Kelompok 7

Inneke Farandika                    (19383022195)

 

 

 

 

 

 

        FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2021

A.    Prinsip Ketuhanan (Ilahiyah)

Arbitrase syariah merupakan arbitrase yang dilaksanakan sesuai dengan jiwa syariat Islam. Syariah menjadi koridor yang harus diejawantah dalam aktualitas arbitrase syariah. Operasionalisasi arbitrase syariah dikembalikan kepada prinsip hukum Islam (syariah) yang diciptakan Allah. Prinsip Ketuhanan (Ilahiyah) menjadi landasan utama bagi segala aktivitas dan dimensi kehidupan manusia, yang meyakini Allah sebagai prima causa segala-galanya. Itu sebabnya, esensi ketuhanan sejatinya harus diaplikasi dalam arbitrase yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Prinsip ketuhanan berangkat dari filosofi dasar yang bersumber kepada Allah, sehingga proses dan tujuan berabitrase senantiasa berada dalam kerangka syariah. Di dalam pemikiran Islam, Tuhan adalah pembuat peraturan (legislator) paling utama dengan sistem yang ideal dan sempurna. Sebagai Ruh Aktivitas Arbitrase Syariah. Hukum ciptaan Tuhan menjadi panduan dan filter bagi hukum buatan manusia, sehingga aktivitas yang dilakukan manusia harus mengindahkan aturan yang berasal dari wahyu. Penundukan diri kepada aturan-aturan Allah merupakan keniscayaan dalam rangka beribadah kepada-Nya. Sebaliknya pengingkaran terhadap syariah yang diturunkan Allah secara pasti dan jelas merupakan bentuk kekufuran, kezaliman, dan kefasikan.

Dari perspektif ajaran Islam tanpa dikaitkan dengan hukum lain dalam masyarakat, bagi orang Islam berlaku dan diperintahkan untuk mentaati hukum Islam. Kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi, dengan demikian tidak semata bertugas memakmurkan bumi dengan mengelola alam sebaik-baiknya, tetapi juga dalam kehidupan berhukum sebagai pelaksana, dan penegak syariah. Dalam konteks ini, arbiter (hakam) berkedudukan sebagai pelaksana syariah guna menyelesaikan sengketa yang diajukan melalui forum arbitrase syariah. Seperti telah dikemukakan terdahulu, Alquran telah mengokohkan bolehnya berarbitrase untuk menyelesaikan sengketa suami isteri dalam rumah tangga. Penegasan Alquran yang mendasari dibenarkan memakai arbitrase (tahkim) dalam menyelesaikan sengketa suami isteri, tentu memberi peluang bagi sengketa lain, terutama menyangkut hak perorangan dibolehkan juga berarbitrase. Dengan demikian, pengembangan keabsahan arbitrase pada bidang muamalah, selain sengketa suami isteri dapat dilakukan berdasar petunjuk Alquran melalui metode analogi (qiyas). Dalam konteks ini pula penyelesaian sengketa perbankan syariah mendapat relevansi yang kuat.

Hukum Islam berpijak di atas landasan tauhid dalam menegakkan amar makruf nahi munkar. Ketuhanan merupakan prinsip hukum Islam paling utama, sehingga berhukum di atas landasan tauhid berarti berpegang teguh kepada aturan Allah, dan mengembalikan segala urusan kepada Allah. senantiasa menampakkan aktualitas pada berbagai aktivitas kehidupan manusia, begitu juga dalam menyelesaian sengketa perbankan syariah melalui arbitrase. Karena merupakan ruh yang menghidupkan, maka aktivitas arbitrase syariah dalam memutus sengketa perbankan syariah, tidak boleh melanggar batasan syariah. Keberadaan prinsip ketuhanan menjadi karakter yang tidak ditemukan sekaligus membedakan arbitrase syariah dengan arbitrase non syariah. Meski demikian, tidak berarti semua yang berasal dari luar sistem hukum Islam di bidang arbitrase harus ditolak, masih dapat diterima bila tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Pengejawantahan prinsip ilahiyah diturunkan secara hierarkhis dari Alquran dan Hadis, yang selanjutnya dijelaskan melalui pemikiran (ijtihad) yang melahirkan fikih. Turunan fikih dituangkan dalam Undang-Undang (qanun), dan karenanya qanun yang diciptakan berdasarkan syariah, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Allah. Pencantuman frase atau lafaz “Bismillahirrohmanirrohim” dan kemudian diikuti irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang terdapat dalam tiap penetapan dan putusan basyarnas, merupakan implementasi prinsip ilahiyah pada tataran praktik arbitrase syariah. Kata al-rahman dan al-rahim yang terdapat pada lafaz basmalah menunjukkan sifat yang dimiliki Allah, yakni pengasih dan penyayang. Basmalah disunahkan untuk dibaca pada setiap perbuatan baik yang akan dilakukan. Bacaan basmalah merupakan pernyataan perbuatan yang dilakukan semata-mata karena Allah. Dengan bacaan tersebut, nilai perbuatan akan berubah dari hanya perbuatan biasa menjadi ibadah kepada Allah, karena dilakukan benar-benar untuk dan demi kepatuhan kepada Allah. Ketentuan ini didasarkan atas suatu hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, yang artinya: “setiap perbuatan baik yang tidak dimulai dengan Bismillahirrohmanirrohim adalah kurang berkah.”

Begitu pula irah-irah yeng terdapat dalam putusan arbitrase syariah, adalah perwujudan prinsip ilahiyah yang menunjukkan keadilan yang ingin diputuskan arbiter akan dipertanggungjawabkan tidak saja kepada para pihak maupun masyarakat, tapi juga yang teramat tinggi adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pencantuman irah-irah dimaksud menempatkan prinsip ketuhanan dan keadilan diakui dalam hukum arbitrase Indonesia yang merupakan sendi utama dalam hukum Islam.[1]

B.     Prinsip perjanjian arbitrase

Penggunaan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa didasarkan pada perjanjian yang dibuat para pihak. Perjanjian arbitrase (arbitration agreement) menjadi dasar pokok bagi kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pilihan para pihak untuk meminta penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase syariah pada prinsipnya merupakan pelaksanaan perjanjian arbitrase yang dibuat berdasarkan kebebasan berkontrak (freedom of contract). Perjanjian arbitrase menjadi landasan utama bagi arbitrase syariah untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Keberadaan perjanjian arbitrase dalam menentukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi syarat essensial yang bersifat mutlak. Tanpa perjanjian arbitrase, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak menjadi kewenangan arbitrase syariah, melainkan kewenangan badan peradilan agama.

Arbitrase syariah merupakan forum penyelesaian sengketa di luar proses peradilan yang ditentukan berdasar kesukarelaan dan kesepakatan para pihak (voluntariness). Inisiatif para pihak menentukan arbitrase syariah sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah merupakan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Perbuatan hukum itu terberikan berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak yang menjadi salah satu prinsip utama dalam hukum perjanjian. Melalui perbuatan hukum ini, para pihak menyerahkan sengketa atau beda pendapat yang terjadi dalam hubungan hukum mereka kepada arbiter, baik perorangan atau institusional, yang independen dan ahli dibidangnya (expert) untuk sampai kepada putusan yang final dan mengikat. Priyatna Abdurrasyid mengatakan, dari sifatnya arbitrase menjurus kepada privatisasi sengketa yang ditujukan pada posisi win-win dan bukan kepada win-lose yang biasa terjadi di pengadilan. Kemiripan arbitrase dengan peradilan terletak penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pihak ketiga, yakni hakim dan arbiter, yang mempunyai wewenang untuk mengambil putusan. Baik dalam arbitrase maupun peradilan, didasarkan pada kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga yang mengambil keputusan. Perbedaan keduanya terletak pada kenyataan bahwa pihak ketiga dalam arbitrase adalah pihak-pihak swasta, sehingga kerap di sebut hakim swasta, sementara hakim pada peradilan secara birokratis berada di bawah naungan negara.

Perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis berdasarkan kesepakatan para pihak dengan bentuk klausul arbitrase dalam perjanjian yang dibuat sebelum atau setelah timbul sengketa melalui perjanjian arbitrase tersendiri Jadi, terdapat dua unsur pokok perjanjian arbitrase, yaitu dicapai berdasarkan kesepakatan (konsensus) dan dibuat secara tertulis yang dirumuskan sebelum atau sesudah timbulnya sengketa. Arbitrase syariah berwenang menyelesaikan sengketa berdasarkan perjanjian dengan kesepakatan para pihak yang diberikan secara sukarela tanpa paksaan. Bentuk perjanjian arbitrase secara tertulis merupakan keharusan, sehingga perjanjian arbitrase tidak dapat dilakukan atau ditegakkan secara lisan Hal ini adalah untuk menghindari kesulitan dalam pembuktiannya dikemudian hari Untuk menjaga kemaslahatan, bentuk tertulis perjanjian arbitrase menjadi keniscayaan.

Perjanjian arbitrase tidak dapat diterapkan bila tidak dilakukan secara tertulis. Selain untuk memenuhi aturan hukum dan relevansinya dengan pembuktian di kemudian hari dalam menyelesaikan sengketa, perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis, mempunyai empat fungsi esensial, yaitu:

1.      untuk menghasilkan konsekuensi yang diperintahkan (mandatory consequences) bagi para pihak

2.      untuk mencegah intervensi pengadilan dalam menyelesaikan sengketa para pihak (sekurang-kurangnya sebelum putusan dijatuhkan)

3.      untuk memberdayakan arbiter dalam penyelesaian sengketa

4.      untuk menetapkan prosedur dalam menyelesaikan sengketa.[2]

C.    Prinsip Perdamaian arbitrase

Tujuan utama yang menjadi esensi penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam hukum Islam (tahkim) adalah menciptakan perdamaian guna memulihkan hubungan baik pihak-pihak yang berselisih agar kembali harmonis. Perwasitan (arbitrase) penting bagi dunia perusahaan untuk menyelesaikan sengketa secara cepat, efisien, dan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pengusaha Kewajiban mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa merupakan tuntunan moral Islam setiap sengketa, tanpa kecuali melalui arbitrase. Karena itu, forum arbiterasi harus mengemban fungsi mendamaikan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Para pihak yang bersengketa harus memiliki kesadaran, bahwa sengketa yang mereka berikan penyelesaiannya melalui arbitrase adalah dalam rangka pencapaian perdamaian untuk menghindari kekerasan, agar hubungan silaturrahim mereka tidak terputus.

Dalam perspektif syariah, usaha mewujudkan perdamaian dalam penyelesaian sengketa dikenal dengan sebutan sulh. Sebuah sumber menyebut, sulh berasal dari bahasa Arab yang berarti suatu kondisi yang baik, aman, harmonis. Sulh merupakan bentuk tunggal dengan ishlah sebagai bentuk jamak atau pluralnya Dari segi bahasa atau secara etimologis sulh berarti memutus pertengkaran atau menghentikan perselisihan, menciptakan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan untuk berdamai antara satu dengan lainnya Secara terminologis, sulh adalah jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan antara dua pihak yang bersengketa secara damai, yang biasanya dilakukan melalui pendekatan musyawarah atau kerjasama di antara para pihak Dalam konteks ini kata sulh dapat disejajarkan atau dipadankan dengan konsep perdamaian atau tindakan mendamaikan. Perbuatan mendamaikan antarsesama manusia yang bersengketa menjadi salah satu resep merawat silaturrahim

Arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa yang diakui secara syariah untuk menyelesaikan perselisihan secara damai (ishlah). Validitas itu menegaskan, penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah harus dilakukan dengan mengedepankan perdamaian. Umar bin Khattab mengatakan, ” tolaklah orang-orang yang bertikai agar mereka berdamai, karena putusan peradilan akan menyisakan kebencian di antara mereka. Dalam hukum syariah, tindakan mendamaikan atau perdamaian (sulh) menjadi tujuan utama dalam upaya menyelesaikan setiap sengketa. Penyelesaian sengketa dengan pola perdamaian ini merupakan manifestasi dari keberadaan Islam sebagai agama perdamaian yang universal. Tindakan mendamaikan (ishlah) merupakan kewajiban umat Islam, baik secara personal maupun sosial Pola perdamaian menurut syariah dapat dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan suami isteri dan sengketa keamanan atau peperangan, dan bahkan untuk pelanggaran HAM berat, maupun sengketa lain yang menurut ketentuan syariah bisa didamaikan.

Ridwan Nurdin mengemukakan lima cakupan yang menjadi inti penyelesaian sengketa secara sulh, yaitu: Pertama, sulh antara orang muslim dan non muslim, yang berhubungan dengan keamanan. Kedua, sulh antara pemerintah dengan pemberontak. Ketiga, sulh antara suami isteri yang bersengketa. Keempat, sulh antara mereka yang bersengketa pada masalah selain harta, seperti kejahatan. Kelima, sulh antara mereka yang bersengketa dalam masalah harta Betapa hukum Islam dari berbagai sumber memberi petunjuk yang menekankan perlunya diwujudkan perdamaian dalam menyelesaikan setiap sengketa, baik untuk bidang keluarga dan muamalah lainnya, perdagangan, politik, maupun peperangan.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah berpola perdamaian memberi kesempatan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan terbaik tanpa terpaku pada formalitas aturan, dan tidak terikat penyampaian fakta dan bukti, melainkan secara konsensus dan kerjasama. Para pihak bebas untuk mencari dan menemukan cara terbaik agar sengketa mereka dapat diselesaikan, sehingga tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah atau terzalimi. Arbiter yang disepakati untuk menangani sengketa harus mempertemukan kepentingan para pihak secara berimbang, sehingga tidak merugikan atau menguntungkan satu pihak atas pihak lainnya. Keridhoan para pihak dalam menerima atau melepaskan sebagian kewajiban atau haknya menjadi kriteria terwujudnya perdamaian, sehingga perdamaian tidak dengan sendirinya harus memenuhi seluruh tuntutan yang diajukan. Pengakhiran sengketa dengan perdamaian dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu:

1.      Perdamaian dilakukan setelah ada pengakuan pihak tergugat.

2.      Perdamaian setelah penolakan atau pengingkaran gugatan oleh tergugat.

3.      Perdamaian setelah tidak ada pengakuan maupun pengingkaran gugatan oleh tergugat (diamnya tergugat).

Tujuan perdamaian pada penyelesaian sengketa yang di derivasi dari ajaran Islam oleh Syahrizal Abbas diklasifikasi menjadi empat kategori, yaitu:

1.      Nilai yang mendasari filosofi penyelesaian sengketa, meliputi nilai kemuliaan, kehormatan, persamaan, persaudaraan, dan mahabbat.

2.      Nilai yang harus dimiliki para pihak yang bersengketa, meliputi nilai toleran, menghargai hak-hak orang lain, terbuka, rasa hormat, dan kemauan memaafkan.

3.      Nilai yang harus dipegang pihak yang menyelesaikan sengketa, yaitu nilai adil, kebenaran, dermawan, yakin, hikmah, mau’izah (persuasif), empati, dan menaruh perhatian pada orang lain.

4.      Nilai yang menjadi tujuan akhir penyelesaian sengketa, yaitu nilai kemuliaan, keadilan sosial, rahmad, ihsan, dan martabat kemanusiaan.[3]

D.    Prinsip Sarana Penegakan Keadilan Bagi Para Pihak

Konsep perdamaian sebagaimana diuraikan terdahulu berkaitan erat dengan keadilan. Perdamaian dan keadilan merupakan konsep yang berhubungan, sehingga pembahasan terhadap perdamaian sejatinya melibatkan pembahasan terhadap keadilan. Abu Nimer mengatakan, keadilan dan kedamaian merupakan konsep yang saling berhubungan, karena itu advokasi terhadap keadilan pada dasarnya melibatkan advokasi terhadap kedamaian Perdamaian bisa terwujud bila keadilan ditegakkan, dan tanpa keadilan perdamaian akan menjadi utopis, sebab keadilan merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya kedamaian. Daisaku Ikeda mengatakan, tidak ada keadilan berarti tidak ada kedamaian. Sebaliknya, keadilan dapat ditegakkan melalui upaya perdamaian, karena para pihak menerima keputusan berdasarkan pencapaian kesepakatan yang di pandang adil oleh para pihak. Pencapaian keadilan tidak semata melalui penegakan hukum di pengadilan, namun juga bisa dilakukan melalui arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dari badan peradilan. Karena itu menjadi sangat relevan untuk membahas keadilan dalam kerangka penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah.

Perkataan keadilan terambil dari kata dasar adil yang berarti, tidak berat sebelah atau tidak memihak, berpihak kepada yang benar atau berpegang pada kebenaran, dan sepatutnya atau tidak sewenang-wenang. Secara etimologis adil yang berasal dari adl (Arab) berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-musawah). Secara terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Selanjutnya disebut, keadilan lebih dititikberatkan pada pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya (wad asy-syai’ fi maqamih).

seperti penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan, tujuan penyelesaian sengketa pada arbitrase syariah juga untuk penegakan keadilan. Setelah memberikan uraian terhadap alasan memilih forum arbitrase yang merupakan keunggulan dibandingkan pengadilan, Eman Suparman mengatakan, tujuan memilih forum arbitrase pada akhirnya akan bermuara pada penyelesaian sengketa, yakni mendapatkan keadilan substansial yang lebih bermanfaat dan tidak sekedar memperoleh keadilan formal yang tidak bermakna. Meski dikatakan penegakan keadilan menjadi tujuan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, namun disadari tidaklah mudah memahaminya, karena sangat beragam makna yang dapat dilihat dari berbagai perspektif dan teori. Perdamaian dalam kehidupan masyarakat hanya dapat dicapai bila peraturan hukum diarahkan pada keadilan, artinya peraturan ditujukan untuk memberi keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dimana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya (ius suum cuique tribuere) Karena itu, keadilan merupakan esensi yang terdapat dalam hukum, bahkan hukum lahir dari kandungan keadilan, sehingga keadilan secara condition sine qua non tidak dapat dipisah lepaskan dari hukum.

Dalam Islam, keadilan merupakan perpaduan yang menyenangkan antara keadilan dan moralitas. Hukum memainkan peran untuk mendamaikan kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Tidak ada halangan dalam Islam bagi individu untuk mengembangkan pribadi, asal tidak mengganggu kepentingan masyarakat. Keadilan dalam hukum Islam didasarkan pada wahyu Tuhan yang bersifat abadi, berbeda dengan keadilan selain menurut hukum Islam yang berasal dari pemikiran atau rasio manusia. Rasio manusia mengakibatkan terjadinya berbagai pandangan yang bertentangan mengenai standar keadilan. Standar keadilan mutlak menurut Islam tidak dapat diketahui secara rasional, hanya Allah semata yang mengatahui apa yang benar-benar baik dan adil, manusia hanya mencari keadilan sesuai dengan kemampuan rasio yang terbatas.

Begitu eratnya hubungan perdamaian dengan keadilan, sehingga relevan untuk membicarakan dan mengelaborasi konsep keadilan sebagai upaya mewujudkan perdamaian dalam konteks penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase syariah. Bagaimanapun arbitrase syariah diakui secara hukum sebagai sarana penegakan keadilan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pemahaman keadilan dari masa ke masa telah melahirkan teori-teori keadilan, yang dikemukakan dengan berbagai perspektif. Perkembangan pemikiran itu memperlihatkan bahwa setiap perumusan dan pembenaran tentang keadilan mendasarkan diri pada suatu landasan filsafat tertentu Percakapan mengenai keadilan telah berlangsung lama sejak zaman klasik hingga globalisasi sekarang ini. Tema kedilan merupakan tema utama dalam hukum sejak semenjak masa Yunani Kuno Meskipun telah menjadi pembicaraan sejak lama, namun hingga saat ini tetap aktual, apalagi dikaitkan dengan berbagai fakta dalam masyarakat yang tetap mendambakan tegaknya keadilan ditengah-tengah kehidupan mereka. Dapat dikatakan keadilan sebagai topik pembicaraan tidak akan pernah pupus, sampai keadilan itu sendiri dapat ditegakkan. Sampai kapan keadilan itu dapat ditegakkan, tidak dapat diprediksi, dan ternyata sampai sekarang menurut beberapa pendapat, keadilan itu tidak pernah tegak.

Dari perspektif psikologi, Faturochman tiga keadilan yang berkembang, yaitu keadilan prosedural, keadilan distributif, dan keadilan interaksional atau interpersonal. Dalam perspektif Islam Majid Khadduri telah mengkaji teologi keadilan dengan berbagai tajuk dan perspektif, yaitu keadilan pilitik, keadilan teologis, keadilan filosofis, keadilan etis, keadilan legal, keadilan diantara bangsa dan keadilan sosial Pemikiran ini memperlihatkan, bahwa pembahasan terhadap keadilan tidak saja begitu luas, tetapi juga sukar karena bisa diberi makna yang beragam. Kajian-kajian yang dilakukan masing-masing disiplin ilmu itu tentu sangat bermanfaat dalam khasanah ilmu.

Dalam pembicaraan hukum, tuntutan keadilan berada dalam dua arti yaitu keadilan dalam arti formal dan keadilan dalam arti materiil. Keadilan dalam arti formal menuntut hukum berlaku umum yang selaras dengan prosedural yang diatur dalam hukum, sedang dalam arti material dituntut agar hukum sesuai mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Hukum tidak dapat dilepaskan dari tujuan akhir dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat itu sendiri, yaitu keadilan Daya laku hukum untuk dipatuhi tergantung pada adanya keadilan dalam hukum. Hukum yang tidak adil bukan hukum namanya, dan kalaupun dipaksakan, masyarakat akan mematuhinya bukan karena hukum itu sendiri melainkan, karena takut adanya kekuasaan yang memaksakan secara eksternal. Konteks ini berkaitan dengan topik keadilan hukum, yaitu keadilan dalam arti material, yang berarti isi hukum harus adil. Hukum yang adil mempunyai peran dalam mewujudkan masyarakat yang damai.

Berbagai pandangan telah lahir dari banyak kontemplasi pemikiran yang menunjukkan perkembangan pemahaman terhadap keadilan. Dalam garis besarnya, diskursus keadilan, terbagi atas dua arus pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan metafisik dan pendekatan rasionalistik. Keadilan metafisik sebagaimana dikemukakan Plato berasal dari inspirasi atau ilham. Keadilan sebagai kebajikan yang mengandung harmoni dan keseimbangan batin, tidak dapat diketahui atau dijelaskan dengan argumen rasional. Sementara, keadilan rasionalistik seperti dikemukakan Aristoteles dikembangkan dari analisis ilmiah dengan prinsip-prinsip rasional dengan keberadaannya yang dilatarbelakangi masyarakat politik dan undang-undang.

Aristoteles memberi konstribusi besar dalam pemikiran mengenai keadilan, diantaranya adalah pembedaan yang diberikannya atas keadilan menurut hukum positif (legal justice) dan keadilan menurut hukum alam (natural justice). Keadilan bentuk pertama memperoleh kekuasaannya dari hukum, apakah adil atau tidak adil, yang dijelaskan oleh hukum positif secara berbeda. Keadilan bentuk kedua mendapat kekuasaannya dari sifat dasar manusia (human nature) yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Selain itu dibedakannya pula antara keadilan distributif dengan keadilan korektif atau remedial. Pada sisi yang lain Majid Khadduri mencatat, dari perspektif Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadis, kata kunci keadilan secara umum digunakan dari kata adl. Kata adl merupakan gabungan nilai-nilai moral dan sosial yang menunjukkan kejujuran, persamaan, dan kesederhanaan, karena itu ketiganya menjadi prinsip-prinsip relijius dan moral yang lebih ditekankan di dalam Alquran dan Hadis.1199 Pesan moral terbentang dalam keseluruhan isi dan kandungan Alquran, dan menempatkan keadilan sebagai bagian terpenting dari pesan tersebut.1200 Keadilan dalam Islam merupakan akar prinsip yang diterapkan pada semua ajaran Islam dan aturan-aturannya, baik akidah, syariat atau etika. Islam melalui sumber ajarannya menempatkan keadilan sebagai ukuran tertinggi dalam kehidupan masyarakat, karena itu Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan dan melarang berbuat kezaliman atau kemungkaran.

Jadi, keadilan merupakan kewajiban yang ditentukan Tuhan, dan karena itu harus ditegakkan, meski mungkin menggangu kepentingan diri sendiri atau orang dekat yang disayangi. Seseorang yang mematuhi hukum atau perintah Tuhan harus senantiasa berbuat adil, baik terhadap orang disayangi maupun yang dibenci. Hukum yang turun dari wahyu merupakan tali penolong yang memberi kemaslahatan bagi manusia dalam kehidupan di dunia dan akhirat sekaligus Penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah berkaitan dengan keadilan dalam memutus atau menetapkan hukum. Keadilan hukum merupakan keadilan yang menempatkan semua orang di mata hukum dalam posisi yang sama dan sederajat. Keadilan hukum tidak membedakan status sosial seseorang, karena di mata hukum semuanya adalah sama.[4]

E.     Prinsip Itikad Baik Pada Pelaksanaan Arbitrase Syariah

Pelaksanaan perjanjian untuk berarbitrase yang telah disepakati harus didasarkan pada prinsip itikad baik. Itikad baik sebagai prinsip hukum perjanjian berkaitan dengan amanah dalam Islam. Asas amanah dimaksudkan, masing-masing pihak harus beritikad baik dalam bertransaksi tanpa dibenarkan untuk mengeksploitasi ketidaktahuan mitra dalam berakad. Pelaksanaan ketentuan yang menegaskan yurisdiksi arbitrase, dalam perkembangan banyak tergantung kepada itikad baik (good faith) dari pihak-pihak yang memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa dan sikap pengadilan terhadap pelaksanaan arbitrase tersebut. Pertama, bila para pihak telah memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa, sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian, semestinyalah para pihak tunduk kepada ketentuan yang telah mereka setujui bersama itu. Kedua, bila salah satu pihak mengajukan sengketa ke pengadilan, padahal sejak semula para pihak telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian Pihak yang bertransaksi secara amanah berarti pihak yang beritikad baik, dengan saling menjaga kepercayaan dan dituntut adanya kejujuran pada pelaksanakan substansi akad atau perjanjian. Meski memiliki keterkaitan dengan itikad baik, pemahaman terhadap prinsip amanah dalam Islam lebih luas bila dibandingkan dengan pemahaman sekuler. Pemahaman prinsip amanah dalam Islam berhubungan dengan kepercayaan dan kejujuran para pihak yang senantiasa dijiwai asas ketauhidan (ilahiyah). Artinya pertanggungjawaban amanah tidak saja meliputi duniawi melainkan juga ukhrawi.

Pelaksanaan ketentuan yang menegaskan yurisdiksi arbitrase, dalam perkembangan banyak tergantung kepada itikad baik (good faith) dari pihak-pihak yang memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa dan sikap pengadilan terhadap pelaksanaan arbitrase tersebut. Pertama, bila para pihak telah memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa, sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian, semestinyalah para pihak tunduk kepada ketentuan yang telah mereka setujui bersama itu. Kedua, bila salah satu pihak mengajukan sengketa ke pengadilan, padahal sejak semula para pihak telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa, maka berhasil tidaknya langkah itu banyak bergantung kepada sikap pengadilan terhadap pilihan yurisdiksi tersebut atau terhadap putusan arbitrase yang bersangkutan

Pasal 1338 ayat (3) KUH. Perdata menyebut, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, Ketentuan ini memberi makna, perjanjian atau akad arbitrase harus dilaksanakan para pihak untuk memperhatikan itikad baik. Masing-masing pihak harus menunjukkan kesetiaan kepada akad arbitrase yang telah disepakati secara konsisten, sehingga proses penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase sampai putusannya dapat diterima dan dilaksanakan secara sukarela. Pasal 6 ayat (1) UUAAPS 1999 menyebut, sengketa perdata dapat diselesaikan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa, termasuk melalui arbitrase, berdasarkan itikad baik dengan mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi. Sekalipun asas itikad baik merupakan salah satu sendi terpenting dari hukum perjanjian namun tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai makna dan maksud itikad baik ini dalam peraturan. Karena peraturan tidak memberi penjelasan terhadap makna itikad baik, perlu dituangkan lebih lanjut dan lebih rinci dalam ketentuan perjanjian itu sendiri.

Itikad baik (good faith; te goede trouw) merupakan kualitas abstrak yang sulit diberi makna secara tegas, sehingga banyak pendapat yang menafsirkannya. Ridwan Khairandy mengemukakan, untuk dapat memahami makna itikad baik yang lebih jelas harus dilihat pada penafsiran praktik peradilan. Dikatakan demikian karena sengketa mengenai itikad baik dalam praktiknya hampir selalu dimintakan penyelesaiannya melalui pengadilan. Meski demikian beberapa pendapat layak disampaikan. Subekti mengatakan, itikad baik sewaktu membuat perjanjian berarti kejujuran, sedang pada tahap pelaksanaan perjanjian itikad baik adalah kepatutan Pada saat pembuatan perjanjian, pihak yang beritikad baik menaruh kepercayaan kepada pihak lainnya untuk berlaku jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang tidak baik yang dapat menimbulkan kesulitan dikemudian hari. Kepatutan pada pelaksanaan perjanjian merupakan penilaian terhadap tindak tanduk yang baik pihakpihak dalam melaksanakan materi perjanjian

Menurut pembagian Wirjono Prodjodikoro, itikad baik yang disebut kejujuran dapat dilihat dalam dua momen, yaitu:

1.      pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum.

2.      pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum Kejujuran atau itikad baik pada saat mulai berlakunya hubungan hukum biasanya berupa pengetahuan atau perkiraan dalam hati sanubari, bahwa syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya hubungan hukum telah terpenuhi Dalam hal ini, pihak yang jujur tidak boleh dirugikan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat dimaksud, sebaliknya pihak yang tidak jujur, yang mengatahui tentang adanya keadaan yang menghalangi pemenuhan syarat untuk berlakunya hubungan hukum, harus bertanggungjawab atas ketidak jujurannya dan harus memikul segala risiko. Perihal kejujuran atau itikad saat melaksanakan hak dan kewajiban pada hubungan hukum diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH. Perdata. Walau kedua macam itikad baik ini pada prinsipnya berhubungan dengan keadaan jiwa manusia, namun keduanya memiliki perbedaan. Sifat kejujuran pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum lebih statis dibandingkan dengan kejujuran dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang bersifat lebih dinamis.

Dalam Simposium Hukum Perdata Nasional, itikad baik merupakan salah satu prinsip yang diperlukan dalam pengaturan hukum perikatan nasional. Disarankan agar itikad baik diartikan sebagai:

1.      kejujuran pada waktu membuat perjanjian.

2.      setiap perjanjian yang dilakukan dihadapan seorang pejabat, dianggap para pihak beritikad baik.

3.      kepatutan dalam pelaksanaan perjanjian, yaitu penilaian baik terhadap tindak tanduk salah satu pihak dalam melaksanakan isi perjanjian yang bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut dalam pelaksanaan perjanjian

Dari berbagai pandangan yang dikemukakan kalangan ahli, ternyata tidak mudah untuk memahami prinsip itikad baik, meski dipandang bersifat fundamental dalam hukum perjanjian. Itikad baik diberi makna bermacam yang meliputi kejujuran dan kepatutan serta berkaitan dengan kesetiaan terhadap kewajiban, kepatuhan pada standar-standar komersial dalam bisnis, dan tidak berniat menipu atau mencari keuntungan secara tidak jujur. Itikad baik berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban, sehingga para pihak tidak saja terikat dengan segala klausul yang dirumuskan dalam kontrak melainkan juga harus senantiasa dikuasai oleh kepatutan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Perkembangan yang terjadi terjadi, pemahaman terhadap itikad baik tidak bisa hanya dilakukan dengan membaca secara kaku ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH

Dengan itikad baik, para pihak harus melaksanakan perjanjian yang telah disepakati dengan penuh amanah, dengan saling menjaga kepercayaan pihak lain. Terhadap perjanjian yang memuat klausul arbitrase, itikad baik menuntut kepatuhan dan kejujuran para pihak untuk tidak mengkhianati kesepakatan penyerahan perselisihannya melalui forum arbitrase dan tidak kepada lembaga peradilan. Sekaligus para pihak harus bersikap menerima putusan arbitrase yang diberikan arbiter untuk dilaksanakan dengan penuh kepatuhan serta kejujuran. Pada konteks perjanjian arbitrase, penerapan itikad baik yang diberi makna kejujuran, berkaitan dengan kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan perjanjian kepada forum arbitrase yang bersifat mengikat. Bila putusan diberikan secara jujur (itikad baik) yakni tidak ada indikasi mereka berlaku tidak jujur, mengakibatkan hakim tidak boleh lagi meninjau putusan yang mengikat itu. Dalam Islam, kejujuran merupakan nilai etika yang mendasar, sehingga semua muslim harus jujur dalam segala urusan dan perkataan. Proses arbitrase harus tetap dijaga dengan spirit itikad baik dan amanah. Tidak mungkin putusan arbitrase menjadi solusi penyelesaian sengketa yang win-win solution bila tidak dilandasi prinsip itikad baik sebagai tiang dalam arbitrase. Menanamkan asas itikad baik secara terus menerus dalam proses penyelesaian Kejujuran akan memengaruhi pihak-pihak yang berakad untuk tidak mengingkari kesepakatan yang dibuat secara baik. Kejujuran akan membawa para pihak pada posisi agar tidak melakukan penipuan dan akan menepati janji yang dituangkan dalam akad. Penerapan itikad baik pada pengejawantahan perjanjian arbitrase merupakan perwujudan dari prinsip amanah, sehingga para pihak akan mematuhi proses perjanjian yang dibuat hingga putusan arbitrase yang diberikan arbiter.

I’tikad baik yang searah dengan amanah semakin dituntut terkait dengan hakekat arbitrase yang merupakan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan kebebasan memilih mekanisme arbitrase sebagai resolusi penyelesaian perselisihan mereka. Itikat baik senantiasa harus hidup dalam semangat bisnis pengusaha, meski diberi kewajiban yang dibebankan arbiter dalam putusannya pada persidangan arbitrase. Semuanya itu harus disadari sebagai putusan yang didasari oleh law of parties dan menghasilkan win-win solution.[5]


 

Kesimpulan

Prinsip Ketuhanan (Ilahiyah) menjadi landasan utama bagi segala aktivitas dan dimensi kehidupan manusia, yang meyakini Allah sebagai prima causa segala-galanya. Itu sebabnya, esensi ketuhanan sejatinya harus diaplikasi dalam arbitrase yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Prinsip ketuhanan berangkat dari filosofi dasar yang bersumber kepada Allah, sehingga proses dan tujuan berabitrase senantiasa berada dalam kerangka syariah. Di dalam pemikiran Islam, Tuhan adalah pembuat peraturan (legislator) paling utama dengan sistem yang ideal dan sempurna.

Perjanjian arbitrase (arbitration agreement) menjadi dasar pokok bagi kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pilihan para pihak untuk meminta penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase syariah pada prinsipnya merupakan pelaksanaan perjanjian arbitrase yang dibuat berdasarkan kebebasan berkontrak (freedom of contract). Perjanjian arbitrase menjadi landasan utama bagi arbitrase syariah untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Keberadaan perjanjian arbitrase dalam menentukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi syarat essensial yang bersifat mutlak. Tanpa perjanjian arbitrase, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak menjadi kewenangan arbitrase syariah, melainkan kewenangan badan peradilan agama.

Perdamaian Arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa yang diakui secara syariah untuk menyelesaikan perselisihan secara damai (ishlah). Validitas itu menegaskan, penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah harus dilakukan dengan mengedepankan perdamaian. Umar bin Khattab mengatakan, ” tolaklah orang-orang yang bertikai agar mereka berdamai, karena putusan peradilan akan menyisakan kebencian di antara mereka. Dalam hukum syariah, tindakan mendamaikan atau perdamaian (sulh) menjadi tujuan utama dalam upaya menyelesaikan setiap sengketa.

keadilan dan kedamaian merupakan konsep yang saling berhubungan, karena itu advokasi terhadap keadilan pada dasarnya melibatkan advokasi terhadap kedamaian Perdamaian bisa terwujud bila keadilan ditegakkan, dan tanpa keadilan perdamaian akan menjadi utopis, sebab keadilan merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya kedamaian. Daisaku Ikeda mengatakan, tidak ada keadilan berarti tidak ada kedamaian. Sebaliknya, keadilan dapat ditegakkan melalui upaya perdamaian, karena para pihak menerima keputusan berdasarkan pencapaian kesepakatan yang di pandang adil oleh para pihak. Pencapaian keadilan tidak semata melalui penegakan hukum di pengadilan, namun juga bisa dilakukan melalui arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dari badan peradilan. Karena itu menjadi sangat relevan untuk membahas keadilan dalam kerangka penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah.

Itikad baik sebagai prinsip hukum perjanjian berkaitan dengan amanah dalam Islam. Asas amanah dimaksudkan, masing-masing pihak harus beritikad baik dalam bertransaksi tanpa dibenarkan untuk mengeksploitasi ketidaktahuan mitra dalam berakad. Pelaksanaan ketentuan yang menegaskan yurisdiksi arbitrase, dalam perkembangan banyak tergantung kepada itikad baik (good faith) dari pihak-pihak yang memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa dan sikap pengadilan terhadap pelaksanaan arbitrase tersebut.


 

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muhammad. PRINSIP ARBITRASE BERBASIS SYARIAH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH”, (Medan: 2014, Universitas Sumatera Utara).



[1] Muhammad Arifin, PRINSIP ARBITRASE BERBASIS SYARIAH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH, (Medan: 2014, Universitas Sumatera Utara), hlm.390-393.

[2] Ibid, hlm.393-395

[3] Ibid, hlm.419-422

[4] Ibid, hlm.437-442.

[5] Ibid, hlm.460-464