“DASAR – DASAR PRINSIP ARBITRASE BERBASIS SYARIAH
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH”
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Arbitrase syariah
Yang diampu oleh Bapak Faqih ali
syari’ati
Disusun Oleh:
Kelompok 7
Inneke Farandika (19383022195)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2021
A.
Prinsip
Ketuhanan (Ilahiyah)
Arbitrase syariah merupakan arbitrase
yang dilaksanakan sesuai dengan jiwa syariat Islam. Syariah menjadi koridor
yang harus diejawantah dalam aktualitas arbitrase syariah. Operasionalisasi
arbitrase syariah dikembalikan kepada prinsip hukum Islam (syariah) yang
diciptakan Allah. Prinsip Ketuhanan (Ilahiyah) menjadi landasan utama bagi
segala aktivitas dan dimensi kehidupan manusia, yang meyakini Allah sebagai
prima causa segala-galanya. Itu sebabnya, esensi ketuhanan sejatinya harus
diaplikasi dalam arbitrase yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Prinsip ketuhanan berangkat dari filosofi dasar yang bersumber kepada Allah,
sehingga proses dan tujuan berabitrase senantiasa berada dalam kerangka
syariah. Di dalam pemikiran Islam, Tuhan adalah pembuat peraturan (legislator)
paling utama dengan sistem yang ideal dan sempurna. Sebagai Ruh Aktivitas
Arbitrase Syariah. Hukum
ciptaan Tuhan menjadi panduan dan filter bagi hukum buatan manusia, sehingga
aktivitas yang dilakukan manusia harus mengindahkan aturan yang berasal dari
wahyu. Penundukan diri kepada aturan-aturan
Allah merupakan keniscayaan dalam rangka beribadah kepada-Nya. Sebaliknya
pengingkaran terhadap syariah yang diturunkan Allah secara pasti dan jelas
merupakan bentuk kekufuran, kezaliman, dan kefasikan.
Dari perspektif ajaran Islam tanpa
dikaitkan dengan hukum lain dalam masyarakat, bagi orang Islam berlaku dan
diperintahkan untuk mentaati hukum
Islam.
Kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi, dengan demikian tidak semata
bertugas memakmurkan bumi dengan mengelola alam sebaik-baiknya, tetapi juga
dalam kehidupan berhukum sebagai pelaksana, dan penegak syariah. Dalam konteks
ini, arbiter (hakam) berkedudukan sebagai pelaksana syariah guna menyelesaikan
sengketa yang diajukan melalui forum arbitrase syariah. Seperti telah
dikemukakan terdahulu, Alquran telah mengokohkan bolehnya berarbitrase untuk
menyelesaikan sengketa suami isteri dalam rumah tangga. Penegasan Alquran yang
mendasari dibenarkan memakai arbitrase (tahkim) dalam menyelesaikan sengketa
suami isteri, tentu memberi peluang bagi sengketa lain, terutama menyangkut hak
perorangan dibolehkan juga berarbitrase. Dengan demikian, pengembangan
keabsahan arbitrase pada bidang muamalah, selain sengketa suami isteri dapat
dilakukan berdasar petunjuk Alquran melalui metode analogi (qiyas). Dalam
konteks ini pula penyelesaian sengketa perbankan syariah mendapat relevansi
yang kuat.
Hukum Islam berpijak di atas landasan
tauhid dalam menegakkan amar makruf nahi munkar. Ketuhanan merupakan prinsip
hukum Islam paling utama, sehingga berhukum di atas landasan tauhid berarti berpegang
teguh kepada aturan Allah, dan mengembalikan segala urusan kepada Allah. senantiasa
menampakkan aktualitas pada berbagai aktivitas kehidupan manusia, begitu juga
dalam menyelesaian sengketa perbankan syariah melalui arbitrase. Karena
merupakan ruh yang menghidupkan, maka aktivitas arbitrase syariah dalam memutus
sengketa perbankan syariah, tidak boleh melanggar batasan syariah. Keberadaan
prinsip ketuhanan menjadi karakter yang tidak ditemukan sekaligus membedakan
arbitrase syariah dengan arbitrase non syariah. Meski demikian, tidak berarti
semua yang berasal dari luar sistem hukum Islam di bidang arbitrase harus
ditolak, masih dapat diterima bila tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Pengejawantahan prinsip ilahiyah
diturunkan secara hierarkhis dari Alquran dan Hadis, yang selanjutnya
dijelaskan melalui pemikiran (ijtihad) yang melahirkan fikih. Turunan fikih
dituangkan dalam Undang-Undang (qanun), dan karenanya qanun yang diciptakan
berdasarkan syariah, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Allah.
Pencantuman frase atau lafaz “Bismillahirrohmanirrohim” dan kemudian diikuti
irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang terdapat
dalam tiap penetapan dan putusan basyarnas, merupakan implementasi prinsip
ilahiyah pada tataran praktik arbitrase syariah. Kata al-rahman dan al-rahim
yang terdapat pada lafaz basmalah menunjukkan sifat yang dimiliki Allah, yakni
pengasih dan penyayang. Basmalah disunahkan untuk dibaca pada setiap perbuatan
baik yang akan dilakukan. Bacaan basmalah merupakan pernyataan perbuatan yang
dilakukan semata-mata karena Allah. Dengan bacaan tersebut, nilai perbuatan
akan berubah dari hanya perbuatan biasa menjadi ibadah kepada Allah, karena
dilakukan benar-benar untuk dan demi kepatuhan kepada Allah. Ketentuan ini
didasarkan atas suatu hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, yang artinya:
“setiap perbuatan baik yang tidak dimulai dengan Bismillahirrohmanirrohim
adalah kurang berkah.”
Begitu pula irah-irah yeng terdapat
dalam putusan arbitrase syariah,
adalah
perwujudan prinsip ilahiyah yang menunjukkan keadilan yang ingin diputuskan
arbiter akan dipertanggungjawabkan tidak saja kepada para pihak maupun
masyarakat, tapi juga yang teramat tinggi adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pencantuman irah-irah dimaksud menempatkan prinsip ketuhanan dan keadilan
diakui dalam hukum arbitrase Indonesia yang merupakan sendi utama dalam hukum
Islam.[1]
B.
Prinsip perjanjian arbitrase
Penggunaan arbitrase untuk menyelesaikan
sengketa didasarkan pada perjanjian yang dibuat para pihak. Perjanjian
arbitrase (arbitration agreement) menjadi dasar pokok bagi kewenangan arbitrase
untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pilihan para pihak untuk
meminta penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase syariah pada
prinsipnya merupakan pelaksanaan perjanjian arbitrase yang dibuat berdasarkan
kebebasan berkontrak (freedom of contract). Perjanjian arbitrase menjadi
landasan utama bagi arbitrase syariah untuk dapat menyelesaikan sengketa
perbankan syariah. Keberadaan perjanjian arbitrase dalam menentukan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi syarat essensial yang bersifat
mutlak. Tanpa perjanjian arbitrase, penyelesaian sengketa perbankan syariah
tidak menjadi kewenangan arbitrase syariah, melainkan kewenangan badan
peradilan agama.
Arbitrase syariah merupakan forum
penyelesaian sengketa di luar proses peradilan yang ditentukan berdasar
kesukarelaan dan kesepakatan para pihak (voluntariness). Inisiatif para pihak
menentukan arbitrase syariah sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa
perbankan syariah merupakan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang.
Perbuatan hukum itu terberikan berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak yang
menjadi salah satu prinsip utama dalam hukum perjanjian. Melalui perbuatan
hukum ini, para pihak menyerahkan sengketa atau beda pendapat yang terjadi
dalam hubungan hukum mereka kepada arbiter, baik perorangan atau institusional,
yang independen dan ahli dibidangnya (expert) untuk sampai kepada putusan yang
final dan mengikat. Priyatna Abdurrasyid mengatakan, dari sifatnya arbitrase
menjurus kepada privatisasi sengketa yang ditujukan pada posisi win-win dan
bukan kepada win-lose yang biasa terjadi di pengadilan. Kemiripan arbitrase
dengan peradilan terletak penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pihak
ketiga, yakni hakim dan arbiter, yang mempunyai wewenang untuk mengambil
putusan. Baik dalam arbitrase maupun peradilan, didasarkan pada kepercayaan (trust)
dari pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga yang mengambil keputusan.
Perbedaan keduanya terletak pada kenyataan bahwa pihak ketiga dalam arbitrase
adalah pihak-pihak swasta, sehingga kerap di sebut hakim swasta, sementara
hakim pada peradilan secara birokratis berada di bawah naungan negara.
Perjanjian arbitrase harus dibuat secara
tertulis berdasarkan kesepakatan para pihak dengan bentuk klausul arbitrase
dalam perjanjian yang dibuat sebelum atau setelah timbul sengketa melalui
perjanjian arbitrase tersendiri Jadi, terdapat dua unsur pokok perjanjian
arbitrase, yaitu dicapai berdasarkan kesepakatan (konsensus) dan dibuat secara
tertulis yang dirumuskan sebelum atau sesudah timbulnya sengketa. Arbitrase
syariah berwenang menyelesaikan sengketa berdasarkan perjanjian dengan
kesepakatan para pihak yang diberikan secara sukarela tanpa paksaan. Bentuk
perjanjian arbitrase secara tertulis merupakan keharusan, sehingga perjanjian
arbitrase tidak dapat dilakukan atau ditegakkan secara lisan Hal ini adalah untuk
menghindari kesulitan dalam pembuktiannya dikemudian hari Untuk menjaga
kemaslahatan, bentuk tertulis perjanjian arbitrase menjadi keniscayaan.
Perjanjian arbitrase tidak dapat
diterapkan bila tidak dilakukan secara tertulis. Selain untuk memenuhi aturan
hukum dan relevansinya dengan pembuktian di kemudian hari dalam menyelesaikan
sengketa, perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis, mempunyai empat
fungsi esensial, yaitu:
1.
untuk
menghasilkan konsekuensi yang diperintahkan (mandatory consequences) bagi para
pihak
2.
untuk
mencegah intervensi pengadilan dalam menyelesaikan sengketa para pihak (sekurang-kurangnya
sebelum putusan dijatuhkan)
3.
untuk
memberdayakan arbiter dalam penyelesaian sengketa
4.
untuk
menetapkan prosedur dalam menyelesaikan sengketa.[2]
C.
Prinsip
Perdamaian arbitrase
Tujuan utama yang menjadi esensi
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam hukum Islam (tahkim) adalah
menciptakan perdamaian guna memulihkan hubungan baik pihak-pihak yang
berselisih agar kembali harmonis.
Perwasitan
(arbitrase) penting bagi dunia perusahaan untuk menyelesaikan sengketa secara
cepat, efisien, dan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pengusaha Kewajiban mendamaikan
pihak-pihak yang bersengketa merupakan tuntunan moral Islam setiap sengketa,
tanpa kecuali melalui arbitrase. Karena itu, forum arbiterasi harus mengemban
fungsi mendamaikan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Para pihak yang
bersengketa harus memiliki kesadaran, bahwa sengketa yang mereka berikan
penyelesaiannya melalui arbitrase adalah dalam rangka pencapaian perdamaian
untuk menghindari kekerasan, agar hubungan silaturrahim mereka tidak terputus.
Dalam perspektif syariah, usaha
mewujudkan perdamaian dalam penyelesaian sengketa dikenal dengan sebutan sulh.
Sebuah sumber menyebut, sulh berasal dari bahasa Arab yang berarti suatu
kondisi yang baik, aman, harmonis. Sulh merupakan bentuk tunggal dengan ishlah
sebagai bentuk jamak atau pluralnya Dari segi bahasa atau secara etimologis
sulh berarti memutus pertengkaran atau menghentikan perselisihan, menciptakan
perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan untuk berdamai antara satu
dengan lainnya Secara terminologis, sulh adalah jenis akad atau perjanjian
untuk mengakhiri perselisihan antara dua pihak yang bersengketa secara damai,
yang biasanya dilakukan melalui pendekatan musyawarah atau kerjasama di antara
para pihak Dalam konteks ini kata sulh dapat disejajarkan atau dipadankan
dengan konsep perdamaian atau tindakan mendamaikan. Perbuatan mendamaikan
antarsesama manusia yang bersengketa menjadi salah satu resep merawat
silaturrahim
Arbitrase merupakan forum
penyelesaian sengketa yang diakui secara syariah untuk menyelesaikan
perselisihan secara damai (ishlah). Validitas itu menegaskan, penyelesaian
sengketa melalui arbitrase syariah harus dilakukan dengan mengedepankan
perdamaian. Umar bin Khattab mengatakan, ” tolaklah orang-orang yang bertikai
agar mereka berdamai, karena putusan peradilan akan menyisakan kebencian di
antara mereka. Dalam
hukum syariah, tindakan mendamaikan atau perdamaian (sulh) menjadi tujuan utama
dalam upaya menyelesaikan setiap sengketa. Penyelesaian sengketa
dengan pola perdamaian ini merupakan
manifestasi
dari keberadaan Islam sebagai agama perdamaian yang universal. Tindakan mendamaikan
(ishlah) merupakan kewajiban umat Islam, baik secara personal maupun sosial Pola perdamaian menurut
syariah dapat dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan suami isteri dan
sengketa keamanan atau peperangan, dan bahkan untuk pelanggaran HAM berat, maupun sengketa lain
yang menurut ketentuan syariah bisa didamaikan.
Ridwan Nurdin mengemukakan lima
cakupan yang menjadi inti penyelesaian sengketa secara sulh, yaitu: Pertama,
sulh antara orang muslim dan non muslim, yang berhubungan dengan keamanan.
Kedua, sulh antara pemerintah dengan pemberontak. Ketiga, sulh antara suami
isteri yang bersengketa. Keempat, sulh antara mereka yang bersengketa pada
masalah selain harta, seperti kejahatan. Kelima, sulh antara mereka yang
bersengketa dalam masalah harta Betapa hukum Islam dari berbagai sumber memberi
petunjuk yang menekankan perlunya diwujudkan perdamaian dalam menyelesaikan
setiap sengketa, baik untuk bidang keluarga dan muamalah lainnya, perdagangan,
politik, maupun peperangan.
Penyelesaian sengketa melalui
arbitrase syariah berpola perdamaian memberi kesempatan bagi para pihak untuk
menyelesaikan sengketa dengan jalan terbaik tanpa terpaku pada formalitas
aturan, dan tidak terikat penyampaian fakta dan bukti, melainkan secara
konsensus dan kerjasama. Para pihak bebas untuk mencari dan menemukan cara
terbaik agar sengketa mereka dapat diselesaikan, sehingga tidak ada pihak yang
merasa menang dan kalah atau terzalimi. Arbiter yang disepakati untuk menangani
sengketa harus mempertemukan kepentingan para pihak secara berimbang, sehingga
tidak merugikan atau menguntungkan satu pihak atas pihak lainnya. Keridhoan
para pihak dalam menerima atau melepaskan sebagian kewajiban atau haknya
menjadi kriteria terwujudnya perdamaian, sehingga perdamaian tidak dengan
sendirinya harus memenuhi seluruh tuntutan yang diajukan. Pengakhiran sengketa
dengan perdamaian dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu:
1.
Perdamaian
dilakukan setelah ada pengakuan pihak tergugat.
2.
Perdamaian
setelah penolakan atau pengingkaran gugatan oleh tergugat.
3.
Perdamaian
setelah tidak ada pengakuan maupun pengingkaran gugatan oleh tergugat (diamnya
tergugat).
Tujuan perdamaian pada penyelesaian
sengketa yang di derivasi dari ajaran Islam oleh Syahrizal Abbas diklasifikasi
menjadi empat kategori, yaitu:
1. Nilai yang mendasari filosofi penyelesaian
sengketa, meliputi nilai kemuliaan, kehormatan, persamaan, persaudaraan, dan
mahabbat.
2. Nilai yang harus dimiliki para pihak
yang bersengketa, meliputi nilai toleran, menghargai hak-hak orang lain,
terbuka, rasa hormat, dan kemauan memaafkan.
3. Nilai yang harus dipegang pihak yang
menyelesaikan sengketa, yaitu nilai adil, kebenaran, dermawan, yakin, hikmah,
mau’izah (persuasif), empati, dan menaruh perhatian pada orang lain.
4. Nilai yang menjadi tujuan akhir
penyelesaian sengketa, yaitu nilai kemuliaan, keadilan sosial, rahmad, ihsan,
dan martabat kemanusiaan.[3]
D.
Prinsip Sarana Penegakan
Keadilan Bagi Para Pihak
Konsep perdamaian sebagaimana
diuraikan terdahulu berkaitan erat dengan keadilan. Perdamaian dan keadilan
merupakan konsep yang berhubungan, sehingga pembahasan terhadap perdamaian
sejatinya melibatkan pembahasan terhadap keadilan. Abu Nimer mengatakan,
keadilan dan kedamaian merupakan konsep yang saling berhubungan, karena itu
advokasi terhadap keadilan pada dasarnya melibatkan advokasi terhadap kedamaian
Perdamaian bisa terwujud bila keadilan ditegakkan, dan tanpa keadilan
perdamaian akan menjadi utopis, sebab keadilan merupakan syarat mutlak bagi
terwujudnya kedamaian. Daisaku Ikeda mengatakan, tidak ada keadilan berarti
tidak ada kedamaian. Sebaliknya,
keadilan dapat ditegakkan melalui upaya perdamaian, karena para pihak menerima
keputusan berdasarkan pencapaian kesepakatan yang di pandang adil oleh para
pihak. Pencapaian keadilan tidak semata melalui penegakan hukum di pengadilan,
namun juga bisa dilakukan melalui arbitrase sebagai alternatif penyelesaian
sengketa dari badan peradilan. Karena itu menjadi sangat relevan untuk membahas
keadilan dalam kerangka penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah.
Perkataan keadilan terambil dari
kata dasar adil yang berarti, tidak berat sebelah atau tidak memihak, berpihak
kepada yang benar atau berpegang pada kebenaran, dan sepatutnya atau tidak
sewenang-wenang. Secara
etimologis adil yang berasal dari adl (Arab) berarti tidak berat sebelah, tidak
memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-musawah). Secara
terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari
segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat
sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Selanjutnya disebut, keadilan lebih
dititikberatkan pada pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya (wad
asy-syai’ fi maqamih).
seperti
penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan, tujuan penyelesaian sengketa
pada arbitrase syariah juga untuk penegakan keadilan. Setelah memberikan uraian
terhadap alasan memilih forum arbitrase yang merupakan keunggulan dibandingkan
pengadilan, Eman Suparman mengatakan, tujuan memilih forum arbitrase pada
akhirnya akan bermuara pada penyelesaian sengketa, yakni mendapatkan keadilan
substansial yang lebih bermanfaat dan tidak sekedar memperoleh keadilan formal
yang tidak bermakna. Meski dikatakan penegakan keadilan menjadi tujuan dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, namun disadari tidaklah mudah memahaminya,
karena sangat beragam makna yang dapat dilihat dari berbagai perspektif dan
teori. Perdamaian dalam kehidupan masyarakat hanya dapat dicapai bila peraturan
hukum diarahkan pada keadilan, artinya peraturan ditujukan untuk memberi
keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dimana setiap
orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya (ius suum cuique
tribuere) Karena
itu, keadilan merupakan esensi yang terdapat dalam hukum, bahkan hukum lahir
dari kandungan keadilan, sehingga keadilan secara condition sine qua non tidak
dapat dipisah lepaskan dari hukum.
Dalam Islam, keadilan merupakan
perpaduan yang menyenangkan antara keadilan dan moralitas. Hukum memainkan
peran untuk mendamaikan kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, dan
bukan sebaliknya. Tidak ada halangan dalam Islam bagi individu untuk
mengembangkan pribadi, asal tidak mengganggu kepentingan masyarakat. Keadilan dalam hukum
Islam didasarkan pada wahyu Tuhan yang bersifat abadi, berbeda dengan keadilan
selain menurut hukum Islam yang berasal dari pemikiran atau rasio manusia.
Rasio manusia mengakibatkan terjadinya berbagai pandangan yang bertentangan
mengenai standar keadilan. Standar keadilan mutlak menurut Islam tidak dapat
diketahui secara rasional, hanya Allah semata yang mengatahui apa yang
benar-benar baik dan adil,
manusia
hanya mencari keadilan sesuai dengan kemampuan rasio yang terbatas.
Begitu eratnya hubungan perdamaian
dengan keadilan, sehingga relevan untuk membicarakan dan mengelaborasi konsep keadilan
sebagai upaya mewujudkan perdamaian dalam konteks penyelesaian sengketa melalui
forum arbitrase syariah. Bagaimanapun arbitrase syariah diakui secara hukum
sebagai sarana penegakan keadilan untuk menyelesaikan sengketa perbankan
syariah. Pemahaman keadilan dari masa ke masa telah melahirkan teori-teori
keadilan, yang dikemukakan dengan berbagai perspektif. Perkembangan pemikiran
itu memperlihatkan bahwa setiap perumusan dan pembenaran tentang keadilan
mendasarkan diri pada suatu landasan filsafat tertentu Percakapan mengenai
keadilan telah berlangsung lama sejak zaman klasik hingga globalisasi sekarang
ini. Tema kedilan merupakan tema utama dalam hukum sejak semenjak masa Yunani
Kuno Meskipun telah menjadi pembicaraan sejak lama, namun hingga saat ini tetap
aktual, apalagi dikaitkan dengan berbagai fakta dalam masyarakat yang tetap
mendambakan tegaknya keadilan ditengah-tengah kehidupan mereka. Dapat dikatakan
keadilan sebagai topik pembicaraan tidak akan pernah pupus, sampai keadilan itu
sendiri dapat ditegakkan. Sampai kapan keadilan itu dapat ditegakkan, tidak
dapat diprediksi, dan ternyata sampai sekarang menurut beberapa pendapat,
keadilan itu tidak pernah tegak.
Dari perspektif psikologi,
Faturochman tiga keadilan yang berkembang, yaitu keadilan prosedural, keadilan
distributif, dan keadilan interaksional atau interpersonal. Dalam perspektif Islam
Majid Khadduri telah mengkaji teologi keadilan dengan berbagai tajuk dan
perspektif, yaitu keadilan pilitik, keadilan teologis, keadilan filosofis, keadilan
etis, keadilan legal, keadilan diantara bangsa dan keadilan sosial Pemikiran ini
memperlihatkan, bahwa pembahasan terhadap keadilan tidak saja begitu luas,
tetapi juga sukar karena bisa diberi makna yang beragam. Kajian-kajian yang
dilakukan masing-masing disiplin ilmu itu tentu sangat bermanfaat dalam
khasanah ilmu.
Dalam pembicaraan hukum, tuntutan
keadilan berada dalam dua arti yaitu keadilan dalam arti formal dan keadilan
dalam arti materiil. Keadilan
dalam arti formal menuntut hukum berlaku umum yang selaras dengan prosedural
yang diatur dalam hukum, sedang dalam arti material dituntut agar hukum sesuai
mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Hukum tidak dapat
dilepaskan dari tujuan akhir dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang
tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat itu
sendiri, yaitu keadilan Daya laku hukum untuk dipatuhi tergantung pada adanya
keadilan dalam hukum. Hukum yang tidak adil bukan hukum namanya, dan kalaupun
dipaksakan, masyarakat akan mematuhinya bukan karena hukum itu sendiri
melainkan, karena takut adanya kekuasaan yang memaksakan secara eksternal.
Konteks ini berkaitan dengan topik keadilan hukum, yaitu keadilan dalam arti
material, yang berarti isi hukum harus adil. Hukum yang adil mempunyai peran
dalam mewujudkan masyarakat yang damai.
Berbagai pandangan telah lahir dari
banyak kontemplasi pemikiran yang menunjukkan perkembangan pemahaman terhadap
keadilan. Dalam garis besarnya, diskursus keadilan, terbagi atas dua arus
pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan metafisik dan pendekatan
rasionalistik. Keadilan metafisik sebagaimana dikemukakan Plato berasal dari
inspirasi atau ilham. Keadilan sebagai kebajikan yang mengandung harmoni dan
keseimbangan batin, tidak dapat diketahui atau dijelaskan dengan argumen
rasional. Sementara, keadilan rasionalistik seperti dikemukakan Aristoteles
dikembangkan dari analisis ilmiah dengan prinsip-prinsip rasional dengan
keberadaannya yang dilatarbelakangi masyarakat politik dan undang-undang.
Aristoteles memberi konstribusi
besar dalam pemikiran mengenai keadilan, diantaranya adalah pembedaan yang
diberikannya atas keadilan menurut hukum positif (legal justice) dan keadilan
menurut hukum alam (natural justice). Keadilan bentuk pertama memperoleh
kekuasaannya dari hukum, apakah adil atau tidak adil, yang dijelaskan oleh
hukum positif secara berbeda. Keadilan bentuk kedua mendapat kekuasaannya dari
sifat dasar manusia (human nature) yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Selain itu dibedakannya pula antara keadilan distributif dengan keadilan
korektif atau remedial. Pada
sisi yang lain Majid Khadduri mencatat, dari perspektif Islam yang bersumber
dari Alquran dan Hadis, kata kunci keadilan secara umum digunakan dari kata
adl. Kata adl merupakan gabungan nilai-nilai moral dan sosial yang menunjukkan
kejujuran, persamaan, dan kesederhanaan, karena itu ketiganya menjadi prinsip-prinsip
relijius dan moral yang lebih ditekankan di dalam Alquran dan Hadis.1199 Pesan
moral terbentang dalam keseluruhan isi dan kandungan Alquran, dan menempatkan
keadilan sebagai bagian terpenting dari pesan tersebut.1200 Keadilan dalam
Islam merupakan akar prinsip yang diterapkan pada semua ajaran Islam dan
aturan-aturannya, baik akidah, syariat atau etika. Islam melalui sumber
ajarannya menempatkan keadilan sebagai ukuran tertinggi dalam kehidupan
masyarakat, karena itu Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk berlaku adil dan
berbuat kebaikan dan melarang berbuat kezaliman atau kemungkaran.
Jadi, keadilan merupakan kewajiban
yang ditentukan Tuhan, dan karena itu harus ditegakkan, meski mungkin menggangu
kepentingan diri sendiri atau orang dekat yang disayangi. Seseorang yang
mematuhi hukum atau perintah Tuhan harus senantiasa berbuat adil, baik terhadap
orang disayangi maupun yang dibenci. Hukum yang turun dari wahyu merupakan tali
penolong yang memberi kemaslahatan bagi manusia dalam kehidupan di dunia dan
akhirat sekaligus Penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah berkaitan
dengan keadilan dalam memutus atau menetapkan hukum. Keadilan hukum merupakan
keadilan yang menempatkan semua orang di mata hukum dalam posisi yang sama dan
sederajat. Keadilan hukum tidak membedakan status sosial seseorang, karena di
mata hukum semuanya adalah sama.[4]
E.
Prinsip
Itikad Baik Pada Pelaksanaan Arbitrase Syariah
Pelaksanaan perjanjian untuk
berarbitrase yang telah disepakati harus didasarkan pada prinsip itikad baik.
Itikad baik sebagai prinsip hukum perjanjian berkaitan dengan amanah dalam
Islam. Asas amanah dimaksudkan, masing-masing pihak harus beritikad
baik dalam bertransaksi tanpa dibenarkan untuk mengeksploitasi ketidaktahuan
mitra dalam berakad. Pelaksanaan ketentuan yang menegaskan yurisdiksi
arbitrase, dalam perkembangan banyak tergantung kepada itikad baik (good faith)
dari pihak-pihak yang memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa
dan sikap pengadilan terhadap pelaksanaan arbitrase tersebut. Pertama, bila
para pihak telah memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa,
sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian, semestinyalah para pihak tunduk
kepada ketentuan yang telah mereka setujui bersama itu. Kedua, bila salah satu
pihak mengajukan sengketa ke pengadilan, padahal sejak semula para pihak telah
memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian Pihak yang bertransaksi secara
amanah berarti pihak yang beritikad baik, dengan saling menjaga kepercayaan dan
dituntut adanya kejujuran pada pelaksanakan substansi akad atau perjanjian.
Meski memiliki keterkaitan dengan itikad baik, pemahaman terhadap prinsip
amanah dalam Islam lebih luas bila dibandingkan dengan pemahaman sekuler.
Pemahaman prinsip amanah dalam Islam berhubungan dengan kepercayaan dan
kejujuran para pihak yang senantiasa dijiwai asas ketauhidan (ilahiyah).
Artinya pertanggungjawaban amanah tidak saja meliputi duniawi melainkan juga
ukhrawi.
Pelaksanaan ketentuan yang
menegaskan yurisdiksi arbitrase, dalam perkembangan banyak tergantung kepada
itikad baik (good faith) dari pihak-pihak yang memilih arbitrase sebagai tempat
penyelesaian sengketa dan sikap pengadilan terhadap pelaksanaan arbitrase
tersebut. Pertama, bila para pihak telah memilih arbitrase sebagai tempat
penyelesaian sengketa, sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian, semestinyalah
para pihak tunduk kepada ketentuan yang telah mereka setujui bersama itu.
Kedua, bila salah satu pihak mengajukan sengketa ke pengadilan, padahal sejak
semula para pihak telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa,
maka berhasil tidaknya langkah itu banyak bergantung kepada sikap pengadilan
terhadap pilihan yurisdiksi tersebut atau terhadap putusan arbitrase yang
bersangkutan
Pasal 1338 ayat (3) KUH. Perdata
menyebut, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, Ketentuan ini
memberi makna, perjanjian atau akad arbitrase harus dilaksanakan para pihak
untuk memperhatikan itikad baik. Masing-masing pihak harus menunjukkan
kesetiaan kepada akad arbitrase yang telah disepakati secara konsisten,
sehingga proses penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase sampai putusannya
dapat diterima dan dilaksanakan secara sukarela. Pasal 6 ayat (1) UUAAPS 1999
menyebut, sengketa perdata dapat diselesaikan para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa, termasuk melalui arbitrase, berdasarkan itikad baik
dengan mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi. Sekalipun asas itikad
baik merupakan salah satu sendi terpenting dari hukum perjanjian namun tidak terdapat
penjelasan lebih lanjut mengenai makna dan maksud itikad baik ini dalam
peraturan. Karena peraturan tidak memberi penjelasan terhadap makna itikad baik,
perlu dituangkan lebih lanjut dan lebih rinci dalam ketentuan perjanjian itu
sendiri.
Itikad baik (good faith; te goede
trouw) merupakan kualitas abstrak yang sulit diberi makna secara tegas,
sehingga banyak pendapat yang menafsirkannya. Ridwan Khairandy mengemukakan,
untuk dapat memahami makna itikad baik yang lebih jelas harus dilihat pada
penafsiran praktik peradilan. Dikatakan demikian karena sengketa mengenai
itikad baik dalam praktiknya hampir selalu dimintakan penyelesaiannya melalui
pengadilan. Meski
demikian beberapa pendapat layak disampaikan. Subekti mengatakan, itikad baik
sewaktu membuat perjanjian berarti kejujuran, sedang pada tahap pelaksanaan
perjanjian itikad baik adalah kepatutan Pada saat pembuatan perjanjian, pihak
yang beritikad baik menaruh kepercayaan kepada pihak lainnya untuk berlaku
jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang tidak baik yang dapat menimbulkan
kesulitan dikemudian hari. Kepatutan pada pelaksanaan perjanjian merupakan
penilaian terhadap tindak tanduk yang baik pihakpihak dalam melaksanakan materi
perjanjian
Menurut pembagian Wirjono
Prodjodikoro, itikad baik yang disebut kejujuran dapat dilihat dalam dua momen,
yaitu:
1.
pada
waktu mulai berlakunya hubungan hukum.
2.
pada
waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan
hukum Kejujuran
atau itikad baik pada saat mulai berlakunya hubungan hukum biasanya berupa
pengetahuan atau perkiraan dalam hati sanubari, bahwa syarat yang diperlukan
bagi mulai berlakunya hubungan hukum telah terpenuhi Dalam hal ini, pihak
yang jujur tidak boleh dirugikan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat
dimaksud, sebaliknya pihak yang tidak jujur, yang mengatahui tentang adanya
keadaan yang menghalangi pemenuhan syarat untuk berlakunya hubungan hukum,
harus bertanggungjawab atas ketidak jujurannya dan harus memikul segala
risiko. Perihal kejujuran atau itikad saat melaksanakan hak dan kewajiban pada
hubungan hukum diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH. Perdata. Walau kedua macam
itikad baik ini pada prinsipnya berhubungan dengan keadaan jiwa manusia, namun
keduanya memiliki perbedaan. Sifat kejujuran pada waktu mulai berlakunya
hubungan hukum lebih statis dibandingkan dengan kejujuran dalam melaksanakan
hak dan kewajiban yang bersifat lebih dinamis.
Dalam Simposium Hukum Perdata
Nasional, itikad baik merupakan salah satu prinsip yang diperlukan dalam
pengaturan hukum perikatan nasional. Disarankan agar itikad baik diartikan
sebagai:
1. kejujuran pada waktu membuat perjanjian.
2. setiap perjanjian yang dilakukan dihadapan
seorang pejabat, dianggap para pihak beritikad baik.
3. kepatutan dalam pelaksanaan perjanjian,
yaitu penilaian baik terhadap tindak tanduk salah satu pihak dalam melaksanakan
isi perjanjian yang bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut dalam pelaksanaan
perjanjian
Dari berbagai pandangan yang
dikemukakan kalangan ahli, ternyata tidak mudah untuk memahami prinsip itikad
baik, meski dipandang bersifat fundamental dalam hukum perjanjian. Itikad baik
diberi makna bermacam yang meliputi kejujuran dan kepatutan serta berkaitan
dengan kesetiaan terhadap kewajiban, kepatuhan pada standar-standar komersial
dalam bisnis, dan tidak berniat menipu atau mencari keuntungan secara tidak
jujur. Itikad baik berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban, sehingga para pihak
tidak saja terikat dengan segala klausul yang dirumuskan dalam kontrak
melainkan juga harus senantiasa dikuasai oleh kepatutan dan keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Perkembangan yang terjadi terjadi, pemahaman terhadap itikad
baik tidak bisa hanya dilakukan dengan membaca secara kaku ketentuan Pasal 1338
ayat (3) KUH
Dengan itikad baik, para pihak
harus melaksanakan perjanjian yang telah disepakati dengan penuh amanah, dengan
saling menjaga kepercayaan pihak lain. Terhadap perjanjian yang memuat klausul
arbitrase, itikad baik menuntut kepatuhan dan kejujuran para pihak untuk tidak
mengkhianati kesepakatan penyerahan perselisihannya melalui forum arbitrase dan
tidak kepada lembaga peradilan. Sekaligus para pihak harus bersikap menerima
putusan arbitrase yang diberikan arbiter untuk dilaksanakan dengan penuh
kepatuhan serta kejujuran. Pada konteks perjanjian arbitrase, penerapan itikad
baik yang diberi makna kejujuran, berkaitan dengan kesepakatan untuk
menyerahkan penyelesaian sengketa yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan
perjanjian kepada forum arbitrase yang bersifat mengikat. Bila putusan
diberikan secara jujur (itikad baik) yakni tidak ada indikasi mereka berlaku
tidak jujur, mengakibatkan hakim tidak boleh lagi meninjau putusan yang mengikat
itu. Dalam Islam, kejujuran merupakan nilai etika yang mendasar, sehingga semua
muslim harus jujur dalam segala urusan dan perkataan. Proses arbitrase harus
tetap dijaga dengan spirit itikad baik dan amanah. Tidak mungkin putusan
arbitrase menjadi solusi penyelesaian sengketa yang win-win solution bila tidak
dilandasi prinsip itikad baik sebagai tiang dalam arbitrase. Menanamkan asas
itikad baik secara terus menerus dalam proses penyelesaian Kejujuran akan
memengaruhi pihak-pihak yang berakad untuk tidak mengingkari kesepakatan yang
dibuat secara baik. Kejujuran akan membawa para pihak pada posisi agar tidak
melakukan penipuan dan akan menepati janji yang dituangkan dalam akad. Penerapan itikad baik
pada pengejawantahan perjanjian arbitrase merupakan perwujudan dari prinsip
amanah, sehingga para pihak akan mematuhi proses perjanjian yang dibuat hingga
putusan arbitrase yang diberikan arbiter.
I’tikad baik yang searah dengan
amanah semakin dituntut terkait dengan hakekat arbitrase yang merupakan
kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan kebebasan
memilih mekanisme arbitrase sebagai resolusi penyelesaian perselisihan mereka.
Itikat baik senantiasa harus hidup dalam semangat bisnis pengusaha, meski
diberi kewajiban yang dibebankan arbiter dalam putusannya pada persidangan
arbitrase. Semuanya itu harus disadari sebagai putusan yang didasari oleh law
of parties dan menghasilkan win-win solution.[5]
Kesimpulan
Prinsip Ketuhanan (Ilahiyah)
menjadi landasan utama bagi segala aktivitas dan dimensi kehidupan manusia,
yang meyakini Allah sebagai prima causa segala-galanya. Itu sebabnya, esensi
ketuhanan sejatinya harus diaplikasi dalam arbitrase yang dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum Islam. Prinsip ketuhanan berangkat dari filosofi dasar
yang bersumber kepada Allah, sehingga proses dan tujuan berabitrase senantiasa
berada dalam kerangka syariah. Di dalam pemikiran Islam, Tuhan adalah pembuat
peraturan (legislator) paling utama dengan sistem yang ideal dan sempurna.
Perjanjian arbitrase (arbitration
agreement) menjadi dasar pokok bagi kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan
sengketa perbankan syariah. Pilihan para pihak untuk meminta penyelesaian
sengketa melalui mekanisme arbitrase syariah pada prinsipnya merupakan
pelaksanaan perjanjian arbitrase yang dibuat berdasarkan kebebasan berkontrak
(freedom of contract). Perjanjian arbitrase menjadi landasan utama bagi
arbitrase syariah untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
Keberadaan perjanjian arbitrase dalam menentukan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase menjadi syarat essensial yang bersifat mutlak. Tanpa perjanjian
arbitrase, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak menjadi kewenangan
arbitrase syariah, melainkan kewenangan badan peradilan agama.
Perdamaian Arbitrase
merupakan forum penyelesaian sengketa yang diakui secara syariah untuk
menyelesaikan perselisihan secara damai (ishlah). Validitas itu menegaskan,
penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah harus dilakukan dengan
mengedepankan perdamaian. Umar bin Khattab mengatakan, ” tolaklah orang-orang
yang bertikai agar mereka berdamai, karena putusan peradilan akan menyisakan
kebencian di antara mereka.
Dalam
hukum syariah, tindakan mendamaikan atau perdamaian (sulh) menjadi tujuan utama
dalam upaya menyelesaikan setiap sengketa.
keadilan dan kedamaian merupakan
konsep yang saling berhubungan, karena itu advokasi terhadap keadilan pada
dasarnya melibatkan advokasi terhadap kedamaian Perdamaian bisa terwujud bila
keadilan ditegakkan, dan tanpa keadilan perdamaian akan menjadi utopis, sebab
keadilan merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya kedamaian. Daisaku Ikeda
mengatakan, tidak ada keadilan berarti tidak ada kedamaian. Sebaliknya, keadilan
dapat ditegakkan melalui upaya
perdamaian,
karena para pihak menerima keputusan berdasarkan pencapaian kesepakatan yang di
pandang adil oleh para pihak. Pencapaian keadilan tidak semata melalui
penegakan hukum di pengadilan, namun juga bisa dilakukan melalui arbitrase
sebagai alternatif penyelesaian sengketa dari badan peradilan. Karena itu
menjadi sangat relevan untuk membahas keadilan dalam kerangka penyelesaian
sengketa melalui arbitrase syariah.
Itikad baik sebagai prinsip hukum
perjanjian berkaitan dengan amanah dalam Islam. Asas amanah dimaksudkan,
masing-masing pihak
harus beritikad baik dalam bertransaksi tanpa dibenarkan untuk mengeksploitasi
ketidaktahuan mitra dalam berakad. Pelaksanaan ketentuan yang menegaskan
yurisdiksi arbitrase, dalam perkembangan banyak tergantung kepada itikad baik
(good faith) dari pihak-pihak yang memilih arbitrase sebagai tempat
penyelesaian sengketa dan sikap pengadilan terhadap pelaksanaan arbitrase
tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Muhammad. “PRINSIP ARBITRASE
BERBASIS SYARIAH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH”, (Medan: 2014, Universitas Sumatera Utara).