ISungguh kita sebenarnya tentu tak ingin berburuk sangka. Tak ingin pula serampangan melampiaskan amarah atas bencana beruntun yang terjadi di tanah suci.
Tapi bagaimana kita tak beriba hati? Bagaimana kita tak marah, tak menangis melihat lebih dari seribu nyawa melayang pada ibadah haji tahun ini? Mereka yang berniat menunjukkan cinta pada Tuhan, malah berujung maut.
Kita tentu tak ingin pula menghujat ajal.Tuhan memutuskan dan kita harus menerima. Kodrat yang tak bisa ditolak, tak bisa ditawar-tawar karena kita hanya manusia.
Namun, jika bencana itu terjadi karena kelalaian, bagaimana bisa kita hanya diam menerima? Bagaimana bisa tak berburuk sangka dan marah? Apalagi bencana serupa terjadi bukan sekali dua kali. Namun seringkali. Seolah tak pernah sejarah meninggalkan pelajaran agar tak lagi ia terulang
.Buruk sangka dan amarah yang kita miliki tentu bukan untuk memperparah keadaan. Namun untuk memaksa perbaikan. Tak perlu lagi ada nyawa-nyawa melayang dengan cara tragis ketika melaksanakan aktivitas terindah di dunia: beribadah.
Kita tentu membutuhkan kepastian mengapa bisa musibah itu terjadi? Sekarang saja umat muslim seluruh dunia sudah terguncang. Rasa iba dan amarah meluap dimana-mana. Tangis dan kesedihan tak terbendung. Kita semua sedang berduka.
Tersiar kabar bencana terjadi karena pangeran Arab berkonvoi di Mina. Iring-iringan jamaah akhirnya terganggu, lalu bencana tragis itu terjadi. Membayangkan bagaimana mereka terjepit, terinjak-injak, kesakitan, sekarat, meregang nyawa tentu membuat kita menangis. Perih.
Memang belum ada kepastian benar atau tidak tentang kabar ini. Namun jika memang pangeran itu adalah penyebab, perlu sanksi dan permohonan maaf yang tak sekedar saja. Bukan sebagai pembalasan dendam atau hukuman. Tapi lagi-lagi agar tak pernah ia terulang.
Berkabar juga tragedi terjadi karena banyak jamaah tak disiplin. Mereka yang melaksanakan ibadah lempar jumrah tak sesuai jadwal. Iring-iringan jamaah yang sudah padat menjadi semakin padat. Ini juga masih praduga. Kita masih terus menunggu kepastian kabar.
Namun jika memang kedua hal itulah penyebab utamanya, kita mau tak mau harus menelan pahitnya kenyataan : �Betapa ego pribadi bisa berujung sekeji itu. Membekaskan trauma. Meninggalkan duka tiada tara.� Bukankah harusnya Islam adalah agama tentang persaudaraan, tentang cinta pada sesama? Ibarat saudara setubuh yang ikut merasakan perih jika salah satu tersakiti?
Berbicara tentang ego pula, kita tak ingin Arab Saudi berkeras hati. Jika memang penyelenggaraan ibadah haji akan lebih baik dengan bantuan pihak lain, tentu tak ada salahnya. Itu mungkin lebih baik. Tuhan pastinya tak mewajibkan pelaksanaan haji untuk membuat kita, sesama negara Islam, sesama muslim saling menghujat dan membesarkan ego. Kita sungguh hanya berharap solusi. Berharap musibah ibadah haji tahun ini adalah musibah terakhir akibat kelalaian dan pelaksanaan yang tak optimal.
Seperti halnya yang kita rasakan sekarang, kita berharap pemerintah Arab Saudi, para penanggung jawab pelaksanaan haji di tanah suci merasakan iba hati yang sebenar perih. Ikut meyakini bahwa 1000 lebih jamaah yang wafat karena musibah tahun ini adalah kesedihan kita bersama. 1000 yang bukan sekedar angka. 1000 yang membuat berlipat-lipat ribu manusia ikut beriba hati: suami, istri, anak, cucu sanak keluarga. Mereka yang hidupnya akan berubah drastis karena kepala keluarga, tulang punggung rumah tangga tiada lagi. Jumlah korban nyawa dalam bencana, sekali lagi, bukanlah sekedar angka.
Mau tak mau pula, kini kita bertanya, ada apa dengan Arab Saudi? Mengapa seolah kemegahan infrastruktur adalah satu-satunya hal penting saat ini? Sehingga alat-alat kontruksi crane dibiarkan berada di atas jamaah haji yang menyemut di Masjidil Haram? Padahal badai sudah terjadi berulang kali beberapa hari sebelumnya. Mengapa pembangunan fisik seolah begitu penting ketimbang kewaspadaan akan keselamatan nyawa?
Begitu pula kita bertanya bagaimana bisa tak banyak aparat pengamanan yang mengawasi iring-iringan jamaah di Mina? Bagaimana bisa tak ada sistem yang lebih baik untuk penyelenggarannya? Apakah menjamin keselamatan jamaah tak begitu penting untuk dilaksanakan dengan seoptimal-optimal kemampuan?
Kita juga bertanya, ada apa dengan Arab Saudi? Ada apa dengan negeri ini dan kekhusyukan membangun infrastruktur, kemegahan bangunan? Tentang Masjidil Haram yang sekarang dibayang-bayangi gedung pencakar langit? Negeri ini sedang berbenah membangun sebanyak-banyak hotel dan resort.
Ziauddin Sardar, penulis buku Mecca: The Sacred City (2004) menyebutkan pembangunan itu sudah seperti awal kehancuran Mekah. Sejak dimulai pada tahun 1970-an tak terhitung bangunan kuno hilang. Masjid Bilal yang ada sejak dari zaman Nabi Muhammad dibuldoser. Sejumlah bangunan yang berasal dari kekhafilahan Utsmaniyah Turki digantikan oleh bangunan modern. Kota ini sekarang dikelilingi bangunan beton persegi panjang. Ibarat campuran dari Disneyland , Las Vegas dan Manhattan.
Arsitektur domain di kota ini, kata Ziauddin, bukan lagi Masjidil haram, melainkan Makkah Royal Clock Tower (Abraj al-Bait Towers), gedung pencakar langit setinggi hampir 600 meter milik pemerintah. Gedung tertinggi nomor empat seantoro bumi, mengalahkan Big Ben di London. Gedung ini telah membayang-bayangi Masjidil Haram, arah kiblat salat seluruh umat Islam sedunia.
Di kompleks itu juga, Arab Saudi membangun mall berlantai lima, banyak apartemen mewah dan hotel bintang lima yang mengenyahkan situs berharga lainnya. Rumah Khadijah berubah jadi blok toilet. Rumah Abu Bakar menjadi Hotel Hilton. Rumah Nabi Muhmmad menjadi perpustakaan.
Ada apa dengan Arab Saudi? Dengan pembangunan yang seolah semakin liar? Ulama Saudi radikal menyerukan pembongkaran karena khawatir peziarah akan berdoa kepada situs sejarah, pada Nabi Muhammad, bukan kepada Tuhan. Tapi bukankah situs adalah bagian dari sejarah? Bukankah ketakutan akan kesalahan menyembah bisa diselesaikan tanpa menghilangkan peninggalan bukti perkembangan awal mula peradaban Islam?
Tersiar kabar memang tak banyak negara Islam bersuara tentang percepatan pembangunan di tanah suci ini. UNESCO bertanya-tanya kenapa negara-negara Islam seolah diam saja melihat situs sejarah agama hilang satu persatu. Sementara Situs itu, termasuk Masjidil Haram tak dilaporkan sebagai aset UNESCO. Sehingga tak bisa pula lembaga itu memberikan perlindungan. (Majalah Tempo edisi 21-27 September 2015)
Memang ada pejabat Turki yang sudah mengeluhkan ekspansi luar biasa ini saat dia berkunjung ke sana 2014 lalu. Dia Kepala Direktorat Urusan Agaam Turki (Diyanet) Mehmet Gormez. Ia menyampaikan pada Menteri Haji Saudi bahwa adalah salah dalam budaya Islam, jika ka�bah dibiarkan terlihat di bawah (dilihat dari dalam gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya). Sejarah, kata Gomez, sedang dihancurkan di tanah suci setiap hari. (hurriyetdailynews.com).
Irfan Al-Alawi, salah satu pendiri Islamic Heritage Research Foundation di Mekah, mengatakan Mekah bukanlah kota biasa. Pembangunan saat ini sudah membuat kota itu terlihat seperti Manhattan. Ia khawatir orang-orang yang seharusnya mengunjungi Masjidil Haram untuk beribadah dan memiliki spiritualitas yang terkait dengan Tuhan malah merasa tempat itu sebagai resort liburan. Alhasil energi spiritualitas dan kekhusyukan beribadah menjadi berkurang.
Memang benar, Masjidil haram tak luput juga dari pengembangan infrastruktur. Sejak zaman Raja Abdul Aziz (1932-1953) pengembangan dilakukan untuk menampung lebih banyak jamaah. Hingga enam raja setelahnya pembangunan itu tak pernah berhenti. Terus dilanjutkan sampai sekarang, di bawah tahta Raja Salman bin Abdul Aziz. Alhasil dari hanya bisa menampung 200 ribu jamaah pada 1960-an, sekarang sudah bisa 3 juta jamaah. Jumlah ini akan bisa semakin banyak.
Namun, sekali lagi sungguh yang kita harapkan bukan hanya sekedar kemegahan infrastruktur. Namun keselamatan dan kenyamanan jamaah. Selain juga suasana spiritualitas kota yang membantu kekhusyukan kita beribadah.
Kita, umat muslim, dan juga negara-negara Islam mungkin tak akan punya hak untuk mengganggu rencana pembangunan suatu negara, begitu juga di Arab Saudi. Namun, yang kita harapkan pembangunan itu tidak menjadi seolah satu-satunya hal penting. Sehingga luputlah kewaspadaan tentang keselamatan jamaah haji. Sehingga alpa pula perbaikan pelaksanaan haji setiap tahunnya. Keluputuan dan kealpaan yang sangat bisa berujung pada musibah dan bencana pilu pun tragis seperti tahun ini.
Kita juga berharap pemerintah Arab Saudi bisa lebih bijak untuk membangun kota. Bagaimana pun kota itu adalah pula milik semua umat Islam seluruh dunia. Tempat sejarah peradaban awal agama kita terjadi. Dengan begitu, bukankah akan lebih baik jika bukti-bukti sejarah itu tetap ada? Sebagai penambah rasa kedekatan dengan nabi, khalifah, para sahabat dan perjuangan penyebaran Islam?
Untuk kesekian kalinya, kita umat muslim seluruh dunia sungguh sedang berduka. Di tanah suci ribuan nyawa sudah melayang, ratusan terluka, ratusan lainnya belum bisa ditemukan, menghilang tak tahu kemana.
Ada apa dengan umat Islam? Mengapa kesedihan, tragedi terus berulang? Darah umat muslim tumpah di banyak belahan dunia, pun juga kepiluan dan keterasingan? Sampai sekarang.
Rasanya tak patut kita membiarkan semakin banyak luka itu terjadi di banyak tempat di muka bumi. Pada saudara kita yang menjadi korban perang? Menjadi korban terorisme. Sungguh tak ingin kita luka terjadi. Kita berharap sedikit demi sedikit berkuranglah jumlahnya. Jangan lagi terulang di mana-mana, salah satunya di tanah paling suci di bumi, Arab Saudi.[]