Friday, 16 October 2015

Dulu, Muslim Perdana Berperang demi Kebebasan Beragama !



Perang Badar (Foto: tarekfatah.com).Ada suatu masa di dalam sejarah Islam tatkala kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat terpuji, dijunjung tinggi, dan begitu mahal harganya. Saking agung dan mahalnya, kebebasan itu mendapat mandat langsung dari Allah untuk direbut dan dipertahankan, walau harus dengan menyabung nyawa.

Para Muslim perdana yang etos keberagamaannya dibimbing langsung oleh Rasulullah itu tahu betul pahit-getirnya hidup tertindas dan bagaimana tidak enaknya diperlakukan sebagai pariah. Sampai-sampai mereka pun sempat mengiba: kapan kiranya datang bala bantuan dari Allah?
Ya, saya tidak mengada-ada. Bila kita merujuk ulang sejarah perkembangan dan peperangan Muslim perdana, kita akan menemukan bahwa Nabi Muhammad dan pengikutnya pernah terlibat dalam 27 kasus peperangan.
Itu jumlah yang banyak, sekalipun Nabi hanya terlibat bentrokan langsung dalam 9 dari 27 kasus peperangan: Badar, Uhud, Khandaq, Quraidzah, al-Mustaliq, Khaybar, Fathu Makkah, Hunain, dan Thaif.

Perangnya memang banyak bila dilihat dari betapa singkatnya hayat Nabi di Madinah. Namun, korban jiwa dalam karir peperangan Nabi sesungguhnya sangat sedikit dibandingkan perang modern.
Muhammad Imarah menghitung, total jenderal kerugian nyawa dalam semua peperangan Nabi adalah 384 jiwa (181 dari pihak Muslim, 203 dari pihak musuh). Sementara Muhammad Syalabi menyebutkan angka lain: 251 jiwa (139 Muslim perdana, 112 musuh mereka).
Karena itu, Ahmed al-Dawoody dalam The Islamic Law of Islam: Justification and Regulation (2001) membantah studi-studi kaum revisionis orientalis yang kerap menuduh Nabi sebagai pemimpin agresif yang maniak akan peperangan; sebuah tuduhan yang rasanya diperkuat oleh Muslim agresif masa kini, yang menjadikan perang sebagai karir tanpa akhir dan tujuan.
Padahal, Quran surat an-Nisa ayat 76 jelas-jelas dan tegas-tegas membedakan antara perang dan permusuhan di jalan Allah yang punya etika dan tujuan, dengan perang demi kesemena-menaan dan tirani (thaghut) yang tidak jelas arah dan juntrungannya.
Saya mulanya tak menerima mentah-mentah pendapat al-Dawoody, demi terhindar dari sikap apologetik dalam memandang sejarah Islam.
Namun setelah merenungkan ulang berbagai ayat Quran tentang peperangan, saya nyaman untuk menganut tesisnya: tak ada pembenaran bagi perang ofensif di dalam Islam. Hal itu dapat kita lihat langsung dari berbagai penjelasan Quran tentang jus ad bellum, alasan-alasan kenapa opsi perang dapat dibenarkan.
Pertama, Muslim perdana diberi izin berperang karena mereka telah diperangi. Namun begitu, sekalipun perang telah diizinkan, Quran dengan jelas mewanta-wanti: mereka tak boleh berlebihan dan melampaui batas.
Quran surat al-Baqarah ayat 190 menyatakan:
Perangilah di jalan Allah mereka-mereka yang memerangi kalian (saja), tapi kalian jangan melampaui batas karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas!�
Perang dibolehkan pada pihak tertentu, tapi kalian jangan pula lebay, misalnya dalam menghukum tawanan ataupun melampiaskan dendam.
Oleh al-Dawoody, kalimat �jangan melampaui batas ini� tidak hanya bermakna �jangan memulai api peperangan�, tapi juga pertanda bahwa �perang ofensif tak dapat dibenarkan�.
Jika kita bersetia dengan ajaran Quran, perang tampaknya hanya benar dalam kasus pembelaan diri. Dan untuk Hukum Humaniter Internasional, ayat ini sungguh telah memberi sinyal tentang perlunya pembedaan antara kombatan dan non-kombatan.
Muslim yang jentelmen hanya berperang lawan kombatan, bukan bersikap pengecut dengan menyerang dan meledakkan orang-orang yang tak terlibat langsung dalam kancah peperangan.
Kedua, Muslim perdana diberi lisensi untuk berperang, pertama-tama demi membela kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal ini jelas sekali tertuang dalam Quran surat al-Haj ayat 39:
�Telah diizinkan kepada mereka (Muslim perdana) untuk angkat senjata karena mereka telah teraniaya dan Allah sungguh mahamampu membela mereka.�
Yang perlu digarisbawahi dari ayat ini, kondisi keteraniayaan itu bukan mengada-ada dan tidak boleh bersifat khayalan belaka. Ia harus bersifat kongkret dan nyata sebagaimana lanjutan ayat itu:
��mereka telah terusir dari kampung halaman mereka tanpa sebab yang dapat dibenarkan, hanya karena mereka ingin menyebut Tuhan kami Allah.�
Apa yang dapat anda bayangkan dari ayat seperti ini? Bagi pakar sejarah perang Islam perdana macam al-Dawoody, ini jelas mengindikasikan bahwa salah satu alasan pembenar bagi peperangan (jus ad bellum) dalam ajaran Islam adalah �demi menciptakan situasi yang bebas tentram dalam beragama.�
Perang dalam kasus ini bukanlah semata-mata demi melenyapkan musuh, tapi demi mencapai situasi koeksistensi yang damai, tempat semua umat dapat beragama dengan nyaman seturut keyakinannya masing-masing.
Bila kondisi ideal itu sudah tercapai dan terjamin, maka yang berlaku adalah prinsip �tiada paksaan dalam beragama� (al-Baqarah 256), karena surat Yunus ayat 99 menandaskan:
�Andai Allah berkehendak, niscaya berimanlah semua mahluk di muka bumi ini�.
Dengan fakta keragaman keyakinan yang terang-benderang di dunia yang fana ini, Allah pun secara retoris bertanya:
�Apakah engkau tetap akan menggunakan unsur paksaan agar mereka tetap beriman?�
Muslim masa kini yang nyaman hidup sebagai mayoritas mungkin tak akan dapat menghargai pentingnya jaminan kebebasan berkeyakinan sebagaimana yang dilukiskan Quran sendiri. Sebab, mereka mungkin tak pernah menghayati sejarah Muslim perdana atau mengalami masa-masa pahit menjadi kaum minoritas tertindas.
Ini mirip sebuah perumpamaan yang mengibaratkan kebebasan seperti kesehatan: dia tak akan terasa penting kecuali seseorang sempat hidup dalam teror ketidakbebasan atau terus-menerus dirundung kemalangan.
Ketiga, menurut Quran, Muslim tak hanya dibenarkan terlibat dalam peperangan�yang dalam bahasa Quran digambarkan sebagai �sesuatu yang tidak menarik atau tidak kalian inginkan� (kurhun lakum)�tatkala mereka teraniaya, tapi bahkan demi membela mereka-mereka yang sedang tertindas.
Dalam surat an-Nisa ayat 75, Quran menegur mereka-mereka yang abai akan kaum tertindas:
�Kenapa pula kalian enggan berperang di jalan Allah, padahal orang-orang tertindas, baik lelaki, wanita maupun kanak-kanak, sedang terisak mengiba: �Tuhan, bebaskanlah kami dari negeri yang aniaya penduduknya ini!�.� 
Keempat, perang juga mendapat pembenaran Quran dalam kasus untuk mengakhiri kondisi kekacauan sosial yang tak bersudah (fitnah). Ini termaktub untuk kasus agresi kaum kafir Quraish yang tiada henti karena ingin mengembalikan tatanan kepada status quo jahiliah pra-Islam sebagaimana diungkapkan surat al-Anfal ayat 39:
�Perangilah mereka sampai tak ada lagi kekacauan sosial (fitnah) dan agama kembali menjadi hak prerogratif Allah!� 
Namun sembari memberi pembenaran, Quran juga menggariskan etika yang penting:
�Bila mereka sudah berhenti dari membuat kekacauan (fain intahau), maka cukuplah Allah yang akan memantau mereka karena Dia memang maha melihat.�
Jadi, peperangan hanya dibenarkan setakat untuk menegakkan tatanan atau mengembalikan ketertiban umum atau order, sehingga tak terjadi situasi chaos yang justru membahayakan semua, baik para perusuh maupun masyarakat biasa.
Dari alasan keempat inilah kita dengan nyaman menakrifkan kata �fitnah� yang sering dianggap lebih kejam dari pembunuhan itu sebagai �kondisi kekacauan sosial-politik�, bukan soal remeh seumpama seseorang digosipkan oleh seorang lainnya atau seseorang dituduh korupsi walau belum terbukti.
Jika fitnah hanya bermakna perkara semacam itu, tentulah para ulama klasik Islam tak akan risau dan terlalu menghiraukannya, sampai-sampai mereka membuat rumusan bahwa �penguasa atau rezim yang zalim sekalipun lebih baik daripada fitnah atau kekacauan yang tidak bersudah (hukkamun zhalum khairun min fitnatin tadum).
Dan di dalam Quran sendiri, ungkapan �fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan� itu termaktub dalam dua bentuk redaksi. Dalam surat al-Baqarah 191, fitnah dianggap lebih kejam dari pembunuhan (asyadd min al-qatl). Sementara dalam al-Baqarah 217, fitnah dianggap sebagai perkara yang lebih besar dari pembunuhan (akbaru min al-qatl).
Yang menarik, fitnah yang lebih besar dari pembunuhan dalam ayat terakhir ini sangat terkait dengan unsur persekusi dan pengusiran kaum Muslim perdana oleh kaum kafir Quraisy Mekah (ikhraj ahlihi minhu). Dan di mata Allah, perkara semacam itu dianggap jauh lebih gawat (akbaru indalLah) daripada sekadar cemoohan Quraisy tentang pelanggaran etika perang yang dilangsungkan Muslim perdana di bulan-bulan terlarang.
Jadi, persoalan fitnah ini tak ada kena-mengena sama sekali dengan dunia infotainment, ihwal pergosipan dan atau pergunjingan remeh-temeh tak penting kita di masa kini.
Yang tersisa sekarang adalah bagaimana menafsirkan ayat-ayat bernada agresif yang seakan-akan memberi lisensi kepada kaum Muslim perdana dan Muslim masa kini untuk mengambil inisiatif angkat senjata lebih dulu atau menyerukan permusuhan dalam perang yang ofensif?
Penelaahan kita terhadap beberapa ayat yang membenarkan Muslim perdana untuk menyergap musuh dimanapun mereka berada, sangat terkait dengan konteks tertentu yang sangat spesifik. Rentetan ayat-ayat tersebut, bila dibaca secara utuh sangat terkait dengan permusuhan panjang Muslim perdana dengan kafir Quraisy ataupun Ahli Kitab masa itu.
Artinya, ini menyangkut sejarah tentang kehendak untuk menegakkan tatanan versus perilaku pencinta kekacauan di masa itu. Ini juga menyangkut perjanjian dan pengkhianatan terhadap suatu pakta bersama untuk mempertahankan koeksistensi dan kondisi kebebasan yang telah dijamin dan dipuji oleh Quran sendiri. Namun lengkapnya, persoalan itu insyaallah akan kita ulas di lain waktu dan kesempatan.
Yang hendak saya tekankan dalam tulisan ini adalah: kaum Muslim perdana telah berjuang dengan darah dan nyawa demi menegakkan dan mempertahankan kebebasan beragama. Fakta itu didukung kuat oleh penuturan Quran sendiri. Bagaimana dengan Muslim masa kini? Tak perlu saya jawab, para pembaca tentu lebih tahu! Wallahu a�lam.
courtesy by :novriantoni kahar