ISurat larangan bagi umat Syiah untuk merayakan perayaan Asyura (10 Muharram [bulan pertama dalam kalender Hijriyah]) yang dikeluarkan oleh Wali Kota Bogor memang cukup mengagetkan. Belum ada kejadian semacam ini sebelumnya. Untuk pertama kali ada surat semacam ini dikeluarkan oleh kepala daerah sepanjang era reformasi.
Sebelumnya, surat serupa memang pernah dikeluarkan oleh sejumlah kepala daerah di Indonesia (seperti Jabar dan Jatim), tetapi sasarannya berbeda: bukan Syiah, melainkan jamaah Ahmadiyah.
Surat Wali Kota Bogor ini jelas sangat patut disayangkan. Dengan terang-benderang surat semacam ini bertentangan dengan konstitusi kita yang menjamin kebebasan warga-negara untuk melaksanakan ibadah dan ritual sesuai dengan kepercayaan mereka. Baik surat larangan untuk Ahmadiyah yang telah keluar sebelumnya, maupun surat larangan untuk Syiah kali ini � keduanya tak bisa diterima dalam kerangka paradigma konstitusional.
Jika sebelumnya warga Ahmadiyah dilarang melakukan penyebaran keyakinan mereka karena dianggap sebagai kelompok �sesat�, kita tak tahu, apa alasan Wali Kota Bogor sekarang ini untuk melarang perayaan Asyura (selain alasan formal dalam suratnya yang mendasarkan diri pada sikap MUI Kota Bogor). Sangat mengherankan jika kepala daerah melarang perayaan ini sebab penyelenggaraan perayaan bulan Syura dilakukan oleh banyak kelompok Islam � bukan saja kelompok Syiah, tetapi juga kelompok Sunni.
Perayaan Asyura dirayakan di banyak tempat. Banyak haul para wali di Jawa yang diselenggarakan tepat pada tanggal 10 Muharram atau Asyura. Salah satu wali yang dirayakan haulnya pada tanggal itu ialah Kiai Mutamakkin atau Kiai Cebolek di daerah saya: Kajen, Pati, Jawa Tengah.
Jika perayaan Asyura ini, taruhlah, dianggap bidah seperti pandangan kelompok Wahabi, maka pelarangan perayaan ini sama saja dengan melarang perayan Maulid Nabi (kelahiran Nabi Muhammad) yang biasa dilakukan oleh warga NU di seluruh Indonesia. Sama dengan perayaan Asyura, perayaan Maulid Nabi juga dianggap bidah oleh kelompok Wahabi.
Kenapa perayaan Asyura dilarang, sementara perayaan Maulid Nabi tidak, padahal keduanya dianggap bidah menurut sebagian kelompok Islam, saya kira alasannya sangat jelas: yaitu politik. Sebab, perayaan Maulid Nabi dilakukan oleh kelompok Islam yang sangat besar jumlahnya, yaitu Nahdlatul Ulama. Andai saja NU adalah kelompok minoritas di Indonesia, mungkin saja perayaan Maulid juga akan dilarang.
Tetapi jika pelaksanaan suatu ritual atau perayaan keagamaan tertentu dilarang karena kelompok bersangkutan adalah minoritas, tentu saja ini hanya menandakan satu hal: arogansi kelompok mayoritas yang hendak menunjukkan �kekuatan politik�-nya di hadapan kelompok minoritas. Di sini kita berhadapan dengan situasi yang konyol: yaitu diskriminasi.
Konsitusi kita memuat sejumlah pasal yang dengan jelas menjamin kebebasan beragama bagi siapapun di negeri ini: Pasal 28E, 28I, dan Pasal 29. Meskipun, memang, pasal tentang �kebebasan beragama/berkeyakinan� ini seperti �dinetralisir� dengan pasal lainnya, yaitu Pasal 28J ayat (2).
Pasal ini memang membuka peluang pembatasan kebebasan beragama dengan alasan yang sangat terbatas juga: yaitu, manakala kebebasan beragama itu mengganggu kebebasan orang lain. Tetapi pembatasan ini tidak bisa berlaku sewenang-wenang, malainkan harus melalui UU.
Jika pun ketentuan dalam pasal ini kita ikuti, pembatasan atas perayaan Asyura harus dilakukan melalui UU, bukan melalui keputusan �sewenang-wenang� oleh kepala daerah. Jika pihak eksekutif diberikan wewenang melakukan pembatasan atas pelaksanaan suatu ritual dengan alasan �takut� pada tekanan kelompok mayoritas, atau karena dia sendiri memiliki keyakinan yang eksklusif, maka yang akan muncul di negeri ini ialah mayoritarianisme atau kekuasaan mayoritas.
Konstitusi diadakan dalam sebuah negara demokratis justru bukan untuk melanggengkan dominasi dan hegemoni ortodoksi dan kelompok mayoritas. Kelompok mayoritas, dengan kebesan kuantitatif yang ia miliki, dengan sendirinya, de facto, sudah memiliki banyak privilese dan keuntungan. Yang menjadi masalah justru bagaimana melindungi kepentingan kaum minoritas yang biasanya terdesak oleh kekuasaan kaum mayoritas.
Saya menduga alasan paling besar di balik larangan yang dikeluarkan oleh Wali Kota Bogor itu adalah �politis�, bukan konstitusional. �Politis� di sini bisa bermakna dua: yaitu meraih simpati mayoritas yang memang anti-Syiah, dan takut terhadap tekanan �politis� dari pihak mayoritas. Jika Wali Kota Bogor berpikir dalam kerangka konstitusional, bukan �takluk� kepada tekanan mayoritas, rasanya sulit membayangkan surat larangan seperti itu keluar dari mejanya.
Tetapi persis di sini masalahnya: Jika kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia bisa dibatasi oleh faktor politik, bukan karena alasan-alasan yang konstitusional, maka pelan-pelan kita membiarkan konstitusi kita mengalami �ir-relevansi� dan sama sekali diabaikan sebagai dasar pengelolaan hak-hak sipil warga negara.
Tentu saja alasan yang dipakai oleh kelompok mayoritas anti-Syiah sepenuhnya bersifat doktrinal, selain juga ada elemen politis di dalamnya. Alasan doktrinal di sini ialah keyakinan bahwa kelompok Syiah adalah sesat. Sementara itu, elemen politis di sana tercermin dalam ketakutan kelompok Sunni atas pengaruh Syiah yang dianggap mengancam kepentingan mereka.
Jika masalahnya adalah doktrinal, kita hanya bisa mengatakan satu hal: itu urusan internal agama masing-masing. Setiap agama selalu memiliki �penyakit� yang sama di mana-mana, yaitu menerapkan mekanisme �doktrinal� tertentu untuk melawan kelompok-kelompok lain yang dianggap menyimpang.
Ini bukan hanya khas Islam, tetapi ada di agama-agama yang lain juga. Jika kelompok tertentu memiki keyakinan bahwa kelompok lain dalam agama yang sama adalah �sesat�, itu hak dia. Tetapi negara tidak boleh berpihak kepada pandangan kelompok itu dan ikut melarang kelompok yang dianggap sesat itu.
Dengan kata lain: sikap negara di hadapan perbedaan sektarian dan doktrinal semacam ini adalah seperti polisi lalu-lintas di tengah jalan: tugasnya hanya menyetop kendaraan jika melanggar peraturan. Dia tak bisa menyetop seorang pengendara hanya karena dia memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dengang Pak Polisi. Keyakinan agama si pengendara adalah urusan dia sendiri. Pak Polisi tak berwenang mencampuri isi keyakinan itu.
Sementara itu, kelompok mayoritas yang �takut� pada keyakinan kelompok-kelompok lain yang kecil jumlahnya, hanya menandakan ketidak-dewasaan. Kepada kelompok ini kita hanya bisa mengatakan satu hal: Bagaimana jika keadaannya berubah? Kelompok yang sekarang mayoritas berubah menjadi minoritas; dan kelompok yang sekarang minoritas menjadi mayoritas. Lalu kelompok minoritas itu melakukan hal serupa: melarang ritual kelompok mayoritas itu.
Apakah yang akan dipikirkan oleh kelompok mayoritas itu jika suatu ketika mereka berada dalam keadaan minoritas dan hak-hak mereka dibatasi: apakah mereka akan menerima keadaan itu? Kita hanya bisa meminta kalangan mayoritas di Indonesia untuk �putting themselves in other�s shoes�, mencoba menempatkan diri di sepatu orang lain. Dengan kata lain: membayangkan diri berada dalam keadaan orang lain yang ia �diskriminasikan� itu.
Insiden-insiden intoleransi memang masih banyak bertebaran di negeri ini: mulai dari pelarangan, penyegelan, perusakan, dan pembakaran rumah ibadah (baik gereja atau masjid), hingga pembatasan kegiatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok minoritas. Keadaan seperti ini kadang membuat kita ragu untuk mengatakan bahwa Indonesia adalah negara Muslim moderat dan toleran.
Di negeri ini, masih banyak soal dengan intoleransi, baik yang terbuka maupun tersembunyi. Perjuangan menegakkan hak-hak sipil belumlah selesai. Masih ada jalan panjang dan berliku yang harus dilalui oleh aktivis kebebasan di sini. Dan tantangannya makin besar sebab ada dua gejala yang saling memperkuat tetapi sekaligus menjengkelkan: pihak �politisi� dan pemerintah yang kerap takut pada tekanan �politis� kaum mayoritas, dan kecenderungan mayoritas yang mengarah kepada konservatisme keagamaan.
Dua kecenderungan ini membuat gambar toleransi di negeri kita masih agak buram.[]
copy by : ullil abshor abdalla