Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata diartikan sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap orang lain dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Definisi yang hampir sama dinyatakan oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu bahwa hukum acara perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum acara perdata materiil dengan perantaraan hakim. Sedangkan Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata mendefinisikan bahwa hukum acara perdata adalah semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak- hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pada dasarnya harus sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang bersangkutan. Sampai saat ini masih banyak peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, khususnya peraturan perundang-undangan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda.
Peraturan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda salah satunya adalah Hukum yang mengatur tata cara penyelesaian sengketa keperdataan, yaitu Hukum Acara Perdata seperti, Herzienne Indonesisch Reglement ( HIR ) � S. 1941 No. 44 untuk Jawa � Madura, Rechtsreglement Buitengeweten (RBg) � S. 1927 No. 277 untuk luar Jawa � Madura. Hukum Acara Perdata ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini, sehingga tidak dapat menampung berbagai perkembangan hukum.
Perkembangan masyarakat yang sangat cepat dan pengaruh globalisasi, menuntut adanya Hukum Acara Perdata yang dapat mengatasi persengketaan di bidang perdata dengan cara yang efektif dan efisien sesuai dengan asas sederhana, mudah, dan biaya ringan.
Peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata yang ada dan berlaku sampai saat ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda maupun peraturan perundang-undangan produk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan perundang-undangan produk Pemerintah Hindia Belanda masih bersifat dualistis atau mengandung dualisme hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan di Jawa dan Madura dan hukum acara yang berlaku untuk pengadilan di luar Jawa dan Madura sebagaimana terdapat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement dan Rechtsreglement Buitengewesten yang masih berlaku sampai saat ini.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka perlu disusun Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata Nasional yang komprehensif, bersifat kodifikasi maupun unifikasi, sehingga dapat menampung perkembangan dan kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat dengan memperhatikan prinsip atau asas-asas hukum acara perdata yang berlaku.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalahnya adalah :
1. Apa yang di maksud dengan hukum acara perdata?
2. Apa saja sumber-sumber hukum acara perdata?
3. Apa saja azas-azas hukum acara perdata?
4. Bagaimana contoh kasus hukum acara perdata dalam masyarakat indonesia?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian hokum acara perdata
2. Mengetahui sumber-sumber hukum acara perdata
3. Mengetahui azas-azas hukum acara perdata
4. Mengetahui contoh kasus hukum acara perdata dalam masyarakat Indonesia.
D. Manfaat
Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa, sebagai tambahan pengetahuan tentang hokum acara perdata di Indonesia.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Acara Perdata
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata diartikan sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap orang lain dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Definisi yang hampir sama dinyatakan oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu bahwa hukum acara perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum acara perdata materiil dengan perantaraan hakim. Sedangkan Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata mendefinisikan bahwa hukum acara perdata adalah semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak- hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.
Dari beberapa definisi tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata adalah hukum yang berfungsi untuk menegakkan atau mempertahan hukum acara perdata materiil sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku melalui lembaga peradilan.[1]
B. Sumber � sumber Hukum Acara Perdata
Sumber hukum acara perdata Indonesia yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut :
a) HIR( Het herziene indonesisch reglement atau regleman Indonesia yang telah di perbaharui , staatblad 1848 nomor 16 ), yang berlaku untuk daerah jawa dan madura. Dengan di berlakukannya UU nomor 08 1891 Tentang kitab undang � undang acara pidana ( KUHAP), maka sebagian yang ada dalam HIR sudah tidak berlaku lagi, khususnya yang mengatur hukum acara pidana.
b) R.Bg (Reglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 nomor 227 ) yang berlaku sejak tanggal 1 juli 1927 dan di terapkan untuk luar jawa dan Madura sebagaimana putusan mahkamah agung nomor 1099 K/Sip/1972 tanggal 30 � januari -1972 dan surat edaran Mahkamah Agung nomor 03 tahun 1965 sebenarnya tidak ada perbedaan antara hal-hal yang di atur di dalam HIR dan R.Bg, yang membedakan hanyalah peletakan pasal-pasalnya saja .
c) RO ( Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het beleid der justitie in indonesie ) yang disebut dengan reglement tentang organisasi kehakiman .
d) Undang � undang yang telah dikodifikasi yang mengatur acara perdata yaitu kitab undang-undang hukum perdata ( KUH perdata ) dan kitab undang-undang hukum dagang (KUHD).
e) Undang- undang yang belum di kodifikasi
� UU Nomor 04 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
� UU Nomor 01 tahun 1974 tentang perkawinan
� UU Nomor 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung jo
� UU Nomor 02 tahun 1986 tentang peradilan umum
� UU Nomor 07 tahun 1989 tentang peradilan agama
� UU Nomor 05 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara.
f) Yurisprudensi diartikan sebagai kumpulan yang sistematis dari putusan mahkamah agung dan putusan pengadilan lainnya yang di ikuti oleh hakim lain dalam membuat putusan dalam perkara yang sama.
g) Perjanjian internasional dapat di jadikan salah satu sumber hukum acara perdata yakni apabila Indonesia mengadakan kerja sama dengan Negara lain dalam penyelesaian perkara perdata.
h) Doktrin adalah ilmu pengetahuan yang dapat di jadikan salah satu sumber hakim untuk menggali hukum acara perdata. Doktrin bukanlah aturan hukum sehingga tidaklah mengikat. Tetapi, doktrin ini penting karena kewibawaan ilmu pengetahuan khususnya hukum karena didukung karena sifatnya obyektif sehingga menyebabkan putusan hakim juga bernilai obyektif.[2]
Sedangkan para ahli sepakat bahwa sumber-sumber hokum acara perdata dalam berbagai bidang kajian atau studi hokum islam adalah:
a) Al- Qur�an
Dalam bidang hukum Al-qur�an memuat ketentuan hukum formal dan hukum materiil, ketentuan tersebut berkaitan dengan kegiatan beracara di Peradilan Agama yaitu antara lain:
� QS. (Al- Fatihah) ayat 5, yang artinya: �Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang benar, yang dimaksud jalan dalam hal ini jalan hidup di bidang hukum�.
� QS. (An-Nisa�) ayat 58, yang artinya: �Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampailkan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan (hukum) dengan adil�.
� Ketentuan hukum ini juga dijelaskan dalam QS. An-Nisa� ayat 65, QS. An-Nisa� ayat 105, QS. Ali Imran ayat 104, QS. Al Maidah ayat (8, 42, 44, 45, 47, 49, dan 50).
b) As- Sunnah
� Dari Abi Sa�id, bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda, apabila keluar tiga orang dengan maksud hendak bepergian, hendaklah salah satu diantaranya ada yang dijadikan tanggung jawab (Amir). (HR. Abu Daud)
� Dari Amr bin �Ash ra., bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW. bersabda: �Apabila hakim menjatuhkan hukum dengan berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala dan kalau dia menjatuhkan hukum dengan berijtihad dan ijtihadnya salah maka ia mendapat satu pahala�. (HR. Muttafaq �Alaih)
c) Ijtihad
Para fukaha (ahli hukum) telah berijtihad di bidang hukum acara dan peradilan diantaranya:
� Prinsip-prinsip peradilan yang disampaikan Umar bin Khatab kepada Abdullah Ibnu Qais.
� Kaidah-kaidah fiqih mengenai hukum acara dalam peradilan islam.
� Unsur peradilan dalam hukum acara islam.[3]
C. Azas-azas Hukum Acara Perdata
Beberapa azas yang sering ditemukan dalam acara perdata adalah sebagai berikut:[4]
1. Hakim bersifat menunggu
Walaupun hakim bersifat menunggu, tetapi hakim tidak boleh menolak suatu perkara melainkan harus memberikan putusan. Hal ini di sebabkan hakim berfungsi memberikan kepastian hukum. Larangan bagi hakim untuk menolak suatu perkara karena hakim di anggap selalu tahu hukum (ius curi novit). Sehingga apabila hakim tidak menemukan aturan dalam perundang-undangan maka ia harus menggali , mengikuti dan memahami nilai � nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
2. Hakim bersifat pasif
Hakim dalam acara hukum perdata bersifat pasif karena hakim hanya bertitik tolak pada peristiwa yang di ajukan oleh pada pihak (secundum allegat iudicare). Walaupun begitu hakim menurut undang- undang haruslah membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Konsekuensi dari sifat pasifnya hakim misalnya, hakim tidak boleh mencegah atau menghalangi para pihak jikalau tercapai perdamaian ataupun ketiga penggugat mencabut gugatannya dan hakim tidak boleh memutus lebih dari apa yang di minta oleh penggugat. Bila ini terjadi maka dapat menyebabkan kebatalan dari putusan hakim tersebut nantinya.
3. Peradilan terbuka untuk umum
Asas ini mengisyaratkan bahwa persidangan di pengadilan harus bersifat terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa setiap orang di perbolehkan untuk hadir dan menyaksikan pemeriksaan perkara di persidangan. Dan hakim sebelum mulai menyidangkan perkara haruslah menyatakan bahwa sidang di buka dan terbuka untuk umum.
Tujuan dari pada asas ini tidak lain untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini dapat kita jumpai pada Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 : �Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain�.
4. Hakim Mengadili Kedua Belah Pihak
Ketika pemeriksaan hakim haruslah memperlakukanpihak penggugat dan tergugat dalam kapasitas yang sama, tidak memihak dan mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak. Para pihak haruslah didengar pendapatnya dan diberikan kesempatan yang sama.
Azas ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lawan, karenanya hakim tidak boleh menerima keterangan yang benar, bila pihak lawan tidak diberi kesempatan untuk didengar keterangan dan pendapatnya.
5. Pemeriksaan Dalam Dua Tingkat
Dalam lingkungan peradilan di indonesia dikenal pemeriksaan perkara dalam dua tingkat, misalnya di lingkungan peradilan umum, pada tingkat pertama adalah pengadilan negeri dan pada tingkat kedua adalah pengadilan tinggi.
Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi memeriksa perkara peedata berdasarkan faktanya. Artinya jika terdapat pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama ia dapat melakukan upaya banding ke pengadilan tinggi. Pada dasarnya pemeriksaan di tingkat banding identik dengan pemeriksaan pada tingkat pertama, yaitu sama-sama memeriksa baik yang bersifat fakta maupun bersifat hukum.
6. Pengawasan Putusan Pengadilan Melalui Kasasi
Pengawasan putusan Pengadilan lewat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sedangkan putusan Pengadilan yang diawasi adalah putusan yudex facti dimana dilakukan oleh pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi (Pengadilan Tingkat Banding) atau tingkat terakhir dari semua Lingkungan Peradilan (Undang-undang Nomor: 48 Tahun 2009), Pasal 28, 29 Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jis. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009, Pasal 32 Undang-undang Nomor: 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 jis. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009).
Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung bukan merupakan instansi/peradilan tingkat tiga. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 30 Undang -undang Nomor: 14 Tahun 1985 sehingga dengan demikian Mahkamah Agung harus memisahkan masalah fakta (feitelijke vragen) dengan masalah hukum (rechtsvragen).Tugas pengawasan dalam teknis peradilan seperti di atas maka Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi juga berfungsi sebagai pengawas teknis administrative yaitu terhadap teknis peradilan, administrasi peradilan dan perbuatan dan tingkah laku Hakim dan Pejabat Kepaniteraan.
7. Putusan Hakim Harus Disertai Alasan
Semua putusanpengadilan haruslah disertai dengan alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Sebenarnya dalam pasal 25 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa yang selain alasan juga haruslah disertai dengan dasar dari putusan tersebut. Dan yang dapat dijadikan sebagai dasar atau rujukan memutus adalah peraturan-undangan ataupun sumber hukum tidak tertulis.
Argumentasi hakim merupakan bentuk pertanggungjawaban hakim atas putusannya terhadap masyarakat, para pihak yang berperkara, pengadilan yang lebih tinggi (baik pada tingkat banding maupun kasasi) maupun terhadap ilmu hukum. Karena untuk melihat nilai obyektifitas suatu putusan dapatlah dilihat dari alasan atau argumentasi putusan. Untuk itu hakim seringkali menjadikan yurisprudensi sebagai rujukan untuk membuat putusan.
8. Berperkara Dikenakan Biaya
Berperkara di peradilan perdata akan dikenakan biaya perkara Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR, Pasal 145 ayat (4), Pasal 192, Pasal 194 RBg). Biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan, biaya pemanggilan para pihak, biaya pemberitahuan, biaya materai dan biaya administrasi (SEMA No. 5 Tahun 1994). Demikian pula, bila para pihak menggunakan jasa pengacara atau konsultan hukum, maka tentu juga harus mengeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada Ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara cuma-cuma (profesional deo) dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 RBg). Dalam praktik, surat keterangan tidak mampu ini cukup dibuat oleh kepala desa yang disahkan oleh camat di daerah yang berkepentingan menetap.
9. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan Dalam Beracara
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan penyelesaian perkaranya kepada orang lain. Dengan demikian, pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Namun demikian, para pihak dapat dibantu dan atau
diwakili oleh kuasa hukumnya bila dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 RBg).
HIR menentukan bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa hukum, namun tidak ada ketentuan bahwa kuasa hukum tersebut harus seorang ahli hukum atau sarjana hukum. Meskipun dalam praktik, hamper semua kuasa hukum yang mewakili para pihak adalah sarjana hukum. Menurut RO, yang dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa hukum antara lain adalah ia adalah seorang sarjana hukum (Pasal 186 RO). Tujuannya adalah untuk lebih menjamin pemeriksaan yang obyektif, melancarkan jalannya persidangan, dan mendapatkan putusan hakim yang adil.
10. Majelis Hakim di Persidangan
Susunan hakim di persidangan di lingkungan peradilangan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 17 ayat 1 Undang-undang no. 4 tahun 2004). Karena yang menentukan minimalnya, maka dapat lebih dari tiga asalkan jumlah hakimnya ganjil. Dalam persidngan yang bersifat majelis tersebut seorang hakim bertindak sebagai ketu dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.
Tujuan pembentukan hakim yang bersifat majelis tersebut adalah untuk menjamin pemeriksaan yang obyektif mungkin untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia dalam bidang perdilan.
11. Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Lingkungan peradilan yang ada di Indonesia dalam proses pengadilan harus dilakukan atas prinsip �Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa� (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009).
12. Proses Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) mensyaratkan adanya asas penting dalam Hukum Acara Perdata yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif; biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat, namun demikian asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.
13. Azas Objektifitas
Azas obyektifitas artinya pengadilan atau hakim yang menyidangkan suatu perkara tidak boleh memihak. Dan untuk menjamin berlakunya azas ini para pihak dapat mengajukan keberatan yang disertai alasan yang sesuai kepada hakim yang mengadilinya.
D. Contoh KasusHukum Acara Perdata dalam Masyarakat Indonesia
Contoh kasusnya terjadi di SLEMAN Pengadilan Negeri (PN) Sleman akhirnya mengeksekusi tanah milik Juminten di Dusun Pesanggrahan, Desa Pakembinangun,Kecamatan Pakem, Sleman.
Kasusnya yaitu:
Sempat terjadi ketegangan saat proses eksekusi yang melibatkan puluhan aparat kepolisian ini, tapi tidak terjadi tindakan anarkistis. Saat proses eksekusi tanah tersebut,PN Sleman membawa sebuah truk untuk mengangkut barang-barang pemilik rumah serta backhoeuntuk menghancurkan rumah yang tampak baru berdiri di atas tanah seluas 647 meter persegi. �Kami hanya melaksanakan perintah atasan,� kata Juru Sita PN Sleman Sumartoyo kemarin.
Lokasi tanah yang berada di pinggir Jalan Kaliurang Km 17 ini merupakan tanah sengketa antara Juminten dengan Susilowati Rudi Sukarno sebagai pemohon eksekusi. Kasus hukum yang telah berjalanselamatujuh tahun ini berawal dari masalah utang piutang yang dilakukan oleh kedua belah pihak, utang yang dimaksud disini adalah juminten berhutang tentang pembuatan sertifikat tanah serta tidak mau mengganti rugi uang yang sudah diberi oleh susilowati.
Klien kami telah membeli tanah ini dan juga sebidang tanah milik Ibu Juminten lainnya di daerah Jalan Kaliurang Km 15 seharga Rp335 juta.Total tanah ada 997 meter persegi.Masalahnya berawal saat termohon tidak mau diajak ke notaris untuk menandatangani akta jual beli, padahal klien kami sudah membayar lunas,� papar Titiek Danumiharjo, kuasa hukum Susilowati Rudi Sukarno. Kasus ini sebenarnya telah sampai tingkat kasasi, bahkan peninjauan ulang. Dari semua tahap,Susilowati Rudi Sukarno selalu memenangkan perkara.
Pihak Juminten yang tidak terima karena merasa tidak pernah menjual tanah milik mereka, berencana menuntut balik dengan tuduhan penipuan dan pemalsuan dokumen. �Kami merasa tertipu, surat bukti jual beli palsu,�tandas L Suparyono, anak kelima Juminten.
Analisa
Hukum perdata adalah ketentuan hukum materil yang mengatur hubungan antara orang/individu yang satu dengan yang lain. Hukum perdata berisi tentang hukum orang, hukum keluarga, hukum waris dan hukum harta kekayaan yang meliputi hukum benda dan hukum perikatan.
Kasus diatas termasuk kasus perdata khususnya perikatan karena telah terjadi persetujuan antara Juminten dengan Susilowati dalam hal jual-beli tanah. Dalam hukum perdata peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai hukum perikatan adalah jka terjadi suatu ikatan persetujuan antara 2 pihak yang melahirkan hak dan kewajiban diantara keduanya dalam lingkup hukum kekayaan.
Tetapi dalam kasus diatas telah terjadi suatu sengketa tanah antara Juminten dan Susilowati. Sengketa ini berawal dari utang piutang yang mana Juminten berhutang tentang pembuatan sertifikat tanah serta tidak mau mengganti rugi uang yang sudah diberi oleh Susilowati. Dalam kasus ini, Juminten dianggap merugikan Susilowati, karena sudah dianggap menipu berupa tidak maunya Juminten membuat akta sertifikat tanah dan dari itu pula Juminten tidak mau mengganti dengan uang, karena Juminten beranggapan tidak pernah menjual tanah miliknya kepada Susilowati, padahal penyimpanan atau pendaftaran tanah itu wajib demi terlaksanakannya kepastian hukum. Sehingga Juminten dianggap ingkar janji (wanprestasi) atau tidaak memenuhi perikatan tersebut.
Dalam KUH Perdata pasal 1366 berbunyi �Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatanya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya�. Disini jelaslah bahwa Juminten melanggar UU tersebut[5]
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum acara perdata adalah hukum yang berfungsi untuk menegakkan atau mempertahan hukum acara perdata materiil sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku melalui lembaga peradilan.
Sumber hukum acara perdata Indonesia yaitu HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement), R.Bg (Reglement Buitengewesten), RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie), Undang-undang yang telah dikodifikasi, Undang-undang yang telah dikodifikasi, Yurisprudensi, Perjanjian internasional, dan doktrin.
Azas hukum dalam acara perdata diantaranya yaitu Hakim bersifat menunggu, hakim bersifat pasif, Peradilan terbuka untuk umum, Hakim mengadili dua pihak, Pemeriksaan dalam dua tingkat.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini diharapkan pembaca mampu untuk memahami dan mengetahui tentang hukum acara perdata di indonesia dan memahami contoh-contoh kasus hukum acara perdata di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Eka Susilawati, Hukum Acara Perdata, Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2006.
Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Prehallindo, 2001.
Mardani, HukumAcara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari�ah, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
http://wisnuwputra.blogspot.com/2014/05/contoh-kasus-hukum. html
[1]Eka Susilawati, Hukum Acara Perdata (Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2006), hlm. 2-3.
[2] Eka Susilawati, Hukum Acara Perdata, (Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2006), hlm. 5-8.
[3]Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.5-10.
[4] J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia,(Jakarta: PT. Prehallindo,2001), hlm.3.
[5] http://wisnuwputra.blogspot.com/2014/05/contoh-kasus-hukum. html