MAKALAH
IDEOLOGI PENDIDIKAN KONSERVATIF
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ideologi adalah ketidak
perubahan sampai taraf tertentu dan
mendorong sebuah kecenderungan ke arah pengamanan dan propaganda. Perubahan
pada dasarnya ada di dalam setiap sistem keyakinan mendasar, karena rangkaian
keyakinan apapun yang menjulang tinggi di jadikan pedoman dan tolak ukur
penilaian memang cenderung untuk menjadikan bentuk ramalan yang di penuhi
sendiri.
Konservatif pada dasarnya
posisi yang mendukung ketaatan terhadap pada lembaga dan proses budaya yang sudah teruji oleh waktu
dan konservatif adalah bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi
yang ada. Paradigma pendidikan konservatif bermula dari suatu kontruksi
filosofis yang lebih banyak berakibat pada aliran fi;safat pendidikan
perenialisme dan Esensialisme.
Secara teologis paham konservatif
merujuk pada teologi jabariyah atau determenisme, bahwa masyarakat pada
dasarnya tidak dapat mempengaruhi perubahan sosial, semuanya tuhan yang
menentukan. Kaum konservatif ini dalam memperjuangkan nasib rakyat enggan
melakukan konflik, yang disebut dalam bahasa agamanya disebut (qonaah).
Konservatif pendidikan sebenarnya berkembang ketika filsafat
Skolastik Berjaya. Aliran filsafat Skolastik telah mendominasi kontruksi
pengetahuan di Barat. Tepatnya ketika filosof Thomas Aquinas Berjaya dengan
seluruh pandangan-pandangan filosofisnya. Konservatisme pendidikan itu
sebenarnya tercermin dari suatu model pembelajaran di Barat yang menggunakan
istilah school dan kemudian
menjadi popular sebagai abad skolastik. Dan jika mengkaji lebih jauh
pandangan-pandangan fiosofi Aquinas, sebenarnya dia banyak mengadopsi
pandangan-pandangan Al-Ghazali yang lebih menekankan pada aspek filsafat
perenialisme (keabadian).
.
Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan
seseorang. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan
yang nantinya menjadi bekal dalam kehidupan masyarakat. Isu tentang pendidikan
menarik dan senantiasa aktual serta pendidikan tidakpernah lekang oleh zaman,
mulai dari zaman Adam, Hermes, sampai pada zaman kita sekarang bahkan juga pada
zaman-zaman berikutnya.
Pendidikan juga tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang di
tengah-tengah mayarakat. Ieologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga
pendidikan yang dilakukan di tengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu
yang identik dengan ideologi tertentu
pula.
Mengacu pada ulasan di atas maka penulis berproses kreatif untuk
menulis makalah yang berjudul “Ideologi Pendidikan Konservatif”
B.
Pembatasan
Masalah
Pembatasan masalah dimaikmmksudkan agar
karya penulis tidak terlalu luas pembahasannya sehingga penjelasan penulis
tidak terlalu mendalam. Berdasarkan
latar belakang diatas, maka penulis akan membahas tentang ideologi pendidikan
konservatif
C.
Rumusan
Masalah
Dalam penyusunan makalah ini pokok
permasalahan yang akan dirumuskan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1.
Apakah
pengertian ideologi pendidikan konservatif?
2.
Bagaimana
karakteristik ideologi pendidikan konservatif?
3.
Apa
saja macam-macam ideologi pendidikan konservatif?
D.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahuipengertian
ideologi pendidikan konservatif
2.
Mengetahui
karakteristik ideologi pendidikan konservatif
3.
Mengetahui
macam-macam ideologi pendidikan konservatif
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ideologi Pendidikan Konservatif
Secara etimologis,
ideologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu idea dan logia. Idea berasal
dari idein yang berarti “melihat”. Idea juga diartikan sesuatu
yang ada di dalam pikiransebagai hasil perumusan sesuatu pemikiran atau
rencana. Kata logia mengandung makna “ilmu pengetahuan atau teori”,
sedang kata “logis” berasal dari kata logos dari kata legein
yaitu “berbicara”.[1]Ideologi
juga dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur menangani bermacam-macam
masalah politik, ekonomi, dan sosial; asas haluan; pandangan hidup dunia.[2]
Secara istilah, ideologi adalah sebuah nilai atau keyakinan yang
diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu, ideologi tersusun
dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat,
ideologi menyediakan gambaran tentang dunia.[3]
Senada dengan Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi,
mereka dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud ideologi adalah gagasan atau ide
yang bersumber dari sekelompok manusia yang mempunyai tujuan yang sama dan
kemudian dijadikan sebagai penunjuk arah
segala keputusan yang akan diambil.[4]
Istilah
ideologi sendiri pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy
(1754-1836) ketika bergejolaknya Revolusi Perancis untuk mendefinisikan sains
tentang ide.[5]
Menurut Nurani
Soyomukti, pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam
situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Jadi, banyak hal yang dibicarakan
ketika kita membicarakan pendidikan. Aspek-aspek yang biasanya paling
dipertimbangkan antara lain: penyadaran, pencerahan, pemberdayaan dan perubahan
perilaku.[6]
Sedangkan
menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan daya untuk memajukan budi
pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelect) dan jasmani anak-anak
supayadapat memajukan kesempurnaan hidup, yaknikehidupan dan penghidupan
anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.[7]
Pengertian
ideologi pendidikan kemudian dirumuskan sebagai suatu konstruksi pemikiran
pendidikan yang berada pada level abstraksi lebih tinggi atau bisa dipahami
sebagai rangkaian konsep pendidikan dari sudut filosofi tertentu yang kemudian
menjadi model pendidikan tertentu. Di sinilah pengertian ideologi pendidikan
setara dengan konstruksi filsafat pendidikan. Ideologi pendidikan adalah suatu
konstruksi filosofis dari beragam aliran-aliran filsafat pendidikan.[8]
Pengertian
konservatif berdasarkan Kamus Ilmiah Populer adalah tertutup (dari
pengaruh/pembaharuan); kolot; adat mempertahankan tradisi/kebiasaan.[9]
Ideologi pendidikan
konservatif adalah ideologi di dalam pendidikan yang lebih banyak memproduksi
kesadaran semu karena memiliki kecenderungan ke arah nilai-nilai transendental
yang lebih dekat maknanya dengan mistik. Ideologi ini lebih bersifat tertutup
terhadap perubahan yang terjadi. Ideologi ini cenderung memahami peran manusia
sebagai subjek nasib (takdir Tuhan),
maka dia hanya sekedar meyakini ketentuan nasib itu, tanpa berbuat seperti yang
dikehendakinya.
Ideologi
pendidikan konservatif adalah ideologi yang mempunyai keyakinan bahwa
masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi
perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya
Dia yang tahu makna dibalik itu semua.
Konservatif berkaitan dengan cara- cara di mana
pengetahuan mutlak dapat dan mustahil diketahui, apakah melalui Tuhan ataukah
penalaran; wahyu ataukah keyakinan; kata hati ataukah otoritatif. Sedangkan
perbedaan dalam ideologi- ideologi liberal berkaitan dengan hubungan antara
individu dengan masyarakatnya.
Paradigma pendidikan konservatif bermula dari
suatu kostruksi filosofis yang lebih banyak berkiblat pada aliran filsafat
pendidikan Parenialisme dan Esensialisme. Konsep-konsep dasar
tentang berbagai unsur pendidikan cenderung bersifat statis serta kurang mampu
mengakomodir pandangan-pandangan baru (eksklusif). Orientasi pendidikan
konservatif adalah untuk mempertahankan nilai-nilai normatif yang telah mapan (status
quo). Pendidikan tidak jauh berbeda dengan prses transfer nilai yang
kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup.
Dua aliran filsafat pendidikan ini (parenialisme
dan esensialisme) sebenarnya memiliki orientasi yang sama, yakni
lebih meyakini nilai-nilai keabadian sebagai tujuan akhir. Jika parenialisme
langsng memahami rientasi akhir dari pendidikan sebagai pengakuan terhadap
nilai-nilai transendental. Sedangkan esensialisme lebih meyakini
nilai-nilai kemanusiaan yang lebih fundamental, yaitu dimensi moralitas yang
bersumber dari ajaran agama. Meskipun model atau perwujudan aliran filsafat
pendidikan kelihatan berbeda, namun secara substantif adalah sama.
Paradigma konservatif, bagi mereka ketidak
kesederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang
mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau
bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang
harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara
saja.[10]
Pendidikan yang berhaluan konservatif kemudian
lebih banyak memproduksi kesadaran semu karena mamiliki kecenderungan ke arah
nilai-nilai transendental. Karena, sejatinya nilai-nilai traansendental itu
lebih dekat maknanya dengan mistik. Dalam bahasanya Paulo Freire nilai-nilai
transendental itu kemudian mempengaruhi pola kesadaran manusia yang kemudian
disebut magic consciousness (kesadaran magis). Proses transformasi nilai
lebih disandarkan pada aspek-aspek dogmatis yang bersifat supra natural
sehingga manusia hanyalah sebatas menjadi objek dari perintah-perintah (dogma)
magis itu. Bahkan, konsep-konsep dasar tentang hakikat manusia dan pendidikan
terlalu menenggelamkan aspek-aspek
potensi manusia. Mu’arif sering menyatakan dengan terang-terangan tanpa tedeng
aling-aling, bahwa pendidikan konservatif atau tradisionalis itu tidak humanis.
Dalam mengkonsumsi konsep hakikat manusia
misalnya, pendidikan konservatif menempatkan posisi manusia sebagai objek
dogma-dogma. Bahkan dalam implementasinya, manusia sering dijadikan sebagai
objek dogma-dogma itu sehingga melahirkan kesadaran magis yang cenderung
menempatkan posisi manusia sebagai objek
tak berdaya (cognizable).
Karena cenderung menahami peran dan posisi
manusia sebagai subjek nasib (takdir Tuhan), maka dia hanya sekedar meyakini
ketentuan nasib itu, tanpa berbuat seperti yang dikehendakinya. Malah keyakinan
pada kekuatan di luar dirinya lebih dominan sehingga mengakibatkan sikapnya
cenderung fatalistik.
Manusia itu tidak berdaya melawan nasib
misalnya, karena itu dia tidak bisa memahami potensi-potensi diri sendiri dan
realitas sosial yang dihadapinya. Dalam perspektif teologi Islam, posisi
manusia dengan ketakberdayaannya menghadapi nasib (takdir) tertuang dalam
doktrin-doktrin (jabbariyah). Persoalan nasib manusia merupakan suratan
takdir yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Jika manusia melawan nasib,
sama artinya dia melawan takdir (Tuhan).
Setara dengan John Dewey, teori konservatif
mengemukakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan terhadap pribadi
anak tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada dalam
diri anak. Pendidikan akan menentukan segalanya. Dalam arti, pendidikan
merupakan suatu proses pembentukan jiwa dari luar, dimana mata pelajaran telah
ditentukan menurut kemauan pendidik, sehingga anak tinggal menerima saja.[11]
Konsep pendidikan konservatif kemudian lebih
banyak dimanfaatkan oleh sekelompok orang dengan kepentingan tertentu untuk
melanggengkan norma-norma atau untuk konteks kekuasaan dijadikannya sebagai
legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Karena, keyakinan fatalistik
itu memaang sangat rentan ditumpangi oleh kepentingan politik tertentu.
Konservatisme pendidikan sebenarnya berkembang
ketika filsafat Skolastik berjaya. Aliran filsafat Skolastik telah mendominasi
konstruksi pengetahuan di Barat. Tepatnya ketika filosof Thomas Aquinas berjaya
dengan seluruh pandangan-pandangan filosofisnya. Konservativisme pendidikan itu
sebenarnya tercermin dari suatu model pembelajaran Barat yang menggunakan
istilah school dan kemudian menjadi populer sebagai abad Skolastik. Dan
jika mengkaji lebih jauh seputar pandangan-pandangan filosofi Aquinas,
sebenarnya dia banyak mengadopsi pandangan-pandangan Al-Ghazali yang lebih
menekankanpada aspek filsafat Parenialisme (keabadian).
Pandangan konservatisme pendidikan
sebenarnya bermuara pada satu prinsip
fundamental, bahwa sejatinya realitass kosmis ini merupakan suatu tatanan
statis dan baku yang datang dari Sang Pencipta-nya. Manusia dengan segenap
makhluk ciptaan Tuhan yang lain di bumi tidak memiliki daya upaya untuk
mengubah tatanan semesta kosmis itu. Termasuk dalam konteks ini adalah masalah
nasib dan kebebasan hiup manusia. Seluruh nasib manusia merupakan suatu suratan
takdir yang tidak bisa diganggu gugat.
B.
Karakteristik
Ideologi Pendidikan Konservatif
Dari
konservatif pendidikan, terdapat beberapa cirri-ciri umum yang mana ciri-ciri
ini sebagian besar memiliki konsep yang sama dengan pemikiran filsafat secara
umum, diantaranya:
1.
Menganggap
bahwa nilai dasar pengetahuan ada pada kegunaan sosialnya, bahwa pengetahuan
adalah sebuah cara untuk mengajukan nilai-nilai yang bagus.
2.
Memusatkan
perhatian kepada tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga sosial yang ada menekankan
situasi sekarang (yang dipandang melalui sudut pandang kesejarahan yang relatif
dangkal dan berpusat pada etnisnya sendiri).
3.
Menekankan
stabilitas budaya melebihi kebutuhan akan pembaharuan atau perombakan budaya,
hanya menerima perubahan-perubahan yang pada dasarnya cocok dengan tatanan sosial
yang sudah mapan.
4.
Menekankan
manusia sebagai warga negara, manusia dalam perannya sebagai anggota negara
yang mapan.
5.
Menganggap
bahwa wewenang intelektual tertinggi adalah budaya dominan dengan segenap sistem
keyakinan dan perilaku yang mapan.
6.
Menekankan
penyusuaian diri yang menalar menyandarkan diri pada jawaban-jawaban terbaik
dari masa silam sebagai tuntunan yang paling bisa dipercaya untuk memadukan tindakan
di masa kini.
7.
Berdasarkan
sebuah sistem budaya tertutup (etnosentrisme), menekankan
tradisi-tradisi sosial yang dominan, dan menekankan perubahan secara bertahap
di dalam situasi sosial yang secara stabil.
8.
Mengakar
pada kepastian-kepastian yang telah teruji oleh waktu, dan meyakinkan bahwa
gagasan-gagasan serta praktek-praktek yang lahir dari spekulasi yang relatif
dan tak kendali.
9.
Memandang
pendidikan sebagai sebuah pembelajaran (sosialisasi) nilai system-sistem yang
mapan.[12]
Dalam
strateginya, pendidikan konservatif lebih mempertentangkan antara pihak
pendidik dan peserta didik dalam pola hubungan struktural. Paulo Freire sering
mengasosiakan pola pemahaman pendidikan konservatif sebagai model pendidikan “gaya
bank” (banking concept of education).[13]
Pembelajaran gaya bank sebagai berikut:
·
Guru
mengajar, murid belajar
·
Guru
tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
·
Guru
mengatur, murid di atur
·
Guru
memaksakan pilihan, murid menuruti
·
Guru
berfikir, murid difikirkan
·
Guru
memilih apa yang di ajarkan, murid menyesuaikan diri
·
Guru
adalah subjek proses belajar, murid adalah objeknya
·
Guru
bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan
gurunya
Akibatnya,
Pendidikan tidak dinamis dan hanya memberikan kontribusi dogma-dogma magis dan
tidak mampu mengubah nasib hidup manusia. Proses pendidikan seakan-seakan
seperti proses transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada muridnya. Bisa
dikatakan transfer ilmu yang cenderung satu arah dan mengabaikan kreatifitas
peserta didik.
Dengan preferensi
demikian, pendidikan tentu saja jauh dari konsepsi sebagai suatu aktivitas
interaksi sosial yang menjadi wahana individu menemukan kepribadiannya dan
budaya masyarakatnya. Padahal dalam konsepsi semacam ini, setidaknya pendidikan
dimungkinkan mampu membuka ruang untuk
pelatihan-pelatihan dasar dalam rangkapengaturan perilaku dan tata cara
pemenuhan kebutuhan selaras dengan ketentuan sosial, pemerolehan norma-norma
sosial dan pembelajaran peran-eran sosial.[14]
Namun, di balik
itu semua, ideologi pendidikan konservatif berperan dalam melestarikan berbagai
nilai budaya sebagai warisan masa lalu. Peran ideologi konservatif dalam kurikulum
misalnya, salah satu tanggung jawab
kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial pada generasi
muda. Dengan adanya peranan konservatif ini, maka sesungguhnya kurikulum itu
berorientasi pada masa lampau. Meskipun demikian, peranan ini sangat mendasar
sifatnya.[15]Dikaitkan
dengan era globalisasi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memungkinkan mudahnya pengaruh budaya asing menggerogoti budaya lokal.
Melalui ideologi konservatifnya, berperan dalam menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak
nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga identitas masyarakat akan terpelihara
dengan baik.[16]
Hal positif
aliran konservatif di sisi lain, yakni
rasa tanggungjawab keagamaan yang kuat yang belum pernah ditemukan adanya rasa
tanggungjawab moral serupa pada generasi berikutnya. Dengan aktivitas mengajar
bukan sekedar tanggungjawab kemanusiaan tetapi merupakan tanggungjawab yang
sangat penting.[17]
Kaum
konservatif cenderung untuk memandang perwujudan diri sebagai sebuahtujuan yang
hanya bisa didekati secara tidak langsung melalui dedikasi yang kuat terhadap
kenyataan mutlak Tuhan, hukum, alam, tradisi, atau apapun yang melampaui
pengalaman manusia biasa.
Ideologi
konservatif memandang tujuan pendidikan sebagai memelihara nilai-nilaiyang
dipercaya sudah mapan, telah teruji sejarah bahwa nilai-nilai tersebut benar.
Benar karena berdasarkan agama (fundamentalis), benar karena berdasarkan ilmu
(intelektualisme), benar karena tradisi. Keyakinan-keyakinan ini disamping
menentukan tujuan memelihara atau melestarikan nilai-nilai mapan, juga
berpengaruh pada memandang posisi guru sebagai subjek pendidikan, memandang
posisi anak sebagai objek pendidikan, dan materinya adalah ilmu-ilmu yang telah
tersusun mapan dalam teori-teori ilmiah.[18]
C.
Macam-macam
Ideologi Pendidikan Konservatif
Bagi kaum konservatif,
ketidaksejajaran masyarakat merupakan suatu keharusan hukum alam, suatu hal
yang mustahil dihindari, serta seakan-akan sudah menjadi ketentuan sejarah atau
bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus
diperjuangkan karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara. Dalam
bentuk yang klasik awal, paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan
bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan hanya akan
membuat manusia lebih sengsara. Dalam bentuknya yang klasik atau awal paradigma
konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak
bisa merencanakan atau mempengaruhi perubahan sosial. Hanya Tuhanlah yang
merencanakan masyarakat.
Ideologi-ideologi
pendidikan konservatif terdiri dari tiga tradisi pokok, yaitu:
1.
Fundamentalisme
Pendidikan
Fundamentalisme pendidikan ini meliputi dari
semua corak konservatisme politik yang pada dasarnya anti-intelektual dalam
arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan /
intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang
relatif tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial
yang mapan (yang biasa diabsahkan sebagai akal sehat).[19] Dari
sisi politik, konservatime reaksioner merupakan gagasan untukkembali kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan
masa silam, baikyang pernah ada ataupun sekedar dikhayalkan.
Dalam sebuah ungkapan politisnya, terdapat dua
variasi atau sudut pandang jika diterapkan dalam pendidikan. Variasi yang
pertama fundamentalisme pendidikan religius,
yang tampak dalam gereja-gereja kristen tertentu yang lebih bersifat
fundamentalis, yang memiliki komitmen sangat kuat terhadap pandangan atas
kenyataan yang cukup kaku. Variasi yang kedua fundamentalisme pendidikan
sekular yang mempunyai ciri mengembangkan komitmen yang sama tidak luwesnya
dibanding yang religius, terhadap cara pandang dunia melalui akal sehat yang
sudah disepakati, menjadi pandangan dunia orang biasa.
2.
Intelektualisme
Pendidikan
Intelektualisme
lahir dari ungkapan-ungkapan konservatisme politik yang didasarkan pada
sistem-sistem pemikiran filosofis atau religius yang pada dasarnya otoritarian.
Konservatisme filosofis ingin mengubah praktik politik yang ada
(termasukpraktik pendidikan) guna menyesuaikan lebih sempurna dengan cita-cita
intelektual atau ruhaniah yang sudah apan dan tidak bervariasi.
Terdapat dua
variasi mendasar: intelektualisme pendidikan yang pada intinya bersifat
sekular, dan intelektualisme teologis yang memiliki orientasi sebagaimana
terpantul dalam tulisan-tulisan para filosof pendidikan KatolikRoma
kontemporer, William Mc Gucken dan John Donahue.[20]
3.
Konservatisme
Pendidikan
Konservatisme pendidikan ini berbeda dengan
kedua ideologi yang ada di atas karena ideologi konservatisme ini cenderung
untuk mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang
sudah teruji oleh waktu. Konservatisme ini menaruh hormat terhadap hukum dan
tatanan sebagai landasan perubahan sosial yang kontruktif.
Dalam dunia pendidikan, seorang konservatif
beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan
pola-pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan. Ada dua unngkapan
dasar konservatisme dalam pendidikan yaitu konservatisme pendidikan religius
yang mana lebih menekankan peran sentral pelatihan rohaniah sebagai
landasan pembangunan karakter moral yang tepat. Yang kedua yaitu konservatisme
pendidikan sekular, yang memusatkan perhatiannya pada perlunya melestarikan
dan meneruskan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang sudah ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ideologi pendidikan konservatif adalah ideologi di dalam pendidikan
yang lebih banyak memproduksi kesadaran semu karena memiliki kecenderungan ke
arah nilai-nilai transendental yang lebih dekat maknanya dengan mistik.
Ideologi ini lebih bersifat tertutup terhadap perubahan yang terjadi. Ideologi
ini cenderung memahami peran manusia sebagai
subjek nasib (takdir Tuhan), maka dia hanya sekedar meyakini ketentuan
nasib itu, tanpa berbuat seperti yang dikehendakinya.Ideologi pendidikan
konservatif adalah ideologi yang mempunyai keyakinan bahwa
masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi
perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya
Dia yang tahu makna dibalik itu semua.
Karakteristik
ideologi pendidikan konservatif, diantaranya: menganggap bahwa nilai dasar pengetahuan ada pada kegunaan
sosialnya, memusatkan perhatian kepada tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga
sosial yang ada menekankan situasi sekarang, menekankan stabilitas budaya
melebihi kebutuhan akan pembaharuan atau perombakan budaya, hanya menerima
perubahan-perubahan yang pada dasarnya cocok dengan tatanan sosial yang sudah
mapan, menekankan manusia sebagai warga negara, manusia dalam perannya sebagai
anggota negara yang mapan, menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi
adalah budaya dominan dengan segenap sistem keyakinan dan perilaku yang mapan.
Macam-macam ideologi pendidikan konservatif ada tiga, yaitu:
1.
Fundamentalisme
pendidikan
2.
Intelektualisme
pendidikan
3.
Konservatisme
pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Arif,
Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transfomatif. Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta.
Dananjaya,
Utomo. 2011. Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Nuansa.
Hamalik,
Oemar. 2007. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Hamidi,
Jazim. dan Mustafa Lutfi. 2010. Civic Education; antara Realitas Politik dan
Implementasi Hukumnya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kosim,
Mohammad. 2013. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Pena Salsabila
Maragustam.2010.
Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna; Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Nuha Litera.
Maulana,
Achmad dkk. 2008. Kamus Ilmiah
Populer Lengkap; dengan EYD dan Pembentukan Istilah serta Akronim Bahasa
Indonesia Edisi Terbaru. Yogyakarta: Absolut.
Mu’arif.
2008. Liberalisasi Pendidikan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
O’Neill,
William F. 2002. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Partanto,
Pius dan M. Dahlan Barry. 2001. Kamus Ilmiah
Populer. Surabaya: Arkola Offset.
Sadulloh,
Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Sanjaya,
Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran; Teori dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Soyomukti,
Nurani. 2010. Teori-teori Pendidikan; Tradisional, (Neo) Liberal,
Marxis-Sosialis, Postmodern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Suardi,
Moh. 2015. Ideologi Politik Pendidikan Kontemporer. Yogyakarta:
Deepublish.
[1] Moh. Suardi, Ideologi
Politik Pendidikan Kontemporer, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), hlm. 9.
[2]Pius Partanto
dan M. Dahlan Barry, Kamus Ilmiah
Populer, (Surabaya: Arkola Offset, 2001), hlm. 245-246.
[3]William F.
O’Neill, Ideologi-ideologi Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2002), hlm. 33.
[4]Jazim Hamidi
dan Mustafa Lutfi, Civic Education; antara Realitas Politik dan Implementasi
Hukumnya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 60.
[5]Suardi, Ideologi
Politik Pendidikan Kontemporer, hlm. 9.
[6]Nurani Soyomukti,
Teori-teori Pendidikan; Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,
Postmodern, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 27.
[7]Mohammad Kosim,
Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 24.
[8]Mu’arif, Liberalisasi
Pendidikan, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008), hlm.
[9]Achmad Maulana,
dkk, , Kamus Ilmiah Populer Lengkap;
dengan EYD dan Pembentukan Istilah serta Akronim Bahasa Indonesia Edisi
Terbaru, (Yogyakarta: Absolut, 2008), hlm. 239.
[10]William
F.O’neil, Ideologi- ideologi Pendidikan,, hal, 97.
[11]Pandangan
tersebut dikemukakan oleh Dewey sebagai berikut: “it is rather formation of
mind by setting up certain associations or connection of content by means of a subject matter
presented from without. Education proceeds by instructions taken a stricly
liberal sense, a building into the mind from without”. Lihat, Uyoh
Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 124.
[12]. William
F.O’neil, hlm. 336-337
[13]. Mu’arif,LiberalisasiPendidikan,
hlm. 70
[14]Mahmud Arif, Pendidikan
Islam Transfomatif, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2008), hlm. 116-117.
[15]Oemar Hamalik, Dasar-dasar
Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 12.
[16]Wina Sanjaya, Kurikulum
dan Pembelajaran; Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.
10-11.
[17]Maragustam, Mencetak
Pembelajar Menjadi Insan Paripurna; Falsafah Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Nuha Litera, 2010), hlm. 100-101.
[18]Utomo
Dananjaya, Media Pembelajaran Aktif, (Bandung: Nuansa, 2011), hlm. 11
[20]Utomo
Dananjaya, Media Pembelajaran Aktif, hlm. 12.