Di Ajukan Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum
Perkawinan yang di ampu oleh bapak Maimun M.Ag
Oleh:
SYAIFUL HIDAYAT
NIM.
18201202010070
PROGRAM
STUDI AL-AKHWAL AS-SYAKHSIYAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah agama yang syumul (universal).
Agama yang mencakup semua sisi kehidupan, tidal ada satu masalah pun
dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan, dan tidak ada satu pun masalah yang
tidak disentuh nilai islam, walau masalah tersebut Nampak kecil dan sepele.
Itulah Islam, agama yang member rahmat bagi sekuruh alam.
Dalam
masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak, dimulai bagaimana cara
mencari kriteria bakal calon pendamping hidup hingga bagaimana memperlakukannya
dikala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam memiliki tuntunannya, begitu
pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang
meriah, namun tetap mendapat berkah dan tidak melanggar tuntunan Rasulullah
SAW, demikian halnya dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh pesona.
Telah membudaya dikalangan masyarakat umum, baik
masyarakat dari lapisan bawah maupun lapisan atas, ketika terlaksana pernikahan
akan dilaksanakan pula sebuah perayaan dalam rangka mensyukuri terselenggaranya
momen tersebut. Dalam merayakannya itupun sangat variatif. Ada yang
dilaksanakan secara kecil-kecilan dengan hanya sebatas menjamu para undangan
dengan makanan sekedarnya atau bahkan ada yang merayakannya secara
besar-besaran, dengan memakan waktu berhari-hari dan dengan beraneka
ragam hiburan dan makanan yang disajikan hingga terkesan berlebihan.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini rumusan masalah yang
dapat kami paparkan adalah sbb:
1.
Apa pengertian
walimah?
.2.
Apa lafazh,
terjemahan, takhrij, dan syarah hadits tentang walimah?
.3.
Bagaimana
hukum dan anjuran walimah dalam islam?
4.
Bagaimana kriteria
walimah yang islami?
5.
Apa hikmah
penyelenggaraan walimah?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui
pengertian walimah.
2. Untuk mengetahui lafazh, terjemahan, takhrij, dan syarah
hadits tentang walimah.
3. Untuk memahami hukum
dan anjuran walimah dalam islam.
4.
Untuk mengetahui
kriteria walimah yang islami.
5.
Untuk mengetahui
hikmah penyelenggaraan walimah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Walimah
Walimah (١ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ)
artinya al-jam’u yaitu kumpul, sebab suami dan istri berkumpul. Walimah (١ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ)
berasal dari bahasa arab١ﻠﻭﻠﻴﻡ
artinya makanan
pengantin. Maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta
perkawinan.Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau
lainnya.[1]
Walimah
adalah istilah yang terdapat dalam literatur arab yang secara arti kata berarti
jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk penghelatan di
luar perkawinan.[2] Sedangkan definisi yang terkenal di kalangan ulama,
walimatul ‘ursy diartikan dengan perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat
Allah atas telah terlaksananya akad perkawinan dengan menghidangkan makanan.
B. Lafaz
dan Arti Hadits I
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ،
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا دُعِيَ
أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا» روه مسلم
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, ia berkata, “Aku bacakan kepada
Malik”, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian diundang kepada suatu walimah, maka
hendaklah ia menghadirinya”. (HR. Muslim)[3]
C. Takhrij
Hadits I
Jika
dilihat dari lafaz الْوَلِيمَةِ
[4]maka
menurut kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras, hadits tersebut diriwayatkan oleh:
1.
Bukhari,
Kitab Nikah, bab ke-71.
2.
Muslim,
Kitab Nikah, bab ke-96.
3.
Abu
Daud, Kitab Ath’imah, bab ke-1.
4.
Ibnu
Majah, Kitab Thaharah, bab ke-25.
5.
Ad-Darimi,
Kitab Nikah, bab ke-23.
6.
Imam
Malik, kitab Nikah, bab ke-49.
7.
Ahmad
bin Hambal, Juz II, hal. 20, 22, dan 27.
D. Syarah
Hadits I
Imam
Muhyiddin An-Nawawi di dalam kitab Syarah Shahih Muslim menjelaskan, bahwa
hadits ini memerintahkan untuk hadir apabila seseorang diundang kesuatu acara
walimah.Akan tetapi, disini terdapat beberapa perbedaan pendapat, mengenai amar
atau perintah dalam hadits tersebut, apakah bersifat wajib atau sunat?
Perbedaan pendapat itu adalah: untuk undangan walimatul ‘ursy hukumnya 1. fardu
‘ain bagi setiap orang yang diundang, dan kefarduan tersebut bisa hilang dengan
sebab uzhur. 2. Fardu kifayah. 3. Sunat. Sedangkan undangan acara selain
walimatul ‘ursy terdapat juga perbedaan pendapat, pendapat yang pertama
mengatakan bahwa hukumnya sama dengan walimatul ‘ursy, dan pendapat yang kedua
mengatakan bahwa hukumnya sunat.[5]
Adapun
macam-macam uzhur yang menyebabkan gugurnya kewajiban menghadiri undangan
walimah adalah:
1.
Makanan
yang disediakan mengandung syubhat.
2.
Undangan
tersebut khusus bagi orang kaya saja.
3.
Ada yang
akan terzholimi dengan sebab kehadirannya.
4.
Majlis
walimah itu tidak layak dihadiri.
5.
Apabila
kedatangannya itu semata-mata karena menginginkan sesuatu dari si pengundang
atau karena takut kepadanya.
6.
Apabila
di dalam acara tersebut terdapat perkara-perkara mungkar seperti jamuan khamar atau alat-alat lahwi, dan lain
sebagainya. [6]
E. Lafaz
dan Arti Hadits II
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ
الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ:
«شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الوَلِيمَةِ، يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ
الفُقَرَاءُ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ» روه البخرى
Artinya: Telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Yusuf, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari
A’raj, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda, “seburuk buruk makanan adalah makanan walimah(pesta) dimana yang
diundang hanyalah orang orang kaya sedangkan orang orang fakir tidak diundang,
siapa yang tidak memenuhi undangan walimahan, maka ia durhaka kepada Allah dan
Rasulnya”. (H.R. Bukhari)[7]
F. Takhrij
Hadits II
Jika dilihat dari lafaz الْوَلِيمَةِ
[8]maka
menurut kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras, hadits tersebut diriwayatkan oleh:
1.
Bukhari,
Kitab Nikah, bab ke-72.
2.
Muslim,
Kitab Nikah, bab ke-107, 109, dan 110.
3.
Abu
Daud, Kitab Ath’imah, bab ke-1.
4.
Ibnu
Majah, Kitab Thaharah, bab ke-25.
5.
Ad-Darimi,
Kitab Nikah, bab ke-28.
6.
Imam
Malik, kitab Nikah, bab ke-50.
7.
Ahmad
bin Hambal, Juz II, hal. 241, 267, dan 405.
G. Syarah Hadits II
Ibnu
hajar Al-Asqalani dalam Fathul Barri Fi Syarhi Shahih Al-Bukhari menerangkan,
bahwa hidangan dalam acara walimah akan menjadi makanan atau hidangan terburuk
atau paling tercela ketika acara walimah tersebut hanya terkhusus kepada
orang-orang kaya saja. Karena itu Ibnu mas’ud berkata, “Apabila suatu walimah
hanya dikhususkan kepada orang kaya saja sementara orang miskin tidak diundang,
maka kita diperintahkan untuk tidak menghadirinya”. Tetapi, jika undangan
tersebut disebarkan secara umum, baik kepada orang kaya maupun fakir, maka
hidangan walimah tidak akan menjadi makanan tercela.[9]
Jadi,
kalimat فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُmenunjukkan
kewajiban untuk menghadiri setiap undangan.Orang yang tidak menghadirinya
dianggap telah memaksiati Allah dan Rasul, karena meninggalkan suatu kewajiban
yang diperintahkan oleh Rasul, sementara meninggalkan atau tidak melaksanakan
yang diperintah oleh rasul adalah maksiat.[10]
2.Makna Mufradat Hadits I dan II
Dari dua
hadits di atas, ada beberapa mufrad atau kosa kata yang menurut penulis perlu
untuk diberikan makna atau terjemahannya secara harfiyah atau lughowiyah; دُعِيَ=
diundang/diajak[11]الْوَلِيمَةِ=
pesta/kenduri[12]يَأْتِىberasal dari kata أتى=
datang[13]شَرّ= tidak baik/jahat[14]الطَّعَامِ =
makanan[15]الأَغْنِيَاءُjamak dari الغني =
yang kaya[16]الفُقَرَاءُjamak dari الفقير =
fakir.[17]
3. Hukum dan Anjuran Walimah Dalam Islam
Walimah
merupakan amalan yang sunnah. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat dari Anas
bin Malik, bahwa Nabi SAW pernah berkata kepada Abdurrahman bin ‘Auf:
أولم ولو بشاة (متفق عليه)
Artinya: Adakan walimah, meski hanya dengan
satu kambing.[18]
Dalam hadis lain dijelaskan:
عن انس قال: ما اولم رسول الله صلي الله عليه
وسلم علي شيء من نسائه ما او لم علي زينب اولم بشاة (رواه بخاري ومسلم )
Artinya: Dari Anas, ia
berkata "Rasulullah SAW belum pernah mengadakan walimah untuk
istri-istrinya, seperti Beliau mengadakan walimah untuk Zainab, Beliau
mengadakan walimah untuknya dengan seekor kambing" (HR Bukhari dan
Muslim).[19]
Jumhur
ulama berpendapat, bahwa walimah merupakan suatu hal yang sunnah dan bukan
wajib.[20]
Ibnu
Taimiyah pernah ditanya tentang walimatul ‘ursy. Beliau menjawab, “ Segala puji
bagi Allah. Kalau walimatul ‘ursy hukumnya adalah sunah, dan diperintahkan
menurut kesepakatan ulama.Bahkan sebagian mereka ada yang mewajibkan, karena
menyangkut tentang pemberitahuan nikah dan perayaannya, serta membedakan antara
pernikahan dan perzinahan.Oleh karena itu, menurut pendapat ulama, menghadiri
hajat pernikahan adalah wajib hukumnya jika orang yang bersangkutan ada
kesempatan dan tidak ada halangan.[21]
Sedangkan
hukum menghadiri undangan, Jumhur ulama penganut Imam Asy-Syafi’i dan Imam
Hambali secara jelas menyatakan bahwa mengahadiri undangan ke walimatul ‘ursy
adalah fardu ‘ain. Adapun sebagian dari penganut keduanya ini berpendapat bahwa
menghadiri undangan tersebut adalah sunnah. Sedangkan dalil hadis yang sudah
disebutkan di atas menunjukkan adanya hukum wajib menghadiri undangan.Apalagi
setelah adanya pernyataan secara jelas bahwa orang yang tidak mau menghadiri
undangan telah berbuat maksiat kepada Allah SWTdan Rasul-Nya SAW.[22]
4. Walimah
Yang Islami
Suatu
amalan akan menjadi sangat berkah ketika dilakukan karena mengharap ridha Allah
SWT, termasuk dalam penyelenggaraan acara walimah. Selain itu ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan walimah, yaitu:
1.
Sesuai
dengan hadits di atas, bahwa undangan tidak boleh dikhususkan terhadap
orang-orang kaya saja, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang.
2.
Orang
yang mengundang untuk walimah jangan sampai melupakan kerabat dan
rekan-rekannya. Jika yang diundang hanya sebagian diantara mereka, tentu akan
menyakiti hati sebagian yang lain yang tidak diundang. Dan yang pasti,
orang-orang yang shaleh ahrus diundang, apakah mereka fakir ataupun kaya.[23]
3.
Disunnahkan
menyelenggarakan walimah dengan menyembelih seekor domba atau lebih jika memang
ada kesanggupan.
4.
Penyelenggaraan
walimah ini harus dimaksudkan untuk mengikuti sunnah dan menyenangkan
saudara-saudara.
5.
Dalam
walimah harus dihindarkan hal-hal yang sudah biasa menyebar pada zaman
sekarang, yang diwarnai dengan berbagai kemungkaran dan dosa serta yang jelas
diharamka syari’at, seperti meminum jenis-jenis minuman yang memabukkan atau
apapun yang diharamkan, dan laki-laki yang bercampur dengan wanita. Artinya
tidak berbaur antara tamu pria dan tamu wanita [24]
6.
Menghindari
hiburan yang merusak. Contohnya, suguhan acara tarian oleh wanita-wanita yang
berbusana tidak sesuai dengan syariat islam, bahkan cenderung mempertontonkan
aurat.
7.
Dalam
rumah tempat walimah itu tidak terdapat perlengkapan yang haram.
Karena,
ketika di tempat terselenggaranya walimah tersebut terdapat perlengkapan yang
diharamkan oleh agama, maka acara tersebut sudah tidak sesuai dengan batasan
walimah yang dianjurkan oleh agama. Salah-satu contoh dari peralatan tersebut
telah dijelaskan dalam hadits Rosul yang artinya: “Dari Hudzaifah Al-Yaman
R.A. Ia berkata: Rosululoh S.A.W. bersabda: “ janganlah kamu minum dangan
bejana emas dan perak dan janganlah kamu makan dengan piring emas dan
perak, karena Ia untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk Kamu nanti di
akhirat.(muttafaq alaih).”[25]
2. Adab-Adab Dalam Memenuhi Undangan
Ada
beberapa adab yang harus diperhatikan dalam memenuhi undangan.[26]
Yaitu:
1.
Tidak
sekedar untuk memuaskan nafsu perut, tetapi harus diniati untuk mengikuti
perintah syari’at, menghormati saudaranya, menyenangkan hatinya, mengunjunginya
dan menjag dirinya dari timbulnya buruk sangka jika dia tidak memenuhi undangan
itu,
2.
Mendo’akan
tuan rumah jika sudah selesai makan dan mendoakan kedua mempelai dalam undangan
walimatul ‘ursy.
3.
Tidak
memenuhi undangan jika di sana ada kedurhakaan. Dan lain sebagainya, termasuk
ada baiknya membantu dengan harta bagi kerabat yang kaya dalam penyelenggaraan
walimah.
5. Hikmah
Walimah
Ada
beberapa hikmah dalam pelaksanaan walimah, diantaranya:
1.
Merupakan rasa syukur
kepada Allah SWT.
2.
Tanda penyerahan anak
gadis kepada suami dari kedua orang tuanya.
3.
Sebagai tanda resmi
akad nikah.
4.
Sebagai tanda memulai
hidup baru bagi suami-istri.
5.
Sebagai realisasi
arti sosiologi dari akad nikah.
6.
Sebagai pengumuman
bagi masyarakat, bahwa antara mempelai telah resmi menjadi suami istri,
sehingga mastarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua
mempelai.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1.
Walimatul ‘ursy diartikan dengan perhelatan dalam
rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya akad perkawinan dengan
menghidangkan makanan.
2.
Kebanyakan
ulama berpendapat, bahwa penyelenggaraan walimah hukumnya adalah sunnah bukan
wajib, sementara menghadirinya adalah wajib ketika tidak ada udzur yang
menyebabkan gugurnya kewajiban itu.
3.
Sangat
banyak adab-adab yang harus dijaga bagi setiap orang yang mengadakan walimah
supaya walimah tersebut terkesan islami dan tidak menyimpang dari tuntunan
Rasululah SAW.
4.
Hikmah
penyelenggaraan walimah juga bermacam-macam, salah-satunya adalah sebagai pengumuman bagi masyarakat,
bahwa antara mempelai telah resmi menjadi suami istri, sehingga mastarakat
tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.
B.
Saran
Dengan selesainya makalah ini, penulis
menyadari tentunya masih banyak
kekurangan dalam penulisannya, maka dari itu kami mengharapkan kritikan
dan saran yang sifatnya membangun dari teman-teman, tak terkecuali dari
bapak dosen pembimbing yang membawakan mata kuliah ini untuk perbaikan
tugas-tugas selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Slamet, Fiqih Munakahat. (Bandung : Cv Pustaka Setia, 1999)
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Barri Fi
Syarhi Shahih Al-Bukhari, (Darul Mishri, 2001 M/1421 H), Juz.IX.
-------------, Terjemah Kitab Bulughul Maram,
(Surabaya :Mutiara Ilmu).
Al-Bukhari,
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, (Kairo: Darul
Haisyim, 2003), Juz. III.
Al-Iraqy, Butsainan As-Sayyid, Rahasia
Pernikahan Yang Bahagia, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 1998).
An-Nawawi, Imam Muhyiddin, Syarah Shahih
Muslim,( Beirut-Libanon: Darul Ma’rifah, 2007), Juz. IX.
Muslim, Imam, Shohih Muslim, (Beirut-Libanon:
Darul Ma’rifah, 2007 M/1428H), Juz. IX.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di
Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:
Prenada Media, 2006)
Taimiyah, Ibnu, Majmu’ Fatawa Tentang Nikah,
(Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2002).
Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat,
(Serang:Rajawali Pers, 2008).
‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih
Wanita, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008).
Wensink, A.J. /Muhammad Fuad Abdul Baqiy, Mu’jam
Al-Mufahras Li Alfazl Hadits An-Nabawiyah,(Laiden: Brill, 1936), Jilid. 7.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1990)
[1]Slamet
Abidin, Fiqih Munakahat.(Bandung : Cv Pustaka Setia, 1999) hlm. 149.
[2]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di
Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:
Prenada Media, 2006), hlm. 155.
[3]Imam
Muslim, Shohih Muslim, (Beirut-Libanon: Darul Ma’rifah, 2007 M/1428H),
Juz. IX, hlm. 234.
[4]A.J.
Wensink/Muhammad Fuad Abdul Baqiy, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazhil Hadits
An-Nabawiyah,(Laiden: Brill, 1936), Jilid. 7, hlm. 321.
[5]Imam
Muhyiddin An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim,( Beirut-Libanon: Darul
Ma’rifah, 2007), Juz. IX, Cet. Ke-14, hlm. 234-235.
[6]Ibid. hlm.
235.
[7]Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo:
Darul Haisyim, 2003), Juz. III, hlm. 144.
[8]A.J.
Wensink/Muhammad Fuad Abdul Baqiy, Op.Cit..
[9]Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Fathul Barri Fi Syarhi Shahih Al-Bukhari, (Darul
Mishri, 2001 M/1421 H), Juz.IX, hlm. 202-203.
[10]Ibid.
[11]Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990),hlm. 127.
[12]Ibid. hlm.
506.
[13]Ibid. hlm. 33.
[14]Ibid. hlm. 193.
[15]Ibid. hlm.
236.
[16]Ibid. hlm.
303.
[17]Ibid. hlm.
321.
[18]Syaikh
Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar, 2008), hlm. 516.
[19]Tihami
dan Sohari, Fikih Munakahat, (Serang:Rajawali Pers, 2008), hlm.132.
[20]Syaikh
Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Op.Cit..
[21]Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fatawa Tentang Nikah, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam,
2002), hlm. 183.
[22]Syaikh
Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Op.Cit.,hlm. 518
[23]Butsainan
As-Sayyid Al-Iraqy, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia, (Jakarta Selatan:
Pustaka Azzam, 1998) Cet. Ke-2, hlm. 79.
[24]Ibid.,hlm.
80-81.
[25]Al-Hafidz
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Kitab Bulughul Maram, (Surabaya
:Mutiara Ilmu), hlm.16.
[26]Butsainan
As-Sayyid Al-Iraqy, Op.Cit.,hlm.82-83.