BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Dalam rentan
waktu yang cukup panjang telah banyak terjadi pemalsuan hadits yang dilakukan
oleh orang-orang dan golongan tertentu dengan berbagai tujuan.
Maka
tidaklah mengherankan jika umat Islam sangat memberikan perhatian yang khusus
terhadap hadits terutama dalam usaha pemeliharaan jangan sampai punah atau
hilang bersama dengan hilangnya generasi sahabat, mengingat pada sejarah awal
Islam, hadits dilarang ditulis dengan pertimbangan kekhawatiran percampuran
antara al-Quran dan hadits sehingga yang datang kemudian sulit untuk membedakan
antara hadits dan al-Quran.
Dalam
berbagai riwayat menyebutkan bahwa kalangan sahabat pada masa itu cukup banyak
yang menulis hadits secara pribadi, tetapi kegiatan penulisan tersebut selain
dimaksudkan untuk kepentingan pribadi juga belum bersifat massal.
Atas kenyataan
inilah maka ulama hadits berusaha membukukan hadits Nabi. Dalam proses
pembukuan selain harus melakukan perjalanan untuk menghubungi para periwayat
yang tersebar diberbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan
penyelesaian terhadap suatu hadits yang akan mereka bukukan. Karena
itu proses pembukuan hadits secara menyeluruh mengalami waktu yang
sangat panjang.
Seiring dengan
perkembangan hadits, hadits yang berkembang sejak zaman Rosulullah, para
sahabat dan tabi’in di bukukan dan di kelompokkan dalam beberapa tipe atau
golongan yang di kenal dengan Tipologi Penyusunan Kitab Hadits yang akan di
urai dalam pem
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
diuraikan diatas, maka kami rumusan masalah yang akan kami bahas adalah
mengetahui dan membedakan dari tiap-tiap tipologi penyusunan kitab hadits.
C.
Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, kami menyusun
makalah ini dengan tujuan untuk memahami tipologi penyusunan kitab hadits
bedasarkan tipenya, dan juga agar pembaca dapat menjaga dan mengamalkan isi dan
kandungan dari
BAB
II
PEMBAHASAN
Tipologi
Penyusunan Kitab Hadits
Kesalah pahaman sementara orang bahwa orang
yang pertama kali menulis hadits adalah Ibnu Syihab Al- zuhri (w 123 H) telah
diluruskan oleh pakar-pakar ilmu hadits kontemporer seperti Prof. Dr. Muhammad
‘Ajjaj Al-Khatib dan Prof. Dr. Muhammad Mustofa Azami. Hal itu karena menurut
penelitian mutakhir terbukti bahwa tidak kurang dari 52 shahabat Nabi saw
memiliki tulisan-tulisan hadits yang mereka lakukan pada masa Nabi saw. Prof.
Dr. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib bahkan menyatakan bahwa orang yang pertama kali
menulis hadits di hadapan Nabi saw. Dan atas restu beliau adalah Abdullah Bin
Amr Bin Al-Ash (w 65 H) dimana tulisannya kemudian di bukukan dengan judul
Al-Shahifah Al-Shahihah (buku yang benar) karenanya, Al-Zuhri bukanlah orang
yang pertama kali menulis hadits, melainkan orang yang pertama kali
mengumpulkan tulisan-tulisan hadits.
Berikut adalah tipologi atau metode penyusunan
kitab hadits:
Juz dan Atraf
Sejak masa Nabi
saw sampai pertengahan abad kedua hijriyah, pembukuan hadits masih sangat
sederhana. Kesederhanaan ini tampak dalam bentuk dan metodenya. Umumnya
kitab-kitab hadits yang di tulis pada masa itu tidak diberi nama tertentu oleh
penulisnya, sehingga kitab-kitab hadits kemudian populer dengan penulisnya.
Misalnya, Shahifah Amr Al-mu’minin Ali Bin Abi Thalib, Shahifah Jabir Bin
Abdullah Al-Anshari, dan lain-lain.
Memang ada juga
kitab yang diberi nama khusus oleh penulisnya seperti Al-Shahifah Al-Shadiqah
seperti yang dijelaskan di atas Al-Shahifah Al-Shahihah tulisan Hammam bin
Munabbih (w 131 H), namun penamaan kitab sepeti itu tidak mendominasi penulisan
hadits pada masa itu.
Kesederhanaan
yang lain juga tampak dalam metode pembukuannya, dimana materi-materi hadits
yang di susun berdasarkan guru yang meriwayatkan hadits kepada penulis kitab.
Metode ini di sebut metode Juz yang secara kebahasaan berarti bagian.
Seperti kitab hadits tulisan Suhail bin Abu Shalih (w 138 H) dimana ia hanya
menyebutkan satu jalur sanad (sandaran hadits yang menghubungkan antara perawi
kepada sumber hadits) yang meriwayatkan hadits-hadits yang ditulisnya, yaitu
Abu Shalih meriwayatkan dari Abu Hurairah, Abu Hurairah dari Nabi saw.
Di samping
metode juz, pada masa klasik ini juga sudah di kenal metode atraf yang
berarti pangkal - pangkal. Metode atraf dalam ilmu hadits adalah
pembukuan hadits dengan menyebutkan pangkalnya saja sebagai petunjuk matan
hadits selengkapnya. Diantara ulama klasik yang menulis hadits dengan metode
ini adalah Auf bin Jamilah Al-abdi (w 146 H). Namun tampaknya metode atraf
ini lebih banyak berkembang pada abad keempat dan kelima hijriyah.
Pada pertengahan abad kedua hijriyah pembukuan hadits belum mengenal
klasifikasi berdasarkan topiknya atau yang populer disebut metode tabwib (klasifikasi
hadits) berdasarkan topik atau babnya. Baru sejak saat itu para menulis hadits
dalam membukukan hadits menggunakan metode tabwib. Namun tidak ada kejelasan
siapakah ulama yang pertama kali menggunakan metode itu, ada yang menyebutkan
nama Ibnu Juraij (W 150 H), dan ada pula yang menyebutkan nama lain.
Metode klasifikasi ini pada tahap berikutnya berkembang menjadi berbagai
metode, dan kemudian metode-metode itu menjadi populer sebagai nama kitab-kitab.
Karena seperti yang telah di jelaskan, pada umumnya para penulis hadits tidak
memberikan nama tertentu untuk penulisan kitab-kitab tulisannya. Metode-metode
itu adalah sebagai berikut:
Muwatta’
Sacara
kebahasaan kata ‘muwatta’ berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedang menurut
terminolagi ilmu hadis, muwatta’ adalah metode pembukuan hadits yang
berdasarkan klasifikasi hukum islam (abwab fiqhiyah ) dan mencantumkan
hadis-hadis marfu’ (berasal dari Nabi saw), mauquf (berasal dari
sahabat) dan maqtu’ (berasal dari tabi’in). Dari kata muwatta’
timbul kesan bahwa motifasi pembukuan hadits dengan metode ini adalah untuk
memudahkan orang dalam menemukan hadits. Barangkali pada masa itu orang-orang
sudah mulai kesulitan untuk merujuk kepada suatu hadits.
Banyak sekali para ulama yang menyusun kitab hadits dengan menggunakan metode muwatta’
ini. Antara lain Imam Ibnu Abi Dzi’b (w 158 H, Imam Malik Bin Anas ( W179
H), Imam Abu Muhammad al- Marwazi (w 293 H ),
dan lain-lain.
Namun tampaknya kitab Imam Malik adalah yang paling paling
populer di antara kitab-kitab muwatta’, sehingga apabila disebutkan nama muwatta’, maka konotasinya selalu
tertuju kepada kitab beliau(imam malik).
Mushannaf
Meskipun secara kebahasaan kata mushannaf berarti sesuatu yang
disusun, namun secara terminologis kata mushannaf ini sama artinya
dengan kata muwatta’, yaitu metode pembukuan hadits berdasarkan
klasifikasi hukum islam (abwab fiqhiyah) dan mencantumkan hadis-hadis marfu’,
mauquf, dan maqtu’. Seperti halnya muwatta’, ulama yang menulis hadis
dengan metode mushannaf ini juga banyak. Di antaranya, Imam Hammad
Bin Salamah (w 167 H), Imam Waki’ Bin Al-Jarrah (w 196 H), Imam’ Abd Al-Razzaq
(w 211 H ), Imam Ibnu Abi Syaibah (w 235 H ), dan lain-lain.
Musnad
Salah satu
yang unik dalam penyusun hadits adalah di antara para ulama hadits ada yang
tidak menggunakan metode klasifikasi hadits, melainkan berdasarkan nama para
shahabat Nabi s.a.w yang meriwayatkan hadis itu. Metode ini disebut musnad. Sehingga orang yang merujuk kepada kitab musnad dan
ia mau mencari hadits yang berkaitan dengan
bab salat misalnya, ia tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Sebab dalam kitab musnad
tidak akan ditemukan bab salat, bab zakat dan sebagainya, yang ada hanyalah bab
tentang nama-nama shahabat Nabi berikut hadits-hadits yang diriwayatkan mereka.
Jumlah kitab musnad
ini banyak sekali, menurut suatu sumber lebih dari seratus buah. Namun hanya
beberapa buah saja yang populer, misalnya kitab al-musnad karya
al-Humaidi (w 219 H), kitab al-musnad karya Abu Dawud al-Tayalisi (w 204
H), kitab al-musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal (w 241 H ), dan al-musnad
karya Abu ya’la al-Maushili (w 307 H ).
Jami’
Kata jami’ berarti
sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan, dan mencakup. Dalam disiplin ilmu
hadits, kitab jami’ adalah kitab hadits di mana metode penyusunannya
mencakup seluruh topik-topik dalam agama, baik aqidah, hukum, adab,tafsir,
manaqib, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadits yang menggunakan metode jami’ ini jumlahnya cukup banyak. Di antaranya, kitab jami’ karya Imam
al-Bukhari (w 256 H) yang berjudul al-jami’ al-shahih al-musnad
al-mukhtashar min umur Rasul Allah shalla Allah ‘alaihi wa sallam wa sunanih wa
Ayyamih, yang menggunakan diringkas menjadi al-jami’ al-shahih, dan
populer dengan sebutan shahih al-Bukhari. Begitu pula ahli-ahli hadits yang lain, seperti Imam Muslim bin al-Hajjaj
al-Naisapuri (w 262 H) dan lain-lain menyusun kitab-kitab hadits dengan metode jami’.
Mustakhraj
Manakala penyusunan kitab hadits berdasarkan penulisan kembali hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain,
kemudian penulis kitab yang pertama tadi mencantumkan
sanad dari dia sendiri, maka metode ini disebut mustakhraj. Sebagai contoh, kitab mustakhraj atas kitab
shahih al-Bukhari, maka penulisnya menyali kembali Hadits-hadits yang
terdapat dalam kitab shahih al-Bukhari, kemudian mencantumkan sanad dari
dia sendiri bukan sanad yang terdapat dalam kitab shahih al-Bukhari.
Ada lebih dari sepuluh buah kitab mustakhraj. Diantaranya
Al-mustakhraj ‘ala shahih al bukhari yang dijelaskan diatas, karya
Al-Isma’ili (w 371 H), dan karya Ibnu Abi Dzuhl (w 378 H ). Al- mustakhraj
‘ala shahih muslim karya al-isfirayini (w 310 H),dan karya Abu Hamid
al-Harawi (w 355 H),dan ada pula kitab mustakhraj atas shahih
al-Bukhari dan shahih muslim, seperti karya Abu Nu’aim al-Ishbahani (w 430
H), ibnu al-Akhram (w 344 H), Dan lain-lain.
Mustadrak
Ada kalanya
penyusunan kitab Hadits berdasarkan menyusulkan Hadis-Hadis yang tidak
tercantum dalam suatu kitab Hadis yang lain. Namun dalam menuliskan Hadis-Hadis
susulan itu penulisan kitab pertama tadi mengikuti persyaratan periwayatan
Hadis yang dipakai oleh kitab yang lain itu. Maka metode penulisan kitab ini
disebut mustadrak. seperti karya Imam Al-Hakim Al-Naisaputri (w 405 H),
beliau menulis kitab al-mustadtak ‘ala al-shahihain, di mana hadis-hadis
yang tidak tercantum di dalam kitab shahih al-Bukhari dan shahih
muslim dicantumkan dalam kitabnya. Namun beliau mengikuti kriteria-kriteria
periwayatan hadis yang ditentukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Jadi
hadis-hadis yang terdapat dalam kitab asalnya, berbeda dengan kitab-kitab mustakhraj,
dimana hadis-hadis yang terdapat di situ juga terdapat dalam kitab asalnya.
Sunan
Kata ‘sunan’ adalah bentuk jamak dari kata ‘sunanh’, yang
pengertiannya juga sama dengan hadis. Sementera yang dimaksud di sini adalah
metode penyusunan kitab Hadis berdasarkan klasifikasi Hukum islam (abwab
fiqhiyah), dan hanya mencantumkan Hadis-hadis yang bersumber dari Nabi s.a.w .
saja (Hadis-hadis marfu’). Apabila terdapat
hadis-hadis yang bersumber dari sahabat (mauquf) atau tabi’in (maqtu’), maka
relatif jumlahnya sedikit. Berbeda dengan kitab-kitab muwatta’ atau mushannaf
yang banyak memuat hadis-hadis mauquf dan maqtu’, meskipun metode penyusunannya
sama dengan kitab sunan.
Di antara
kitab-kitab sunan yang populer adalah karya Abu Dawud al-Sijidtani (w
275 H), Ibnu Majah(w 275 H), al-Nasai (w 303 H) yang semula kitabnya diberi
nama al-mujtaba,dan lain-lain. Imam al-Syafi’i (w 204 H) juga
menyusun kitab sunan, namun tidak banyak disebut-sebut.
Mu’jam
Mu’jam adalah metode penulisan kitab hadis di mana hadis-hadis yang terdapat di dalamnya disusun berdasarkan
nama-nama para Shahabat, guru-guru hadits, negeri-negeri atau yang lainnya. Dan
lazimnya nama-nama itu di susun berdasarkan huruf mu’jam (alfabet).
Kitab-kitab hadits yang menggunakan metode mu’jam ini banyak sekali.
Diantaranya yang popular adalah karya Imam al-Tabrani (w 360 H), beliau menulis
tiga buah kitab mu’jam, yaitu al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausat,
dan al-Mu’jam al-Shaghir.
Majma’
Metode-metode pembukuan hadits seperti yang di jelaskan diatas telah di pakai
oleh para penulis hadits semenjak masa Nabi saw sampai awal abad kelima
hijriyah. Sementara kitab-kitab hadits yang menggunakan metode-metode tersebut
lazim disebut sebagai kitab-kitab pokok atau induk (al-kutub al-ummahat),
karena penulisnya memiliki sanad yang bersambung kepada Nabi saw. Karenanya,
dari segi ilmiah kitab-kitab itu memiliki nilai yang sangat unggul
sehingga menurut para ahli, dalam hal merujuk kepada suatu hadits, hanya
kitab-kitab itulah yang dapat dipakai sebagai kitab rujukan standar.
Selanjutnya, semenjak akhir abad kelima hijriyah terdapat fenomena baru dalam
metodologi pembukuan hadits, dimana para penulis hadits membuat terobosan baru
dengan menggabungkan kitab-kitab hadits yang sudah ada. Metode ini disebut Jama’ atau majma’.
Dan barang kali hal itu ditempuh dalam rangka memudahkan orang untuk merujuk
hadits. Sekedar contoh adalah kitab al-jam’ bain al-shahihain karya
Al-humaidi (w 488 H) dimana isinya merupakan gabungan antara kitab Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan Al-jam’ bain al-ushul al-sittah karya Ibn
al-Atsir (w 606 H) yang merupakan gabungan antara enam kitab hadits.
Zawaid
Sebuah hadits terkadang ditulis oleh sejumlah penulis hadits secara
bersama-sama dalam kitab-kitab mereka. Ada pula hadits yang hanya di tulis oleh
seorang penulis hadits saja, sementara penulis hadits yang lain tidak
menulisnya. Maka hadis-hadis jenis kedua ini kemudian menjadi lahan penelitian
para pakar hadits yang datang kemudian. Hadis-hadis itu kemudian di himpunnya
dalam suatu kitab tersendiri. Metode penulisan hadits ini disebut zawaid
yang secara kebahasaan berarti tambahan-tambahan. Misalnya kitab misbah
al-zujajah fi zawaid Ibn Majah karya al-Bushairi (w 840 H) yang berisi
hadis-hadis yang ditulis hanya oleh Imam Ibnu Majah dalam kitab sunan-nya
dan hal itu tidak terdapat dalam lima Kitab Hadis yang lain (al-Bukhari,
Muslim, al-Tirmidzi, Abu Daud, dan al-Nasai).
Musnad adalah
metode yang menggunakan nama para Sahabat nabi saw
Jami’ adalah
metode penyusunannya mencakup
seluruh topik-topik dalam agama, baik aqidah, hukum, adab,tafsir, manaqib, dan
lain-lain.
Mustakhraj
adalah metode yang manakala penyusunan kitab hadits berdasarkan penulisan kembali hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain,
kemudian penulis kitab yang pertama tadi mencantumkan
sanad dari dia sendiri.
Mustadrak
adalah metode penyusunan kitab Hadits berdasarkan menyusulkan Hadis-Hadis yang tidak tercantum dalam suatu
kitab Hadis yang lain. Namun dalam menuliskan Hadis-Hadis susulan itu penulisan
kitab pertama tadi mengikuti persyaratan periwayatan Hadis yang dipakai oleh
kitab yang lain itu.
Sunan adalah
metode penyusunan kitab Hadis
berdasarkan klasifikasi Hukum islam (abwab fiqhiyah), dan hanya
mencantumkan Hadis-hadis yang bersumber dari Nabi s.a.w . .
Mu’jam adalah
metode penulisan kitab hadis di
mana hadis-hadis yang terdapat di dalamnya disusun berdasarkan
nama-nama para Shahabat, guru-guru hadits, negeri-negeri atau yang lainnya. Dan
lazimnya nama-nama itu di susun berdasarkan huruf mu’jam (alfabet).
Majma’ adalah
metode yang menggabungkan kitab-kitab hadits yang sudah ada.
Zawaid adalah
metode penulisan hadits yang hanya di tulis oleh seorang penulis saja,
sementara penulis hadits yang lain tidak menulisnya.
Metode ini juga disebut sebagai tambahan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kita dapat menyimpulkan bahwa tipologi hadist membahas tentang permasalahan
hadist
Sebuah hadits terkadang ditulis oleh sejumlah penulis hadits secara
bersama-sama dalam kitab-kitab mereka. Ada pula hadits yang hanya di tulis oleh
seorang penulis hadits saja, sementara penulis hadits yang lain tidak
menulisnya. Maka hadis-hadis jenis kedua ini kemudian menjadi lahan penelitian
para pakar hadits yang datang kemudian. Hadis-hadis itu kemudian di himpunnya
dalam suatu kitab tersendiri. Metode penulisan hadits ini disebut zawaid
yang secara kebahasaan berarti tambahan-tambahan. Misalnya kitab misbah
al-zujajah fi zawaid Ibn Majah karya al-Bushairi (w 840 H) yang berisi
hadis-hadis yang ditulis hanya oleh Imam Ibnu Majah dalam kitab sunan-nya
dan hal itu tidak terdapat dalam lima Kitab Hadis yang lain (al-Bukhari,
Muslim, al-Tirmidzi, Abu Daud, dan al-Nasai).
Daftar pustaka
Ahmadi,DRs.H.A,Supatmo,Ir.A,ulumul
hadist dasar ,PT rineka cipta,1991
Abdullah Aly,Drs.Ey
rahma,Ir., MKDU-ulumul hadist PT. BUMI AKSARA ,1991
Adisusilo,sutarjo,pronblematika
,yayasan kanisius,yogyakarta,1983
TIPOLOGI PENYUSUNAN KITAB HADITS
Disusun untuk memenuhi tugas
kuliah Ulumul Hadits
Diampu oleh bapak JAMAL ABD NASIR,Lc.,m.Th.I
Nama kelompok V
Lailtus syarifah
Wahyu nuzulur .R
M.anasrullah
Syaiful hidayat
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2016
Kata pengantar
Dengan menyebut nama allah
yang maha pengasih lagi maha penyayang
yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga dapat memenuhi
tugas makalah ini
Dengan sebaik-baiknya
Saya ucapkan banyak terima kasih yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini yang tidak terlepas dari kesalahan maka dari
itu dibutuhkan saran dan kritik untuk menyempurnakan makalah ini
Disusun pada tanggal
21 sepetember 2016
Daftar isi
Pendahuluan
Bab1
Latar belakang
Daftar isi
Bab2
2.1 Tipologi
penyusunan jitab hadist
2.2 jenis tipologi hadist
penutup
Bab 3
keseimpulan
Daftar pustaka