MAKALAH
Di Ajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum
Adat PBS yang di ampu oleh bapak
AH.KUSAIRI,S.HI,M.HI
Oleh
Ikbalul Ibad (18201302020163)
Siti Halimatus Sa’diyah (18201402020207)
Siti Rahmawati (18201402020210)
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS
PRODI PERBANKAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016 – 2017
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kesempatan kepada
kami untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari dunia
kegelapan menuju dunia dunia yang terang benderang ini.
Alhamdulillah, kami panjatkan karena telah menyelesaikan tugas
makalah ini yang berjudul “ Kedudukan Dan Sumber Hukum Berlakunya Hukum Adat”
Kami sadar bahwasannya kekurangan dalam makalah kami, untuk itu
kami mengharap kritik dan saran dari para pembaca makalah ini, demi
kesempurnaan makalah kami.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Pamekasan, 09 september 2016
penulis
DAFTAR
ISI
Halaman Sampul - i
Kata Pengantar - ii
Daftar Isi - iii
BAB I : PENDAHULUAN - 1
A.
Latar
Belakang - 1
B.
Rumusan
Masalah - 2
C.
Tujuan
Masalah - 2
D.
Manfaat
- 2
BAB II : PEMBAHASAN -3
A.
Pengertian Hukum Adat - 3
B.
Kedudukan dan Peranan Hukum Adat – 4
C.
Dasar Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat - 5
D.
Sumber
Hukum Adat -7
BAB III : PENUTUP - 9
A.
Kesimpulan
-9
B.
Saran-9
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada hakekatnya perkembangan
hukum adat tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat pendukungnya.
Dalam pembangunan hukum nasional, peranan hukum adat sangat penting. Karena
hukum nasional yang akan dibentuk, didasarkan pada hukum adat yang berlaku.
Hukum aPPdat adalah hukum tidak tertulis dan bersifat
dinamis yang senantiasa dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan
peradaban manusia itu sendiri. Bila hukum adat yag mengatur sesuatu bidang
kehidupan dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan warganya maka warganya
sendiri yang akan merubah hukum adat tersebut agar dapat memberi manfaat
untuk mengatur kehidupan mereka.hal ini dapat dilihat dari keputusan yang
dibuat oleh para pengetua adat. Hukum adat mengalami perkembangan karena
adanya interaksi sosial, budaya, ekonomi dan lain-lain. Persintuhan itu
mengakibatkan perubahan yang dinamis terhadap hukum adat. Selain tidak
terkodifikasi, hukum adat itu memiliki corak.
Hukum adat
mengandung sifat yang sangat tradisionil. Bahwa peraturan hukum adat umumnya
oleh rakyat dianggap berasal dari nenek moyang yang legendaris (hanya ditemui
dari cerita orang tua).
Hukum adat
dapat berubah. Perubahan dilakukan bukan dengan menghapuskan dan mengganti
peraturan-peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba, karena tindakan
demikian itu akan bertentangan dengan sifat adat istiadat yang suci dan bahari.
Akan tetapi perubahan terjadi oleh pengaruh kejadian-kejadian pengaruh
peri kedaan hidup yang silih berganti-ganti. Peraturan hukum adat harus dipakai
dan dikenakan oleh pemangku adat (terutama oleh kepala-kepala) pada situasi
tertentu dari kehidupan sehari-hari dan peristiwa-peristiwa demikian
ini, sering dengan tidak diketahui berakibat pergantian, berubahnya
peraturan adat dan kerap kali orang sampai menyangka, bahwa peraturan-peraturan
lama tetap berlaku bagi kedaaan-keadaan baru.
Kesanggupan
hukum adat menyesuaikan diri. Justru karena pada hukum adat terdapat sifat
hukum tidak tertulis dan tidak dikodifikasi, maka hukum adat (pada masyarakat
yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisi dan dengan cepat berkembang
modern) memperlihatkan kesanggupan untuk menyesuaikan diri dan
elastisiteit yang luas. Suatu hukum sebagai hukum adat, yang terlebih-lebih
ditimbulkan keputusan di kalangan perlengkapan masyarakat belaka,
sewaktu-waktu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
kedudukan hukum adat?
2.
Apakah
sumber hukum berlakunya hukum adat?
C.
Tujuan
Masalah
Untuk
mengetahui bagaimana kedudukan hukum adat dan sumber berlakunya hukum adat.
D.
Manfaat
Kita dapat mengetahui kedudukan dan sumber berlakunya hukum adat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Adat
Istilah hukum
adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab, “Huk’m” Dan “Adah” (jamaknya, Ahkam)
yang artinya suruhan atau ketentuan. Di dalam Hukum Islam dikenal misalnya
“Hukum Syari’ah” yang berisi adanya lima macam suruhan atau perintah yang
disebut “al-ahkam al-khamsah” yaitu : fard (wajib), haram (larangan), mandub
atau sunnah (anjuran), makruh (celaan) dan jaiz, mubah atau halal (kebolehan).
Adah atau adat ini dalam basa Arab disebut dengan arti “kebiasaan” yaitu
perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Jadi “ hukum adat” itu adalah” hukum
kebiasaan”.
Istilah hukum
adat yang mengandung arti aturan kebiasaan ini sudah lama dikenal di Indonesia
seperti di Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636) istilah hukum adat ini telah dipergunakan, ini ditemukan dalam
kitab hukum yang diberi nama “Makuta Alam” kemudian didalam kitab hukum “Safinatul
Hukkam Fi Takhlisil Khassam” yang ditulis oleh Jalaluddin binSyeh Muhammad
Kmamaluddin anak kadhi Baginda Khatib Negeri Trussan atas perintah Sultan
Alaiddin Johan Syah (1781-1895). Di dalam mukadimah kitab hukum acara tersebut
dikatakan bahwa dalam memeriksa perkara seorang hakim haruslah memperhatikan
hukum syara, hukum adat, serta adat dan resam.[1]
Hukum adat
adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam satu kehidupan
bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu
kehidupan bersama, yang dapat di paksakan pelaksanaan dengan suatu sanksi.
Menurut Prof.
Dr.Supomo S.H dalam karangan beliau, hukum adat sebagai hukum yang tidak
tertulis di dalam peraturan –peraturan legislatif, meliputi peraturan-peraturan
hidup yang meskipun tidak ditetapkanoleh yang berwajib, ditaati dan didukung
oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut
mempunyau kekuatan hukum.
Menurut Bushar
Muhammad hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia
dalam hubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan kelaziman,
kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena
dianggap dan dipertahankan oleh anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan
keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran yang
ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan
dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu yaitu dalam keputusan
lurah, penghulu, wali tanah, kepala adat dan hakim.[2]
B.
Kedudukan
dan Peranan Hukum Adat
Hukum adat
merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi
Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada Unifikasi pembuatan peraturan
perundangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum
kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya berarti yaitu:
Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya berarti yaitu:
1.
Penggunaan
konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam
norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang
dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila
dan Undang-Undang Dasar.
2.
Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang
dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri
dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
3.
Memasukkan
konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga hukum dari
hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum
Nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan
salah satu unsur sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum
kewarisan nasional merupakan intinya. Dengan terbentuknya hukum nasional yang
mengandung unsur-unsur hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu
telah terserap di dalam hukum nasional.
4.
Kedudukan
hukum adat meurut pancasila masyarakat hukum adat dibentuk dan di integrasikan
oleh sifat dan corak fundamental yang sangat menentukan yaitu cara hidup
gotrong royong, dimana kepentingan bersama memgatasi kepenyingan-kepentingan
perseorangan Implementasi cara hidup ini dapat terlihat, misalnya dalam
kegiatan gugur gunung dijawa. Setiap orang atau individu anggota masyrakat
dengan suka rela memberikan kemampuannya baik, uang dan barang-barang lainnya
baik materi ataupun non materi. Kegiatan yang dilakukan adalah semua kegiatan
yang dianggap akan membawa keuntungan untuk seluruh anggota masyarakat. Cara
hidup ini berawal dari adanya asumsi masyarakat tentang suatu persatuan atau kerukunan.
Dengan demikian, terbuktilah bahwa hukum adat sangat mementingkan kepentingan
bersama dalam pola-pola kehidupannya, yang berarti pula mengutamakan prinsip
kerukunan bersama, suatu prinsip yang dipelihara dan dikembangkan untuk tetap
menjaga harmoni dari hubungn-hubungan hukum yng dilakukan oleh seluruh anggota
masyarakat atau keluarga.
Beralih pada Pancasila, kosep persatuan atau kerukunan dikenal dlam
pancasila pada sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Sila persatuan Indonesia
mengandung muatan konstruktif dari para pendireri Negara terhadap nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyrakat yaitu hukum kebiasaan dan hukum adat secara
praktis (dalam praktik). Hal ini didasarkan pada adanya pluralitas praktek
hukum dat pada masing-masing daerah dan masyarakat Indonesia serta pembagian
ketentuan-ketentuan hukum adat dalam beberapa bidang yang diaturnya seperti
hukum keluarga hukum perkawinan serta hukum waris.
Pada dasarnya didalam Pancasila yang sebagai dasar pandangan hidup
berbangsa dan bernegara di dalamnya terkandung nilai-nilai hukum adat. Asas
yang mendomonasi antar Pancasila dan hukum adat adalah gotong royong yang
sangat kental ada di dalamnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara tidak
langsung Negara sangat mengakui pentingnya hukum adat yang mendominasi
hukum-hukum yang ada dalam Indonesia.
C.
Dasar
Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat
Dalam Batang
Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh
karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan
Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Aturan
Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam
UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi
alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang
dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini
pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke aturan Peralihan UUd 1945.
Dalam Pasal 131
ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan timur
asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka
membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :
1.
Hukum
Eropa
2.
Hukum
Eropa yang telah diubah
3.
Hukum
bagi beberapa golongan bersama dan
4.
Hukum
baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu
hukum Eropa.
Pasal 131 ini
ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa
Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi
perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat
mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah
hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa
segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan
putusan itu jug aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan
atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No.
19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur
tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian
Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan
hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat.
Dalam UU No. 14
tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat.
Dari uraian di
atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum
adat di Indonesia adalah :
1.
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2.
Aturan
Peralihan Pasal II UUD 1945
3.
Pasal
24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
4.
Pasal
7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
D. Sumber Hukum Adat
Dalam membicarakan
sumber hukum (Adat) dianggap penting terlebih dahulu dibedakan atas dua
pengertian sumber hukum yaitu Welbron dan Kenbron.
Welbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti yang sebenarnya. Sumber Hukum Adat
dalam arti Welbron tersebut, tidak lain dari keyakinan tentang keadilan yang
hidup dalam masyarakat tertentu. Dengan perkataan lain Welbron itu adalah
konsep tentang keadilan sesuatu masyarakat, seperti Pancasila bagi masyarakat
Indonesia.
Sedangkan Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam
arti dimana hukum (adat) dapat diketahui atau ditemukan. Dengan lain perkataan
sumber dimana asas-asas hukum (adat) menempatkan dirinya di dalam masyarakat
sehingga dengan mudah dapat diketahui.
Kenbron itu merupakan penjabaran dari Welbron. Atas dasar pandangan sumber
hukum seperti itu, maka para sarjana yang menganggap hukum itu sebagai kaidah berpendapat
sumber hukum dalam arti Kenbron itu adalah:
1. Adat
kebiasaan.
2. Yurisprudensi.
3. Norma-norma Hukum Islam yang telah meresap ke dalam Adat istiadat
masyarakat indonesia asli.
4.
Kitab-kitab Hukum Adat.
5.
Buku-buku Standar tentang Hukum Adat.
6.
Pendapat Ahli Hukum Adat.
Dengan demikian hukum
adat dapat ditemukan baik dalam adat kebiasaan maupun dalam tulisan-tulisan
yang khusus memuat/membicarakan hukum adat. Tulisan itu mungkin fakta hukum
atau mungkin pula merupakan pandangan dari para ahli hukum adat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum adat merupakan hukum yang telah ada dan
telah hidup lama dan mendarah daging didalam masyarakat adat. Hukum adat
merupakan sekumpulan kebiasaan masyarakat adat yang telah dipatuhi secara
turun-temurun dan mempunyai sanksi tersendiri berupa sanksi moral bagi
masyarakat adat yang hidup dan tinggal di wilayah tertentu. Kebanyakan
pengaturan hukum adat tersebut tidak dikondifikasikan.
Kedudukan Hukum adat menurut Pancasila Masyarakat
hukum adat dibentuk dan di integrasikan oleh sifat dan corak fundamental yang
sangat menentukan yaitu cara hidup gotrong royong, dimana kepentingan bersama
memgatasi kepenyingan-kepentingan perseorangan Implementasi cara hidup ini
dapat terlihat, misalnya dalam kegiatan gugur gunung dijawa.
Pasal II ini
menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104
disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan
dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan aturan adat yang
dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada,
maka kembali ke aturan Peralihan UUd 1945.
B.
Saran
Demikin makalah yang
dapat kami paparkan, dalam makalah ini tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya. Dimana, terbatasnya pengetahuan dan kekurangan referensi yang berhubungan
dengan judul makalah
Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun kepada
kami demi kesempurnanya makalah ini.
.
DAFTAR PUSTAKA
·
Prof. Iman Sudiyat,S.H., Hukum Adat Sketsa
Asas, Univarsitas Gadjah Mada,1999.
·
Prof. Dr .C. Dewi wulandari, SH.,MH.,SE.,MM,
Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,2010.
·
Soemadiningrat Otje
Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer , Bandung: P.T Alumni, 2002