Friday 14 October 2016

MAKALAH KERAJAAN TULANG BAWANG - KERAJAAN KOTA KAPUR




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang

Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien. Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagarayang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.

Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijayadan Majapahit. Pada masa abad ke-7hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsingmengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengahdan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracaritaRamayana.

Berangkat dari sejarah bangsa Indonesia yang didahului oleh masa keajaan. Kerajaan Hindu merupakan pelopor berdirinya Negara hindu di Indonesia. Banyak kerajaan-kerajaan hindu di Indonesia. Sejak masuknya budaya hindu ini Zaman Prasejarah mulai berganti menjadi Zaman Sejarah. Kerajaan hindu di Indonesia mempunyai sejarahnya masing-masing, seperti Kerajaan Kutai dan Tarumanegara.

1.2.            Perumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah dari kerjaan Tulang Bawang ?
2.      Dan bagaimanakah sejarah dari Kerajaan Kota Kapur ?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            Sejarah Kerajaan Tulang Bawang

Kerajaan Tulangbawangadalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampungsekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kerajaan ini. Musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Nusantarapada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha, dalam catatannya menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang("Tulangbawang"), suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera). Namun Tulangbawang lebih merupakan satu Kesatuan Adat. Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan pada Abad ke VII M. Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.

Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya), nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai kerajaan ini yang ada adalah cerita turun temurun yang diketahui oleh penyimbang adat, namun karena Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin Adat yang berkuasa selalu berganti ganti Trah. Hingga saat ini belum diketemukan benda benda arkeologis yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan ini.

Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Tidak banyak catatan sejarah yang mengungkap fakta tentang kerajaan ini. Sebab, ketika Che-Li-P�o Chie (Kerajaan Sriwijaya) berkembang, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang justru pudar. Menurut catatan Tiongkok kuno, sekitar pertengahan abad ke-4 pernah ada seorang Bhiksu dan peziarah bernama Fa-Hien (337-422), ketika melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, terdampar dan pernah singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P�o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di pedalaman Chrqse (Sumatera).
Sumber lain menyebutkan bahwa ada seorang pujangga Tiongkok bernama I-Tsing yang pernah singgah di Swarna Dwipa (Sumatera). Tempat yang disinggahinya ternyata merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu, ia sempat melihat daerah bernama Selapon. Ia kemudian memberi nama daerah itu dengan istilah Tola P�ohwang. Sebutan Tola P�ohwang diambil dari ejaan Sela-pun. Untuk mengejanya, kata ini di lidah sang pujangga menjadi berbunyi so-la-po-un. Orang China umumnya berasal dari daerah Ke�. I-Tsing, yang merupakan pendatang dari China Tartar dan lidahnya tidak bisa menyebutkan So, maka ejaan yang familiar baginya adalah To. Sehingga, kata solapunatau selapon disebutkan dengan sebutan Tola P�ohwang. Lama kelamaan, sebutan itu menjadi Tolang Powang atau kemudian menjadi Tulang Bawang.

Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut, sehingga mereka kemudian menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad ke-7, nama Tola P�ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang kemudian dikenal dengan nama Lampung.

Hingga kini, belum ada orang atau pihak yang dapat memastikan di mana pusat Kerajaan Tulang Bawang berada. Seorang ahli sejarah, Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagar Dewa, yang jaraknya sekitar radius 20 km dari pusat Kota Menggala. Jika ditilik secara geografis masa kini, kerajaan ini terletak di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung

Sekitar abad ke-15, Kota Manggala dan alur Sungai Tulang Bawang dikenal sebagai pusat perdagangan yang berkembang pesat, terutama dengan komoditi pertanian lada hitam. Konon, harga lada hitam yang ditawarkan kepada serikat dagang kolonial Belanda atau VOC (Oost�indische Compagnie) lebih murah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan kepada pedagang-pedagang Banten. Oleh karenanya, komoditi ini amat terkenal di Eropa. Seiring dengan perkembangan zaman, Sungai Tulang Bawang menjadi dermaga �Boom� atau tempat bersandarnya kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru Nusantara. Namun, cerita tentang kemajuan komoditi yang satu ini hanya tinggal rekaman sejarah saja. 

Kerajaan Tulang Bawang tidak terwariskan menjadi sistem pemerintahan yang masih berkembang hingga kini. Nama kerajaan ini kemudian menjadi nama Kabupaten Tulang Bawang, namun sistem dan struktur pemerintahannya disesuaikan dengan perkembangan politik modern.

Periode Pemerintahan
Oleh karena tidak banyaknya catatan sejarah yang mengungkap fakta lebih dalam lagi seputar Kerajaan Tulang Bawang, maka data tentang periode pemerintahannya pun masih dalam proses pengumpulan.

Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Kerajaan Tulang Bawang mencakup wilayah yang kini lebih dikenal dengan Provinsi Lampung. 

Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan Kerajaan Tulang Bawang belum didapat datanya. Berikut ini akan dibahas tentang bagaimana sistem pemerintahan daerah Tulang Bawang pada masa pra-kemerdekaan, yaitu ketika daerah ini menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Pada tanggal 22 November 1808, pemerintahan Kesiden Lampung ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda berada di bawah pengawasan langsung Gubernur Jenderal Herman Wiliam. Hal ini berakibat pada penataan ulang pemerintahan adat yang kemudian dijadikan alat untuk menarik simpati masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Herman Wiliam kemudian membentuk Pemerintahan Marga yang dipimpin oleh Kepala Marga (Kebuayan). Wilayah Tulang Bawang dibagi ke dalam tiga kebuayan, yaitu Buay Bulan, Buay Tegamoan, dan Buay Umpu. Pada tahun 1914, dibentuk kebuayan baru, yaitu Buay Aji.

Namun, sistem ini tidak berjalan lama karena pada tahun 1864 mulai dibentuk sistem Pemerintahan Pesirah berdasarkan Keputusan Kesiden Lampung No. 362/12 tanggal 31 Mei 1864. Sejak saat itu, pembangunan berbagai fasilitas yang menguntungkan kepentingan Hindia Belanda mulai dibangun, termasuk di Tulang Bawang. Ketika Kesiden Lampung dijajah oleh Jepang, tidak banyak hal yang berubah. Setelah Indonesia merdeka, Lampung ditetapkan sebagai keresidenan dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Setelah Indonesia merdeka, banyak terjadi perubahan sistem pemerintahan Lampung. Bahkan, sejak pemekaran wilayah provinsi marak terjadi di era otonomi daerah, Lampung ditetapkan sebagai wilayah provinsi yang terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan. Sejak saat itu, status Menggala ditetapkan sebagai Kecamatan Menggala di bawah naungan Provinsi Lampung Utara.

Sejarah Kabupaten Tulang Bawang tidak berdiri begitu saja, melainkan melalui proses pertemuan penting antara sesepuh dan tokoh masyarakat bersama dengan pemerintah yang diadakan sejak tahun 1972. Pertemuan tersebut merencanakan pembentukan Provinsi Lampung menjadi sepuluh kabupaten/kota. Pada tahun 1981, Pemerintah Provinsi Lampung kemudian membentuk delapan Lembaga Pembantu Bupati, yang salah satunya adalah Bupati Lampung Utara Wilayah Menggala. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26/502 tanggal 8 Juni 1981, dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Utara Wilayah Provinsi Lampung.

Melalui proses yang begitu panjang, akhirnya keberadaan Kabupaten Tulang Bawang diputuskan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 Maret 1997. Sebagai tindak lanjutnya, keputusan tersebut dikembangkan dalam UU No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Tingkat II Tagamus.

Kehidupan Sosial-Budaya
Ketika ditemukan oleh I-Tsing pada abad ke-4, kehidupan masyarakat Tulang Bawang masih tradisional. Meski demikian, mereka sudah pandai membuat kerajinan tangan dari logam besi dan membuat gula aren. Dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan masyarakat Tulang Bawang juga masih ditandai dengan kegiatan ekonomi yang terus bergeliat. Pada abad ke-15, daerah Tulang Bawang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di Nusantara. Pada saat itu, komoditi lada hitam merupakan produk pertanian yang sangat diunggulkan. Deskripsi tentang kehidupan sosial-budaya masyarakat Tulang Bawang lainnya masih dalam proses

2.2.            Sejarah Kerajaan Kota Kapur

Kali ini saya akan berbagi mengenai sejarah singkat Kerajaan Kota Kapur. Jika dilihat dai hasil temuan dan penelitian tim arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, yaitu pada tahun 1994, dapat diperoleh suatu petunjuk mengenai kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah tersebut bahkan sejak masa sebelum kemunculan Kerajaan Sriwijaya.

Pusat kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-sisa dari sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap dengan arca-arca batu, di antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-arca Wisnu yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.

Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2�3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.

Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.

A.    Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapuradalah prasastiberupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka, di sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur". Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuna, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan merupakan prasasti pertama yang ditemukan mengenai Sriwijaya.

Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafibangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia menganggap "Sriwijaya" adalah nama seorang raja. George Coedes-lah yang kemudian berjasa mengungkapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera pada abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailandbagian selatan. Hingga tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum(Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia.


B.     Tradisi Asia Tenggara di Kota Kapur
Temuan papan perahu kuno di situs Kota Kapur segera dapat diidentifikasi lewat teknik pembuatannya. Lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique).

Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk dimasukkan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang ditemukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.

Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi.

Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan banyak sisa perahu kuno tradisi Asia Tenggara seperti yang ditemukan di lokasi situs prasasti kota kapur ini. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur).

Selain papan-papan perahu, ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin).

Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).

Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan masa perahu di situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di situs Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah satu ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga ke-15 Masehi.

Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur ini terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian di situs prasasti kota kapur ini terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.

C. Spirit Bahari Di Kota Kapur
Seusai mendokumentasikan pengangkatan papan-papan perahu dan mendeskripsikan artefak itu satu per satu, bangkai perahu Sriwijaya itu kemudian ditenggelamkan kembali ke dalam kolong di sekitar lokasi situs prasasti kota kapur ini. Lho?

"Konservasi kayu perahu kuno yang paling murah, ya, dipendam lagi dalam rawa," ujar seorang arkeolog sambil mengawasi tenaga lokal yang menurunkan papan-papan perahu ke air. Artefak kayu itu apabila kena sinar matahari langsung biasanya lebih cepat lapuk, sementara dalam rawa dapat lestari sampai berabad-abad.

Pemerintah Kabupaten Bangka sebenarnya telah memiliki rencana mengumpulkan kembali berbagai jenis artefak situs Kota Kapur yang berada di luar situs, namun belum ada tempat yang memadai untuk memelihara papan-papan itu. Tidak hanya itu, pemerintah kabupaten telah memprakarsai dan mewujudkan kegiatan penelitian dan pengembangan kawasan situs Kota Kapur kali ini. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat digali jati diri Bangka sekaligus mengembangkan situs arkeologi itu sebagai kawasan wisata.

Penemuan bangkai perahu kuno di situs Kota Kapur merupakan data baru sekaligus bagian dari penemuan jati diri itu sendiri. Tentang spirit bahari dari kota Kapur ini.
"Ya, temuan itu relevan dengan kata kepulauan yang digunakan untuk nama provinsi ini," ujar Yan Megawanti, Kepala Bappeda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ( Sekarang Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Babel ), memaknai pesan masa lalu di balik bangkai perahu kuno dengan kehidupan masa sekarang.

Pesan tentang kejayaan bahari masa lalu dari Kota Kapur segera harus ditindaklanjuti. Tahun 2008 yang lalu merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Belajar dari masa lalu, bangsa ini dapat segera bangkit, maju, dan berjaya melalui dunia bahari. Jangan biarkan spirit bahari itu terpendam lagi dalam rawa. Kebangkitan bahari boleh saja dimulai dari Kota Kapur untuk semua kepulauan di Indonesia.
















BAB III
PENUTUP

3.1.      Kesimpulan

Setelah kita mengikuti Risalah kecil ini tentang Riwayat Sejarah Kerajaan Tulang Bawang dan Kerajaan Kota Kapur, maka kita dapat mengambil suatu Kesimpulan sebagai berikut :
  1. Tempat Keraton Kerajaan Tulang Bawang diperkirakan disekitar Pendukuhan.
  2. Raja Tulang Bawang yang pertama diperkirakan MAULANO AJI/ MAULANA HAJI Tahun 623 M.
  3. Raja Tulang Bawang yang terakhir adalah MINAK PATI PEJURIT gelar MINAK KEMALA BUMI.
  4. Adat Imigrasi / Transmigrasi sudah ada sejak zamannya Kerajaan Tulang Bawang.
  5. Demokrasi dan Hak Azazi Manusia sudah ada sejak Zamannya Minak Kemala Bumi.
  6. Penyebaran Agama Islam di Lampung adalah MINAK KEMALA BUMI.
  7. Hubungan antara Lampung dengan Banten, Lampung dengan Palembang, Pagar Dewa Tulang Bawang dengan Kedamaian Balau sudah ada sejak zamannya MINAK KEMALA BUMI.

Prasasti Kota Kapur adalah prasasti Sriwijaya yang pertama kali ditemukan, jauh sebelum Prasasti Kedukan Bukit yang baru ditemukan pada 29 November 1920, dan Prasasti Talang Tuo yang ditemukan beberapa hari sebelumnya yaitu pada 17 November 1920.

Prasasti Kota Kapur ini, beserta penemuan-penemuan arkeologi lainnya di daerah tersebut, merupakan peninggalan masa Sriwijaya dan membuka wawasan baru tentang masa-masa Hindu-Budha di masa itu. Prasasti ini juga membuka gambaran tentang corak masyarakat yang hidup pada abad ke-6 dan abad ke-7 dengan latar belakang agama Hindu.


DAFTAR PUSTAKA






http://tulangbawang.mestaboh.com/2014/04/kesimpulan-penutup.html