PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF
Artikel
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Studi Kebijakan Pendidikan Islam
Yang
dibina oleh Bapak : Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag
Oleh:
Oleh
: Nurul Layli R.
(18201521031)
PROGRAM MAGISTER
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
STAIN PAMEKASAN
OKTOBER 2016
PROGRAM
PENDIDIKAN INKLUSIF
Abstrak : Pendidikan yang merupakan solusi dalam peningkatan kualitas sumber
daya manusia adalah hak semua manusia. Tak terkecuali mereka para penyandang difable
(differently able) juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pendidikan inklusif merupakan sebuah terobosan baru yang inovatif bagi mereka
para penyandang difabel. Program ini merupakan tindak lanjut dari program
pendidikan luar biasa yang dinilai kurang dalam mengakomodir kebutuhan para
difabel. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemangku kebijakan mencetuskan suatu
model pendidikan yang mendidik para siswa difabel bersama siswa normal dalam
sekolah, yaitu pendidikan inklusif. Semua ini dilaksanakan dalam rangka meraih
cita-cita pendidikan nasional yang merata. Akan tetapi, dalam implementasinya
masih terdapat beberapa problem yang memerlukan pemikiran pihak terkait
sehingga pemerataan pendidikan dapat sepenuhnya berjalan.
Katakunci:
pendidikan, inklusif
Pendahuluan
Pendidikan
merupakan solusi utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam
rangka menjawab tantangan zaman. Hak atas pendidikan ini termasuk hak asasi
yang dimiliki setiap manusia tanpa terkecuali, termasuk para penyandang difable
(differently able) atau kelompok manusia yang memiliki kemampuan berbeda
atau biasa disebut dengan kelompok berkebutuhan khusus.
Istilah
difabel (difable) adalah sebuah sebutan dan istilah yang sangat humanis.
Istilah ini digunakan sebagai pengganti dari istilah ”disable” yang
berarti “orang cacat” yang dinilai mengandung stereotype negative. Hanya Indonesia
yang menggunakan istilah difabel ini, atau disebut dengan “orang yang
berkemampuan berbeda”.[2]
Disamping
itu, berdasarkan data statistik Depdiknas (Direktorat Pendidikan Luar
Biasa/PLB, 2002), pada umumnya lokasi SLB berada di ibu kota kabupaten atau
kotamadya.[3]
Padahal anak-anak penyandang difabel tersebar dimana-mana, tidak hanya di ibu
kota kabupaten. Akibatnya, penyandang difabel di kecamatan atau pedesaan yang
kurang mampu secara finansial terpaksa tidak bersekolah karena lokasi SLB yang
jauh dari rumahnya. Sementara jika akan sekolah di sekolah umum, maka pihak
sekolah tidak bersedia menerima dengan alasan tidak bisa melayaninya.
Sampai
saat ini belum ada angka pasti tentang jumlah anak penyandang difabel di
Indonesia. Namun, yang pasti jumlah mereka yang belum memperoleh hak pendidikan
masih sangat banyak. Menurut data resmi Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan
bahwa penyandang difabel yang sudah mengikuti pendidikan formal baru 24,7% atau
78.689 anak dari populasi anak cacat di Indonesia yang berjumlah sekitar
318.000 anak.[4]
Ini artinya masih terdapat sebanyak 65,3% anak difabel yang masih terabaikan
hak pendidikannya. Kondisi tersebut tentu sangat memprihatinkan, mengingat
bahwa pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling
fundamental.
Bertitik tolak
dari beberapa alasan tersebut, untuk memenuhi hak pendidikan warga negara
dengan tanpa adanya diskriminasi, maka pemerintah memandang perlu mengadakan
terobosan baru dalam rangka pemerataan pendidikan, diantaranya dengan membuka
pendidikan inklusif.
Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan
dalam arti luas adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat,
dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan baik yang
berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah sepanjang hayat, dengan tujuan
agar peserta didik dapat memainkan peranannya di berbagai lingkungan hidupnya
secara tepat di masa yang akan datang.
“Inklusi”
sendiri mempunyai arti terbuka. Jadi, pendidikan inklusi (inklusif) adalah
pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk merangkul semua kalangan dalam
kalangan dalam pendidikan. Pendidikan inklusi merupakan implementasi pendidikan
yang berwawasan multikultural yang dapat membantu peserta didik mengerti,
menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai,
kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.[5]
Kebanyakan
orang mempunyai asumsi bahwa pendidikan inklusif adalah sebagai versi lain dari
pendidikan khusus/PLB (spesial education). Padahal bila dicermati konsep
pendidikan inklusif sangat berbeda dengan konsep yang mendasari pendidikan
khusus. Konsep pendidikan inklusif merupakan sebuah konsep pendidikan yang
merepresentatikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam
menerima anak penyandang difabel untuk memperoleh haknya sebagai warga negara,
yakni hak memperoleh pendidikan.
Pendidikan
inklusif merupakan suatu strategi yang mencerminkan sebuah pendidikan universal
dengan menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan yang
aktual dari anak dan masyarakat. Dengan kata lain pendidikan inklusif menjamin
akses dan kualitas anak sesuai dengan tingkat kemampuannya serta menjamin
kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan baik.
J
Smith David sebagaimana dikutip Rahbini menyatakan bahwa gagasan tentang
pendidikan inklusif di dunia internasional dicetuskan dalam Konferensi Dunia
yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 1994 di Salamanca Spanyol. Dalam
konferensi ini dinyatakan sebuah komitmen tentang pendidikan untuk semua.
Komitmen ini menegaskan tentang pentingnya memberikan pendidikan pada anak,
remaja, dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan di dalam sistem pendidikan
reguler dan menyetujui kerangka aksi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.[6]
Dalam
konteks Indonesia, pendidikan inklusif merupakan suatu alternatif pilihan,
inovasi, dan terobosan baru di samping pendidikan luar biasa yang telah lama
namun eksistensi Sekolah Luar Biasa yang seharusnya mampu berperan sebagai
pusat sumber pendukung inklusi, belum diberdayakan secara maksimal. Akibatnya,
anak-anak penyandang difabel kurang mendapat perhatian penuh atau bahkan
terabaikan di lingkungan sekolah mereka.
Dasar Hukum Pendidikan Inklusif
Dalam
konteks internasional, diawali oleh konferensi internasional tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial pada tahun 1965 pasal 5 telah
memberikan jaminan perlindungan terhadap hak atas pendidikan bagi setiap
manusia. Kemudian dilanjutkan pada kesepakatan PBB yang menentang diskriminasi
dalam pendidikan pada tanggal 14 Desember 1960 yang menyatakan persamaan
kesempatan pendidikan, menghormati keragaman sistem pendidikan nasional dan
mewajibkan negara-negara untuk melarang segala bentuk diskriminasi dalam
pendidikan serta meningkatkan persamaan kesempatan (equal apportunity)
dan perlakuan yang sama dalam hal pendidikan bagi semua orang tanpa membedakan
ras, difabel, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, latar
belakang kebangsaan atau sosial, dan kondisi ekonomi.[7]
UNESCO
mencanangkan sebuah kebijakan yang dikenal dengan Education For All (EFA)
sejak tahun 1990.[8]
Kebijakan tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam
bidang pendidikan.
Hal
tersebut menunjukkan betapa besar kepedulian dunia terhadap pendidikan.
Pemerataan pendidikan juga sesuatu yang tidak boleh dinafikan dalam hal ini,
bagi semua orang dari semua kalangan termasuk para penyandang difabel.
Akan
tetapi, jauh sebelum itu sebenarnya Islam telah menepis adanya diskriminasi bagi umatnya
di segala aspek. Firman Allah yang menjelaskan hal tersebut diantaranya adalah
Q.S. Al-Hujurat ayat 13, yaitu:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ
لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengetahui”[9]
Ayat
tersebut memberikan perintah kepada kita agar saling ta’aruf, yaitu
saling mengenal dengan siapapun. Tidak memandang latar belakang sosial,
ekonomi, ras, suku, bangsa, dan bahkan agama. Inilah konsep Islam yang begitu
universal dan humanis. Islam memandang semua manusia di hadapan Allah SWT
adalah sama. Hanya tingkat ketakwaannyalah yang menyebabkan manusia mulia di
hadapan Allah.
Di
Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat (1)
mengamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan. Amanat
undang-undang tersebut dipertegas lagi oleh Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 15
disebutkan bahwa pendidikan bahwa pendidikan untuk peserta didik yang
berkelainan ayau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan dasar dan
menengah.[10]
Selain itu, Permendiknas No. 70 tahun 2009 berisi tentang pendidikan inklusif
bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau Bakat istimewa.[11] Kebijakan tersebut memberi warna baru bagi
anak-anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan yang telah menjadi
haknya. Dan dengan kebijakan tersebut tidak ada alasan bagi sekolah reguler
untuk menolak anak penyandang difabel.
Harapannya,
dengan adanya pendidikan inklusif ini anak-anak penyandang difabel dapat
dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Tujuannya agar tidak ada
kesenjangan diantara mereka dengan anak-anak yang normal. Selain itu, anak-anak
penyandang difabel diharapkan dapat memaksimalkan potensi yang ada pada
dirinya.
Jenis-jenis
Pendidikan Inklusif
Konsep
anak penyandang difabel dapat dikategorikan dalam 2 kelompok besar, yaitu
penyandang difabel yang bersifat sementara (temporal) dan anak penyandang
difabel yang bersifat menetap (permanen).[12]
Penyandang
difabel yang bersifat temporal adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan
hambatan perkembangan yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, misalnya
anak yang mengalami gangguan emosi karena frustasi dan ketakutan akibat mendapat
perlakuan kasar atau tindak asusila sehingga merasa trauma dan memungkinkan ia
tidak dapat belajar dengan tenang. Tipe ini masih bisa dilakukan penyembuhan
dengan dilakukan terapi tertentu beserta support dari orang tua dan
orang terdekatnya.
Sedangkan
penyandang difabel yang bersifat permanen adalah anak yang memiliki hambatan
belajar dan perkembangan karena suatu kekurangan atau bawaan sejak lahir.
Misalnya seperti anak tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, lamban
belajar, anak yang mengalami kesulitan belajar karena mengalami gangguan
komunikasi, dan tunalaras atau gangguan emosi dan perilaku.[13]
Jenis
pendidikan inklusif bagi penyandang difabel menurut Ashman ada 6, yaitu:
1.
Kelas
Reguler (Inklusi Penuh)
Anak penyandang difabel
belajar bersama anak non difabel sepanjang hari di kelas reguler dengan
menggunakan kurikulum yang sama.
2.
Kelas
Reguler dengan cluster
Anak
penyandang difabel belajar bersama anak non difabel di kelas reguler dalam
kelompok khusus
3.
Kelas
Reguler dengan pull out
Anak
penyandang difabel belajar bersama anak non-difabel dikelas reguler, namun
dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruangan lain untuk
belajar dengan guru pembimbing khusus
4.
Kelas
Reguler dengan cluster dan pull out
Anak
penyandang difabel belajar bersama anak non-difabel di kelas reguler dalam
kelompok khusus, dan pada waktu tertentu ditarik ke ruang lain untuk belajar
dengan guru pembimbing khusus
5.
Kelas
Khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak
penyandang difabel di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dlam
bidang mata pelajaran tertentu dapat belajar bersama anak non-difabel di kelas
reguler
6.
Kelas
Khusus Penuh
Anak
penyandang difabel belajar di kelas khusus pada sekolah reguler.[14]
Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak
berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajaran
(inklusif penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus
atau ruang terapi dengan alasan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan
bagi anak difabel dengan gradasi kelainan yang berat, bisa jadi akan lebih
banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusif lokasi).
Kemudian, bagi anak defabel dengan gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak
memungkinkan untuk bersekolah di sekolah reguler, dapat di salurkan ke sekolah
khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Setiap sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat memilih
jenis dan model mana yang lebih tepat untuk diterapkan, dengan beberapa
pertimbangan berikut:
a)
Jumlah
anak yang akan dilayani
Menurut
peraturan yang berlaku, di sekolah umum setiap kelas maksimal 40 orang siswa.
Sedangkan di SLB setiap kelas maksimal 10 orang siswa. Bila jumlah anak difabel
yang akan mengikuti pendidikan inklusif cukup banyak(10 orang), maka bentuk
yang paling efektif dan efisien adalah kelas khusus dengan berbagai
pengintegrasian. Sedangkan jika jumlahnya relatif sedikit (kurang dari 5
orang), dapat dipilih untuk penempatan kelas reguler penuh, kelas reguler
dengan cluster, kelas reguler denganull out, atau kelas reguler
dengan cluster dan pull out.
b)
Jenis
kelainan masing-masing anak
Anak
tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunalaras memiliki inteligensi yang
relatif normal, sedangkan anak tunagrahita inteligensinya relatif rendah (di
bawah normal).
Jika
yanng akan mengikuti pendidikan inklusif terdiri dari berbagai jenis difabel
yang tergolong inteligensinya relatif normal, maka dapat dipilih bentuk
penempatan kelas reguler penuh, kelas reguler dengan cluster, kelas reguler
denganull out, atau kelas reguler dengan cluster dan pull out.
Hal
yang harus diperhatikan adalah pada tahap perintisan kelas sebaiknya hanya
menampung satu jenis kelainan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengelolaan
kelas.
Sementara
jika yang akan mengikuti pendidikan inklusif adalah anak difabel yang
inteligensinya di bawah normal (tunagrahita), maka dapat dipilih bentuk
penempatan kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian atau kelas khusus penuh
c)
Gradasi
(tingkat) kelainan anak
Gradasi
kelainan anak difabel terdiri atas kelainan ringan, sedang, dan berat. Misalnya
pada anak tunanetra, kelainan ringan dapat berupa low vision
(penglihatan lemah), kelainan sedang dapat membedakan ruang gelap dan terang,
dan kelainan berat yakni buta total.
Bagi
anak difabel dengan gradasi kelainannya ringan dapat dipilih bentuk penempatan
kelas reguler penuh, kelas reguler dengan cluster, kelas reguler denganull
out, atau kelas reguler dengan cluster dan pull out. Sedangkan
bagi anak difabel yang gradasi kelainnya berat, maka dapat dipilih penempatan
kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian atau kelas khusus penuh. Sementara
anak dengan gradasi kelainan sedang dapat dipilih kelas diantara kedua kelompok
tersebut.
d)
Ketersediaan
dan kesiapan tenaga kependidikan
Pada
setiap sekolah yang akan menyelenggarakan pendidikan inklusif hendaknya
disediakan guru pendidikan khusus (mempunyai kualifikasi akademik sarjana PLB).
Bila mampu, di setiap sekolah diangkat 1 orang guru pendidikan khusus, dan nila
kurang mampu, di setiap 3 sekolah dapat diangkat 1 orang guru pendidikan
khusus. Dan jika tidak mampu, maka dapat menggunakan guru SLB yang ditugaskan
sebagai konsultan di beberapa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
e)
Ketersediaan
sarana dan prasarana
Bagi
sekolah-sekolah umum yang umum yang sarana dan prasarananya kurang memadai,
maka lebih baik memilih penempatan kelas reguler, sedangkan bagi yang sarana
dan prasarananya memadai, dapat memilih dalam bentuk apapun.[15]
Problematika Pendidikan Inklusif
Dalam implementasi kebijakan pendididkan inklusif mengalami banyak
problem yang menurut sebuah penelitian[16]
diantaranya adalah:
1.
Komunikasi
Komunikasi
dalam organisassi merupalan suatu proses yang amat kompleks dan rumit.
Seseorang bisa menghambat hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya.
Disamping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi
yang berbeda pula. Seperti halnya implementor dari dinas pendidikan dalam satu
semester hanya memberikan sosialisasi tentang pelaksanaan kebijakan inklusif di
salah satu sekolah yang melaksanakan program pendidikan inklusif hanya dua kali
dalm satu semester. Ini menunjukkan bahwa frekuensi sosialisasinya relatif
sedikit. Padahal sosialisasi ini sangat penting bagi sekolah, karena dalam
proses pembelajaran yang ada di sekolah inklusif cara penanganannya sangat
unik. Keunikan ini dikarenakan siswa yang ada di sekolah tersebut mempunyai
karakteristik yang beragam, baik sikap, daya berfikir dan perilaku siswa.
Berdasarkan
hasil penelitian, komunikasi berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas
pelaksanaan proses pembelajaran yang ada di sekolah, realitanya sosialisasi
olehh para imlpementor aparat dinas pendidikan sering terlambat, dan kurang
dipahami oleh para guru maupun tenaga kependidikan, dan cara penyampaiannya
kurang jelas. Padahal guru merupakan ujung tombak dalam pelayanan pendidikan,
kalau guru kurang memahami apa yang disampaikan oleh para implementor, maka
dalam melaksanakan proses pembelajaran terhadap anak difabel kurang tepat
sasaran.
2.
Sumber
Daya Manusia
Komponen
sumber daya manusia dalam hal ini meliputi staf, keahlian dari pelaksana
informasi yang relevan cukup untuk mengimplementasikan pemenuhan sumber-sumber
terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa
program dapat diarahkan sebagaimana yang diharapkan, serta adanya
fasilitas-fasilitas yang pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan
progranm sperti dana dan sarana prasarana. Suber daya manusia yang tidak
memadai (jumlah dan kemampuan) berkibat tidak dapat dilkasanaknnya program
secara smpurna, karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Di
sebagian sekolah yang menganut sistem pendidikan inklusif terlihat aspek sumber
daya manusia para guru belum memiliki kemampuan berkiprah dalam pendidikan
inklusif. Untuk itu perlu adanya mamanjemen SDM yang baik agar dapat
meningkatkan kinerja program. Untuk mendukung implememntasi kebijakan inkluusif
hendaknya sekolah mengirim para guru untuk mengikuti pelatihan, dan
seminar-seminar atau workshop.
3.
Disposisi
Keberhasilan
pendidikan inklusif tidak terlepas dari elemen-elemen dasar yang memungkinkan
pendidkan inklusif dapat diimplementasikan. Elemen-elemen dasar tersebut antara
lain: siswa kepala sekolah, guru yang positif terhadap keanekaragaman siswa. Elemen yang terpenting
dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru terhadap siswa yang membutuhkan layanan
pendidikan khusus. Sikap guru tidak hanya berpengaruh pada setting kelas,
akan tetapi juga dalam pemilihan strategi pembelajaran, perilaku sosial. Yang
dimaksud dengan perilaku sosial adalah adanya guru yang melakukan bantuan atau
pertolongan kepada siswa tanpa pamrih, dan juga memnberikan dorongan pada siswa
untuk lebih meningkatkan dalam belajar agar dapat meningkatkan prestasi
akademik dan sosial.
4.
Struktur
Birokrasi
Struktur
birokrasi dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting disamping
faktor lainnya. Salah satu aspek yang paling mendasar dalam struktur birokrasi
ini adalah adanya Standart Operating Procedure (SOP) yang memberikan
arah pada pelaksana dalam hal pemanfaatan waktu, tindakan-tindakan yang
dilakukan termasuk tindakan para pejabat. SOP juga memberikan ruang pada
pelaksana dalam suatu organisasi bila terjadi mutasi atau perpindahan pegawai
ke posisi lain. SOP memberikan pijakan yang jelas pada pegawai tentanng
bagaimana cara mengerjakan sesuatu, kepada siapa dan apa isi yang dituntut
dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, untuk implementasi kebijakan pendidikan
inklusif diperlukan adanya SOP.
Demikianlah
paparan mengenai sebagian problem yang ada di lapangan terkait dengan program
pendidikan inklusif. Dan tentunya, masih banyak problem-problem yang lain yang
memerlukan perhatian khusus guna terlaksananya cita-cita pendidikan nasional
yang merata.
Penutup
Pendidikan
inklusif sebagai sebuah program pendidikan yang mengakomodir anak penyandang
difabel memperoleh pendidikan bersama dengan anak normal merupakan inovasi baru
pemerintah dalam rangka pemerataan pendidikan nasional.
Di
Indonesia, pendidikan inklusif dilaksanakan dengan bermacam-macam jenis, yaitu:
Kelas Reguler (Inklusi Penuh), reguler dengan cluster, kelas reguler
dengan pull out, kelas reeguler dengan cluster dan pull out, kelas
khusus dengan berbagai pengintegrasian, dan kelas khusus penuh.
Adapun
pemilihan kelas tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: Jumlah
anak yang akan dilayani, jenis kelainan masing-masing anak, gradasi (tingkat)
kelainan anak, ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, dan ketersediaan
sarana dan prasarana.
Daftar Pustaka
Amin,
Choirul. “Implementasi Model Pembelajaran Nongradasi Pada Sekolah Inklusi, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, II/16, Agustus, 2010.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Karya
Toha Putra, 1996.
Eko
Riyadi & Supriyanto (ed), Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan
Perumahan di Era Otonomi Daerah: Analisis Situasi di Tiga Daerah. Yogyakarta:
PUSHAM UII.
Herry
Widyastono, “Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkelainan”,
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 046/10, Januari 2004.
Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pendidikan Nasional Jakarta, 046 /10 Januari 2004.
Ilahi,
Mohammad Takdir. Pendidikan Inklusif
; Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-RuZ Media, 2013.
Prastiyono,
“Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif (Studi Kasus di Sekolah Galuh
Handayani Surabaya), DIA; Jurnal Administrasi Publik, 1/11, Juni 2013.
Rahbini,
“Pendidikan Inklusif; Sebuah Konstruksi Pendidikan Anti Diskriminasi Bagi
Difable”, Jurnal Kependidikan Islam Program Studi Kependidikan Islam
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1/2, 2 012
Wrastari,
Syafrida Elisa & Aryani Tri. ‘Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi
Ditinjau Dari Faktor Pembentuk Sikap”, Jurnal Psikologi Perkembangan dan
Pendidikan Universitas Airlangga Surabaya, 01/2, April 2013.
[1] Penulis adalah
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Pamekasan. Email: ummuainawanajla@gmail.com
[2] Rahbini,
“Pendidikan Inklusif; Sebuah Konstruksi Pendidikan Anti Diskriminasi Bagi
Difable”, Jurnal Kependidikan Islam Program Studi Kependidikan Islam
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1/2, 2 012
[3] Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pendidikan Nasional Jakarta, 046 /10 Januari 2004.
[4] Prastiyono,
“Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif (Studi Kasus di Sekolah Galuh
Handayani Surabaya), DIA; Jurnal Administrasi Publik, 1/11, Juni 2013, 119.
[6] Rahbini,
Pendidikan Inklusif; Sebuah Konstruksi Pendidikan Anti Diskriminasi Bagi
Difable, 34.
[7] Eko Riyadi
& Supriyanto (ed), Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di
Era Otonomi Daerah: Analisis Situasi di Tiga Daerah (Yogyakarta: PUSHAM
UII, tt), 32.
[8] Choirul Amin,
“Implementasi Model Pembelajaran Nongradasi Pada Sekolah Inklusi, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, II/16, Agustus, 2010, 162.
[10] Mohammad
Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif ;
Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-RuZ Media, 2013), 69.
[11] Prastiyono, Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusif118.
[12] Mohammad
Takdir Ilahi, ibid.,
[14] Syafrida Elisa
& Aryani Tri Wrastari, ‘Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau
Dari Faktor Pembentuk Sikap”, Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendidikan
Universitas Airlangga Surabaya, 01/2, April 2013, 54.
[15] Herry
Widyastono, “Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkelainan”,
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 046/10, Januari 2004, 64.
[16] Penelitian ini
dilakukan oleh Prastiyono, Alumni program magister Administrasi Untag Surabaya
di Sekolah Galuh Handayani Surabaya dimana sekolah tersebut menerapkan program
pendidikan inklusif. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2013.