Bentuk Isi Prosedur dan
Kelengkapan Gugatan dan Permohonan
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “
Hukum Acara Pengadilan Agama”
Disusun oleh:
Rika
Midia Wati :18201402040110
Kelas :B
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT,karena atas rahmat dan
karunia yang telah diberikan, sehingga kami dapat menyusun Makalah Hukum
Acara Pengadilan Agama yang membahas tentang Bentuk Isi Prosedur dan Kelengkapan Gugatan Dan Permohonan. Dan tak lupa pula salawat serta
salam kita hadiahkan kepada nabi besar kita yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa umatnya ke alam yamg penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita
rasakan saat sekarng ini. Makalah ini di buat untuk meningkatkan kesadaran dan
wawasan kami sebagai mahasiswa/i dan meningkatkan kualitas diri kami dalam
menuntut ilmu.
Bertambah
tuanya umur dunia, maka semakin pesat pula perkembangan manusia dan perkembangan teknologi.Zaman yang
digeluti hampir mencapai puncak kejayaan
dunia seiring dengan dunia modern ini,tidak ada manusia yang luput dari
kesalahan.Penulis yakin dalam pembuatan
makalah ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu demi kesempurnaan
makalah ini segala kritik dan saran yang membangun yang penulis harapkan, dan semoga makalah
sederhana ini dapat membantu kita semua.
Dan
tak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing serta
pihak yang telah ikut memberikan masukan dan motifasi terhadap penulis dalam
menyelesaikan makalah ini semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat
ridho dan balasan dari allah swt,,amin..
Semoga bermanfaat.
Pamekasan,
22 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFATR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................. 2
C.
Tujuan Penulisan.................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian gugatan................................................................................. 2
B. Pengertian permohonan.......................................................................... 2
C.
Bentuk gugatan dan permohonan........................................................... 4
D.
Isi gugatan dan permohonan................................................................... 5
E.
Kelengkapan gugatan dan permohonan.................................................. 7
F.
Tempat mengajukan gugatan dan permohonan....................................... 8
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.......................................................................................... 11
B.
Saran
................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... .12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat yang
selalu bersosialisasi tidak jarang terjadi konflik antara individu satu dengan
yang lainnya maupun antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.
Terkadang konflik yang terjadi menimbulkan kerugian kepada pihak yang lainnya.
Agar dalam mempertahankan hak-masing-masingnya tidak melampaui batas dari norma
yang telah ditentukan maka perbuatan seenaknya harus di hapuskan
Jadi agar bisanya menyelesaikan
masalah dengan jalan yang baik dan dengan menegakkan keadilan maka semua itu
diatur oleh Negara. Dan masalah ini pemakalah bahas agar terhindar dari ketidak
adilan dalam menyelesaikan perkara.
B. Rumusan
masalah
1. Apa
Pengertian gugatan dan permohonan?
2. Bagaimana
Bentuk Gugatan dan permohonan?
3. Apa
saja Isi gugatan dan permohonan?
4. Apa
saja Kelengkapan gugatan dan permohonan?
5. Dimana
Tempat
mengajukan gugatan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian gugatan
dan permohonan.
2. Untuk mengetahui bentuk gugatan dan
permohonan.
3. Untuk mengetahui isi gugatan dan
permohonan.
4.
Untuk mengetahui kelengkapan
gugatan dan permohonan.
5.
Untuk mengetahui tempat mengajukan
gugatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Gugatan
Gugatan dalam bahasa hukum islam disebut “ad-da’wa”. Kata “ad-da’wa” ini dipergunakan pula sebagai tuntutan pidana, yakni
da’wa perdata atau da’wa pidana tergantung dengan konsep kalimat.[1]
Darwan Prints mengartikan gugatan dengan: suatu upaya hukum
atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan
tugas atau kewajibannya guna memulihkan kerugian yang diderita oleh penggugat
melalui putusan pengadilan.
Mardani mengartikan gugatan dengan; suatu surat yang
diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang
memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung sengketa dan merupakan dasar
landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, gugatan itu adalah
tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigen richting).[2]
Kesimpulannya
gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang
mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainya dan harus diperiksa menurut
tatacara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap
gugatan tersebut.[3]
B.
Pengertian Permohonan
Permohonan adalah suatu permohonan dari
seseorang atau beberapa orang Pemohon kepada Ketua Pengadilan yang berwenang
untuk menetapkan suatu hal yang tidak mengandung sengketa.[4]
Prinsip dalam surat permohonan adalah tidak mempunyai lawan,
lain dengan surat gugatan. Surat permohonan dalam pengertian asli, supaya
dibuat sesuai dengan prinsipnya, yaitu tidak ada lawan, itulah yang pokok.
Dengan demikian identitas pihak hanya
pihak pemohon saja, bagian positanya adalah tentang situasi hukum atau
peristiwa hukum yang dijadikan dasar terhadap apa yang dimohon oleh pemohon
dalam bagian petita.[5]
Perbedaan antara
gugatn dengan permohonan adalah.[6]
a)
Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa, atau konflik yang harus diselesaikan
dan harus diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada
sengketa atau perselisihan, misalnya segenap ahli waris secara bersama-sama
menghadap ke pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian
masing-masing dari warisan almarhu. Atau permohonan untuk mengganti nama dari
leonardo de caprio menjadi muhammad salim atau perbaikan akta catatan sipil.
b)
Dalam suatu gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak penggugat dan tergugat
yang merasa haknya atau hak mereka dilanggar sedangkan dalam permohonan hanya
ada satu pihak yaitu pihak pemohon.
c)
Suatu gugatan dikenal sebagai pengadilan contentiosa atau pengadilan
sungguh-sungguh, sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan voluntair
atau pengadilan pura-pura.
d)
Hasil suatu gugatan adalah putusan (vonis) sedeangkan hasil suatu permohonan
adalah penetapan (beschikking)
Perbedaan ini sudah tidak relevan lagi
jika dikatkan dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebab dalam
UU tersebut dikenal adanya permohonan dan gugatan perceraian. Permohonan
perceraian dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, sedangkan gugatan
perceraian dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Dalam hal permohonan
perceraian yang dulakukan oleh suami pasti ada alasan-alasan perceraian
sebagaimana disyaratkan oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No.
Tahun 1975 di mana alasan-alasan tersebut bisa jadi merupakan suatu sengketa
atau konflik, dan juga ada dua pihak yaitu pihak pemohon dan termohon.[7]
C. Bentuk gugatan
dan permohonan
1.
Gugatan tertulis
Gugatan tertulis diatur dalam pasal 118 HIR dan pasal 142
ayat (1) R.Bg. dalam kedua pasal ini ditentukan bahwa gugatan harus diajukan
secara tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengadili
perkara tersebut. Surat gugatan yang ditulis itu harus ditandatangani oleh penggugat
atau para penggugat. Jika perkara itu dilimpahkan kepada kuasa hukumnya, maka
yang menandatangani surat itu adalah kuasa hukumnya sebagaimana disebutkan
dalam pasal 123 ayat (1) HIR dan pasal 147 ayat (1) R.Bg.[8]
Surat gugatan dibuat haruslah bertanggal, menyebutkan dengan
jelas nama penggugat dan tergugat, tempat tinggal mereka, dan kalau perlu
disebutkan juga jabatan dan kedudukannya.
2.
Gugatan lisan
Pada dasarnya gugatan harus diajukan
kepada Pengadilan secara tertulis sebagaimana yang tersebut dalam pasal 118 HIR
dan pasal 142 ayat (1) R.Bg.Tetapi dalam asal 120 HIR dan pasal 144 ayat
(1)R.Bg dikemukakan bahwa jika orang yang menggugat buta huruf, maka gugatan
dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua
Pengadilan mencatat segala hal gugatan itu dalam bentuk tertulis. Jika Ketua
Pengadilan karena sesuatu hal tidak dapat mencatat sendiri gugatan tersebut,
maka ia dapat meminta seorang hakim untuk mencatat dan menformulasikan gugatan
tersebut sehingga memudahkan Majelis Hakim untuk memerisaknya.
Dispensasi yang diberikan oleh aturan
perundang-undangan kepada orang yang buta hurufuntuk menggugat secara lisan
langsung kepada pengadilan mempunyai tujuan untuk melindungi dan membantu orang
yang buta huruf itu dalam rangka menuntut hak-haknya, agar terhindar dari
kesalahan-kesalahan dalam membuat gugatan, yang dapat terjadi apabila dilakukan
oleh orang lain
Dalam praktek gugatan secara lisan ini
jarang yang ditangani secara langsung oleh ketua pengadilan tetapi ketua
pengadilan menugaskan seorang hakim untuk mencatat gugatan itu dan di
formulasikan dalam bentuk tertulis. Gugatan secara lisan yang telah
diformulasikan itu ditanda tangani oleh ketua pengadilan atau hakim yang
memformulasikan gugatan itu, penggugat tidak perlu menandatangani atau
membubuhkan cap jempolnya pada surat gugta tersebut dan juga tidak perlu diberi
materai.[9]
Tata cara mengajukan gugatan secara lisan:
1.
Tuntutan disampaikan secara lisan pada ketua pengadilan yang berwenang.
2.
Ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan mencatat segala
kejadian dan peristiwa sekitar tuntutan yang diminta oleh penggugat, kemudian
diformulasikan dalam sebuah surat gugat yang mudah dipahami apabila para pihak
membacanya.
3.
Gugatan yang telah diformulasikan dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan
kepada penggugat, apakah segala hal yang menjadi persengketaan dan tuntutan
yang dikehendakinya telah sesuai dengan kehendak penggugat,
4.
Apabila sudah sesuai dengan kehendak penggugat, maka surat gugat yang telah
diformulaikan itu di tanda tangani oleh ketua/ hakim yang di tunjuk oleh ketua
untuk menyusun formulasi gugatan itu.
Jika gugatan atau permohonan diajukan secara lisan, maka
panitera atas nama Ketua Pengadilan Agama membuat catatan yang diterangkan oleh
penggugat atau pemohon kepadanya, yang disebut dengan “catatan gugat atau
catatan permohonan”.
D. Isi Gugatan dan
permohonan
isi
gugatan adalah sebagai berikut:
1)
Identitas para pihak dan kedudukannya dalam perkara
Melipiutoi nama, tempat tinggal, dan pekerjaan. Dalam
praktek sering juga dicantumkan agama, umur, status (kawin/belum kawin,
janda/duda).[10]
2)
Posita (position)
Posita gugat adalah fakta-fakta atau hubungan hukum yang
terjadi antara kedua belah pihak. Ia merupakan dalil-dalil kongkrit tentang
adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari tuntutan. Posita
terdiri dari dua bagian, yakni bagian yang menguraikan tentang
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum.
Bagian ini menguraikan tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi
dasar yuridis dari tuntutan.
3)
Petitum
Petitum atau disebut juga tuntutan yaitu apa yang diminta
atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim. Petitum disebut
juga dengan tuntutan hukum yang diminta penggugat untuk dijatuhkan pengadilan
kepada tergugat. Yang kedudukannya sebagai syarat formil, sehingga gugatan
tanpa petitum berarti surat gugatan mengandung cacat formil.
Dalam hukum acara perdata dikenal dua teori tentang cara
menyusun gugatan kepada pengadilan, yaitu pertama, substantiering theory, yakni teori yang menyatakan bahwa gugatan
selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus
menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dam menjadi
sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
Bagi penggugat di dalam gugatannya ia tidak hanya
menyebutkan bahwa ia pemilik suatu
benda, tetapi juga harus menyebutkan sejarah kepemilikannya. Misalnya kerena ia
membeli,. Atau dari hasil warisan, hadiah dan sebagainya. Kedua, individualisering theory. Teori ini
menyatakan bahwa dalam membuat surat gugatan cukup ditulis yang pokok-pokoknya
saja, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian tersebut. Sejarah terjadinya
kepemilikan atas benda itu tidak perlu dimasukan dalam gugatan, karena hal itu
dapat dikemukakan dalam persidangan dengan disertai bukti-bukti yang cukup.[11]
Dalam praktek tuntutan dan petitum
terdiri atas dua bagian yaitu tuntutan primer dan tuntutan subside. [12]
Tuntutan
primer antara lain:
a)
Menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa dalam keadaan baik dan
kosong kepda penggugat.
b)
Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas tanah sengketa.
c)
Menyatakan putusan dapat dilaksanakan lebih dulu ( iutvoebaar bij voorraad),
meskipun timbul perlawanan, banding atau kasasi.
d) Menghukum
tergugat untuk membayar uang paksa. Pembayaran uang paksa ini hanya mungkin
terhadap perbuatan yang harus dilakukan ileh tergugat yang tidak terdiri dari
pembayaran suatu jumlah uang, dan dikenakan setiap hari selama ia tidak
memenuhi isi putusan sejak putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap.
e)
Menghukum tergugat membayar bunga, apabila tuntutan yang diminta oleh penggugat
berupa pembayaran sejumlah uang tertentu, karena lambat memenuhi isi perjanjian
dan diperhitungkansejak diajukan gugatan ke pengadilan
f)
Menghukum tergugat untuk memberikan uang nafkah setiap bulan
g)
Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara.
Tuntutan
subside antara lain:
a)
Jika majelis hakim berpendapat lain , mohon memberikan putusan lain yang adil
dan benar
b)
Agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar
c)
Mohon putusan yang seadil-adilnya
E.
Kelengkapan gugatan dan permohonan
Sekalipun surat gugatan atau pemohonan sudah dibuat tetapi
untuk mendaftarkan di Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapai dengan
syarat-syarat lainnya. Syarat kelengkapan gugatan atau permohonan, ada syarat
kelengkapan umum dana ada syarat kelengkapan khusus.
1.
Syarat kelengkapan umum
Syarat kelengkapan umum untuk dapat diterima didaftarkannya
suatu perkara dipengadilan ialah sebagai berikut:
a)
Surat gugatan atau surat permohonan tertulis, atau dalam hal buta huruf,
catatan gugat atau catatan permohonan.
b)
Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi penggugat atau
pemohon
c)
Vorskot biaya perkara, kecualiu bagi yang miskin dapat membawa surat keterangan
miskin dari lurah/kepala desa yang disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.
2.
Syarat kelengkapan khusus
Syarat kelengkapan khusus ini tidaklah sama untuk semua
kasus perkara, melainkan tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu an sich, contohnya sebagai berikut:
a)
Perkara perkawinan harus melampirkankutipan akta Nikah, seperti perkara gugatan
cerai, permohonan untuk menceraikan isteri dengan cerai talak dan sebagainya.
b)
Gugatan pewaris harus disertakan surat keterangan kematian pewaris.
F. Tempat
mengajukan gugatan /permohonan
1.
Perkara cerai talak
a) Seorang
suami yang beragama islam yang yang akan menceraikan isterinya mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikanikrar
talak.
b)
Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan
tempat kediamanyang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
c)
Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
d) Apabila
suami isteri (pemohon dan termohon) bertempat kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau
kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
e)
Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama
dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
2.
Perkara cerai gugat
a)
Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang
daerah hukumnyameliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
b)
Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraiaan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat.
c)
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
3.
Permohonan untuk beristri lebih dari seorang diajukan oleh pemohon (suami yang
bersangkutan) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman suami
(pemohon)
4.
Izin kawin sebagai pengganti izin dari orang tua/wali/keluarga bagi calon
mempelai (laki-laki) atau perempuan) yang belum berusia 21 tahun dan tidak
telah pernah kawin sebelumnya, diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat kediaman calon mempelai tersebut.
5.
Bagi calon mempelai wanita yang mau kawin mendahului dari umur 16 tahun atau
bagi calon mempelai pria yang mau kawin mendahului dari umur 19 tahun, maka
untuk mendapatkan dispensiasi kawin, ia mengajukan permohonan ke Pengadilan
Agama yang ditunjuk oleh orang tua masing-masing.
6.
Pencegahan perkawinan terhadap rencana perkawinan karena tidak memenuhi
syarat-syarat perkawinan atau karena alasan hukum lainnya, diajukan
permohonannya ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan.
7.
Calon mempelai yang ditolak untuk melangsungkan perkawinannya oleh Pegawai
Pencatat Nikah karena menurut Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh, diajukan oleh
si calon ke Pengadilan Agama yang mewilayahi Pegawai Pencatat Nikah tersebut.
8.
Gugatan Pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi
dimana perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atau ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami isteri tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gugatan merupakan suatu usaha/permohonan yang disampaikan ke
pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar
diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku.
Gugatan itu mempunyai unsur-unsur, yang mana apabila salah
satu unsur itu tidak ada maka gugata itu
tidak akan diterima sebagai gugatan.
Sedangkan permohonan merupakan suatu surat yang di dalamnya
berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu
hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili
dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
B. Saran
Demikianlah kami buat makalah ini dengan sedemikian
sempurna, tetapi biarpun demikian kami tau makalah ini masih jau dari kata
sempurna, untuk itu kami harapkan kritik dan sarannya pada makalah ini, dan biarpun demikian semoga makalah ini
menjadi berguna bagi kita semua terutama buat pemakalah sendiri, dan semoga ini
menjadi tambahan bacaan yang akan menambah ilmu kita nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Makarao, Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka
Cipta. 2009
Manan,
Abdul. Penetapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan al- hikmah. 2000
Noviardi.
Hukum Acara Peradilan Agama. Bukittinggi:
STAIN Prees. 2010
Prinst,
Darwan. Strategi Menyusun dan Menangani Ggatan Perdata. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti. 2002
Sutanto,
Retnowulan. Hukum Acara Perdata. Bandung: cv Mandar Maju. 2009
[2]
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan
Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal 4
[3]
Darwan Prinst, Strategi Menyusun
Dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hal
2
[4]
Ibid
[9]
Darwan Prinst, Strategi Menyusun
Dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2002), hal47
[10]
Taufik Makarao,Pokok-Pokok Hukum Acara
Perdata, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hal 30
[11]
Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi:
STAIN Prees, 2010), hal 32
[12]
Loc Cit, hal 30-31