Saturday, 26 November 2016

Makalah Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata


BAB I
PENDAHULUAN
     A.    Latar Belakang
Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Demikian yang sering dikatakan orang. Oleh karena itu pesan dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting. Banyak cerita ataupun sejarah hukum yang menunjukkan kepada kita berapa karena salah dalam menilai pembuktian, seperti karena salah dalam menilai pembuktian, seperti karena sanksi berbohong maka pihak yang sebenarnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena dinyatakan bersalah oleh hakim. Sebaliknya, banyak juga karena salah dalam menilai alat bukti, atau tidak cukup kuat alat bukti, orang yang sebenarnya bajingan dan telah melakukan kejahatan bisa diputuskan bebas oleh pengadilan.
Dengan demikian untuk menghindari atau setidaknya-tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang tersesat tersebut, kecematan dalam menilai alat bukti di pengadilan yang tersesat tersebut, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan yang tersesat tersebut kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan, baik dalam kasus pidana maupun kasus perdata.

     B.     Rumusan Masalah
1.      Apa dan Bagaimana Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata?
2.      Apa saja alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata?

     C.    Tujuan
Setiap penulisan bersandar kepada tujuan. Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan yang dicapai dalam penulisan ini, antara lain:
1.      Ingin mengetahui apa dan bagaimana pembuktian dalam hukum acara Perdata.
2.      Ingin mengetahui alat bukti yang terdapat dalam hukum acara Perdata.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menerapkan hukum diantara keduabelah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatuhak sehingga di peroleh suatu kebenaran yang memilikinilai kepastian, keadilan, dan kepastian hukum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim dilarang melampauibatas yang di ajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat,, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan suatu maka ia wajib membuktikannya. Jadi pembuktian hanyalah di perlukan dalam suatu perkara dimuka pengadilan. Jika tidak ada perkara atau sengketa dimuka pengadilan mengenai hak perdata seseorang.
Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR (pasal 162 sampai dengan 177), RBg (pasal 282 sampai dengan 314), stb.1867 no.29 (tentang kekuatan pembuktian akta dibawah tangan) dan BW buku IV (pasal 1856 sampai dengan 1945).

B.     Prinsip Umum Pembuktian
Prinsip umum pembuktian adalah landasan penerapan pembukaan. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang di gariskan prinsip dimaksud. Memang di samping itu masih terdapat lagi prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk setiap jenis alat bukti, sehingga harus juga di jadikan patokan dalam penerapan sistem pembuktian. Namun apa yang di bicarakan dalam prinsip umum, merupakan ketentuan yang berlaku bagi sistem hukum pembuktian secara umum.

1.    Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil
a.       Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif.
Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diaukan penggugat dan tergugat.
b.      Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta.
Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan, mesti mendasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak.
c.       Aliran Baru Menentang Pasif � Total, Ke Arab Aktif � Argumentasi.
Uraian terdahulu memperlihatkan kedudukan hakim dalam mencari dan menemukankebenaran formiil dalam perkara data bersifat pasif. Namun pada masa belakangan ini, muncul aliran baru yang menentang ajaran pasif secara total, tetapi harus di beri peran aktif secara argumentatif.
2.    Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara
a.       Pengakuan yang Diberikan Tanpa Syarat
1.    Pengakuan diberikan secara tegas (expressis verbis)
2.     Pengakuan yang diberikan murni dan bulat
b.      Tidak Menyangkal Dengan Cara Berdiam Diri
c.       Menyangkal Tanpa Alasan yang Cukup
3.    Pembuktian Perkara Tidak Bersifat Logis
a.         Hukum Pembuktian dalam Perkara Tidak Selogis Pembuktian Ilmu Pasif
b.        Kebenaran yang Diwujudkan Bersifat Kemasyarakatan
4.    Fakta � Fakta yang Tidak Perlu Dibuktikan a.
a.       Hukum Positif Tidak Perlu Di buktikan
b.      Fakta yang Diketahui Umum Tidak Dibuktikan
c.       Fakta yang Tidak Dibantah, Tidak Perlu Dibuktikan
d.      Fakta yang Ditemukan Selama Proses Persidangan Tidak Perlu Dibuktikan
5.    Bukti Lawan (Tegenbiwijs)
a.       Pengertan Bukti Lawan
Bukti lawan merupakan bukti penyangkal (contraenquete) yang diajukan dan disampaikan di persidangan untuk melumpuhkan pembuktian yang di kemukakan pihak lain.
b.        Prinsip Penerapan Bukti Lawan
Ada dua prinsip pokok :
1.   Semua alat bukti dapat disangkal dengan bukti lawan
2.   Bukti tertentu tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan
c.    Kadar Bukti yang Punya Nilai

6.    Persetujuan Pembuktian
a.    Kebolehan persetujuan pembuktian terbatas pada sengketa komersial
b.   Persetujuan menyingkirkan hak mengajukan bukti lawan, melanggar ketertiban umum

C.    Beban Pembuktian
1.      Prinsip Beban Pembuktian
a.       Tidak bersikap berat sebelah
b.      Menegakkan risiko alokasi pembenaan
2.      Penerapan Beban Berat Sebelah
Penerapan beban pembuktian atau pembagian beban pembuktian merupakan masalah hukum atau yuridis. Kesalahan penerapan pembagian beban pembuktian itu telah dipertimbangkan dalam putusan MA No. 578 k/ 1984 yang artinya PT telah salah satu menerapan hukum pembuktian kepada masing-masing pihak.
3.      Pedoman Pembagian Beban Pembuktian
a.       Pedoman umum berdasarkan Undang-undang
b.      Pembebanan pembuktian berdasarkan kepatutan
c.       Beban pembuktian berdasarkan teori hak
d.      Beban pembuktian berdasarkan hukum
e.       Beberapa prinsip yang berkembang pada penerapn pembebanan pembuktian
4.      Hukum Materiil Sendiri Menentukan Beban Pembuktian
a.       Pasal 1244 KUH perdata
b.      Pasal 1365 KUH perdata
c.       Pasal 1394 KUH perdata
d.      Pasal 1769 Kuh perdata
e.       Pasal 44 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974
f.       Pasal 489 KUH perdata
g.      Pasal 533 KUH perdata
h.      Pasal 468 ayat (2) KUH perdata
i.        Pasal 1977 KUH perdata

D.    Batas Minimal Pembuktian
1.      Pengetian Batas Minimal
a.       Alat bukti yang diajukan tidak memenuhi syarat setiap alat bukti mempunyai syarat formiil dan materiil. Agar alat bukti yang sah sebagai alat bukti yang di ajukan tidak memenuhi syarat formiil dan materiil, berarti alat bukti tersebut tidak sah sebagai alat bukti.
b.      Alat Bukti yang di Ajukan Berkualitas Alat Bukti Pemulaan.
Alat bukti yang diajukan tidak cukup memenuhi batas minimal. Hal yang seperti ini bisa terjadi apa bila alat bukti yang diajukan hanya satu, padahal batas minimal jenis alat bukti yang seperti itu paling sedikit dua..
2.      Patokan Menentukan Batas Minimal
a.       Tidak digantungkan pada faktor kuantitas
b.      Patokannya didasarkan pada faktor kualitas
E.     Alat Bukti
Alat-alat bukti dalam perkara perdata disebutkan dalam pasal 164 HIR/ 286 RBg/ 1866 BW yaitu:
1)      Tulisan
2)      Saksi-saksi
3)      Persangkaan
4)      Pengakuan
5)      Sumpah
Undang-undang sendiri dalam beberapa hal malah mensyaratkan �hanya dapat dibuktikan dengan tulisan� artinya tidak diperkenankan mempergunakan dengan alat-alat bukti lain. Misalnya perjanjian pendirian suatu firma diantara para persero itu sendiri harus dibuktikan dengan akta notaris (pasal 22 KUHD) perjanjian pertanggungan (asuransi) hanya dapat dibuktikan dengan polise, meskipun ditambah dengan tulisan, alat bukti lainboleh dipergunakan (pasal 258 KUHD). Kemudian mengenai perjanjian penetapan besarnya bunga uang pinjaman harus dibuktikan secara tertulis (pasal 1757 ayat (3) BW) dan sebagainya.
1.      Alat bukti tulisan
Alat bukti tulisan atau surat diatur dalam pasal 138, 165 dan 167 HIR/ 164, 285 dan 305 RBg/ Stb. 1867 No. 29 dan pasal 1867 sampai dengan 1894 BW. Alat bukti  tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. Pengertian bisa dimengerti, akan tetapi juga bisa kemudian, asal bisa di mengerti.
Alat bukti tulisan dibagi (2) dua macam yaitu akta dan tulisan-tulisan lain bukan akta.Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani oleh pembuatnya. Dengan demikian maka unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan tersebut.
Yang dimaksud dengan penanda-tanganan ialah membunuhkan nama sipenanda-tanganan sehingga membunuhkan paraf (singkatan tanda tangan) dianggap belum cukup, nama itu harus ditulis tanda tangan dengan nama orang lain tidak sah atau batal.
Akta dapat dibedakan atas 2 (dua) macam yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan.
       Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapkan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Akta otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat, baik bagi pihak-pihak maupun bagi ahli warisannya atau bagi orang-orang yang memperboleh hak dari padannya, artinya hakim harus menganggapnya benar serta tidak memerlukan pembuktian lain, kecuali memang dapat dibuktikan tentang ketidak benarannya (tentunnya dengan alat bukti lain dan alasan yang lebih kuat).
Kata-kata menganggap benar disini meliputi 2 hal, yaitu benar apa yang ditulis didalam akta dan benar peristiwa yang disebutkan didalam akan terjadi. Misalnya A dan B kawin dimuka PPN, lalu PPN membuatkan akta nikah mak akta nikah yang dibuat oleh PPN tersebut tidak saj benar menerangkan peristiwa A dan B kawin tetapi juga benar bahwa kawin antara A dan B sungguh-sungguh sudah terjadi. Karena itulah pembuktian adanya nikah (perkawinan) di muka Pengadilan Agama cukup dibuktikan dengan adanya akta atau alat bukti lainnya.
       Akta Dibawah Tangan (Akta bukan otentik)
Akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum. Akta dibawah tangan ini tidak ada di atur dalam HIR (untuk jawa dan madura), tetapi di atur dalam peraturan yang termuat dalam stb. 1867 No. 29, karena pada waktu IR dibuat (sebelum 1848) akta dibawah tangan tersebut tidak ada diatur di dalamnya, melainkan di atur secara khusus dalam suatu ordonansi tentsn kekustsn pembuktisn tulisan-tulisan dibawah tangan yang termuat dalam stb. 1867 No 29 tersebut.
Pada suatu akta otentik terdapat tiga macam kekuatan pembuktian akta tersebut diatas. Pertama, mempunyai kekuatan pembuktian fprmiil, yang membuktikan antar para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang tertulis dalam akta tersebut. Kedua, mempunyai pembuktian materiil, yang membuktikan antara para pihak bahwa apa-apa yang mereka terangkan kemudian ditulis dalam akta. Ketiga, mempunyai kekuatan pembuktian lahir atau keluar, yang membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan.
2.      Jenis Alat Bukti
Tidak sama jenis atau bentuk alat bukti yang diakui dalam perkara pidana dan perdata. Dalam acara pidana, sesuai dengan ketentuan pasal 184 KUHAP, alat bukti yang diakui secara enumeraif terdiri dari:
a.    Keterangan saksi
b.    Keterangan ahli
c.    Surat
d.   Petunjuk keterangan terdakwah
Dalam acara pidana titik berat alat bukti untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan terdakwa, diarahkan kepada alat bukti keterangan saksi, yaitu mengandalkan kepada orang yang mengalami, melihat atau mendengar sendiri secara langsung tindak pidana yang terjadi. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur secara enumeratif dalam Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, yang terdiri dari:
a.    bukti tulisan
b.    bukti dengan saksi
c.    persangkaan
d.   pengakuan
e.    sumpah
3.      Bukti Langsung dan Tidak Langsung
Ditinjau dari sifatnya alat bukti yang disebut dalam Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, dapat diklasifikasi.
a.       Alat bukti langsung (Direct Evindence)
Disebut alat bukti langsung, karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan di depan persidangan. Alat buktinya diajukan dan ditampilkan dalam proses pemeriksaan secara fisik. Yang tergolong alat bukti langsung adalah:
1)      Alat bukti surat
2)      Alat bukti saksi
b.      Alat bukti tidak langsung
Di samping alat bukti langsung, terdapat juga alat bukti tidak langsung.  Maksudnya pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi dipersidangan. Yang termasuk pada kelompok ini adalah persangkaan (vermoeden).
Begitu juga pengakuan, termasuk alat bukti tidak langsung bahkan dari sifat dari bentuknya, pengakuan tidak tepat disebut alat bukti. Karena pada dasarnya pengakuan bukan berfungsi membuktikan tetapi pembebasan pihak lawan untuk membuktikan hal yang di akui pihak lain. Jika tergugat mengakui dalil penggugat pada dasarnya tergugat bukan membuktikan kebenaran dalil tersebut, tetapi membebaskan penggugat dari kewajiban beban pembuktian untuk membuktikan dalil yang dimaksud.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Hukum pembuktian positif kita dalam acara perdata di atur dalam HIR dan Rbg serta KUHPerdata buku IV. Yang tercantum dalam HIR dan Rbg adalah hukum pembuktian baik yang materiil maupun formil. Apa yang tercantum dalam KUHPerdata bukan IV adalah hukum pembuktian materiil. Hukum pembuktian dalam KUHPerdata buku IV itu disusun khusus untuk acara contradictoir atau peradilan voluntoir atau peradilan volunter pada azasnya tidak berlaku hukum pembuktian dari KUHPerdata buku IV, tetapi diperlakukan secara analog.
2.      Yang wajib membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa. Para pihaklah yang wajib membuktikan peristiwa yang disengketakan dan bukan hakim. Hal ini dapat kita baca dalam Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg) dan 1865 BW; �Barang siapa yang mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu� (Pasal 178 ayat 1HIR, 189 ayat 1 Rbg, 50 ayat 1 Rv). Jadi dalam hal ini dipisahkan antara yang harus membuktikan atau yang harus mengajukan alat-alat bukti, yaitu para pihak, dan yang harus menyatakan terbukti atau tidaknya suatu peristiwa, yaitu hakim.


DAFTAR PUSTAKA

Harahap. Yahya. M.  2015. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika

Rasyid. A. Roihan. H. 2005. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada