KATA PENGANTAR
Puji
syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT,karena atas rahmat dan
karunia yang telah diberikan, sehingga kami dapat menyusun Makalah Hukum
Acara yang membahas tentang Teknik Penyusunan Gugatan Dan Permohonan. Dan tak lupa pula salawat serta
salam kita hadiahkan kepada nabi besar kita yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa umatnya ke alam yamg penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita
rasakan saat sekarng ini. Makalah ini di buat untuk meningkatkan kesadaran dan
wawasan kami sebagai mahasiswa/i dan meningkatkan kualitas diri kami dalam
menuntut ilmu.
Bertambah
tuanya umur dunia, maka semakin pesat pula perkembangan manusia dan perkembangan teknologi.Zaman yang
digeluti hampir mencapai puncak kejayaan
dunia seiring dengan dunia modern ini,tidak ada manusia yang luput dari
kesalahan.Penulis yakin dalam pembuatan
makalah ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu demi kesempurnaan
makalah ini segala kritik dan saran yang membangun yang penulis harapkan, dan semoga makalah
sederhana ini dapat membantu kita semua.
Dan tak
lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing serta pihak
yang telah ikut memberikan masukan dan motifasi terhadap penulis dalam
menyelesaikan makalah ini semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat
ridho dan balasan dari allah swt,,amin..
Pamekasan, 25 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR....................................................................................................... 1
DAFTAR
ISI....................................................................................................................... 2
BAB
I PENDAHULUAN.................................................................................................. 3
A. Latar
Belakang................................................................................................... 3
B. Rumusan
Masalah............................................................................................. 3
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................................................... 4
A. Pengertian
Gugatan.......................................................................................... 4
B.
Pengertian Permohonan................................................................................... 5
C.
Bentuk Gugatan dan Permohonan.................................................................. 6
D.
Isi Gugatan dan Permohonan.......................................................................... 7
E.
Kelengkapan Gugatan dan Permohonan........................................................ 9
F. Tempat
Pengajuan Gugatan dan Permohonan............................................. 10
BAB
III PENUTUP........................................................................................................... 12
A. Kesimpulan..................................................................................................... 12
B. Saran............................................................................................................... 12
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat yang selalu bersosialisasi
tidak jarang terjadi konflik antara individu satu dengan yang lainnya maupun
antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Terkadang konflik yang
terjadi menimbulkan kerugian kepada pihak yang lainnya. Agar dalam
mempertahankan hak-masing-masingnya tidak melampaui batas dari norma yang telah
ditentukan maka perbuatan seenaknya harus di hapuskan
Jadi agar bisanya menyelesaikan masalah dengan jalan yang
baik dan dengan menegakkan keadilan maka semua itu diatur oleh Negara. Dan
masalah ini pemakalah bahas agar terhindar dari ketidak adilan dalam
menyelesaikan perkara.
B. Rumusan
masalah
1. Pengertian gugatan dan permohonan
2. Bentuk Gugatan dan permohonan
3. Isi gugatan dan
permohonan
4. Kelengkapan
gugatan dan permohonan
5. Tempat
mengajukan gugatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Gugatan
Gugatan
dalam bahasa hukum islam disebut “ad-da’wa”.
Kata “ad-da’wa” ini dipergunakan pula
sebagai tuntutan pidana, yakni da’wa perdata atau da’wa pidana tergantung
dengan konsep kalimat.[1][1]
Darwan
Prints mengartikan gugatan dengan: suatu upaya hukum atau tindakan untuk
menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya
guna memulihkan kerugian yang diderita oleh penggugat melalui putusan
pengadilan.
Mardani
mengartikan gugatan dengan; suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada
Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya
mengandung sengketa dan merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu
pembuktian kebenaran suatu hak.
Sedangkan
menurut Sudikno Mertokusumo, gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan
untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigen richting).[2][2]
Kesimpulannya gugatan adalah
suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang
mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainya dan harus diperiksa menurut
tatacara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap
gugatan tersebut.[3][3]
B. Pengertian
Permohonan
Permohonan adalah suatu permohonan dari seseorang atau
beberapa orang Pemohon kepada Ketua Pengadilan yang berwenang untuk menetapkan
suatu hal yang tidak mengandung sengketa.[4][4]
Prinsip
dalam surat permohonan adalah tidak mempunyai lawan, lain dengan surat gugatan.
Surat permohonan dalam pengertian asli, supaya dibuat sesuai dengan prinsipnya,
yaitu tidak ada lawan, itulah yang pokok. Dengan demikian identitas pihak
hanya pihak pemohon saja, bagian
positanya adalah tentang situasi hukum atau peristiwa hukum yang dijadikan
dasar terhadap apa yang dimohon oleh pemohon dalam bagian petita.[5][5]
a)
Dalam perkara
gugatan ada suatu sengketa, atau konflik yang harus diselesaikan dan harus
diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau
perselisihan, misalnya segenap ahli waris secara bersama-sama menghadap ke
pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari
warisan almarhu. Atau permohonan untuk mengganti nama dari leonardo de caprio
menjadi muhammad salim atau perbaikan akta catatan sipil.
b)
Dalam suatu
gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak penggugat dan tergugat yang merasa
haknya atau hak mereka dilanggar sedangkan dalam permohonan hanya ada satu
pihak yaitu pihak pemohon.
c)
Suatu gugatan
dikenal sebagai pengadilan contentiosa atau pengadilan sungguh-sungguh,
sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan voluntair atau
pengadilan pura-pura.
d)
Hasil suatu
gugatan adalah putusan (vonis) sedeangkan hasil suatu permohonan adalah
penetapan (beschikking)
Perbedaan ini sudah tidak relevan lagi jika dikatkan
dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebab dalam UU tersebut
dikenal adanya permohonan dan gugatan perceraian. Permohonan perceraian
dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, sedangkan gugatan perceraian
dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Dalam hal permohonan perceraian
yang dulakukan oleh suami pasti ada alasan-alasan perceraian sebagaimana
disyaratkan oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. Tahun 1975
di mana alasan-alasan tersebut bisa jadi merupakan suatu sengketa atau konflik,
dan juga ada dua pihak yaitu pihak pemohon dan termohon.[7][7]
C. Bentuk
gugatan dan permohonan
1. Gugatan tertulis
Gugatan
tertulis diatur dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat (1) R.Bg. dalam kedua
pasal ini ditentukan bahwa gugatan harus diajukan secara tertulis dan ditujukan
kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat gugatan
yang ditulis itu harus ditandatangani oleh penggugat atau para penggugat. Jika
perkara itu dilimpahkan kepada kuasa hukumnya, maka yang menandatangani surat
itu adalah kuasa hukumnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 123 ayat (1) HIR
dan pasal 147 ayat (1) R.Bg.[8][8]
Surat
gugatan dibuat haruslah bertanggal, menyebutkan dengan jelas nama penggugat dan
tergugat, tempat tinggal mereka, dan kalau perlu disebutkan juga jabatan dan
kedudukannya.
2. Gugatan lisan
Pada dasarnya gugatan harus diajukan kepada Pengadilan
secara tertulis sebagaimana yang tersebut dalam pasal 118 HIR dan pasal 142
ayat (1) R.Bg.Tetapi dalam asal 120 HIR dan pasal 144 ayat (1)R.Bg dikemukakan
bahwa jika orang yang menggugat buta huruf, maka gugatan dapat diajukan secara
lisan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua Pengadilan mencatat segala
hal gugatan itu dalam bentuk tertulis. Jika Ketua Pengadilan karena sesuatu hal
tidak dapat mencatat sendiri gugatan tersebut, maka ia dapat meminta seorang
hakim untuk mencatat dan menformulasikan gugatan tersebut sehingga memudahkan
Majelis Hakim untuk memerisaknya.
Dispensasi yang diberikan oleh aturan perundang-undangan
kepada orang yang buta hurufuntuk menggugat secara lisan langsung kepada
pengadilan mempunyai tujuan untuk melindungi dan membantu orang yang buta huruf
itu dalam rangka menuntut hak-haknya, agar terhindar dari kesalahan-kesalahan
dalam membuat gugatan, yang dapat terjadi apabila dilakukan oleh orang lain
Dalam praktek gugatan secara lisan ini jarang yang
ditangani secara langsung oleh ketua pengadilan tetapi ketua pengadilan
menugaskan seorang hakim untuk mencatat gugatan itu dan di formulasikan dalam
bentuk tertulis. Gugatan secara lisan yang telah diformulasikan itu ditanda
tangani oleh ketua pengadilan atau hakim yang memformulasikan gugatan itu,
penggugat tidak perlu menandatangani atau membubuhkan cap jempolnya pada surat
gugta tersebut dan juga tidak perlu diberi materai.[9][9]
Tata
cara mengajukan gugatan secara lisan:
1. Tuntutan disampaikan secara lisan pada
ketua pengadilan yang berwenang.
2. Ketua pengadilan atau hakim yang
ditunjuk oleh ketua pengadilan mencatat segala kejadian dan peristiwa sekitar
tuntutan yang diminta oleh penggugat, kemudian diformulasikan dalam sebuah
surat gugat yang mudah dipahami apabila para pihak membacanya.
3. Gugatan yang telah diformulasikan
dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan kepada penggugat, apakah segala hal
yang menjadi persengketaan dan tuntutan yang dikehendakinya telah sesuai dengan
kehendak penggugat,
4. Apabila sudah sesuai dengan kehendak
penggugat, maka surat gugat yang telah diformulaikan itu di tanda tangani oleh
ketua/ hakim yang di tunjuk oleh ketua untuk menyusun formulasi gugatan itu.
Jika
gugatan atau permohonan diajukan secara lisan, maka panitera atas nama Ketua
Pengadilan Agama membuat catatan yang diterangkan oleh penggugat atau pemohon
kepadanya, yang disebut dengan “catatan gugat atau catatan permohonan”.
D. Isi
Gugatan dan permohonan
isi gugatan adalah sebagai berikut:
1) Identitas para pihak dan
kedudukannya dalam perkara
Melipiutoi
nama, tempat tinggal, dan pekerjaan. Dalam praktek sering juga dicantumkan
agama, umur, status (kawin/belum kawin, janda/duda)[10][10]
2) Posita (position)
Posita
gugat adalah fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah
pihak. Ia merupakan dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar serta alasan dari tuntutan. Posita terdiri dari dua bagian,
yakni bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum. Bagian ini
menguraikan tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis
dari tuntutan.
3) Petitum
Petitum
atau disebut juga tuntutan yaitu apa yang diminta atau yang diharapkan oleh
penggugat agar diputuskan oleh hakim. Petitum disebut juga dengan tuntutan
hukum yang diminta penggugat untuk dijatuhkan pengadilan kepada tergugat. Yang
kedudukannya sebagai syarat formil, sehingga gugatan tanpa petitum berarti surat
gugatan mengandung cacat formil.
Dalam
hukum acara perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun gugatan kepada
pengadilan, yaitu pertama, substantiering
theory, yakni teori yang menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan
peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebutkan
kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dam menjadi sebab
timbulnya peristiwa hukum tersebut.
Bagi
penggugat di dalam gugatannya ia tidak hanya menyebutkan bahwa ia pemilik suatu benda, tetapi juga
harus menyebutkan sejarah kepemilikannya. Misalnya kerena ia membeli,. Atau
dari hasil warisan, hadiah dan sebagainya. Kedua, individualisering theory. Teori ini menyatakan bahwa dalam membuat
surat gugatan cukup ditulis yang pokok-pokoknya saja, tanpa harus menyebutkan
kejadian-kejadian tersebut. Sejarah terjadinya kepemilikan atas benda itu tidak
perlu dimasukan dalam gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam
persidangan dengan disertai bukti-bukti yang cukup.[11][11]
Dalam praktek tuntutan dan petitum
terdiri atas dua bagian yaitu tuntutan primer dan tuntutan subside. [12][12]
Tuntutan
primer antara lain:
a) Menghukum tergugat untuk menyerahkan
tanah sengketa dalam keadaan baik dan kosong kepda penggugat.
b) Menyatakan sah dan berharga sita
jaminan atas tanah sengketa.
c) Menyatakan putusan dapat
dilaksanakan lebih dulu ( iutvoebaar bij voorraad), meskipun timbul perlawanan,
banding atau kasasi.
d) Menghukum tergugat untuk membayar uang paksa. Pembayaran
uang paksa ini hanya mungkin terhadap perbuatan yang harus dilakukan ileh
tergugat yang tidak terdiri dari pembayaran suatu jumlah uang, dan dikenakan
setiap hari selama ia tidak memenuhi isi putusan sejak putusan itu mempunyai
kekuatan hukum tetap.
e) Menghukum tergugat membayar bunga,
apabila tuntutan yang diminta oleh penggugat berupa pembayaran sejumlah uang
tertentu, karena lambat memenuhi isi perjanjian dan diperhitungkansejak
diajukan gugatan ke pengadilan
f) Menghukum tergugat untuk memberikan
uang nafkah setiap bulan
g) Menghukum tergugat untuk membayar
biaya perkara.
Tuntutan subside antara lain:
a) Jika majelis hakim berpendapat lain
, mohon memberikan putusan lain yang adil dan benar
b) Agar hakim mengadili menurut
keadilan yang benar
c) Mohon putusan yang seadil-adilnya
E. Kelengkapan
gugatan dan permohonan
Sekalipun
surat gugatan atau pemohonan sudah dibuat tetapi untuk mendaftarkan di
Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapai dengan syarat-syarat lainnya.
Syarat kelengkapan gugatan atau permohonan, ada syarat kelengkapan umum dana
ada syarat kelengkapan khusus.
1. Syarat kelengkapan umum
Syarat
kelengkapan umum untuk dapat diterima didaftarkannya suatu perkara dipengadilan
ialah sebagai berikut:
a) Surat gugatan atau surat permohonan
tertulis, atau dalam hal buta huruf, catatan gugat atau catatan permohonan.
b) Surat keterangan kependudukan/tempat
tinggal/domisili bagi penggugat atau pemohon
c) Vorskot biaya perkara, kecualiu bagi
yang miskin dapat membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepala desa yang
disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.
2. Syarat kelengkapan khusus
Syarat
kelengkapan khusus ini tidaklah sama untuk semua kasus perkara, melainkan
tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu an sich, contohnya sebagai berikut:
a) Perkara perkawinan harus
melampirkankutipan akta Nikah, seperti perkara gugatan cerai, permohonan untuk
menceraikan isteri dengan cerai talak dan sebagainya.
b) Gugatan pewaris harus disertakan
surat keterangan kematian pewaris.
F. Tempat
mengajukan gugatan /permohonan
1. Perkara cerai talak
a) Seorang suami yang beragama islam
yang yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk mengadakan siding guna menyaksikanikrar talak.
b) Permohonan tersebut diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali
apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediamanyang ditentukan
bersama tanpa izin pemohon.
c) Dalam hal termohon bertempat
kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
d) Apabila suami isteri (pemohon dan termohon) bertempat
kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
e) Permohonan soal penguasaan anak,
nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama dengan permohonan cerai talak
ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
2. Perkara cerai gugat
a) Gugatan perceraian diajukan oleh
isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnyameliputi tempat
kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
b) Dalam hal penggugat bertempat
kediaman di luar negeri, gugatan perceraiaan diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
c) Dalam hal penggugat dan tergugat
bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
3. Permohonan untuk beristri lebih dari
seorang diajukan oleh pemohon (suami yang bersangkutan) ke Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat kediaman suami (pemohon)
4. Izin kawin sebagai pengganti izin
dari orang tua/wali/keluarga bagi calon mempelai (laki-laki) atau perempuan)
yang belum berusia 21 tahun dan tidak telah pernah kawin sebelumnya, diajukan
ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman calon mempelai tersebut.
5. Bagi calon mempelai wanita yang mau
kawin mendahului dari umur 16 tahun atau bagi calon mempelai pria yang mau
kawin mendahului dari umur 19 tahun, maka untuk mendapatkan dispensiasi kawin,
ia mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh orang tua
masing-masing.
6. Pencegahan perkawinan terhadap
rencana perkawinan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan atau karena
alasan hukum lainnya, diajukan permohonannya ke Pengadilan Agama dalam daerah
hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan.
7. Calon mempelai yang ditolak untuk
melangsungkan perkawinannya oleh Pegawai Pencatat Nikah karena menurut Pegawai
Pencatat Nikah tidak boleh, diajukan oleh si calon ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi Pegawai Pencatat Nikah tersebut.
8. Gugatan Pembatalan perkawinan
diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi dimana perkawinan itu dahulunya
dilangsungkan, atau ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman salah
seorang dari suami isteri tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gugatan
merupakan suatu usaha/permohonan yang disampaikan ke pengadilan yang berwenang
tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip
keadilan dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Gugatan
itu mempunyai unsur-unsur, yang mana apabila salah satu unsur itu tidak ada maka gugata itu tidak akan
diterima sebagai gugatan.
Sedangkan
permohonan merupakan suatu surat yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata
oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung
sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses
peradilan yang bukan sebenarnya.
B. Saran
Demikianlah
kami buat makalah ini dengan sedemikian sempurna, tetapi biarpun demikian kami
tau makalah ini masih jau dari kata sempurna, untuk itu kami harapkan kritik
dan sarannya pada makalah ini, dan
biarpun demikian semoga makalah ini menjadi berguna bagi kita semua terutama
buat pemakalah sendiri, dan semoga ini menjadi tambahan bacaan yang akan
menambah ilmu kita nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Makarao, Taufik, Pokok-Pokok
Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Manan, Abdul, Penetapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama,Jakarta: Yayasan al- hikmah, 2000
Noviardi,
Hukum Acara Peradilan Agama, Bukittinggi:
STAIN Prees, 2010
Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Ggatan
Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002
Sutanto, Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Bandung: cv
Mandar Maju, 2009
[2][2]
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan
Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal 4
[3][3]
Darwan Prinst, Strategi Menyusun
Dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hal
2
[9][9]
Darwan Prinst, Strategi Menyusun
Dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2002), hal47
[10][10]
Taufik Makarao,Pokok-Pokok Hukum Acara
Perdata, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hal 30
[11][11]
Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi:
STAIN Prees, 2010), hal 32
[12][12]
Loc Cit, hal 30-31