KATA PENGANTAR
Puji
syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT,karena atas rahmat dan
karunia yang telah diberikan, sehingga kami dapat menyusun Makalah Hukum
Acara yang membahas tentang Pembuktian. Dan tak lupa pula salawat serta salam kita hadiahkan kepada
nabi besar kita yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya ke alam
yamg penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat sekarng ini.
Makalah ini di buat untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan kami sebagai
mahasiswa/i dan meningkatkan kualitas diri kami dalam menuntut ilmu.
Bertambah
tuanya umur dunia, maka semakin pesat pula perkembangan manusia dan perkembangan teknologi.Zaman yang
digeluti hampir mencapai puncak kejayaan
dunia seiring dengan dunia modern ini,tidak ada manusia yang luput dari
kesalahan.Penulis yakin dalam pembuatan
makalah ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu demi kesempurnaan
makalah ini segala kritik dan saran yang membangun yang penulis harapkan, dan semoga makalah
sederhana ini dapat membantu kita semua.
Dan
tak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing serta
pihak yang telah ikut memberikan masukan dan motifasi terhadap penulis dalam
menyelesaikan makalah ini semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat
ridho dan balasan dari allah swt,,amin..
.
Pamekasan, 25
november 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ 1
DAFTAR ISI........................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 3
A.
Latar Belakang.................................................................................................... 3
B.
Rumusan Masalah............................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 4
A.
Pengertian
Hukum Pembuktian........................................................................ 4
B.
Prinsip Umum
Pembuktian............................................................................... 4
C.
Beban
Pembuktian............................................................................................. 7
D.
Batas Minimal
Pembuktian................................................................................ 8
E.
Alat-Alat Bukti.................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP............................................................................................................. 17
A.
Kesimpulan.......................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu
proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan
hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan
hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan
dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan
dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatnya, maka gugatannya akan ditolak,
sedangkan apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan.[1][1]
Dari latar
belakang masalah di atas penulis tertarik untuk menggali lebih dalam masalah
tentang pembuktian dalam suatu proses perdata ini dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum pembuktian ?
2. Bagaimana prinsip umum pembuktian ?
3. Bagaimana beban pembuktian dan batas minimal
pembuktian ?
4. Apa saja alat-alat bukti yang dapat digunakan
atau tidak dalam hukum pembuktian ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum
Pembuktian
Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian
yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin
rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian
peristiwa masa lalu dan suatu kebenaran (truth). Kesulitan mengungkap
kebenaran dalam proses pembuktian karena alat bukti mengandung:
a. Adanya dugaan dan prasangka.
- Faktor kebohongan.
- Unsur kepalsuan.
B.
Prinsip Umum Pembuktian
Prinsip umum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak
termasuk hakim harus berpatokan yang digariskan prinsip tersebut. Memang di
samping itu masih terdapat lagi prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk
setiap jenis alat bukti, sehingga harus juga dijadikan patokan dalam penerapan
sistem pembuktian.
1.
Mewujudkan Kebenaran Formil (Formeel Waarheid)
Sistem pembuktian yang dianut Hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel
negatif menurut UU (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses
pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran dengan alat bukti
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan didukung keyakinan oleh hakim
atau disebut mencari kebenaran materiil (beyond a reasonable doubt).
Hukum acara perdata pada prinsipnya ”Mencari Kebenaran Formil”, meskipun
demikian Mahkamah Agung dalam Putusan No. 3136 K/Pdt/1983, menegaskan bahwa
pengadilan dalam mengadili perkara perdata tidak dilarang mencari dan menemukan
kebenaran materil. Namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan dalam
peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan
kebenaran formil.
Dalam rangka mencari kebenaran formil, hakim perlu memegang prinsip sebagai
berikut:
a.
Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif
Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang
diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam
proses perkara perdata, hanya terbatas mencari dan menemukan kebenaran formil,
yang kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung. [2][2]
b.
Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta
Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak
atau dikabulkannya gugatan, mesti berdasarkan pembuktian yang bersumber dari
fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat ditegakkan
berdasarkan dukungan fakta-fakta, sehingga pembuktian tidak dapat ditegakkan
tanpa adanya fakta-fakta yang mendukungnya (Vide Putusan MA No.2775
K/Pdt/1983).
2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Pekara
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu
pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok
perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok
yang didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai,
karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum
yang terjadi antara para pihak. Namun menurut Putusan MA No. 288 K/Sip/1973,
bahwa pengakuan yang diberikan tidak benar, hakim berwenang menilai apakah
pengakuan tersebut mengandung kebenaran atau kebohongan.
Patokan dari sebuah pengakuan tergugat adalah sebagai berikut:
- Pengakuan yang diberikan tanpa syarat atau dinyatakan secara tegas.
- Tidak menyangkal dengan cara berdiam diri (silence).
- Menyangkal tanpa alasan yang cukup.
3.
Fakta-Fakta yang tidak Perlu Dibuktikan
Tidak semua fakta harus dibuktikan, fokus pembuktian ditujukan kepada
kejadian atas peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai
dengan yang didalilkan gugatan pada satu sisi dan apa yang disangkal tergugat
pada sisi lain.
Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan sebagai berikut:
a. Hukum positif tidak perlu dibuktikan, yang bertitik tolak dari doktrin curia
novit jus, yakni pengadilan dianggap mengetahui segala hukum positif dan
hukum yang hidup di masyarakat (living law).
b. Fakta yang diketahui umum tidak dibuktikan, yang ditemukan di doktrin hukum
pembuktian terminus notoir feiten, yaitu hukum menganggap berlebihan
membuktikan sesuatu keadaan yang telah diketahui masyarakat umum (Vide H.R, 24
Maret 1022, W. 10913 dan Pasal 184 ayat (2) KUHAP).
c. Fakta yang tidak dibantah, tidak perlu dibantah karena secara logis
dianggap telah terbukti kebenarannya yang dilakukan pihak lawan dengan mengakui
secara tegas (expressis verbis) dalil dan fakta atau bantahan yang
diajukan tanpa dasar alasan.
d. Fakta yang ditemukan selam proses persidangan tidak perlu dibuktikan,
karena fakta sudah diketahui, dialami, dilihat atau didengar hakim selama
proses pemeriksaan persidangan berlangsung.
4.
Bukti Lawan (Tegenbewijs)
Salah satu prinsip umum pembuktian, memberi hak kepada pihak lawan
mengajukan bukti lawan (Vide Pasal 1918 KUH Perdata) yang diajukan tergugat
untuk kepentingan pembelaannya terhadap dalil dan fakta yang diajukan
penggugat. Sebagai contoh, menurut Putusan MA No. 3360 K/Sip/1983, bahwa nilai
pembuktian akta otentik adalah sempurna (volledig), akan tetapi hal itu
melekat sepanjang tidak diajukan bukti lawan oleh pihak tergugat yang
melumpuhkan (Vide Pasal 1870 KUH Perdata dan Pasal 314 RBG).
C. Beban Pembuktian
Salah satu bagian penting dalam sistem pembuktian perkara perdata adalah
beban pembuktian (bewijslast), yang bertujuan tidak adanya kekeliruan
dalam pembebanan pembuktian dan menghindari kesewenang-wenangan terhadap pihak
yang dibebani.
1.
Prinsip Beban Pembuktian
Pedoman dari pembuktian sebagai berikut:
- Tidak bersikap berat sebelah atau imparsialitas. Hal ini berdasarkan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa barang siapa mendalilkan suatu hak atau tentang adanya suatu fakta untuk menegakkan hak maupun untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan hakn tersebut atau fakta lain.
- Menegakkan risiko alokasi pembebanan pembuktian. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan MA No. 3565 K/Pdt/1984 dan Putusan MA No. 2418 K/Pdt/1984.
2.
Penerapan Pembuktian Masalah Yuridis
Penerapan beban pembuktian merupakan masalah yurudis atau hukum. Oleh
karena masalah yuridis, penerapannya dapat diperjuangkan sampai ke tingkat
kasasi di Mahkamah Agung. Artinya apabila Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Tinggi salah meletakkan pembagian pembebanan pembuktian, pihak yang merasa
dirugikan dapat menjadikan kesalahan itu sebagai alasan kasasi (Vide Putusan MA
No. 578 K/Pdt/1984 dan No. 1855 K/Pdt/1984).
3.
Pedoman Pembagian Beban Pembuktian
a.
Berdasarkan Undang-Undang
Sebagai pedoman pembagian beban pembuktian digariskan dalam Pasal 163 HIR,
Pasal 283 RBG dan Pasal 1865 KUH Perdata yang menegaskan bahwa setiap orang
yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan haknya sendiri
maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Dalam sistem hukum Common Law pedoman pembagian pembuktian dikenal dengan Burder
Of Proof dengan kalimat, ”Ho Who Asserts Must Prov”, artinya siapa
yang menyatakan sesuatu, mesti membuktikannya. Dalam Putusan MA No. 3164
K/Pdt/1983 ditegaskan bahwa beban pembuktian ada ditangan penggugat, karena ia
yang mengemukakan sesuatu hak dan berarti pihak yang dibebani wajib membuktikan
dalil gugatannya.
b.
Berdasarkan Teori Hak
Berdasarkan teori hak, beban pembuktian ada di Penggugat, karena ia pihak
yang mengemukakan haknya. Sehingga yang harus dibuktikan adalah fakta
menyangkut kualitas dari para pihak untuk melakukan tindakan hukum, fakta yang
menimbulkan, mengahalangi dan menghapuskan hak.
c.
Berdasarkan Teori Hukum
Beban pembuktian berdasarkan teori hukum adalah proses pemeriksaan dan
penyelesaian perkara hakim harus melaksanakan hukum artinya peraturan perundang-undangan
yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis (living law).[3][3]
D. Batas Minimal Pembuktian
Batas minimal pembuktian adalah suatu jumlah alat bukti yang sah paling
sedikit dalam KUHAP, dua alat bukti dan memenuhi asas unus testis nullus
testis harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan
pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau dikemukakan.
Pengajuan alat bukti yang efektif mencapai batas minimal pembuktian,
didasarkan pada faktor kualitas alat bukti yang bersangkutan. Menurut hukum,
alat bukti yang berkualitas dan sah sebagi berikut:
1. Alat Bukti Yang Memenuhi Syarat Formil
a.
Orang yang tidak dilarang sebagai saksi berdasarkan Pasal 1910 KUH Perdata,
Pasal 145 Jo. Pasal 172 HIR.
b.
Memberi keterangan di persidangan sesuai dengan ketentuan Pasal 144 HIR dan
Pasal 1905 KUH Perdata.
c.
Mengucapkan sumpah menurut agama atau keyakinan berdasarkan Pasal 1907 KUH
Perdata dan Pasal 171 HIR.
2. Alat Bukti yang Memenuhi Syarat Materiil
a.
Keterangan yang diberikan didukung oleh alasan dan pengetahuan yang jelas
sesuai ketentuan Pasal 1907 KUH Perdata dan Pasal 171 HIR.
b.
Fakta peristiwa yang diterangkan bersumber dari pengalaman, penglihatan, dan
mendengar sendiri tentang hal yang benar-benar berkaitan langsung dengan
perkara yang disengketakan sesuai Pasal 1907 KUH Perdata dan Pasal 171 HIR.
c.
Keterangan yang diberikan saling bersesuaian antara yang satu dengan yang
lain atau dengan alat bukti lain berdasarkan Pasal 1906 KUH Perdata dan Pasal
170 HIR. .
E. Alat-Alat Bukti
1. Umum
Alat bukti (bewijsmiddel) bermacam-macam bentuk dan jenis, yang
mampu memberi keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkirakan di pengadilan.
Alat bukti diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugatan atau dalil
bantahan. Jadi para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran
dalil gugatan dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan
dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu.
2. Jenis Alat Bukti
Alat bukti yang diakui
dalam hukum acara perdata diatur secara enumeratif dalam Pasal 1866 KUH Perdata
(burgerlijk wetboek) dan Pasal 164 HIR yang terdiri dari:
a.
Tertulis/tulisan.
b.
Saksi.
c.
Persangkaan.
d.
Pengakuan.
e.
Sumpah.
3. Alat Bukti Tulisan
Salah satu syarat
pokok surat atau tulisan sebagai alat bukti, harus tercamtum di dalamnya tanda
tangan (handtekening, signature). Tanpa tanda tangan, suatu surat tidak
sah sebagai alat bukti tulisan. Tanda tangan tersebut harus memenuhi syarat, pertama
menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama kecil, kedua
tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil, ketiga ditulis
tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel dengan huruf cetak,
keempat dibenarkan mencamtumkan kopi tanda tangan si penanda tangan, kelima
tanda tangan dengan mempergunakan karbon. Tanda tangan tidak hanya
tertulis, namun juga dapat berupa cap jempol yang dipersamakan dengan tanda
tangan, sesuai yang ditegaskan oleh Pasal 1874 ayat (2) KUH Perdata, St.
1919-776 dan 286 ayat (2) RBG. Namun untuk keabsahannya harus, pertama dilegalisir
pejabat yang berwenang (waarmerking), kedua dilegalisasi diberi
tanggal, ketiga pernyataan dari yang melegalisir, bahwa orang yang
membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya, keempat isi
akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan, kelima pembubuhan cap
jempol dilakukan dihadapan pejabat tersebut.
Dalam hukum perdata, dikenal tiga macam tulisan:
Akta Otentik
Akta otentik adalah suatu
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan UU oleh atau dihapadan pejabat
umum yang berwenang untuk itu ditempat akta yang dibuat (Vide Pasal 1868 KUH
Perdata). Kekuatan pembuktian akta otentik secara formil menurut Pasal 1871 KUH
Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar
diberikan dan disampaikan penanda tangan kepada pejabat yang membuatnya. Dalam
Putusan MA No.3917 K/Pdt/1986, ditegaskan juga bahwa pada dasarnya apa yang
tertuang dalam akta notaris, harus dianggap benar merupakan kehendak para
pihak.
Syarat-syarat dari
akta otentik adalah sebagai berikut:
- Dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.
- Dihadiri para pihak.
- Kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada pejabat.
- Dihadiri dua orang saksi.
- Menyebut identitas notaris (pejabat), penghadap para saksi.
- Menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta.
- Notaris membacakan akta di hadapan para penghadap.
- Ditanda tangani semua pihak.
- Penegasan pembacaan, penerjemahan, dan penandatanganan pada bagian penutup akta.
Akta Bawah Tangan
Menurut Pasal 1874 KUH
Perdata dan Pasal 286 RBG, akta bawah tangan adalah tulisan atau akta yang ditanda
tangani di bawah tangan yang tidak ditanda tangani pejabat yang berwenang,
tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak.
Syarat-syarat dari akta bawah tangan sebagai berikut:
- Tertulis/tulisan.
- Dibuat oleh dua pihak atau lebih, tanpa bantuan pejabat yang berwenang.
- Ditanda tangani oleh para pihak.
- Mencamtumkan tanggal dan tempat penandatanganan.
Akta Pengakuan Sepihak
Akta pengakuan sepihak
secara tersirat diatur dalam Putusan MA No. 1363 K/Pdt/1996, Pasal 1878 KUH
Perdata, dan Pasal 291 RBG. Menurut ketiga peraturan ini akta pengakuan sepihak
harus tunduk pada Pasal 1878 KUH Perdata, dengan syarat seluruh isi akta harus
ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penanda tangan dan paling
tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut di dalamnya,
ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Syarat-syarat dari akta
pengakuan sepihak sebagai berikut:
a.
Tertulis.
b.
Mencamtumkan identitas
c.
Menyebut dengan pasti, misalnya waktu pembayaran
d.
Ditulis tangan oleh penanda tangan
e.
Ditanda tangani penulis akta.
4. Alat Bukti Saksi
Penerapan pembuktian
dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian
dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh
undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang
dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa
hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat
diterapkan.
Alat bukti saksi yang
diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban para
pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang berkepentingan
tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala
daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1)
HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang
apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct. Saksi
yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak
datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya
meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).
Syarat-syarat alat
bukti saksi adalah sebagai berikut:
a. Orang yang Cakap
Orang yang cakap
adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal 145 HIR, Pasal 172
RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama keluarga sedarah dan
semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus, kedua suami atau
istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA No.140
K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat menjadi saksi dalam
perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2)
KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15 (lima belas)
tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH Perdata), keempat orang
gila meskipun terkadang terang ingatannya (Vide Pasal 1912 KUH Perdata), kelima
orang yang selama proses perkara sidang berlangsung dimasukkan dalam
tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).
b.
Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
Alat bukti saksi
disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut
ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti adalah keterangan
yang disampaikan di depan persidangan.
c. Diperiksa Satu Persatu
Syarat ini diatur
dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut ketentuan ini,
terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan saksi yang
diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan
saksi dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi
(Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan
para pihak yang berperkara.
d.
Mengucapkan Sumpah
Syarat formil yang
dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan persidangan, yang
berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang sebenarnya atau voir dire,
yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi dalam persidangan, diatur
dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH Perdata, yang merupakan
kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut agamanya untuk menerangkan
yang sebenarnya, dan diberikan sebelum memberikan keterangan yang disebut
dengan ”Sistim Promisoris”.
e. Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai
Alat Bukti
Menurut Pasal 169 HIR
dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi saja tidak dapat
dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi
atau ditambah alat bukti lain.
f. Keterangan Berdasarkan Alasan dan
Sumber Pengetahuan
Keterangan berdasarkan alasan dan sumber
pengetahuan diatur dalam Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH
Perdata. Menurut ketentuan ini keterangan yang diberikan saksi harus memiliki
landasan pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar dan
mengalami sendiri.
g. Saling Persesuaian
Saling persesuaian
diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Dalam ketentuan ini
ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti, hanya
terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual confirmity
antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan saksi yang satu dengan
yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain, terdapat
kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan yang utuh
tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.
5. Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan diatur dalam Pasal 1915 KUH Perdata, Pasal 173 HIR dan Pasal
310 RBG. Menurut Pasal 1915
KUH Perdata, persangkaan adalah kesimpulan yang oleh UU atau oleh hakim ditarik
dari satu persitiwa yang diketahu umum ke arah suatu peristiwa yang tidak
diketahui umum.
Dalam Kamus Hukum Engelbrecht, persangkaan (vermoedem)
adalah “kesimpulan yang ditarik oleh UU atau oleh hakim dari suatu hal atau
tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang belum
diketahui”. Artinya bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik
kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta
itu belum diketahui atau ditemukannya fakta lain.
Persangkaan terbagi dua:
a.
Persangkaan UU, yaitu persangkaan berdasarkan suatu
ketentuan khusus UU berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau
peristiwa tertentu (Vide Pasal 1916 KUH Perdata).
b.
Persangkaan hakim (presumtion of fact), yaitu
persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta yang
terbukti dalam persidangan sebagai pangkal titik tolak menyusun persangkaan,
yang dilakukan oleh hakim karena UU memberikan kewenangan dan kebebasan
menyusunnya (Vide Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG).
6. Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan (bekentenis, confession) adalah
alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu
pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim
atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa
yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH
Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara umum, para pihak dapat mengakui segala hal
yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui
semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat
mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut
dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan
mengenai fakta atau peristiwa hukum. .
7. Alat Bukti Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 155 s/d 158, Pasal 177 HIR dan
Pasal 1929 s/d 1945 KUH Perdata. Sumpah secara konsepsional adalah suatu
keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan. Tujuan dari sumpah
adalah agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu
menyampaikan yang benar dari yang sebenarnya, dan takut atas murka Tuhan,
apabila dia berbohong.
Dalam sumpah dapat juga dilakukan, pertama Sumpah Pemutus (Decisoir
Eed), yaitu sumpah yang oleh pihak satu (penggugat atau tergugat)
diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara
atas pengucapan atau pengangkatan sumpah (Vide Pasal 1930 ayat KUH Perdata). Kedua
Sumpah Tambahan (Aanvullende Eed) yang ditegaskan Pasal 1940 KUH
Perdata, bahwa ”hakim karena jabatannya, dapat memerintahkan salah satu pihak
yang berperkara mengangkat sumpah, supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan
perkara itu dan dapat ditentukan jumlah uang yang akan dikabulkan”. Ketiga Sumpah
Penaksir (Aestimatoire Eed), yaitu sumpah yang secara khusus diterapkan
untuk menentukan berapah jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat
oleh penggugat. Tujuan dari sumpah ini untuk menetapkan berapa jumlah ganti
rugi atau harga yang akan dikabulkan. Penerapan sumpah ini baru dapat dilakukan
apabila sama sekali tidak ada bukti dari kedua belah pihak yang dapat
membuktikan jumlah yang sebenarnya (Vide Pasal 155 ayat (1) HIR dan Pasal 1940
KUH Perdata).
Agar sumpah sebagai alat bukti sah, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
- Ikrar diucapkan dengan lisan.
- Diucapkan di muka hakim dalam persidangan (Vide Pasal 1929, 1944 KUH Perdata dan Pasal 158 ayat (1) HIR) atau dapat dilakukan dirumah kalau yang bersangkutan berhalangan atau rumah ibadah.
- Dilaksanakan dihadapan pihak lawan atau dihadiri pihak lawan.
8. Pemeriksaan Setempat (Gerechtelijk Plaatsopneming)
Pemeriksaan setempat tidak masuk alat bukti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, dan Pasal 284 RBG. Namun pemeriksaan
setempat menjadi penting untuk membuktikan kejelasan dan kepastian tentang
lokasi, ukuran, dan bata-batas objek sengketa, dan memperjelas objek gugatan
serta menghindari objek barang yang akan dieksekusi tidak jelas dan tidak
pasti. Pemeriksaan setempat diatur dalam
Pasal 153 HIR dan SEMA No. 7 Tahun 2001 serta Putusan MA No. 3537 K?Pdt/1984.
Secara konsepsional, pemeriksaan setempat adalah proses pemeriksaan persidangan
yang semestinya dilakukan di ruang sidang gedung pengadilan, dipindahkan atau dilakukan
di tempat lain, yaitu ditempat letak objek barang yang disengketakan. Hasil
pemeriksaan setempat nanti berguna sebagai dasar pertimbangan oleh hakim
mengabulkan atau menolak gugatan yang diajukan serta menentukan luas objek
gugatan, sehingga putusan tidak kabur (obscuur libel).
Yang melakukan pemeriksaan setempat adalah majelis hakim minimal satu orang
dan dibantu panitera karena jabatannya atas permintaan para pihak (Vide Pasal
153 HIR, Pasal 180 RBG dan Pasal 211 Rv) yang tidak memerlukan persetujuan
tergugat. Permintaan para pihak tersebut diputuskan dan dituangkan dalam
Putusan Sela (Interlocutoir Vonnis).
Syarat-syarat pemeriksaan setempat adalah sebagai berikut (Vide Pasal 153
HIR, Pasal 180 RBG dan Pasal 211 Rv):
a.
Dihadiri para pihak.
b.
Datang ketempat objek sengketa.
c.
Panitera membuat berita acara.
d.
Hakim membuat akta pendapat yang berisi penilaian atas hasil pemeriksaan
yang dilakukan.
9. Pendapat Ahli
Pemeriksaan saksi ahli diatur dalam Pasal 154 HIR maupun Pasal 215 s/d 229
Rv. Ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu, yang
menurut Raymond Emson ”Specialized are as of Knowledge”, ”ahli merupakan
orang yang dapat memberi keterangan dan penjelasan serta membantu menemukan
fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa”.
Cara pengangkatan ahli diatur dalam Pasal 154 ayat
(1) HIR dan Pasal 215-216 Rv. Menurut ketentuan ini, pengangkatan ahli dapat
dilakukan sendiri oleh hakim secara “Ex Officio” karena jabatannnya, dan
atas permintaan salah satu pihak. Alasan adanya pengangkatan ahli, pertama didasarkan
karena keahliannya di bidang perkara yang disengketakan, kedua masih
terdapat hal-hal yang belum jelas, ketiga berdasarkan laporan atau
keterangan ahli mampu memberi opini atau pendapat mengenai kasus yang
diperkarakan sesuai dengan spesialisasi yang dimilikinya.
Bentuk dan penyampaian pendapat ahli dapat berupa (Vide Pasal 154 HIR):
- Berupa laporan tertulis dan lisan.
- Laporan disampaikan dalam persidangan.
- Laporan dikuatkan dengan sumpah.[4][4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Hukum pembuktian (law of evidence) dalam
berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan
kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan
merekonstruksi kejadian peristiwa masa lalu dan suatu kebenaran (truth).
Prinsip umum pembuktian, yaitu :
1.
Mewujudkan Kebenaran Formil (Formeel Waarheid) .
2.
Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Pekara.
3.
Fakta-Fakta yang tidak Perlu Dibuktikan.
4.
Bukti Lawan (Tegenbewijs)
Alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian yaitu:
1.
Tertulis/tulisan.
2.
Saksi.
3.
Persangkaan.
4.
Pengakuan.
5.
Sumpah.
DAFTAR PUSTAKA
Retnowulan
Sutanto & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, Bandung:
Mandar Maju, 2005.
Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung,
1992.
Dede Arif
Hidayat, Makalah alat bukti-bukti pada hukum acara, http://i-skripsi.blogspot.com/2012/12/makalah-alat-bukti-pada-hukum-acara.html.
4za, Pembuktian dan alat-alat bukti, http://po
box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.
[1][1]
Retnowulan Sutanto & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, (Bandung:
Mandar Maju, 2005), h. 58
[2][2]
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, (Bandung: Sumur
Bandung, 1992), h. 102
[3][3]
Dede Arif Hidayat, Makalah alat bukti-bukti pada hukum acara, http://i-skripsi.blogspot.com/2012/12/makalah-alat-bukti-pada-hukum-acara.html,
diakses Jumat, 27 September 2013.
[4][4]
4za, Pembuktian dan alat-alat bukti, http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html
diakses Jumat, 27 September 2013