Tuesday 13 December 2016

Kehendak Mutlak Tuhan Makalah Lengkap





BAB I
PENDAHULUAN

     1.1  Latar Belakang
Sebagai akibat dari perbedaan faham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi islam mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatnnya, terdapat pula perbedaan faham tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak  dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakekatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Bagi aliran yang berpendapat sebaliknya, kekuasaan dan kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak. Dengan demikian bagi kaum Asy’ariah, Tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak, sedang bagi kaum mu’tzilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak semutlak-mutlaknya.
Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, Al-Asy’ari menulis dalam AlIbanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat Tuhan.
Al-Ghazali juga mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbauat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendaknya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya.
Sedangkan kaum Mu’tazilahh berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Sebagai terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan Tuhan yang dibatasi oleh kebebasan yang
 menurut faham Mu’tazilahh telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.


1.2 Rumusan Masalah
1.      Pendapat Jabariyah tentang kehendak mutlak tuhan
2.      Pendapat Qodariyah dan Mu’tazilah tentang kehendak mutlak tuhan
3.      Pendapat Sunni tentang kehendak mutlak tuhan
1.3 Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui kehendak mutlak tuhan menurut perspektif qodariyah, jabariyah mu’tazilah dan sunni, sehingga kita bisa memilah dan memilih terhadap paham dari berbagai aliran yang mana yang sesuai dengan syariat Islam.



BAB II
PEMBAHASAN


     2.1  Kekuasaan dan Kehendak Tuhan
Didalam teologi Islam, terdapat dua macam pandangan mengenai kekuasaan dan kehendak Tuhan. Aliran teologi yang memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal dan berpegang  pada kebebasan manusia didalam berbuat dan berkehendak, berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak, tetapi dibatasi oleh sunnah-Nya sendiri. Sunnah Tuhan tidak pernah berubah seperti sunnah api adalah membakar dan tidak pernah berubah menjadi tidak membakar. Jika terdapat sesuatu yang tak terbakar oleh api asbertos, bukan berarti api kehilangan sunahnya untuk membakar, tetapi asbestos itulah yang mempunyai unsur yang tak terbakar oleh api. Segala sesuatu yang ada didunia ini masing-masing mempunyai sunahnya sendiri-sendiri.[1]
Aliran yang mengakui kebebasan manusia dan mengakui ketidak mutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan, biasa disebut kaum Qadariyah mereka yang mengakui adanya free will dan free act bagi manusia. Adapun aliran yang tidak mengakui adanya kebebasan manusia dalam berbuat dan berkehendak biasa disebut dengan kaum Jabariyah mereka yang menyebut manusia sebagai umat fatalisme atau predesination.
Mu’tazilah merupakan salah satu contoh dari golongan pertama. Mereka berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan dan kehendak-Nya tidak mutlak lagi, tetapi ia harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang timbul dan peraturan yang dibuat-Nya.Diantara kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan Tuhan ialah memberi pahala bagi orang yang maenjalankan perintah-Nya dan menyiksa orang yang melanggarnya. Semua kewajiban Tuhan bisa dirangkum dalam satu kewajiban, yaitu Tuhan wajib berbuat baik atau dalam istilah Mu’tazilahh bisa disebut dengan Al-salah wa Al-aslah (berbuat baik dan terbaik).[2]
Al-Juwaini tidak sependapat dengan Mu’tazilahh, bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban. Baginya, tak ada kewajiban bagi Tuhan. Karena Tuhan sebagai dzat yang tertinggi dan Maha Berkuasa, tak satupun yang mengikuti-Nya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban.
Lain halnya dengan pendapat Al-Asy’ari. Baginya, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap makhluk-Nya. Maka Ia tidak wajib memasukkan orang yang berbuat baik kedalam surga atau memasukkan orang yang berbuat jahat kedalam neraka. Bahkan Tuhan  boleh memasukkan orang yang berbuat baik kedalam neraka dan memasukkan orang yang berbuat jahaat kedalam surga, menurut kehendak dan sesuai kehendaknya yang mutlak. Namun demikian Tuhan tidak berdusta akan berita-Nya, lanjut Al-Asy’ari.
Dari ungkapan ini, bisa dimengerti bahwa Tuhan bagi Al-Asy’ari mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak, tak dibatasi oleh apapun. Jika Tuhan tidak pernah memasukkan orang kafir kesurga, itu berarti Tuhan tidak berkuasa untuk memasukkanya kedalam surga, sebab memasukkan orang kafir kedalam surga sama dengan Tuhan berdusta, sedangkan dusta merupakan sifat mustahil bagi Tuhan sebagaimana bodoh juga merupakan sifat mustahil bagi-Nya.
Agaknya, Al-Asy’ari benar-benar menghindari adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sebab adanya kewajiban akan berarti adanya batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Pemakaian kata mustahil tidak akan berakibat pada pengurangan terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.[3]
Bagi Al-Juwaini, walaupun Ia menghindari adanya kewajiban bagi Tuhan, namun pendapatnya tentang Tuhan pasti memenuhi janji dan melaksanakan ancaman-Nya terselip pengertian bahwa Tuhan harus melaksanakan janji dan ancaman-Nya, walaupun sekali tempo Tuhan membatalkan ancaman dan memberi pengampunan bagi orang yang bersalah.[4]
Pendapat seperti ini sama dengan pendapat Maturidiyah Bukhara. Seperti yang dijelaskan oleh Al-Badzwi, bahwa Tuhan tidak mungkin melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang berbuat baik, tetapi sebaliknya, bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu, nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampun kepada orang yang berdosa besar, Tuhan akan memasukkannya bukan kedalam neraka, tetapi kedalam surga. Dan jika Ia berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya, Tuhan akan memasukkannya kedalam neraka untuk selama-lamanya. Bukan tidak mungkin Tuhan memberi ampun kepada seseorang, tapi dalam  pada itu, tidak memberi ampun kepada orang lain, sungguhpun dosanya sama.[5]
Dari uraian diatas, bisa diketahui bahwa bagi Maturidiyah Bukhara dan Al-Juwaini, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak benar-benar mutlak, sebagaimana pendapat Al-Asy’ari, mereka berusaha mempertahankan keadilan, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Akan tetapi, karena adanya kekuasaan dan kehendak Mutlak Tuhan bertentangan dengan paham keadilan Tuhan, maka membawa kesimpulan bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak lagi, sebab dibatasi oleh keadilan-Nya.[6]

      2.2  Pendapat
Kita dapat memilah pendapat tentang  Kekuasaan dan  kehendak mutlak tuhan  Menurut beberapa aliran:[7]
1.      Jabariyah
Menurut Harun Nasution  Jabariyah  adalah paham  yang  menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyahadalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
2.      Qodariyah
Menurut Ahmad  Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah  adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
3.      Mu’tazilah
Sebagai sosok pencipta, Tuhan melaksanakan segala kehendaknya, Tuhan pasti melakukan berbagai perbuatan, kehendak Tuhan telah dijelaskan oleh berbagai golongan tertentu didalam islam. Diantara kehendak  tuhan menurut Mu’tazilahh ialah:[8]
a)      Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan mutlak dan keadilan Tuhan kaum Mu’tazilahh berpendapat bahwa Tuham mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia.
Dalam paham ini termasuklah kewajiban-kewajban seperti kewajiban Tuhan menepati janji-janjinya, kewajiban Tuhan mengirim Rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, kewajiban Tuhan memberi rezeki kepada manusia dan sebagainya.Paham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu timbul sebagai akibat dari konsep kaum Mu’tazilahh tentang keadilan Tuhan dan adanya batasan-batasan kehendak mutlak Tuhan. Bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu dibatasi oleh sifat keadilan Tuhan sendiri.Karena itu Tuhan tidak bisa lagi berbuat menurut kehendaknya sendiri menyalahi prinsip keadilan yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri.Tuhan sudah terikat pada janji-janji dan nilai-nilah keadilan,Tuhan melanggarnya, maka Tuhan dianggap tidak bersifat adil.
b)      Berbuat baik dan Terbaik
Dalam kalangan Mu’tazilahh dikenal satu paham ilmu kalam yang mereka sebut dengan al-shalah atau berbuat baik dan terbik bagi manusia.Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan yang sangat penting bagi kaum Mu’tazilahh.
Menurut paham Mu’tazilahh, demi untuk keadilan, maka Tuhan wajib berbuat baik bahkan yang terbaik untuk kepentingan manusia.Keadilan erat sekali hubungannya dengan hak. Sebab adil itu berarti memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya.
Disamping itu menurut kaum Mu’tazilahh, keadilan itu harus dapat diterima secara rasional. Tuhan memberikan pahala kepada seseorang sesuai dengan kebaikan yang dilakukannya, dan menghukum seseorang sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, itu termasuk keadilan yang sesuai dengan pemikiran yang rasional. Karena itu Abdul Jabbar mengatakan: Kata-kata Tuhan tidak adil, mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah buruk, dan Tuhan tidak mungkin mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia.
Dalil yang dijadikan penguat argument-argumen yang ada diantaranya:
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
Artinya: yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (As-Sajadah:7)
4.      Aswaja
Sebagai sosok pencipta, Tuhan melaksanakan segala kehendaknya,Tuhan pasti melakukan berbagai kehendak, kehendak Tuhan telah dijelaskan oleh berbagai golongan tertentu didalam islam. Diantara kehendak tuhan menurut Asy’ariyah ialah:[9]
1.      Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Bagi kaum Asy’ariyah, Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak, tanpa ada yang membatasinya.Allah pencipta semua perbuatan manusia, dan dialah yang mengatur segala sesuatu, yang baik atau yang buruk, perbuatan manusia itu bukan diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diwujudkan atau hakikatnya adalah diciptakan oleh Tuhan itu dinamakan kasab.
Jadi paham Asy’ariyah bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak yang mutlak itu mengandung arti bahwa Tuhan itu tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap makhluknya.Tidak ada satupun kewajiban bagi Allah.Allah tidak berkewajiban memberi pahala kepada yang ta’at menjalankan ibadah, dan Allahpun tiak berkewajiban memberikan adzab orang yang berbuat dosa besar kepadanya.Semuanya tergantung kepada mekuasaan dan kehndak mutlak Tuhan. Al-Ghazali mengatakan: manusia adalah ciptaan Tuhan; dan dia bebas memperlakukan mereka menurut kehndaknya. Karena itu tidaklah menjadi soal bagi Allah seandainya dia menganpuni semua orang kafir dan mengadzab semua orang mukmin.Sebab memberi pahala kepada orang-orang mukmin itu bukan menjadi kewajiban Allah, tetapi hanya kehendak mutlak Tuhan semata-mata. Tuhan boleh saja melarang apa yang telah diperintahkannya dan boleh juga ia memerintahkan apa yang dilarangnya. Tidak ada larangan apapun bagi Tuhan. Ia dapat berbuat apa saja menurut kehendaknya dan dia tidak bertanggung jawab atas semua perbuatannya, Tuha maha kuasa dan dapat berbuat apa saja yang disukainya,sesuai dengan kekuasaan dan kehendak mutlaknya.
Sebaliknya manusia adalah makhluk yang serba terpaksa dalam segala perbuatannya oleh kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.Segala sesuatu yang dating dari Tuhan.Apabila manusia berbuat baik, perbuatan itu sudah ditentukan oleh Tuhan, sesuai dengan rahmatnya, dan apabila manusia berbuat jahat, maka perbuatan itulah perbuatan yang dikehndaki oleh Tuhan, sesuai dengan keadilannya.
Menurut kaum Asy’ariyah, segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta ini, termasuk perbuatan  manusia, adalah hasil dari perbuatan Allah yang telah ditentukan sejak azali, yaitu sebelum terciptanya alam ini. Manusia tidak dapat merubah ketentuan Allah yang demikian itu, sebab manusia tidak mempunyai kekuasaan dalam penciptaan perbuatanya.
Hanya Allah sajalah pencipta semua makhluk dan pencipta perbuatan semua makhluknya, baik perbuatan baik maupun perbuatan yang buruk. Tidak ada pencipta lain selain dia.
2.      Berbuat baik dan terbaik
Bagi kaum Asy’ariyah, paham al-shalah wa al-ashlah ini tidak dapat diterima, karena paham tersebut bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh Al-Ghazali yang mengantakan bahwa Tuhan tidak berbuat baik dan terbaik bagi manusia.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Aliran yang mengakui kebebasan manusia dan mengakui ketidakmutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan, biasa disebut kaum Qadariyah mereka yang mengakui adanya free will dan free act  bagi manusia. Adapun aliran yang tidak mengakui adanya kebebasan manusia dalam berbuat dan berkehendak biasa disebut dengan kaum Jabariyah mereka yang menyebut manusia sebagai umat fatalisme atau predesination.

3.2 Saran
            Dari uraian ringkasan di atas, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi penulisan maupun dari sumber yang penulis miliki, oleh karena itu penulis mengharapkam kritik dan saran dari pembaca semua yang bertujuan untuk membangun kesempurnaan bagi penulis kedepannya.

















DAFTAR PUSTAKA

Izutsu, Toshihiko, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Yogyakarta:Tiara wacana. 1994.
Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan. Diakses dari http://technurlogy. wordpress.com,  2014.
Kiswati, Isuroya, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, Jakarta: Al-Juwaini, 2002.


[1] IsorayaKiswati, Al-JuwainiPeletakDasarTeologiRasionaldalam Islam, (Jakarta:2002), hlm. 139.
[2] Ibid., hlm. 141.
[3] Ibid., hlm. 142.
[4] Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan. Diakses dari http://technurlogy. wordpress.com,  2014.
[5] Toshihiko Izutsu, , Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, (Yogyakarta:Tiara wacana, 1994), hlm. 219.
[6] Ibid., hlm. 220.
[7] Isoraya, Al-Juwaini, hlm. 143.
[8] Toshihiko Izutsu, , Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, (Yogyakarta:Tiara wacana, 1994), hlm. 223.
[9] Ibid., hlm. 227.