Tuesday 8 September 2015

Makalah studi tokoh pendidikan islam Syekh naquib Al Atthas




REVISI MAKALAH
SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
 Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah                   : Studi Tokoh Pendidikan Islam
Dosen Pengampu           : Moch. Iskarim, M.S.I

Oleh :
1.      Lutfi Aini Machabati            (2021112188)
2.      Muhammad Taufiq              (2021112194)
3.      Imma Rif�atul Amaliyah      (2021112201)

KELAS F
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI(STAIN)
PEKALONGAN
2014

PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Syed Muhammad Naquib al-Attas mungkin tidak banyak dikenal oleh masyarakatr awam di Indonesia, tetapi bagi kalangan akademisi yang pernah membaca karya-karyanya yang telah di indonesiakan, seperti Islam dan Sekularisme, terbitan Pustaka, Bandung yang sangat populer pada tahun 80-an. Islam dan Filsafat Sains terbitan Mizan dan Konsep PendidikanIslam, pasti mengenalnnya. Namun sisi penting sosok al-Attas sebagai pemikir muslim terkemuka, pembaharu pemikiran Islam sekaligus tokoh pendidikan tidak hanya dapat ditangkap melalui karya-karya yanng telah diterjemahkan tersebut. Sosoknya sebagai pemikir, pembaharu dan tokoh pendidikan di dunia Islam sebenarnya tercermin dari gagasan perlunya islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang mampu mengatasi berbagai problematika umat. Gagasanya ini bukan tanpa konsep, melainkan justru merupakan titik kulminasi beberapa pemikiran konseptualnya yang kemudian dikumpulkan dalam karyanya. Bahkan yang lebih menarik lagi, karena kepeduliannya yang sangat kuat terhadap kemunduran umat Islam, gagasan dan pemikiran konseptualnya diimplimintasikan ke dalam lembaga pendidikan bertaraf international.[1]


B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Siapakah Syed Muhammad Naquib Al Attas?
2.      Bagaimana setting sosial pada masa beliau?
3.      Apa sajakah yang menjadi dasar pemikiran beliau?
4.      Bagaimana pula pandangan pendidikan beliau?
5.      Bagaimana kurikulum menurut Syed M. Naquid?
6.      Bagaimana pula dengan tujuan pendidikannya?
7.      Metode apa yang digunakan oleh Syed Naquid?

C.   Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas mata kuliah STP-KI pada khusunya. Selain itu ditujukan untuk mengetahui salah satu tokoh pendidikan Islam dari Indonesia yaitu Syed M.NaquibAl Attas. Selain mengetahui biaografi biografi beliau juga untuk mengetahui tentang setting sosial yang ada kemudian pandangan pendidikan menurut beliau yang diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan untuk pendidikan sekarang.

D.   Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang digunakan adalah dengan studi literatur. Kemudian dengan pencarian informasi baik dari media cetak maupun elektronik, serta diskusi untuk mendapatkan kesepakatan dalam pemecahan masalah.











PEMBAHASAN

A.  Biografi Syed M.Naquib Al-Attas
            Syed M. Naquib ibn Ali Abdullah ibn Muhsin al-Attas lahir pada 5 September 1931 M di Bogor, Jawa Barat. Ibunya bernama Syarifah Raquan Al-�Aidarus berasal dari Bogor dan merupakan keturunan ningrat sunda di Sukapura, sedangkan ayahnya bernama Syed Ali Al-Atas,[2]yang masih tergolong bangsawan di Johor. Dalam tradisi Islam, orang yang mendapat gelar Syed merupakan keturunan langsung dari Rosulullah saw.[3]
            Syed Muhammad Naquib adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya  bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan wakil rektor Universitas Malaya sedangkan adiknya bernama Syed Zaid, seorang insinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.
            Pada usia 5 tahun, Syed M. Naquib dikirim ke Johor untuk belajar di sekolah dasar Ngee Heng (1936-1941 M). Pada masa pendudukan Jepang atas Malaya, dia kembali ke Jawa untuk meneruskan pendidikannya di madrasah Al-Urwatu Al-Wutsqo, Sukabumi (1941-1945), sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa arab sebagai bahasa pengantarnya.[4]Ditempat ini Al-Athas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami karena saat itu di sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.[5]
            Setelah perang dunia II pada 1946 M, Syed M. Naquib kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan selanjutnnya (tingkat menengah) yaitu di Bukit Zahrah School kemudian di English College (tingkat atas) pada tahun 1946-1951 M. Kemudian beliau mulai memasuki dunia militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir penjajaah Jepang. Beliau juga belajar di berbagai sekolah militer Inggris, bahkan ia sempat mengenyam pengalaman di salah satu akademi militer yang cukup bergengsi di Inggris.
             Setelah Malaysia merdeka pada tahun 1957 M, beliau mengundurkan diri dari dinas kemiliteran dan mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelektual. Untuk itu, beliau sempat masuk Universitas Malaya selama dua tahun.Berkat kecerdasan dan ketekunannya dia dikirim oleh pemerintah malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies, Canada. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni 1959-1962 M.
            Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, al-Atas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. [6]
            Dia telah menyampaikan lebih dari 400 makalah ilmiah dinegara-negara Amerika, Jepang, Timur tengah, dan berbagai negara Islam lainnya. Pada tahun 1977 M, tepatnya bulan April, al-Atas menyampaikan makalahnya di hadapan peserta konferensi dunia pertama tentang pendidikan Islam di Mekkah dengan judul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowlodge and the Definition and Aims of Education. Selain itu ia ;juga memiliki keahlian dalam bidang kaligrafi. Ia pernah mengadakan pameran kaligrafi di moseum Tropen, Amsterdam pada tahun 1954 M.[7]

B.       Setting Sosial
Syed Naquib al-Attas hidup pada periode dimana terjadi gemerlapnya dunia modern yang dipenuhi oleh kepalsuan dan reduksi terminologi-teminologi Islam. Faktor ini yang menjadikan pemikiran al-Attas berbeda dari al-Ghazali. Jika al-Ghazali dalam pengembaraannya berangkat dari dunia empiris menuju metafisis sedangkan al-Atas berangkat dari dunia metafisis menuju empiris.
al-Attas merupakan ilmuan yang termasuk tipologi reformiskriptualis. sebab walaupun al-Attas mendasarkan pemikirannya pada teks-teks klasik, namun telah ,melakukan reaktualisasi dan reformasi agar sesuai dengan konteks kontemporer (kekinian).[8]
Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, al-Atas memulai jabatan di jurusan kajian melayu pada Universitas Malaya. (1966-1970). Di sini dia menekankan arti pentingnya kajian melayu, sebab mengkaji sejarah melayu otomatis juga mendalami proses islamisasi di indonesia dan malaysia. Karya-karya pujangga melayu banyak yang berisi ajaran-ajaran Islam dan yang sering dibicarakan dalam karya melayunya adalah ajaran-ajaran Islam terutama tasawuf.
            Berdirinya universitas Kebangsaan Malaysia tidak bisa dilepaskan dari peranannya. Karena beliau sangat intens dalam memasyarakatkan budaya melayu. Maka bahasa pengantar yang digunakan dalam universitas tersebut adalah bahasa melayu. Hal ini dimaksudkan agar disamping melestarikan nilai-nilai keislaman juga menggali tradisi intelektual melayu yang sarat dengan nilai Islam.[9]
            Beliau mempunyai prinsip menghidupkan kembali konsepsi ilmu menurut perspektif Islam, menekankan bahwa yang pertama-tama harus mengalami islamisasi adalah ilmu pengetahuan atau ilmu kontemporer. Konsepsi ilmu ini mengarah pada pengembalian agama Islam sebagai sebuah �al-din� yang dibawa oleh Rasulullah SAW.[10]

C.    Dasar Pemikiran Pendidikan
Pemikiran Syed Naquib al-Attas dalam bidang pendidikan didasarkan pada keprihatinannya terhadap penyempitan makna-makna istilah-istilah ilmiah Islam yang disebabkan oleh upaya westernisasi, mitologisasi, pemasukan hal-hal yang gaib dan sekularisasi. Untuk itu, al-Attas mengenalkan dan mengemukakan tentang proses dewesternisasi dan islamisasi sebagai langkah awal pembangunan paradigma pemikiran islam kontemporer. dilanjutkan Metafisika dan Epistemologi sebagai dasar pendidikannya.
a.       Dewesternisasi
Dewesternisasi adalah pembersihan islam dari westernisasi. westernisasi adalah pembaratan, meniru atau mengambil alih gaya hidup barat. jadi dewesternisasi adalah proses pemurnian  sesuatu dari pengaruh barat.
Dalam pandangan al-Attas, dewesternisasi adalah proses mengenal, memisahkan  unsur-unsur sekuler berupa subtansi, ruh,watak dan kepribadian kebudayaan serta peradaban barat dari tubuh pengetahuan yang akan mengubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan yang disajikan seperti sekarang.
b.      Metafisika dan Epistemologi
Selain dewesternisasi, al-Atas juga  mengemukakan tentang dasar pendidikannya yaitu metafisika dan epistemologi.
Istilah metafisika, al-Attas berangkat dari paham teologisnya. dalam tradisi tasawuf  Islam, dikenal beberapa istilah yaitu mubtadi, mutawasith, dan muntahi.
Mubtadi adalah seorang sufi hanya terbatas pada moral dan adab; mutawasith adalah seorang sufi sudah mendalami dan mengamalkan wirid dan dzikir yang mengenai kuantitas, kualitas, tempo dan frekuensinya ditentukan oleh sang  mursyid (guru);  sedangkan muntahi adalah calon sufi sudah memasuki dunia filsafat dan metafisik. Pada tingkat ini calon sufi diwajibkan mengenal tiga ilmu, yaitu kebijaksanaan ketuhanan (alhikmah ilahiyah), ilmu   naqliyah atau syari�ah(al-ulum al-syari�ah), dan ilmu rasional (al-�ulum al-�aqliyah). tasawuf ini dikenal dengan sebutan tasawuf falsafi[11] .
Upaya penghidupan kembali tasawuf falsafi al-Attas merupakan keniscayaan untuk menghapuskan pandangan barat tentang ilmu pengetahuan melalui tiga ilmu tersebut. Selain itu, krisis kebudayaan barat dengan paham sekularisme berawal dari landasan filusufis yang tidak mau mengenal atau menerima paradigma pemikiran alternatif. Hal ini dapat dilihat pada landasan epistemologi barat yang hanya mengacu pada pendekatan rasional empiris filusufis. justru paradigma pemikiran islam yang menggunakan rasional, empiris, filusufis, intuitif, dan meta empiris merupakan paradigma alternatif yang menjanjikan.
D.    Pemikiran Pendidikan
Pemikiran pendidikan al-Attas  berkaitan dengan dasar-dasar filsafat diantaranya yaitu ilmu, moralitas dan pendidikan.
1.      Ilmu
Menurut al-Attas, ilmu datang dari Tuhan yang diperoleh dari panca indra lahiriah maupun batiniah. Indra lahiriah berupa perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihatan, dan pendengaran berfungsi untuk mempersepsi hal-hal yang partikular. sedangkan indra batiniah berkaitan dengan indra lahiriah yang berfungsi untuk mempersepsi citra-citra indrawi  dan maknanya, menyatukan dan memisah-misahkannnya, mengonsepsi gagasan-gagasan tentangnya, menyimpan hasil-hasil penyerapan itu dan melakukan inteleksi terhadapnya. indra lahiriah tersebut adalah indra umum, representasi, estimasi, ingatan dan pengingatan kembali serta imajinasi.
Integrasi antara akal dan intuisi merupakan suatu keharusan dalam epistemologi Islam. Sebab, diantara dua unsur diatas walaupun berbeda, yaitu bila akal mengarah pada hal-hal yang intelligible yang diupayakan sedangkan intuisi mengarah pada hal-hal sensible yang dianugrahkan, akan tetapi merupakan unsur yang sama, maksudnya bila akal merupakan salah satu sarana aktivitas jiwa maka intuisi juga merupakan hal yang sama.[12] Menurut al-Attas, intuisi datang kepada seseorang  jika telah siap, yaitu ketika nalar dan pengalamannya sudah terlatih untuk menerima dan menafsirkannya.
2.      Moralitas dan Pendidikan.
Salah satu termonologi yang menjadi sorotan utama yang  berkaitan dengan  pendidikan adalah konsep din. Konsep din mengandung empat arti, yaitu berutang (indebtedness), kepatuhan (submissiveness),kekuasaan bijaksana (judicious power), serta kekuatan dan kecenderungan alami (tendency). Konsep ini  secara inheren mengandung iman, islam dan ihsan dimana ihsan merupakan keterpaduan antara hati, pikiran dan perbuatan dalam bentuk ketaatan dan kesetiaan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Ketiganya ini yang menjadi lokomotifnya adalah  ilmu.[13]
Setidaknya ada dua macam pengetahuan, pertama adalah pengetahuan yang cara perolehannya diberikan oleh Allah, berupa alqur�an, alhadits, syari�ah, ilmu ladunni, dan hikmah yang berupa pengetahuan dan kearifan.
Konsep pengetahuan dan kearifan sangat erat kaitannya dengan moralitas dan pendidikan. kearifan menurut al-Attas adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah untuk �alim untuk menerapkannya dan kebijaksanaan sehingga timbul keadilan. Perwujudan dari keadilan tidak lain adalah terjadinya adab di dalam kehidupan individu maupun komunitas dimanapun ia berada.
Kedua, adalah pengamatan dan penelitian. pengetahuan ini mempunyai arti luas, deduktif dan berkaitan dengan objek-objek yang bernilai pragmatis. Sebagai implementasi dari pengetahuan ini bertujuan untuk membentuk manusia yang baik dan beradab, bukan bangsa atau negara yang baik. Karena jika masing-masing manusia sudah  baik, secara otomatis negara atau bangsa juga akan baik dan  beradab.

E.     Kurikulum
Sebagai konsekuensi logis dari dua jenis pengetahuan yang dijelaskan pada konsep pendidikan diatas yaitu pengetahuan yang cara memperolehnya dari Allah SWT serta pengetahuan penelitian dan pengamatan, maka kurikulum yang digunakan dalam universitasnya adalah:
1.      ilmu-ilmu agama, meliputi al-qur�an al-sunnah, al-syariah, teologi, metafisika islam (tasawuf), ilmu-ilmi linguistik seperti bahasa arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusastraan.
2.      ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis yang meliputi ilmu-ilmu kemanusiaan, alam, terapan dan teknologi.[14]

F.     Tujuan Pendidikan
Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami. Dalam hal ini al-Attas mengemukakan konsepnya sebagai berikut: �tujuan mencari pengetahuan dalam Islam adalah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, bukan seperti peradaban Barat serta menghasilkan warga Negara yang baik. �Baik� dalam konsep manusia, berarti tepat sebagai manusia yang beradab  dalam kehidupan material dan spiritual manusia�.[15]
Melalui The Concept of Education In Islam: A frame work for an islamic Philosophy of Education, al-Attas menjelasakan tentang penggunaan istilah tarbiyah, ta�dib, dan ta�lim. Sebagai tema yang tepat untuk menterjemahkan pendidikana adalah ta�dib. Sebab, inti dari pendidikan adalah pembentukan watak dan akhlak yang mulia. Ini menunjukan bahwa tujuan dari pendidikan al-Attas adalah membentuk akhlak dan watak yang mulia. Selain itu jika dikaitkan dengan upaya beliau dalam memurnikan islam yaitu konsep dewesternisasi, dimana pendidikan disitu bertujuan untuk membebaskan manusia dari pengaruh kebarat-baratan serta tujuan lain adalah  mencapai hakikat tujuan hidupnya, yakni kebahagiaan.


G.    Metode
Melalui karyanya, Islam the concept of religion and the foundation of Ethicts and Morality, al-Attas mencoba menjelaskan arti pentingnya penguasaan ilmu sebagai landasan setiap praktek, etika dan moralitas keagamaaan secara menyeluruh. hal ini dapat dilakukan dengan memahami secara teks dalam alqur�an dan segala yang telah diperbuat oleh nabi Muhammad sebagai uswatun khasanah, sehingga dalam upaya ini harus didudukan dulu istilah din dalam termonologi islam, agar tidak terjebak dalam distorsi makna. [16]
H.    Relevansi Pemikiran dengan Pendidikan Sekarang
Menurut al-Atas , ilmu pengetahuan masa kini dan modern, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban Barat. Al-atas menjelaskan lebih lanjut, jiwa utama kebudayaan dan peradaban ini dapat diringkas menjadi lima karakteristik yang saling berhubungan,yaitu:
1.      Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan
2.      Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran
3.      Membenarkan aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu pandangan dunia sekuler
4.      Pembelaan terhadap doktrin humanisme
5.      Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritua/transendental/kehidupan batin manusia yaitu dengan menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia.

            Masuknya aspek-aspek yang berasal dari pandangan filsafat barat ke dalam pemikiran elite terdidik umat islam tersebut sangat berperan terhadap timbulnya sebuah fenomena yang oleh al-atas disebut �Deislamisai Pemikiran Umat Islam� yang begitu merasuk dan membahayakan. Deislamisasi ini berlangsung melalui proses penyamarataan kategori dasar pengetahuan  yaitu fardhu ain (penetahuan ma�rifah) dan fardhu kifayah (pengetahuan ilmiah) yang dapat mendorong pada kebingungan terhadap hakikat masing-masing dan metode pendekatan kita terhadap keduanya. Pada tingkat pendidikan rendah, di kalangan Islam tradisional, hubungan paedagogis anatara Al-Quran dan berbagai bahasa lokal umat Islam telah terputus dan sebagai gantinya adalah kultur sekuler, nasional, etnis dan tradisional yang lebih ditekankan. Sedangkan pada tinngkat pendidikan tinnggi, studi terhadap bahasa dan kebudayaan menggunakan perangkat metodologi linguistik dan antropologi, sementara studi literatur dan sejarah Islam menggunakanan nilai-nilai dan model �model Barat.
            Oleh karena itu pada saat konferensi  di Mekkah, al-Attas mengimbau dan menjelaskan gagasan �Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini�. Pada tingkat individu dan pribadi, islamisasi berkenaan dengan pengakuan terhdap Nabi saw sebagai pemimpin dan pribadi teladan bagi pria maupun wanita, pada tingkat kolektif, sosial dan historis ia berkenaan dengan perjuangan umat ke arah realisasi kesempurnaan moralitas dan etika yang telah dicapai pada zaman Nabi saw. Secara epistemologi, islamisasi berkaitan dengan pembebasan akal manusia dari keraguan, prasangka dan argumentasi kosonng menuju pencapaian keyakinan dan kebenaran mengenai realitas-realitas spiritual, penalaran dan material. Proses pembebasan ini pada mulanya bergantung pada ilmu pengetahuan tetapi pada akhirnya selalu dibangun  dan dibimbing oleh bentuk ilmu pengetahuan fardhu ain (ma�rifah/ilmu pengenalan) dan bentuk ilmu  pengetahuan fardhu kifayah (pengetahuan ilmiah). Khusus dalam kaitanya dengan ilmu pengetahuan masa kini, islamisasi berarti �pembebasan ilmu pengetahuan dari penafsiran yang berdasarkan ideeologi, makna-makna dan ungkapan-ungkapan sekuler�.[17]

PENUTUP
1.      Simpulan
Dari pembahasan materi dapat diambil kesimpulah bahwa :
Syed M.Naquibibn Ali Abdullah ibn Muhsin al-Attas lahir pada 5 September 1931 M di Bogor, Jawa Barat. Ibunya bernama Syarifah Raquan Al-�Aidarus berasal dari Bogor dan merupakan keturunan ningrat sunda di Sukapura, sedangkan ayahnya bernama Syed Ali Al-Atas, yang masih tergolong bangsawan di Johor. Dalam tradisi Islam, orang yang mendapat gelar Syed merupakan keturunan langsung dari Rosulullah saw.
al-Attas merupakan ilmuan yang termasuk tipologi reformiskriptualis. sebab walaupun al-Attas mendasarkan pemikirannya pada teks-teks klasik, namun telah ,melakukan reaktualisasi dan reformasi agar sesuai dengan konteks kontemporer (kekinian).
Pemikiran pendidikan al-Attas  berkaitan dengan dasar-dasar filsafat diantaranya yaitu ilmu, moralitas dan pendidikan.
Kurikulum yang digunakan dalam universitasnya adalah:
a.       ilmu-ilmu agama, meliputi al-qur�an al-sunnah, al-syariah, teologi, metafisika islam (tasawuf), ilmu-ilmi linguistik seperti bahasa arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusastraan.
b.      ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis yang meliputi ilmu-ilmu kemanusiaan, alam, terapan dan teknologi.
Tujuan dari pendidikan al-Attas adalah membentuk akhlak dan watak yang mulia. Adapun metode yang digunakan adalah memahami secara teks dalam alqur�an dan segala yang telah diperbuat oleh nabi Muhammad sebagai uswatun khasanah, sehingga dalam upaya ini harus didudukan dulu istilah din dalam termonologi Islam, agar tidak terjebak dalam distorsi makna.


2.      Saran
Seperti  yang telah dijelaskan dalam tujuan penulisan, sangat perlu kajian mengenai tokoh pendidikan Islam baik dari luar maupun dalam negeri. Seperti Syed Naquib yang Pemikiran pendidikannya berkaitan dengan dasar-dasar filsafat diantaranya yaitu ilmu, moralitas dan pendidikan. Dengan mempelajarinya, kita dapat mencoba mengkomparasikan dengan pendidikan pada masa kini agar menjadi pendidikan yang lebih berkualitas dan efektif.














DAFTAR PUSTAKA

Daud, Wan Mohd Nor Wan. 1998. Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.NaquibAl-Atas .Penerjemah Hamid Fahmi, Arifin Ismail dan Iskandar Amel. Bandung:Mizan.

Kurniawan, Syamsul Dan Erwin Mahrus. 2013.  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.  yogyakarta: Ar-Ruzz Media.          

Nata, Abudin. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Grafindo Persada

Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.

Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005.  Ensiklopedi Tokoh PendidikanIslam. Ciputat: Ciputat Press Group.


[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.NaquibAl-Atas  Penerjemah Hamid Fahmi, Arifin Ismail dan Iskandar Amel (Bandung: Mizan, 1998) Hal 15

                [2] Ibid Hal 45-46
                [3]Syamsul Kurniawan Dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam( yogyakarta: Ar-Ruzz Media , 2013) hal 175               
                [4] Wan Mohd Nor Wan Daud Loc. Cit
                [5]Syamsul Kurniawan Dan Erwin Mahrus, Loc. Cit
[6] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hal 119
[7] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. Cit, hal 51
[8] Samsul Nizar, Op. Cit hal 151
[9] Ibid Hal 119-120
[10] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. Cit hal 65
[11] Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat  (Jakarta: Grafindo Persada,2012), hal. 335-337
[12] Samsul Nizar, Op. Cit., hal. 138
[13] Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: Grafindo Persada,2012),hal. 339
[14] Samsul Nizar Op. Cit hal. 150
[15] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit Hal 188
[16] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidik Islam, (Ciputat: Ciputat Press Group,2005),hal.124
[17] Ibid, hal 333-336