PENDAHULUAN
Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini
sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya
dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali
kepada agama.
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha
mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al
Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya
pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari
aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi
berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid.
Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran
dan pengetahuan serta kesatuan hidup.
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik
tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi
sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya,
dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma
pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu
pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik
untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses
yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih khusus
mengenai pemikiran-pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ismail Raji Al
Faruqi. Dari riwayat kehidupannya, karya-karya intelektualnya, hingga
pemikiran-pemikiran yang telah membuat perubahan besar bagi umat islam dalam
hal ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dan Karier
Isma’il Raji Al Faruqi atau yang lebih dikenal dengan
nama Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921.
Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi.
Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat
kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St.
Joseph) Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun
1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di
Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor
of Art). Al Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah
mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun,
kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Jabatan Gubernur ini
ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak
tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan
kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika
Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan
konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi
untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang
cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk
mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil
meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the
Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan:
Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana
University.
Saat studi di Harvad University, al Faruqi sempat bekerja
sambil kuliah untuk memenuhi problem keuangannya. Dengan modal US $ 1000,-
hasil menerjemahkan dua buku berbahasa Arab, al Faruqi kemudian berbisnis
konstruksi.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh
karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keislamannya di jenjang pascasarjana
di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun.
Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai
guru besar tamu (visiting professor) di University
Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai
staf pengajar di McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada
tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun.
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di
Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam.
Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini,
ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat
Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini,
ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keislaman di Central Institute
of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang
tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan
Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di
Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang
tersebut, dan wafat seketika.
Sebagai anak Palestina, al Faruqi
mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang
pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi.
Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang
menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah
politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras
terhadap kaum Zionis Yahudi.
B. Karya-Karya
Intelektual
Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai
berbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan
(antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of
Islam yang digarap bersama istrinya, Lamya. Buku ini menggambarkan tentang
peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan.
Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi
kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam
sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang,
yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu al Faruqi menulis bahwa
intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari
Islam adalah tauhid.
Karya lain yang penting dan mungkin yang
menghasilkan tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of
Knowledge: General Principles and Work Plan. Dalam buku ini ia berusaha
mensosialisasikan ide-ide islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka
kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan
proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri
atas tujuh bagian pembahasan dan dilengkapi dengan appendiks berupa
beberapa agenda hasil konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di
Islamabad, tahun 1982, konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan
di Kuala Lumpur tahun 1984 dan di Khortoum tahun 1987.
Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication
for Thought and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis
secara tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah,
prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata
sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata
ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip estetika.
Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya
sangat kuat berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu
menjadi ide dasar analisisnya. Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah
potensi dasar yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah
yang paling progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung
30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku,
mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih
dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara,
dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.
C. Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Alasan yang
melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al Faruqi adalah bahwa
umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa
ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian
menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta
huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang
buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada
pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad
sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan. Zaman
kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat
Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini
masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal
ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya
melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh
melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran
al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam
tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan
westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak
generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat
westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum
muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di
lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu
yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan
karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam.
Gejala tersebut dirasakan al Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the
lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus
diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam
aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun
al Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan
yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya
merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan
peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh,
yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al Faruqi
melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit
untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya
terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai
peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari
kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan
mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al Faruqi,
sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di
anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan
Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi
di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancur-kan
umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi,
berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat
Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut
menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek
pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah
kemudian al Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan
dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme”
yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan
asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat
kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi, maka akan terlihat adanya
pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang
menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan
nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Kemunduran ini menurut analisa al
Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
D. Analisa
Metodologi Islamisasi Pengetahuan
Memahami
wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting
sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta
mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan
ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.
Perjalanan
hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk
karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi
karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka
kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas
dan apresiatif terhadap agamanya.
Menurut Kafrawi Ridwan, penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat
dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang
bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak
pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana
al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai
orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat
filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di
Amerika yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan
memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasanirfani, untuk mengkonstruksi
bangunan epistimologi Islam.
Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan
mendapat tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa
islamisasi ilmu tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah
menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir
konstruktif dan positif. Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahakann
ilmu yag islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan
posisinya universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen,
sains Yahudi, sains Budha dan seterusnya.
Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain
Sardar, menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda
dengan sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu,
namun Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena
mengandung cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang
mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern
bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam.
Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa
ilmu Barat sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti
kerangka (mode of thought) atau pandangan dunia (word view) Barat. Oleh
karenanya percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu
pengetahuan Barat. Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan
membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun
epistimo-logi Islam. Hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu
pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu
dilakukan atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau
tidak. Jawaban yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang
diberikan oleh Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari
pertanyaan ini, selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan
jawaban ya pada sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada
sebagain disiplin ilmu (ilmu-ilmu pasti).
Dalam fokus islamizing curricula,
dikotomisasi-dikotomisme ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum
harus dihilangkan. Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud
dimensi akal dan wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi
reason dan revelation tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam
ada-lah religion of nature. Alam penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang
menunjukkan kehadiran suatu sistem global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains,
maka dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic
perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya Ismail
Raji Al Faruqi, atau yg sering disebut dengan nama al Faruqi adalah seorang
tokoh intelektual muslim yang dikenal mampu menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan seperti etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai
metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karya terakhir dari Ismail Raji al Faruqi adalah The
Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, sebelum terjadi
penyerangan di rumahnya pada bulan Ramadhan tahun 1986 oleh tiga orang tak
dikenal yang menewaskan dirinya, istri dan kedua anaknya.
Latar belakang al Faruqi mengeluarkan gagasan tentang
Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah mulai meruntuhnya nilai-nilai keislaman oleh
umat islam itu sendiri. Mereka telah terpengaruh westernalisasi, yang secara
tidak langsung akan menghancurkan aqidah mereka sebagai umat islam.
Banyak tanggapan mengenai gagasan al Faruqi ini. Seperti
Fazlurrahman yang mengatakan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan ini tidak
diperlukan. Hal ini karena Ilmu bersifat Universal. Dengan demikian tidak ada
sains Islam, sains kristen ataupun sains Yahudi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Sani, 1998.Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Akbar S. Ahmed, 1996. Postmodernisme: Bahaya dan
Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan.
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, 2001. Psikologi
Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/al-Faruqi-pemikir-besar-islam-dibunuh.htm diunduh 19
Maret 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi diunduh 19
Maret 201
PENDAHULUAN
Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini
sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya
dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali
kepada agama.
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha
mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al
Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya
pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari
aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi
berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid.
Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran
dan pengetahuan serta kesatuan hidup.
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik
tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi
sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya,
dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma
pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu
pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik
untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses
yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih khusus
mengenai pemikiran-pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ismail Raji Al
Faruqi. Dari riwayat kehidupannya, karya-karya intelektualnya, hingga
pemikiran-pemikiran yang telah membuat perubahan besar bagi umat islam dalam
hal ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dan Karier
Isma’il Raji Al Faruqi atau yang lebih dikenal dengan
nama Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921.
Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi.
Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat
kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St.
Joseph) Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun
1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di
Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor
of Art). Al Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah
mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun,
kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Jabatan Gubernur ini
ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak
tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan
kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika
Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan
konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi
untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang
cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk
mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil
meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the
Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan:
Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana
University.
Saat studi di Harvad University, al Faruqi sempat bekerja
sambil kuliah untuk memenuhi problem keuangannya. Dengan modal US $ 1000,-
hasil menerjemahkan dua buku berbahasa Arab, al Faruqi kemudian berbisnis
konstruksi.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh
karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keislamannya di jenjang pascasarjana
di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun.
Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai
guru besar tamu (visiting professor) di University
Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai
staf pengajar di McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada
tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun.
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di
Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam.
Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini,
ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat
Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini,
ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keislaman di Central Institute
of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang
tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan
Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di
Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang
tersebut, dan wafat seketika.
Sebagai anak Palestina, al Faruqi
mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang
pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi.
Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang
menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah
politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras
terhadap kaum Zionis Yahudi.
B. Karya-Karya
Intelektual
Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai
berbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan
(antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of
Islam yang digarap bersama istrinya, Lamya. Buku ini menggambarkan tentang
peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan.
Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi
kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam
sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang,
yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu al Faruqi menulis bahwa
intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari
Islam adalah tauhid.
Karya lain yang penting dan mungkin yang
menghasilkan tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of
Knowledge: General Principles and Work Plan. Dalam buku ini ia berusaha
mensosialisasikan ide-ide islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka
kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan
proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri
atas tujuh bagian pembahasan dan dilengkapi dengan appendiks berupa
beberapa agenda hasil konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di
Islamabad, tahun 1982, konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan
di Kuala Lumpur tahun 1984 dan di Khortoum tahun 1987.
Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication
for Thought and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis
secara tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah,
prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata
sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata
ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip estetika.
Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya
sangat kuat berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu
menjadi ide dasar analisisnya. Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah
potensi dasar yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah
yang paling progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung
30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku,
mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih
dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara,
dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.
C. Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Alasan yang
melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al Faruqi adalah bahwa
umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa
ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian
menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta
huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang
buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada
pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad
sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan. Zaman
kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat
Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini
masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal
ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya
melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh
melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran
al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam
tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan
westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak
generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat
westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum
muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di
lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu
yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan
karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam.
Gejala tersebut dirasakan al Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the
lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus
diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam
aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun
al Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan
yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya
merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan
peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh,
yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al Faruqi
melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit
untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya
terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai
peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari
kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan
mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al Faruqi,
sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di
anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan
Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi
di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancur-kan
umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi,
berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat
Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut
menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek
pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah
kemudian al Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan
dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme”
yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan
asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat
kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi, maka akan terlihat adanya
pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang
menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan
nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Kemunduran ini menurut analisa al
Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
D. Analisa
Metodologi Islamisasi Pengetahuan
Memahami
wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting
sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta
mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan
ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.
Perjalanan
hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk
karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi
karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka
kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas
dan apresiatif terhadap agamanya.
Menurut Kafrawi Ridwan, penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat
dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang
bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak
pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana
al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai
orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat
filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di
Amerika yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan
memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasanirfani, untuk mengkonstruksi
bangunan epistimologi Islam.
Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan
mendapat tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa
islamisasi ilmu tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah
menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir
konstruktif dan positif. Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahakann
ilmu yag islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan
posisinya universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen,
sains Yahudi, sains Budha dan seterusnya.
Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain
Sardar, menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda
dengan sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu,
namun Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena
mengandung cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang
mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern
bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam.
Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa
ilmu Barat sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti
kerangka (mode of thought) atau pandangan dunia (word view) Barat. Oleh
karenanya percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu
pengetahuan Barat. Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan
membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun
epistimo-logi Islam. Hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu
pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu
dilakukan atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau
tidak. Jawaban yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang
diberikan oleh Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari
pertanyaan ini, selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan
jawaban ya pada sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada
sebagain disiplin ilmu (ilmu-ilmu pasti).
Dalam fokus islamizing curricula,
dikotomisasi-dikotomisme ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum
harus dihilangkan. Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud
dimensi akal dan wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi
reason dan revelation tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam
ada-lah religion of nature. Alam penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang
menunjukkan kehadiran suatu sistem global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains,
maka dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic
perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya Ismail
Raji Al Faruqi, atau yg sering disebut dengan nama al Faruqi adalah seorang
tokoh intelektual muslim yang dikenal mampu menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan seperti etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai
metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karya terakhir dari Ismail Raji al Faruqi adalah The
Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, sebelum terjadi
penyerangan di rumahnya pada bulan Ramadhan tahun 1986 oleh tiga orang tak
dikenal yang menewaskan dirinya, istri dan kedua anaknya.
Latar belakang al Faruqi mengeluarkan gagasan tentang
Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah mulai meruntuhnya nilai-nilai keislaman oleh
umat islam itu sendiri. Mereka telah terpengaruh westernalisasi, yang secara
tidak langsung akan menghancurkan aqidah mereka sebagai umat islam.
Banyak tanggapan mengenai gagasan al Faruqi ini. Seperti
Fazlurrahman yang mengatakan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan ini tidak
diperlukan. Hal ini karena Ilmu bersifat Universal. Dengan demikian tidak ada
sains Islam, sains kristen ataupun sains Yahudi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Sani, 1998.Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Akbar S. Ahmed, 1996. Postmodernisme: Bahaya dan
Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan.
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, 2001. Psikologi
Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/al-Faruqi-pemikir-besar-islam-dibunuh.htm diunduh 19
Maret 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi diunduh 19
Maret 201
PENDAHULUAN
Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini
sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya
dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali
kepada agama.
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha
mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al
Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya
pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari
aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi
berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid.
Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran
dan pengetahuan serta kesatuan hidup.
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik
tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi
sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya,
dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma
pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu
pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik
untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses
yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih khusus
mengenai pemikiran-pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ismail Raji Al
Faruqi. Dari riwayat kehidupannya, karya-karya intelektualnya, hingga
pemikiran-pemikiran yang telah membuat perubahan besar bagi umat islam dalam
hal ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dan Karier
Isma’il Raji Al Faruqi atau yang lebih dikenal dengan
nama Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921.
Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi.
Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat
kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St.
Joseph) Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun
1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di
Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor
of Art). Al Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah
mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun,
kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Jabatan Gubernur ini
ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak
tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan
kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika
Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan
konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi
untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang
cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk
mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil
meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the
Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan:
Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana
University.
Saat studi di Harvad University, al Faruqi sempat bekerja
sambil kuliah untuk memenuhi problem keuangannya. Dengan modal US $ 1000,-
hasil menerjemahkan dua buku berbahasa Arab, al Faruqi kemudian berbisnis
konstruksi.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh
karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keislamannya di jenjang pascasarjana
di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun.
Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai
guru besar tamu (visiting professor) di University
Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai
staf pengajar di McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada
tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun.
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di
Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam.
Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini,
ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat
Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini,
ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keislaman di Central Institute
of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang
tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan
Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di
Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang
tersebut, dan wafat seketika.
Sebagai anak Palestina, al Faruqi
mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang
pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi.
Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang
menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah
politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras
terhadap kaum Zionis Yahudi.
B. Karya-Karya
Intelektual
Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai
berbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan
(antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of
Islam yang digarap bersama istrinya, Lamya. Buku ini menggambarkan tentang
peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan.
Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi
kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam
sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang,
yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu al Faruqi menulis bahwa
intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari
Islam adalah tauhid.
Karya lain yang penting dan mungkin yang
menghasilkan tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of
Knowledge: General Principles and Work Plan. Dalam buku ini ia berusaha
mensosialisasikan ide-ide islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka
kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan
proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri
atas tujuh bagian pembahasan dan dilengkapi dengan appendiks berupa
beberapa agenda hasil konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di
Islamabad, tahun 1982, konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan
di Kuala Lumpur tahun 1984 dan di Khortoum tahun 1987.
Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication
for Thought and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis
secara tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah,
prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata
sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata
ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip estetika.
Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya
sangat kuat berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu
menjadi ide dasar analisisnya. Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah
potensi dasar yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah
yang paling progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung
30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku,
mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih
dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara,
dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.
C. Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Alasan yang
melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al Faruqi adalah bahwa
umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa
ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian
menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta
huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang
buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada
pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad
sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan. Zaman
kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat
Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini
masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal
ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya
melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh
melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran
al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam
tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan
westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak
generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat
westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum
muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di
lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu
yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan
karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam.
Gejala tersebut dirasakan al Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the
lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus
diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam
aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun
al Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan
yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya
merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan
peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh,
yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al Faruqi
melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit
untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya
terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai
peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari
kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan
mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al Faruqi,
sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di
anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan
Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi
di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancur-kan
umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi,
berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat
Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut
menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek
pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah
kemudian al Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan
dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme”
yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan
asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat
kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi, maka akan terlihat adanya
pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang
menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan
nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Kemunduran ini menurut analisa al
Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
D. Analisa
Metodologi Islamisasi Pengetahuan
Memahami
wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting
sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta
mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan
ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.
Perjalanan
hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk
karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi
karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka
kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas
dan apresiatif terhadap agamanya.
Menurut Kafrawi Ridwan, penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat
dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang
bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak
pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana
al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai
orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat
filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di
Amerika yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan
memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasanirfani, untuk mengkonstruksi
bangunan epistimologi Islam.
Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan
mendapat tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa
islamisasi ilmu tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah
menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir
konstruktif dan positif. Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahakann
ilmu yag islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan
posisinya universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen,
sains Yahudi, sains Budha dan seterusnya.
Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain
Sardar, menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda
dengan sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu,
namun Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena
mengandung cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang
mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern
bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam.
Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa
ilmu Barat sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti
kerangka (mode of thought) atau pandangan dunia (word view) Barat. Oleh
karenanya percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu
pengetahuan Barat. Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan
membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun
epistimo-logi Islam. Hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu
pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu
dilakukan atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau
tidak. Jawaban yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang
diberikan oleh Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari
pertanyaan ini, selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan
jawaban ya pada sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada
sebagain disiplin ilmu (ilmu-ilmu pasti).
Dalam fokus islamizing curricula,
dikotomisasi-dikotomisme ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum
harus dihilangkan. Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud
dimensi akal dan wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi
reason dan revelation tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam
ada-lah religion of nature. Alam penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang
menunjukkan kehadiran suatu sistem global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains,
maka dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic
perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya Ismail
Raji Al Faruqi, atau yg sering disebut dengan nama al Faruqi adalah seorang
tokoh intelektual muslim yang dikenal mampu menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan seperti etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai
metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karya terakhir dari Ismail Raji al Faruqi adalah The
Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, sebelum terjadi
penyerangan di rumahnya pada bulan Ramadhan tahun 1986 oleh tiga orang tak
dikenal yang menewaskan dirinya, istri dan kedua anaknya.
Latar belakang al Faruqi mengeluarkan gagasan tentang
Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah mulai meruntuhnya nilai-nilai keislaman oleh
umat islam itu sendiri. Mereka telah terpengaruh westernalisasi, yang secara
tidak langsung akan menghancurkan aqidah mereka sebagai umat islam.
Banyak tanggapan mengenai gagasan al Faruqi ini. Seperti
Fazlurrahman yang mengatakan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan ini tidak
diperlukan. Hal ini karena Ilmu bersifat Universal. Dengan demikian tidak ada
sains Islam, sains kristen ataupun sains Yahudi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Sani, 1998.Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Akbar S. Ahmed, 1996. Postmodernisme: Bahaya dan
Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan.
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, 2001. Psikologi
Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/al-Faruqi-pemikir-besar-islam-dibunuh.htm diunduh 19
Maret 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi diunduh 19
Maret 201
PENDAHULUAN
Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini
sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya
dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali
kepada agama.
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha
mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al
Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya
pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari
aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi
berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid.
Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran
dan pengetahuan serta kesatuan hidup.
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik
tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi
sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya,
dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma
pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu
pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik
untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses
yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih khusus
mengenai pemikiran-pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ismail Raji Al
Faruqi. Dari riwayat kehidupannya, karya-karya intelektualnya, hingga
pemikiran-pemikiran yang telah membuat perubahan besar bagi umat islam dalam
hal ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dan Karier
Isma’il Raji Al Faruqi atau yang lebih dikenal dengan
nama Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921.
Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi.
Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat
kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St.
Joseph) Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun
1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di
Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor
of Art). Al Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah
mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun,
kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Jabatan Gubernur ini
ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak
tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan
kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika
Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan
konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi
untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang
cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk
mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil
meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the
Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan:
Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana
University.
Saat studi di Harvad University, al Faruqi sempat bekerja
sambil kuliah untuk memenuhi problem keuangannya. Dengan modal US $ 1000,-
hasil menerjemahkan dua buku berbahasa Arab, al Faruqi kemudian berbisnis
konstruksi.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh
karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keislamannya di jenjang pascasarjana
di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun.
Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai
guru besar tamu (visiting professor) di University
Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai
staf pengajar di McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada
tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun.
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di
Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam.
Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini,
ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat
Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini,
ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keislaman di Central Institute
of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang
tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan
Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di
Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang
tersebut, dan wafat seketika.
Sebagai anak Palestina, al Faruqi
mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang
pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi.
Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang
menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah
politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras
terhadap kaum Zionis Yahudi.
B. Karya-Karya
Intelektual
Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai
berbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan
(antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of
Islam yang digarap bersama istrinya, Lamya. Buku ini menggambarkan tentang
peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan.
Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi
kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam
sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang,
yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu al Faruqi menulis bahwa
intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari
Islam adalah tauhid.
Karya lain yang penting dan mungkin yang
menghasilkan tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of
Knowledge: General Principles and Work Plan. Dalam buku ini ia berusaha
mensosialisasikan ide-ide islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka
kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan
proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri
atas tujuh bagian pembahasan dan dilengkapi dengan appendiks berupa
beberapa agenda hasil konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di
Islamabad, tahun 1982, konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan
di Kuala Lumpur tahun 1984 dan di Khortoum tahun 1987.
Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication
for Thought and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis
secara tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah,
prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata
sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata
ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip estetika.
Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya
sangat kuat berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu
menjadi ide dasar analisisnya. Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah
potensi dasar yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah
yang paling progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung
30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku,
mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih
dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara,
dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.
C. Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Alasan yang
melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al Faruqi adalah bahwa
umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa
ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian
menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta
huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang
buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada
pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad
sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan. Zaman
kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat
Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini
masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal
ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya
melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh
melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran
al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam
tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan
westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak
generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat
westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum
muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di
lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu
yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan
karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam.
Gejala tersebut dirasakan al Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the
lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus
diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam
aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun
al Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan
yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya
merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan
peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh,
yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al Faruqi
melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit
untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya
terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai
peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari
kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan
mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al Faruqi,
sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di
anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan
Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi
di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancur-kan
umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi,
berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat
Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut
menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek
pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah
kemudian al Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan
dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme”
yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan
asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat
kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi, maka akan terlihat adanya
pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang
menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan
nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Kemunduran ini menurut analisa al
Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
D. Analisa
Metodologi Islamisasi Pengetahuan
Memahami
wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting
sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta
mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan
ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.
Perjalanan
hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk
karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi
karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka
kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas
dan apresiatif terhadap agamanya.
Menurut Kafrawi Ridwan, penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat
dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang
bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak
pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana
al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai
orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat
filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di
Amerika yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan
memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasanirfani, untuk mengkonstruksi
bangunan epistimologi Islam.
Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan
mendapat tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa
islamisasi ilmu tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah
menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir
konstruktif dan positif. Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahakann
ilmu yag islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan
posisinya universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen,
sains Yahudi, sains Budha dan seterusnya.
Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain
Sardar, menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda
dengan sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu,
namun Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena
mengandung cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang
mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern
bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam.
Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa
ilmu Barat sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti
kerangka (mode of thought) atau pandangan dunia (word view) Barat. Oleh
karenanya percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu
pengetahuan Barat. Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan
membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun
epistimo-logi Islam. Hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu
pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu
dilakukan atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau
tidak. Jawaban yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang
diberikan oleh Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari
pertanyaan ini, selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan
jawaban ya pada sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada
sebagain disiplin ilmu (ilmu-ilmu pasti).
Dalam fokus islamizing curricula,
dikotomisasi-dikotomisme ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum
harus dihilangkan. Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud
dimensi akal dan wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi
reason dan revelation tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam
ada-lah religion of nature. Alam penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang
menunjukkan kehadiran suatu sistem global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains,
maka dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic
perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya Ismail
Raji Al Faruqi, atau yg sering disebut dengan nama al Faruqi adalah seorang
tokoh intelektual muslim yang dikenal mampu menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan seperti etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai
metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karya terakhir dari Ismail Raji al Faruqi adalah The
Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, sebelum terjadi
penyerangan di rumahnya pada bulan Ramadhan tahun 1986 oleh tiga orang tak
dikenal yang menewaskan dirinya, istri dan kedua anaknya.
Latar belakang al Faruqi mengeluarkan gagasan tentang
Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah mulai meruntuhnya nilai-nilai keislaman oleh
umat islam itu sendiri. Mereka telah terpengaruh westernalisasi, yang secara
tidak langsung akan menghancurkan aqidah mereka sebagai umat islam.
Banyak tanggapan mengenai gagasan al Faruqi ini. Seperti
Fazlurrahman yang mengatakan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan ini tidak
diperlukan. Hal ini karena Ilmu bersifat Universal. Dengan demikian tidak ada
sains Islam, sains kristen ataupun sains Yahudi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Sani, 1998.Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Akbar S. Ahmed, 1996. Postmodernisme: Bahaya dan
Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan.
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, 2001. Psikologi
Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/al-Faruqi-pemikir-besar-islam-dibunuh.htm diunduh 19
Maret 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi diunduh 19
Maret 201