Wednesday, 11 May 2016

tugas perkembangan kehidupan pribadi Perkembangan Kehidupan Pendidikan dan Karier




PENDAHULUAN

Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali kepada agama.
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid. Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup.
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya, dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih khusus mengenai pemikiran-pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ismail Raji Al Faruqi. Dari riwayat kehidupannya, karya-karya intelektualnya, hingga pemikiran-pemikiran yang telah membuat perubahan besar bagi umat islam dalam hal ilmu pengetahuan.





PEMBAHASAN

A.  Latar Belakang Pendidikan dan Karier
Isma’il Raji Al Faruqi atau yang lebih dikenal dengan nama Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi.
Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph)  Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun 1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Al Faruqi sempat menjadi  pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun, kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.  Jabatan Gubernur ini ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana University.
Saat studi di Harvad University, al Faruqi sempat bekerja sambil kuliah untuk memenuhi problem keuangannya. Dengan modal US $ 1000,- hasil menerjemahkan dua buku berbahasa Arab, al Faruqi kemudian berbisnis konstruksi.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keislamannya di jenjang pascasarjana di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajar di McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun. 
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam. Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini, ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keislaman di Central Institute of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang tersebut, dan wafat seketika.
Sebagai anak Palestina, al Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.
B.  Karya-Karya Intelektual
Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, Lamya. Buku ini menggambarkan tentang peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan. Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang, yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu al Faruqi menulis bahwa intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari Islam adalah tauhid.
Karya lain yang penting dan mungkin yang menghasilkan  tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Dalam buku ini ia berusaha mensosialisasikan ide-ide islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri atas tujuh bagian pembahasan dan dilengkapi dengan appendiks berupa beberapa agenda hasil konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di Islamabad, tahun 1982, konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan di Kuala Lumpur tahun 1984 dan di Khortoum tahun 1987.
Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication for Thought and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis secara tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah, prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip estetika.
Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya sangat kuat berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu menjadi ide dasar analisisnya.  Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah potensi dasar yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah yang paling progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung 30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku, mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara, dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.

C.  Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan. Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam. Gejala tersebut dirasakan al Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun al Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancur-kan umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah kemudian al Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi, maka akan terlihat adanya pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Kemunduran ini menurut analisa al Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.

D.  Analisa Metodologi Islamisasi Pengetahuan
Memahami wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.
Perjalanan hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas dan apresiatif terhadap agamanya.
Menurut Kafrawi Ridwan, penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di Amerika  yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasanirfani, untuk mengkonstruksi bangunan epistimologi Islam.
Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan mendapat tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa islamisasi ilmu tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan positif. Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahakann ilmu yag islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan posisinya universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen, sains Yahudi, sains Budha dan seterusnya.
Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain Sardar, menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda dengan sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu, namun Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena mengandung cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam.
Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa ilmu Barat sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti kerangka (mode of thought) atau pandangan dunia (word view) Barat. Oleh karenanya percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu pengetahuan Barat. Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun epistimo-logi Islam. Hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu dilakukan atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Jawaban yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari pertanyaan ini, selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan jawaban ya pada sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada sebagain disiplin ilmu (ilmu-ilmu pasti).
Dalam fokus islamizing curricula, dikotomisasi-dikotomisme ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum harus dihilangkan. Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud dimensi akal dan wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi  reason dan revelation tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam ada-lah religion of nature. Alam penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang menunjukkan kehadiran suatu sistem global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains, maka dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence.






KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya Ismail Raji Al Faruqi, atau yg sering disebut dengan nama al Faruqi adalah seorang tokoh intelektual muslim yang dikenal mampu menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karya terakhir dari Ismail Raji al Faruqi adalah The Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, sebelum terjadi penyerangan di rumahnya pada bulan Ramadhan tahun 1986 oleh tiga orang tak dikenal yang menewaskan dirinya, istri dan kedua anaknya.
Latar belakang al Faruqi mengeluarkan gagasan tentang Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah mulai meruntuhnya nilai-nilai keislaman oleh umat islam itu sendiri. Mereka telah terpengaruh westernalisasi, yang secara tidak langsung akan menghancurkan aqidah mereka sebagai umat islam.
Banyak tanggapan mengenai gagasan al Faruqi ini. Seperti Fazlurrahman yang mengatakan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan ini tidak diperlukan. Hal ini karena Ilmu bersifat Universal. Dengan demikian tidak ada sains Islam, sains kristen ataupun sains Yahudi










DAFTAR PUSTAKA

Abdul Sani, 1998.Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Akbar S. Ahmed, 1996. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan. 
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, 2001. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/al-Faruqi-pemikir-besar-islam-dibunuh.htm diunduh 19 Maret 2012.







PENDAHULUAN

Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali kepada agama.
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid. Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup.
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya, dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih khusus mengenai pemikiran-pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ismail Raji Al Faruqi. Dari riwayat kehidupannya, karya-karya intelektualnya, hingga pemikiran-pemikiran yang telah membuat perubahan besar bagi umat islam dalam hal ilmu pengetahuan.





PEMBAHASAN

A.  Latar Belakang Pendidikan dan Karier
Isma’il Raji Al Faruqi atau yang lebih dikenal dengan nama Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi.
Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph)  Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun 1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Al Faruqi sempat menjadi  pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun, kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.  Jabatan Gubernur ini ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana University.
Saat studi di Harvad University, al Faruqi sempat bekerja sambil kuliah untuk memenuhi problem keuangannya. Dengan modal US $ 1000,- hasil menerjemahkan dua buku berbahasa Arab, al Faruqi kemudian berbisnis konstruksi.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keislamannya di jenjang pascasarjana di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajar di McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun. 
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam. Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini, ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keislaman di Central Institute of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang tersebut, dan wafat seketika.
Sebagai anak Palestina, al Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.
B.  Karya-Karya Intelektual
Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, Lamya. Buku ini menggambarkan tentang peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan. Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang, yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu al Faruqi menulis bahwa intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari Islam adalah tauhid.
Karya lain yang penting dan mungkin yang menghasilkan  tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Dalam buku ini ia berusaha mensosialisasikan ide-ide islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri atas tujuh bagian pembahasan dan dilengkapi dengan appendiks berupa beberapa agenda hasil konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di Islamabad, tahun 1982, konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan di Kuala Lumpur tahun 1984 dan di Khortoum tahun 1987.
Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication for Thought and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis secara tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah, prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip estetika.
Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya sangat kuat berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu menjadi ide dasar analisisnya.  Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah potensi dasar yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah yang paling progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung 30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku, mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara, dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.

C.  Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan. Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam. Gejala tersebut dirasakan al Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun al Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancur-kan umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah kemudian al Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi, maka akan terlihat adanya pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Kemunduran ini menurut analisa al Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.

D.  Analisa Metodologi Islamisasi Pengetahuan
Memahami wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.
Perjalanan hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas dan apresiatif terhadap agamanya.
Menurut Kafrawi Ridwan, penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di Amerika  yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasanirfani, untuk mengkonstruksi bangunan epistimologi Islam.
Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan mendapat tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa islamisasi ilmu tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan positif. Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahakann ilmu yag islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan posisinya universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen, sains Yahudi, sains Budha dan seterusnya.
Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain Sardar, menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda dengan sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu, namun Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena mengandung cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam.
Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa ilmu Barat sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti kerangka (mode of thought) atau pandangan dunia (word view) Barat. Oleh karenanya percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu pengetahuan Barat. Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun epistimo-logi Islam. Hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu dilakukan atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Jawaban yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari pertanyaan ini, selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan jawaban ya pada sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada sebagain disiplin ilmu (ilmu-ilmu pasti).
Dalam fokus islamizing curricula, dikotomisasi-dikotomisme ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum harus dihilangkan. Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud dimensi akal dan wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi  reason dan revelation tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam ada-lah religion of nature. Alam penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang menunjukkan kehadiran suatu sistem global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains, maka dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence.






KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya Ismail Raji Al Faruqi, atau yg sering disebut dengan nama al Faruqi adalah seorang tokoh intelektual muslim yang dikenal mampu menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karya terakhir dari Ismail Raji al Faruqi adalah The Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, sebelum terjadi penyerangan di rumahnya pada bulan Ramadhan tahun 1986 oleh tiga orang tak dikenal yang menewaskan dirinya, istri dan kedua anaknya.
Latar belakang al Faruqi mengeluarkan gagasan tentang Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah mulai meruntuhnya nilai-nilai keislaman oleh umat islam itu sendiri. Mereka telah terpengaruh westernalisasi, yang secara tidak langsung akan menghancurkan aqidah mereka sebagai umat islam.
Banyak tanggapan mengenai gagasan al Faruqi ini. Seperti Fazlurrahman yang mengatakan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan ini tidak diperlukan. Hal ini karena Ilmu bersifat Universal. Dengan demikian tidak ada sains Islam, sains kristen ataupun sains Yahudi










DAFTAR PUSTAKA

Abdul Sani, 1998.Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Akbar S. Ahmed, 1996. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan. 
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, 2001. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/al-Faruqi-pemikir-besar-islam-dibunuh.htm diunduh 19 Maret 2012.


PENDAHULUAN

Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali kepada agama.
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid. Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup.
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya, dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih khusus mengenai pemikiran-pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ismail Raji Al Faruqi. Dari riwayat kehidupannya, karya-karya intelektualnya, hingga pemikiran-pemikiran yang telah membuat perubahan besar bagi umat islam dalam hal ilmu pengetahuan.





PEMBAHASAN

A.  Latar Belakang Pendidikan dan Karier
Isma’il Raji Al Faruqi atau yang lebih dikenal dengan nama Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi.
Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph)  Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun 1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Al Faruqi sempat menjadi  pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun, kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.  Jabatan Gubernur ini ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana University.
Saat studi di Harvad University, al Faruqi sempat bekerja sambil kuliah untuk memenuhi problem keuangannya. Dengan modal US $ 1000,- hasil menerjemahkan dua buku berbahasa Arab, al Faruqi kemudian berbisnis konstruksi.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keislamannya di jenjang pascasarjana di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajar di McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun. 
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam. Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini, ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keislaman di Central Institute of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang tersebut, dan wafat seketika.
Sebagai anak Palestina, al Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.
B.  Karya-Karya Intelektual
Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, Lamya. Buku ini menggambarkan tentang peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan. Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang, yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu al Faruqi menulis bahwa intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari Islam adalah tauhid.
Karya lain yang penting dan mungkin yang menghasilkan  tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Dalam buku ini ia berusaha mensosialisasikan ide-ide islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri atas tujuh bagian pembahasan dan dilengkapi dengan appendiks berupa beberapa agenda hasil konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di Islamabad, tahun 1982, konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan di Kuala Lumpur tahun 1984 dan di Khortoum tahun 1987.
Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication for Thought and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis secara tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah, prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip estetika.
Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya sangat kuat berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu menjadi ide dasar analisisnya.  Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah potensi dasar yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah yang paling progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung 30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku, mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara, dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.

C.  Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan. Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam. Gejala tersebut dirasakan al Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun al Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancur-kan umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah kemudian al Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi, maka akan terlihat adanya pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Kemunduran ini menurut analisa al Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.

D.  Analisa Metodologi Islamisasi Pengetahuan
Memahami wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.
Perjalanan hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas dan apresiatif terhadap agamanya.
Menurut Kafrawi Ridwan, penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di Amerika  yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasanirfani, untuk mengkonstruksi bangunan epistimologi Islam.
Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan mendapat tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa islamisasi ilmu tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan positif. Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahakann ilmu yag islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan posisinya universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen, sains Yahudi, sains Budha dan seterusnya.
Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain Sardar, menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda dengan sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu, namun Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena mengandung cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam.
Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa ilmu Barat sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti kerangka (mode of thought) atau pandangan dunia (word view) Barat. Oleh karenanya percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu pengetahuan Barat. Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun epistimo-logi Islam. Hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu dilakukan atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Jawaban yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari pertanyaan ini, selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan jawaban ya pada sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada sebagain disiplin ilmu (ilmu-ilmu pasti).
Dalam fokus islamizing curricula, dikotomisasi-dikotomisme ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum harus dihilangkan. Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud dimensi akal dan wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi  reason dan revelation tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam ada-lah religion of nature. Alam penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang menunjukkan kehadiran suatu sistem global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains, maka dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence.






KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya Ismail Raji Al Faruqi, atau yg sering disebut dengan nama al Faruqi adalah seorang tokoh intelektual muslim yang dikenal mampu menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karya terakhir dari Ismail Raji al Faruqi adalah The Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, sebelum terjadi penyerangan di rumahnya pada bulan Ramadhan tahun 1986 oleh tiga orang tak dikenal yang menewaskan dirinya, istri dan kedua anaknya.
Latar belakang al Faruqi mengeluarkan gagasan tentang Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah mulai meruntuhnya nilai-nilai keislaman oleh umat islam itu sendiri. Mereka telah terpengaruh westernalisasi, yang secara tidak langsung akan menghancurkan aqidah mereka sebagai umat islam.
Banyak tanggapan mengenai gagasan al Faruqi ini. Seperti Fazlurrahman yang mengatakan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan ini tidak diperlukan. Hal ini karena Ilmu bersifat Universal. Dengan demikian tidak ada sains Islam, sains kristen ataupun sains Yahudi










DAFTAR PUSTAKA

Abdul Sani, 1998.Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Akbar S. Ahmed, 1996. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan. 
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, 2001. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/al-Faruqi-pemikir-besar-islam-dibunuh.htm diunduh 19 Maret 2012.
 


PENDAHULUAN

Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali kepada agama.
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid. Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup.
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya, dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih khusus mengenai pemikiran-pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ismail Raji Al Faruqi. Dari riwayat kehidupannya, karya-karya intelektualnya, hingga pemikiran-pemikiran yang telah membuat perubahan besar bagi umat islam dalam hal ilmu pengetahuan.





PEMBAHASAN

A.  Latar Belakang Pendidikan dan Karier
Isma’il Raji Al Faruqi atau yang lebih dikenal dengan nama Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi.
Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph)  Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun 1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Al Faruqi sempat menjadi  pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun, kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.  Jabatan Gubernur ini ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana University.
Saat studi di Harvad University, al Faruqi sempat bekerja sambil kuliah untuk memenuhi problem keuangannya. Dengan modal US $ 1000,- hasil menerjemahkan dua buku berbahasa Arab, al Faruqi kemudian berbisnis konstruksi.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keislamannya di jenjang pascasarjana di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajar di McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun. 
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam. Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini, ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keislaman di Central Institute of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang tersebut, dan wafat seketika.
Sebagai anak Palestina, al Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.
B.  Karya-Karya Intelektual
Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, Lamya. Buku ini menggambarkan tentang peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan. Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang, yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu al Faruqi menulis bahwa intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari Islam adalah tauhid.
Karya lain yang penting dan mungkin yang menghasilkan  tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Dalam buku ini ia berusaha mensosialisasikan ide-ide islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri atas tujuh bagian pembahasan dan dilengkapi dengan appendiks berupa beberapa agenda hasil konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di Islamabad, tahun 1982, konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan di Kuala Lumpur tahun 1984 dan di Khortoum tahun 1987.
Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication for Thought and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis secara tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah, prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip estetika.
Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya sangat kuat berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu menjadi ide dasar analisisnya.  Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah potensi dasar yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah yang paling progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung 30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku, mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara, dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.

C.  Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan. Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam. Gejala tersebut dirasakan al Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun al Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancur-kan umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah kemudian al Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi, maka akan terlihat adanya pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Kemunduran ini menurut analisa al Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.

D.  Analisa Metodologi Islamisasi Pengetahuan
Memahami wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.
Perjalanan hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas dan apresiatif terhadap agamanya.
Menurut Kafrawi Ridwan, penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di Amerika  yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasanirfani, untuk mengkonstruksi bangunan epistimologi Islam.
Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan mendapat tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa islamisasi ilmu tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan positif. Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahakann ilmu yag islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan posisinya universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen, sains Yahudi, sains Budha dan seterusnya.
Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain Sardar, menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda dengan sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu, namun Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena mengandung cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam.
Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa ilmu Barat sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti kerangka (mode of thought) atau pandangan dunia (word view) Barat. Oleh karenanya percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu pengetahuan Barat. Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun epistimo-logi Islam. Hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu dilakukan atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Jawaban yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari pertanyaan ini, selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan jawaban ya pada sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada sebagain disiplin ilmu (ilmu-ilmu pasti).
Dalam fokus islamizing curricula, dikotomisasi-dikotomisme ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum harus dihilangkan. Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud dimensi akal dan wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi  reason dan revelation tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam ada-lah religion of nature. Alam penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang menunjukkan kehadiran suatu sistem global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains, maka dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence.






KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya Ismail Raji Al Faruqi, atau yg sering disebut dengan nama al Faruqi adalah seorang tokoh intelektual muslim yang dikenal mampu menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karya terakhir dari Ismail Raji al Faruqi adalah The Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, sebelum terjadi penyerangan di rumahnya pada bulan Ramadhan tahun 1986 oleh tiga orang tak dikenal yang menewaskan dirinya, istri dan kedua anaknya.
Latar belakang al Faruqi mengeluarkan gagasan tentang Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah mulai meruntuhnya nilai-nilai keislaman oleh umat islam itu sendiri. Mereka telah terpengaruh westernalisasi, yang secara tidak langsung akan menghancurkan aqidah mereka sebagai umat islam.
Banyak tanggapan mengenai gagasan al Faruqi ini. Seperti Fazlurrahman yang mengatakan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan ini tidak diperlukan. Hal ini karena Ilmu bersifat Universal. Dengan demikian tidak ada sains Islam, sains kristen ataupun sains Yahudi










DAFTAR PUSTAKA

Abdul Sani, 1998.Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Akbar S. Ahmed, 1996. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan. 
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, 2001. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/al-Faruqi-pemikir-besar-islam-dibunuh.htm diunduh 19 Maret 2012.