Tuesday 19 July 2016

Makalah Kepemimpinan Pesantren Tradisional


Mendifinisikan kepemimpinan merupakan suatu masalah yang komplek dan sulit, karena sifat dasar kepemipinan itu sendiri memang sangat kompleks.Akan tetapi, perkembangan ilmu saat ini telah membawa banyak kemajuan sehingga pemahaman tentan kepemimpinan menjadi lebih sistematis dan objektif. Kepemimpian melibatkan hubungan pengaruh yang mendalam yang terjadi di antara orang-orang yang menginginkan perubahan yang signifikan, dan perubahan tersebut mencerminkan tujuan yang dimiliki bersama oleh pemimpin dan pengikutnya (bawahan).


BAB I
PENDAHULUAN
      1.      Latar Belakang
Kepemimpinan dipahami sebagai segala daya upaya besama untuk mengerakan semua sumber dan alat (resources) yang tersedia dalam suatu oganisasi. Resaouces tersebut dapat tergolongakan menjadi dua bagian besar, yaitu: human resource dan non human resaouces. Dalam lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan islam yang termasuk salah satu unit organisasi juga terdiri dari berbagai unsure atau sumber, dan manusia lah merupakan unsure terpenting. Untuk itudapat dikatakan bahwa sukses tidaknya suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung atas kemampuan pemimpinya untuk menubuhkan iklim kerja sama dengan mudah an dapat menggerakan sumber-sumber daya yang ada sehingga dapat mendaya gunakanya dan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
            Dengan demikian kehidupan suatu organisasi sangat ditentukan oleh peran seorang pemimpin. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang Mampu menumbuhkan dan mengembangkan usaha kerja sama serta memelihara iklim yang kondusif dalam kehidupan organisasi. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang dapat mengintegrasikan orientasi tugas dengan orientasi   hubungan manusia.
            Dalam makalah ini akan diuraikan seberapa penting peran kepemimpinan dalam lembaga pendidikan islam pesantren tradisional yang merupakan kiai sebagai tokoh sentralnya.

      2.      Rumusan Masalah
A.    Apa yang dimakssud kepemimpinan?
B.     Apa yang dimaksud pesantren tradisional?
C.     Bagaimana kepemimpinan di pondok pesantren tradisional?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian kepemimpinan
Mendefinisikan kepemimpinan merupakan suatu masalah yang komplek dan sulit, karena sifat dasar kepemipinan itu sendiri memang sangat kompleks.Akan tetapi, perkembangan ilmu saat ini telah membawa banyak kemajuan sehingga pemahaman tentan kepemimpinan menjadi lebih sistematis dan objektif. Kepemimpian melibatkan hubungan pengaruh yang mendalam yang terjadi di antara orang-orang yang menginginkan perubahan yang signifikan, dan perubahan tersebut mencerminkan tujuan yang dimiliki bersama oleh pemimpin dan pengikutnya (bawahan).
Jadi apa yang dimaksud dengan kepemimpinan itu adalah: kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menunutun, menggerakan dan kalau perlu memaksa orang lain agar ia menerima pengaruh itu dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian tujuan-tujuan tertentu demi kemaslahatan bersama. Dari pengertian tentang kepemimpinan yang kami ketahui dapat disimpulkan hal-hal yang penting mengenai kepemimipinan, antara lain:
1.      Kepemimpinan itu pada hakekatnya berhubungan dengan tenaga manusia.
2.      Kepemimpinan itu pada hakekatnya hanya terdapat pada kelompok yang terorganisasi.
3.      Sebagai satu kekuatan atau potensi.

Pengaruh pemimpin itu pada pihak lain dapat memperkembangkan hubungan kemanusiaan yang lebih baik, dapat mempengaruhi pertumbuhan sikap-sikap yang positif dari pada individu-individu yang dipimpinnya. Dan yang paling penting ialah pengaruh kepemimpinannya sangat menentukan bagaimana kualitas kegiatan kerjasama dan kualitas hasil yang dapat dicapai oleh kegiatan kerjasama dalam lembaga tersebut.
Adapun Ciri-ciri Seorang Pemimpin yaitu;
1.      Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk mengendalikan lembaga atau organisasinya
2.      Memfungsikan keistimewaannya yang lebih disbanding orang lain (QS Al-Baqoroh : 247)
3.      Memahami kebisaan dan bahasa orang yang menjadi tanggung jawabnya (QS Ibrahim: 4)
4.      Mempunyai karisma atau wibawa dihadapan manusia atau orang lain (QS Huud: 91)
5.      Bermuamalah dengan lembut dan kasih sayang terhadap bawahannya, agar orang lain simpatik kepadanya (QS Ali Imron: 159)
6.      Bermusyawarah dengan para pengikut serta mintalah pendapat dan pengalaman mereka (QS Ali Imron: 159)
7.      Mempunyai power dan pengaruh yang dapat memerintah serta mencegah karena seorang pemimpin harus melakukan control pengawasan atas pekerjaan anggota, meluruskan keliruan, serta mengajak mereka untuk berbuat kebaikan dan mencengah kemungkaran (QS Al hajj 41)
8.      Bersedia mendengar nasehat dan tidak sombong, karena naehat dari orang yang ikhlas jarang sekali kita peroleh (QS Al Baqoroh 206)
Jabatan pemimpin merupakan jabatan yang istimewa sebab, pemimpin organisasi apapun dipersyaratkan memiliki berbagai kelebihan menyangkut pengetahuan, perilaku, sikap, maupun keterampilan dibanding orang lain.[1] Pada umunya,seseorang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu, tetapi sebaliknya juga memiliki kelemahan-kelemahan tertentu.
Figur pemimpin yang ideal sangatlah diharapkan oleh masyarakat, lantaran seorang pemimpin menjadi contoh terbaik dalam segala ucapan, perbuatan, dan kebiasaan, termasuk dalam hal berpakaian. Dalam konteks pendidikan islam, pemimpin harus memiliki keunggulan yang lebih lengkap. Dasar filosofinya adalah pendidikan islam selama ini mengklaim sebagai lembaga yang berusaha keras membangun kecerdasan intelektual, kesalehan social, dan kemantapan spiritual.

B.    Pengertian pesantren tradisional
Kata pesantren sebenarnya berakar dari kata santri yang menurut Prof. A.H. Johns, kata tersebut adalah bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan CC.Berg berpendapat bahwa istilah tesebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata Shastri berasal dari shastra yang berarti buku buku suci, buku-buku agama atau buku-buku agama atau buku-buku pengetahuan.[2] Tetapi, walaupun istilah santri berdekatan dengan bahasa agama Hindu, namun di Indonesia kata yang kemudian berubah menjadi kata pesantren ini lazim digunakan dalam khasanah kelembagaan pendidikan Islam.
            Secara terminologis, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam. Umumnya, proses pendidikan pesantren berlangsung secara non klasikal, dimana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Isalam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.
            Kyai di sini adalah seorang guru yang menjadi tokoh sentral dalam pesantren, yang dari kemampuan pribadinya, pertumbuhan suatu pesantren tergantung padanya. Santri adalah murid-murid yang sengaja menuntut ilmu di pesantren, baik ia bermukim di sana ataupun tidak.[3]
            Merujuk kepada pengertian-pengertian di atas, pesantren tradisional bisa didefinisikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikelola berdasarkan pola-pola lama yang sengaja dilestarikan, pengajarannya menggunakan kurikulum yang diadopsi dari warisan masa sebelumnya dan dilakukan secara turun temurun.
Pondok pesantren adalah sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam pendekatan pengajarannya, tapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur kewenangan, serta semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Dari perbagai corak dan model pesantren yang ada yang di Indonesia, secara umum paling tidak ada 5 (lima) unsur pembentuk pesantren, yaitu:
1) kyai,
2) santri,
3) pengajian,
4) asrama/pondok, dan
5) masjid.
            Kelima unsur pembentuk pesantren itu biasanya tersentral kepada figur kyai yang memimpin/mendirikan pesantren itu, segala macam aktivitas yang ada dalam pesantren harus atas sepengetahuan dan persetujuan sang kyai, termasuk pembelajaran yang ada di dalamnya semua terpusat pada kyai, kalaupun ada sistem klasikal yang berjenjang, yang setiap kelas diajar oleh ustadzustadz muda, maka semua pengajar di kelas itu adalah orang-orang yang direkomendasiakan sang kyai. Di sini, kyai adalah pusat dari gerakan kelompok yang terwadahi dalam pesantren tersebut. Dalam subbab ini penulis akan menguraikan beberapa hal yang terkait dengan pembelajaran agama Islam dan bahasa Arab di pesantren antara lain: kurikulum/manhaj, masa pembelajaran dan syahadah, serta  metode pembelajaran.

C.     Kepemimpinan Kiai Pada Pondok Pesantren Tradisional
Kiai sebagai salah satu unsur dominan dalam kehidupan sebuah pesantren. Ia mengatur irama pekembangan dan keberlangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, karisma, dan keterampilannya. Tidak jarang sebuah pesantren tidak memiliki manajemen pendidikan yang rapi, sebab segala sesuatu terletak pada kebijaksanaan dan keputusan kiai.
Seorang kiai dalam budaya pesantren memiliki berbagai macam peran, termasuk sebagai ulama, pendidik dan pengasuh, penghubung masyarakat, pemimpin, dan pengelola pesantren. Peran yang begitu kompleks tersebut menuntut kiai untuk bisa memosisikan diri dalam berbagai situasi yang dijalani. Dengan demikian, dibutuhkan sosok kiai yang mempunyai kemampuan, dedikasi, dan komitmen yang tinggi untuk bisa menjalankan peranperan tersebut.
Eksistensi kiai sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya, dapat dipandang sebagai sebuah fenomena yang unik. Dikatakan unik karena kiai sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekadar bertugas menyusun kurikulum, membuat peraturan atau tata tertib, merancang sistem evaluasi, sekaligus melaksanakan proses belajar-mengajar yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di lembaga yang diasuhnya, melainkan pula scbagai pembina dan pendidik umat serta menjadi pemimpin masyarakat.[4]
Peran yang begitu sentral yang dilaksanakan oleh kiai seorang diri menjadikan pesantren sulit berkembang. Perkembangan atau besar-tidaknya pesantren semacam ini sangat ditentukan oleh kekarismaan kiai pengasuh. Dengan kata lain, semakin karismatik kiai (pengasuh), semakin banyak masyarakat yang akan berduyunduyun untuk belajar bahkan hanya untuk mencari barakah dari kiai tersebut dan pesantren tersebut akan lebih besar dan berkembang pesat.
            Kepemimpinan individual kiai inilah yang sesungguhnya mmewarnai pola relasi di kalangan pesantren dan telah berlangsung dalam rentang waktu yang lama, sejak pesantren berdiri pertama hingga sekarang dalam kebanyakan kasus. Lantaran kepemimpinan individual kiai itu pula, kokoh kesan bahwa pesantren adalah milik pribadi kiai. Karena pesantren tersebut milik pribadi kiai, kepemimpinan yang dijalankan adalah kepemimpinan individual.[5]
            Dengan kepemimpinan semacam itu, pesantren terkesan eksklusif. Tidak ada celah yang longgar bagi masuknya pemikiran atau usulan dari luar walaupun untuk kebaikan dan pengembangan pesantren karena hal itu wewenang mutlak kiai. Hal seperti inilah pola kepemimpinan pada pondok pesantren tradisional/salaf.
Model kepemimpinan tersebut memengaruhi eksistensi pesantren. Bahkan belakangan ada pesantren yang dilanda masalah kepemimpinan ketika ditinggal oleh kiai pendirinya. Hal itu disebabkan tidak adanya anak kiai yang mampu meneruskan kepemimpinan pesantren yang ditinggalkan ayahnya baik dari segi penguasaan ilmu keislaman maupun pengelolaan kelembagaan. Karena itu, kesinambungan pesantren menjadi terancam.[6]Krisis kepemimpinan juga bisa terjadi ketika kiai terjun ke dalam partai politik praktis. Kesibukannya di politik akan menurunkan perhatiannya terhadap pesantren dan tugas utamanya sebagai pembimbing santri terabaikan, sehingga kelangsungan aktivitas pesantren menjadi terbengkalai.
Adapun pergantian kepemimpinan di pesantren dilaksanakan apabila kiai yang menjadi pengasuh utama meninggal dunia. Jadi kiai adalah pemimpin pesantren seumur hidup. Apabila kiai sudah meninggal, estafet kepemimpinan biasanya dilanjutkan oleh adik tertua dan kalau tidak mempunyai adik atau saudara, biasanya kepemimpinan langsung digantikan oleh putra kiai. Biasanya kiai mengkader putra-putranya untuk meneruskan kepemimpinannya. Namun, jika kaderisasi itu gagal, biasanya yang melanjutkan adalah menantu yang paling pandai atau menjodohkan putrinya dengan putra kiai lain. Jadi tidak ada peluang masuknya orang luar menjadi pemimpin pesantren tanpa memasuki jalur feodalisme kiai.
Dengan demikian, jelas bahwa posisi kepemimpinan kiai adalah posisi yang sangat menentukan kebijaksanaan di semua segi kehidupan pesantren, sehingga cenderung menumbuhkan otoritas mutlak, yang pada hakikatnya justru berakibat fatal. Namun profil kiai di atas pada umumnya hanyalah terbatas pada kiai pengasuh pesantren tradisional yang memegang wewenang (otoritas) mutlak dan tidak boleh diganggu gugat oleh pihak mana pun.
Kepemimpinan kiai yang karismatik cenderung individual dan memunculkan timbulnya sikap otoriter mutlak kiai. Otoritas mutlak tersebut kurang baik bagi kelangsungan
hidup pesantren, terutama dalam hal suksesi kepemimpinan. Kaderisasi hanya terbatas keturunan dan saudara, menyebabkan tidak adanya kesiapan menerima tongkat estafet kepemimpinan ayahnya. Oleh karena itu, tidak semua putra kiai mempunyai kemampuan, orientasi, dan kecenderungan yang sama dengan ayahnya.
            Selain itu, pihak luar sulit sekali untuk bisa menembus kalangan elite kepemimpinan pesantren, maksimal mereka hanya bisa menjadi menantu kiai. Padahal, menantu kebanyakan tidak berani untuk maju memimpin pesantren kalau masih ada anak atau saudara kiai, walaupun dia lebih siap dari segi kompetensi maupun kepribadiannya. Akhirnya sering terjadi pesantren yang semula maju dan tersohor, tiba-tiba kehilangan pamor bahkan mati lantaran kiainya meninggal.

DAFTAR PUSTAKA
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007)
Zamakhsyari Dhofier. 1994. , Tradisi Pesantren. (Jakarta: LP3ES, 1994)
Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasada Press, 1993)
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2004)
M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergumulan Dunia Pesantren: Membangun
dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985).




[1] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 279
[2] Zamakhsyari Dhofier. 1994. , Tradisi Pesantren. (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 18.
[3] Ibid, hlm. 55.
[4]Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasada Press, 1993), hlm. 45.
[5]Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 40.
[6] M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergumulan Dunia Pesantren: Membangun
dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 114.