makalah ragam pemikiran filsafat pendidikan islam para
tokoh
RAGAM PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM PARA TOKOH
Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas mata
kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen : Anissa Listiana M.Ag
Disusun Oleh
:
1.
Khoirun Nisa
(111210)
2.
Nurjannah (111208)
3.
Nur hidayah (111230)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2013
I.
Latar
Belakang Masalah
Filsafat adalah suatu aktifitas
manusia dalam mempergunakan akal pikirannya sebaik mungkin, untuk mengetahui
dan menjawab secara mendalam segala persoalan. Apabila segala persoalan
tersebut diorientasikan terbatas untuk memahami bidang pendidikan, lahirlah
yang dinamakan sebagai fisafat pendidikan.[1][1]
Filsafat pendidikan bukanlah
filsafat umum atau filsafat murni, melainkan merupakan filsafat khusus atau
terapan. Apabila dilihat dari karakteristik objeknya, filsafat terbagi dalam
dua macam, yaitu filsafat umum atau murni, dan filsafat khusus atau terapan.
Berbeda dengan filsafat umum yang objeknya adalah kenyataan keseluruhan segala
sesuatu, filsafat khusus mempunyai objek salah satu aspek kehidupan manusia
yang penting. Salah satu aspek tersebut adalah bidang pendidikan. Dengan
demikian, dapat dirumuskan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat terapan
yang menyelidiki hakikat pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar
belakang, cara dan hasilnya, serta hakihat pendidikan, yang bersangkut paut
dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya.
Berkenaan dengan filsafat pendidikan
islam, Fadhil Jamaly merumuskan pengertiannya sebagai pandangan mendasar
tentang pendidikan yang bersumber ajaran Islam yang berorientasi
pengembangannya didasarkan pada ajaran tersebut. Batasan ini menjelaskan bahwa
seluruh kajian tentang pendidikan dalam filsafat pendidikan islam, harus
senantiasa bersumber dari ajaran islam, sedangkan orientasi pemikiran dan
pengembangannya juga diarahkan untuk tidak menyimpang dari ajaran islam.
Definisi diatas menerangkan bahwa
filsafat pendidikan agama islam, selain dipandang sebagai studi filosofis dari
sistem dan aliran filsafat islam, juga berusaha mengetahui sampai sejauh mana
pengaruh keberadaan pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan umat Islam
karena bagaimanapun formulasi pendidikan islam, pada akhirnya diharapkan dapat
memberikan implikasi positif terhadap pemecahan problematika umat islam.
II.
Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang diatas, maka dalam makalah ini pemakalah akan berusaha menguraikan dan
menjelaskan tentang :
a)
Apa saja
metode yang dapat digunakan dalam filsafat pendidikan Islam ?
b)
Bagaimana
pemikiran para tokoh mengenai konsep dan metode pengajaran dalam pendidikan
Islam ?
III.
Pembahasan
a)
Metode dalam
filsafat pendidikan islam
Keberhasilan
filsafat dalam menyelesaikan berbagai problematika yang dihadapinya, tentunya
tidak terlepas dari metode yang digunakannya. Metode, secara harfiah berasal
dari bahasa Yunani, yaitu kata depan meta
dan kata benda hodos. Kata meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sedangka kata hodos berarti cara, jalan dan
arah.[2][2]
Menurut
istilah, metode adalah cara berpikir menurut system tertentu. Runesa
menjelaskan, metode adalah prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan
tertentu. Dari dua pendapat diatas, disimpulkan bahwa metode adalah suatu cara
atau prosedur yang digunakan dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang
optimal.
Metode
senantiasa inhern dengan ilmu
pengetahuan, karena metode berfungsi sebagai cara yang dipakai untuk menelaah
dan memecahkan persoalan dalam ilmu pengetahuan tersebut.
Secara
operasional, metode yang dapat dipergunakan dalam filsafat pendidikan Islam
diantaranya adalahsebagai berikut :
1)
Metode spekulatif dan kontemplatif, yang merupakan metode
dalam setiap cabang filsafat. Sering disebut dengan metode tafakur, yang berarti berpikir secara mendalam untuk
mendapatkan kebenaran hakiki dari objek yang sedang dipikirkan.
2)
Metode normatif, yaitu
metode yang dipakai untuk mencari dan menetapkan aturan dalam kehidupan yang
nyata. Dalam filsafat Islam sering disebut dengan istilah pendekatan syari’ah, yaitu mencari ketentuan dan menetapkan
ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh menurut syari’at islam.
3)
Analisi konsep, yaitu
disebut juga analisis bahasa, yaitu
menganalisis kata yang dianggap kunci pokok, dan mewakili gagasan atau konsep,
untuk mengetahui arti yang sesungguhnya dari kata tersebut.
4)
Pendekatan sejarah, yaitu
mengambil pelajaran dari peristiwa dan kejadian masa lalu karena peristiwa
tersebut berguna memberikan petunjuk dalam membina masa depan. Dalam filsafat
islam, penggunaan sunnah dan siroh nabi sebagai sumber, pada hakikatnya
merupakan contoh factual penggunaan analisis sejarah ini.
5)
Pendekatan komprehensif atau terpadu antara sumber naqli, aqli dan
ima, sebagaimana yang dikembangkan oleh Al-Ghozali untuk mencapai kebenaran
yang sungguh-sungguh. Pendekatan ini selain mempergunakan pola verpikir
empiris, juga menggunakan pendekatan intuitif.
6)
Metode analisis sintetis, yaitu
suatu metode yang didasarkan pada pendekatan rasional dan logis terhadap
sasaran pemikiran, baik secara induktif maupun deduktif.
Metode-metode
di atas merupakan metode yang telah lama dipergunakan dalam khazanah filsafat
pendidikan islam., tetapi tidak menutup kemungkinan munculnya metode yang lain
dan baru, yang lebih spesifik dan akurat dalam memecahkan persoalan yang
dihadapi oleh pendidikan islam.
Filsafat
pendidikan Islam yang secara structural merupakan bagian dari filsafat islam, dan
secara fungsional tidak terlepas dari pendidikan islam, mempunyai peran dan
tujuan tertentu yang terkait dengan Islam sebagai system agama yang universal.
Secara tegas dikatakan bahwa manusia dituntut untuk selalu beribadah kepada
Allah SWT. Dalam arti yang seluas-luasnya maka filsafat pendidikan islam,
filsafat islam, dan pendidikan islam, pada dasarnya diarahkan pada pencapaian
semua itu.
b)
Pemikiran
Para Tokoh Mengenai Konsep Pendidikan Islam
1.
Konsep
Pendidikan Al-Ghozali
Untuk
mengetahui konsep pendidikan Al-Ghozali ini dapat diketahui antara lain dengan
cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek
yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu tujuan pendidikan, kurikulum, metode,
etika guru dan etika murid.
Rumusan
tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau
pemikiran yang mendalam tentang
pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia
memahami secara benar filsafat yag mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya
akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan
pendidikan.[3][3]
Dari hasil
studi terhadap pemikiran Al-Ghozali dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai
melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama,
tercapainya kesempurnaan insane yang bermuara pada pendekatan diri kepada
Allah. Kedua, kesempurnaan insane
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Selain
membahas tentang tujuan, Al-Ghozali juga mengemukakan tentang konsep kurikulum yang terkait erat dengan
konsepnya mengenai ilmu pengetahuan, dalam
pandangan Al-Ghozali ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi tiga
rumpun yakni :
ü Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak
ü Ilmu pengetahuan yag terpuji, baik sedikit maupun
banyak, tapi kalau banyak aka lebih baik
ü Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji,
tetapi jika mendalaminya tercela
Dalam
menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghozali memberi perhatian khusus pada
ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang
sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, ia mementingkan
sisi yang factual dalam kehidupan, yaitu sisi yang tidak harus tetap ada.
Selain itu Al-Ghozali juga menekankan sisi budaya. Ia jelaskan kenikmatan ilmu
dan kelezatannya. Menurutnya ilmu itu wajib dituntut bukan karena keuntungan di
luar hakikatnya, tapi karena hakikatnya sendiri. Sebaliknya, Al-Ghozali tidak
mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifat kepribadiannya
yang dikuasai yaitu tasawuf dan zuhud.
Kurikulum
yang diajukan Al-Ghozali ini mendorong kita untuk mengaitkan pada kurikulum
yang disusun oleh Herbert Spencer, seorang filosuf berkebangsaan inggris yang
muncul pada penghujung abad ke XIX. Dalam sejarah pemikiran tercatat, bahwa
spencer termasuk filosuf dan pendidik awal yang berpikir langsung untuk
menyusun kurikulumpelajaran yang berdasarkan pada prinsip-prinsip tertentuserta
sejalan dengan tujuan pendidikan yang telah digariskannya yang sejalan dengan
fisafatnya.
Perhatian
Al-Ghozali juga tertuju pada metode pengajaran yang lebih ditujukan pada
pengajaran agama untuk anak-anak. Adapun dalam hal yang berkaitan dengan metode
mengajar secara umum hanya dikemukakan prinsip-prinsip tertentu dalam langkah-langkah
khusus yang seyogianya diikuti oleh seorang guru dalam menunaikan tugas
mengajar.
Pada
dasarnya, Al-Ghozali yang hidup pada masa
Sembilan abad yang lalu, banyak menemukan dasar-dasar pemikiran tentang
pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya berikut :
“Seorang
guru yang diberi tugas mengajar suatu ilmu tertentu hendaknya memberika
kelonggaran seluas-luasnya kepada murid untuk mempelajari pelajaran yang lain.
Jika diberi tugas mengajar beberapa ilmu (mata pelajaran), hendaklah memelihara
kemajuan murid dari satu tingkat ke tingkat yang lainnya.”[4][4]
Dengan
demikian, metode mengajar Al-Ghozali tidak mengikuti aliran tertentu, tetapi
berupa satu model yang diperoleh dari hasil pemikiran berdasarkan ajaran islam.
2.
Konsep Pendidikan
Ibnu Sina
Pemikiran
Ibnu Sina dalam pendidikan antara lain berkenaan dengan tujuan pendidikan,
kurikulum, metode pengajaran, guru dan pelaksanaan hukuman dalam pendidikan.
·
Tujuan
Pendidikan
Menurut Ibnu
Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi
yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu
perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan
menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat
hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau
keahluian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan dan kecenderungan dan
potensi yang dimilikinya.[5][5] Selain itu Ibnu Sina juga
mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada
pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya, sehingga akan muncul
tenaga-tenaga yang professional yag mampu mengerjakan secara professional.
Selain itu
tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada
pandangannya tentang Insan Kamil (Manusia Yang Sempurna), yaitu manusia yang
terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh, sebagaimana
dikemukakan pada bagia diatas. Ibnu Sina juga ingin agar tujuan pendidikan
universal itu diarahkan kepada terbentuknya manusia yang sempurna itu.
Rumusan
tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tampak mencerminkan sikapnya yang
selain sebagai seorang pemikir, juga sebagai pekerja dan praktisi, dan hal itu
memang terdapat dalam dirinya sebagaimana dikemukakan diatas. Melalui tujuan
pendidikan yang dirumuskannya, ia tampak menghendaki agar orang lain meniru
dirinya.[6][6]
·
Kurikulum
Konsep Ibnu
Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik.
Untuk anak usia 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan
mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara dan kesenian.
Selanjutnya
kurikulum untuk anak usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup
pelajarn membaca dan menghafal Al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir,
dan pelajaran olahraga.
Sedangkan
kurikulum untuk anak usia 14 tahun keatas. Pandangan Ibnu Sina terhadap mata
pelajaran yang harus diberikan kepada anak usia 14 tahun keatas berbeda dengan
mata pelajaran yag harus diberikan kepada anak usia sebelum 14 tahun
sebagaimana telah disebutkan diatas. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada
anak usia 14 tahun keatas, amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut
perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak.[7][7] Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan denga
kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk
menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada para
pendidik agar memilihkan jenis pelajaran yang berkaitan denga keahlian tertentu
yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh anak didiknya.
·
Metode
Pengajaran
Konsep
metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap
materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran, Ibnu Sina selalu
membicarakan tentang cara mengajarkan anak didik. Berdasarkan pertimbangan
psikologisnya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu
tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan salah satu
cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan
perkembangan psikologisnya.
Penyampaian
materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari
materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan
tidak ak kehilangan daya relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu
Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi,
magang dan penugasan.
Dari
beberapa metode diatas, hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan
belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang
metode pengajaran masih relevan denga tuntutan zaman, bahkan melampauinya.
·
Konsep Guru
Konsep guru
yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam
hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang berakal
cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhak, cakap dalam mendidik anak,
berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya,
tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni.
Jika diamati
secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru
yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya.
Dalam pendapatnya itu, Ibnu Sina selain menekankan unsur kompetensi atau
kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu,
seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan
yang diajarkannya, dan dengan aklak ia akan dapat membina mental dan akhlak
anak.
Guru seperti
itu, tampaknya diangkat dari sifat dan kepribadian yang terdapat pada diri Ibnu
Sina sendiri, yang selain memiliki kompetensi akhlak yag baik, juga memiliki
kecerdasan dan keluasan ilmu.
·
Konsep
Hukuman dalam Pelaksanaanya
Ibnu Sina
pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal
ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun
dalam keadaan terpaksa hukuman dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati.
Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin
disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas
dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat mebatasi pelaksanaan
hukuman.
Ibnu Sina
membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu
hanya boleh dilakukan dalam keadaan
terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh
dilakukan. Sikap humanistic ini amat sejalan dengan alam demokrasi yang amat
menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan dan sebagainya.
3.
Konsep
Pendidikan Ibnu Taimiyah
Pemikiran
Ibnu Taimiyah dalam bidang pendidikan dapat dibagi ke dalam pemikirannya
dalam bidang konsep belajar, metodologi
pendidikan, hubungan antara manusia dan pendidikan. Seluruh pemikirannya dalam
bidang bidang pendidikan itu ia bangun berdasarkan keterangan yang jelas
sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah melalui pemahaman yang
mendalam, jernih dan energik. Pemikirannya dalam bidang pendidikan itu
merupakan respon terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat Islam pada
saat itu yang menuntut pemecahan yang secara strategis melalui jalur
pendidikan. Semuanya itu secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut :
·
Konsep
Belajar
Konsep
belajar terbagi dalam dua teori, yaitu teori
malakah dan teori tadarruj.[8][8] Konsep
belajar menurut teori malakah adalah upaya untuk memperoleh malakah itu
sendiri, yakni penyerapan yang betul-betul mengakar dalam jiwa. Malakah dimiliki
oleh orang-orang yang sungguh-sungguh mendalami suatu ilmu atau keterampilan
tertentu. Malakh dibedakan dengan pemahaman (al-fahm) dan hafalan (
al-muhafah). Pemahaman dan hafalan adalah suatu hal yang mungkin sama baiknya
dengan orang awam dan para pelajar yang sungguh-sungguh mendalami satu waktu.
Akan tetapi, malakah adalah ekslusif bagi orang yang mendalami secara
sungguh-sungguh saja dan cenderung bersifat kognitif. Adapun teori tadarruj
menyatakan bahwa belajar yang efektif adalah belajar yang sesuai dengan
kebertahapan dengan kerja akal, yakni bertahap, sedikit demi sedikit dan
berkesinambungan.
·
Metodologi
Pendidikan
Sesuai
dengan teori belajar malakah dan tadarruj, Ibnu Taimiyyah menampilkan metode
belajar melalui tiga langkah, yaitu pendahuluan, pengembangan dan penuntasan.ia
menambahkan bahwa pandangan tentang metode belajar didasarkan pada asumsi
kesanggupan manusia dalam memahami dan menguasai sesuatu hanyalah dengan
berjalan sedikit demi sedikit. Ini didasarka pada prinsip Al-Qur’an dalam surat
Al-Baqaroh ayat 286 yang menyatakan, “Allah
tidak membebani seseorang, sesuai dengan kesanggupannya.” Oleh karena itu,
ia menganjurkan para pendidik untuk mengembangkan lebih jauh sesuai dengan
bahan dan kesanggupan jiwa subjek atau anak didik, dan metode ini juga harus
disempurnakan atau dilengkapi dengan memberi contoh-contoh konkret dan alat
peraga. Sementara itu, evaluasi dalam teori belajar mengajar, hanya menunjukka
penilaian sejauh mana setiap proses belajar telah mencapai malakah. Untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang malakah yang dicapai subjek
didik,evaluasi dilakukan pada setiap tahap belajar.
Beberapa
prinsip metodologis yang dapat dirangkum melalui pandangan Ibnu Taimiyyah
adalah sebagai berikut :
a.
Hendaknya
tidak menyajikan pelajaran yang sulit kepada anak didik yang baru belajar. Anak
didik harus diberi persiapan secara bertahap menuju kesempurnaan.
b.
Agar anak
didik diajarkan masalah-masalah yang sederhana, yang dapat ditangkap oleh akal
pikirannya, baru kemudian secara bertahap dibawa ke hal-hal yang lebih sukar
dengan mempergunakan contoh-contoh yang baik, alat peraga atau alat tertentu.
c.
Jangan
memberikan ilmu yang melebihi akal pikiran anak didik karena hal itu dapat
menyebabkan anak didik menjauhi ilmu dan membuatnya malas mempelajarinya.[9][9]
Penjabaran
ilmu ke dalam kurikulum harus mengacu pada wawasan teosentrik, ilmu-ilmu tidak
bebas nilai, kesatuan iman, ilmu dan amal, dengam mempertimbangkan
prinsip-prinsip integritas, interval, orientasi pada tujuan, kontinuitas,
sinkronisasi, relevansi, dan efektivitas.
·
Hubungan
Manusia dan Pendidikan
Pendidikan sebagai suatu yang alami bagi
manusia dan Al-Qur’an sebagai dasar rujukan serta kajian dalam pendidikan dan
pengajaran. Keduanya merupakan fondasi bagi semua keahlian yang diperoleh
kemudian. Aspek-aspek pendidikan menurut Ibnu Taimiyyah adalah : Pertama,
dilihat dari ruang lingkup belajar tujuan pendidikan yang harus dirumuskan
dalam tiga matra capaian, yaitu kognitif (penguasaan ilmu), afektif (penguasaan
sikap-sikap tertentu), matra psikomotorik (penguasaan aspek-aspek tertentu).
Kedua,dilihat dari segi pola mengajar. Tiga tahap atau matra tujuan itu harus
dirmuskan untuk setiap tahap yang berlangsung, dan masing-masing tahap diharapkan
mencapai sasaran tertentu. Pendidik sering disebut juga dengan pengajar atau
guru. Di dalam bahasan ini, istilah yang aka digunakan adalah pendidik.
pendidikan dalam konsep Ibnu Taimiyyah adalah sebagai sinaah, yang bertolak
dari gejala pendorong manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan
keterampilan (skill), yakni pikiran yang sangat berhasrat untuk memperoleh ilmu
dan skill itu.
Pendidikan,
menurut Ibnu Taimiyyah adalah mata pencaharian atau industry untuk memperoleh
penghidupan. Dilihat dari ruang lingkup belajar, pendidikan bertujuan dalam hal
penguasaan ilmu,internalisasi sikap-sikap yang baik, dan penguasaan skill
tertentu yang kesemuanya bermuara pada realitas manusia sebagai kholifah di
bumi.
IV.
Kesimpulan
Dari uraian
di atas dijabarkan berbagai macam metode pengajaran, yang meliputi metode
spekulatif dan kontemplatif, metode normative, metode analisis konsep, metode
pendekatan sejarah, metode komprehensif, metode analisis sintetis. Selain itu,
dijelaskan berbagai ragam pemikiran para tokoh mengenai konsep pendidikan Islam
yang meliputi tujuan pendidikan, kurikulum, konsep belajar, konsep guru dan
konsep hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2011,
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000,
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005,
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000,
Sudarsono, Fisafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta,
2007,
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: CV
Pustaka Setia, 2011,
http:// Pemikiran
Filsafat Islam.com
[3][3] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000, hlm. 86