Saturday, 22 October 2016

makalah ragam pemikiran filsafat pendidikan islam para tokoh RAGAM PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM PARA TOKOH


makalah ragam pemikiran filsafat pendidikan islam para tokoh

RAGAM PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM PARA TOKOH


Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen : Anissa Listiana M.Ag












Disusun Oleh :

1.    Khoirun Nisa                                      (111210)
2.    Nurjannah                                           (111208)
3.    Nur hidayah                                        (111230)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2013

I.                   Latar Belakang Masalah
Filsafat adalah suatu aktifitas manusia dalam mempergunakan akal pikirannya sebaik mungkin, untuk mengetahui dan menjawab secara mendalam segala persoalan. Apabila segala persoalan tersebut diorientasikan terbatas untuk memahami bidang pendidikan, lahirlah yang dinamakan sebagai fisafat pendidikan.[1][1]
Filsafat pendidikan bukanlah filsafat umum atau filsafat murni, melainkan merupakan filsafat khusus atau terapan. Apabila dilihat dari karakteristik objeknya, filsafat terbagi dalam dua macam, yaitu filsafat umum atau murni, dan filsafat khusus atau terapan. Berbeda dengan filsafat umum yang objeknya adalah kenyataan keseluruhan segala sesuatu, filsafat khusus mempunyai objek salah satu aspek kehidupan manusia yang penting. Salah satu aspek tersebut adalah bidang pendidikan. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat terapan yang menyelidiki hakikat pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya, serta hakihat pendidikan, yang bersangkut paut dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya.
Berkenaan dengan filsafat pendidikan islam, Fadhil Jamaly merumuskan pengertiannya sebagai pandangan mendasar tentang pendidikan yang bersumber ajaran Islam yang berorientasi pengembangannya didasarkan pada ajaran tersebut. Batasan ini menjelaskan bahwa seluruh kajian tentang pendidikan dalam filsafat pendidikan islam, harus senantiasa bersumber dari ajaran islam, sedangkan orientasi pemikiran dan pengembangannya juga diarahkan untuk tidak menyimpang dari ajaran islam.
Definisi diatas menerangkan bahwa filsafat pendidikan agama islam, selain dipandang sebagai studi filosofis dari sistem dan aliran filsafat islam, juga berusaha mengetahui sampai sejauh mana pengaruh keberadaan pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan umat Islam karena bagaimanapun formulasi pendidikan islam, pada akhirnya diharapkan dapat memberikan implikasi positif terhadap pemecahan problematika umat islam.

II.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dalam makalah ini pemakalah akan berusaha menguraikan dan menjelaskan tentang :
a)      Apa saja metode yang dapat digunakan dalam filsafat pendidikan Islam ?
b)      Bagaimana pemikiran para tokoh mengenai konsep dan metode pengajaran dalam pendidikan Islam ?

III.   Pembahasan
a)      Metode dalam filsafat pendidikan islam
Keberhasilan filsafat dalam menyelesaikan berbagai problematika yang dihadapinya, tentunya tidak terlepas dari metode yang digunakannya. Metode, secara harfiah berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata depan meta dan kata benda hodos. Kata meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sedangka kata hodos berarti cara, jalan dan arah.[2][2]
Menurut istilah, metode adalah cara berpikir menurut system tertentu. Runesa menjelaskan, metode adalah prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. Dari dua pendapat diatas, disimpulkan bahwa metode adalah suatu cara atau prosedur yang digunakan dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang optimal.
Metode senantiasa inhern dengan ilmu pengetahuan, karena metode berfungsi sebagai cara yang dipakai untuk menelaah dan memecahkan persoalan dalam ilmu pengetahuan tersebut.
Secara operasional, metode yang dapat dipergunakan dalam filsafat pendidikan Islam diantaranya adalahsebagai berikut :
1)      Metode spekulatif dan kontemplatif, yang merupakan metode dalam setiap cabang filsafat. Sering disebut dengan metode tafakur, yang berarti berpikir secara mendalam untuk mendapatkan kebenaran hakiki dari objek yang sedang dipikirkan.
2)      Metode normatif, yaitu metode yang dipakai untuk mencari dan menetapkan aturan dalam kehidupan yang nyata. Dalam filsafat Islam sering disebut dengan istilah pendekatan syari’ah, yaitu mencari ketentuan dan menetapkan ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh menurut syari’at islam.
3)      Analisi konsep, yaitu disebut juga analisis bahasa, yaitu menganalisis kata yang dianggap kunci pokok, dan mewakili gagasan atau konsep, untuk mengetahui arti yang sesungguhnya dari kata tersebut.
4)      Pendekatan sejarah, yaitu mengambil pelajaran dari peristiwa dan kejadian masa lalu karena peristiwa tersebut berguna memberikan petunjuk dalam membina masa depan. Dalam filsafat islam, penggunaan sunnah dan siroh nabi sebagai sumber, pada hakikatnya merupakan contoh factual penggunaan analisis sejarah ini.
5)      Pendekatan komprehensif atau terpadu antara sumber naqli, aqli dan ima, sebagaimana yang dikembangkan oleh Al-Ghozali untuk mencapai kebenaran yang sungguh-sungguh. Pendekatan ini selain mempergunakan pola verpikir empiris, juga menggunakan pendekatan intuitif.
6)      Metode analisis sintetis, yaitu suatu metode yang didasarkan pada pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran, baik secara induktif maupun deduktif.
Metode-metode di atas merupakan metode yang telah lama dipergunakan dalam khazanah filsafat pendidikan islam., tetapi tidak menutup kemungkinan munculnya metode yang lain dan baru, yang lebih spesifik dan akurat dalam memecahkan persoalan yang dihadapi oleh pendidikan islam.
Filsafat pendidikan Islam yang secara structural merupakan bagian dari filsafat islam, dan secara fungsional tidak terlepas dari pendidikan islam, mempunyai peran dan tujuan tertentu yang terkait dengan Islam sebagai system agama yang universal. Secara tegas dikatakan bahwa manusia dituntut untuk selalu beribadah kepada Allah SWT. Dalam arti yang seluas-luasnya maka filsafat pendidikan islam, filsafat islam, dan pendidikan islam, pada dasarnya diarahkan pada pencapaian semua itu.
b)     Pemikiran Para Tokoh Mengenai Konsep Pendidikan Islam
1.      Konsep Pendidikan Al-Ghozali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghozali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid.
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat  atau  pemikiran yang  mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami secara benar filsafat yag mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan.[3][3]
Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghozali dapat diketahui dengan  jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insane yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. Kedua, kesempurnaan insane yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Selain membahas tentang tujuan, Al-Ghozali juga mengemukakan tentang  konsep kurikulum yang terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan, dalam  pandangan Al-Ghozali ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi tiga rumpun yakni :
ü   Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak
ü   Ilmu pengetahuan yag terpuji, baik sedikit maupun banyak, tapi kalau banyak aka lebih baik
ü   Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghozali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, ia mementingkan sisi yang factual dalam kehidupan, yaitu sisi yang tidak harus tetap ada. Selain itu Al-Ghozali juga menekankan sisi budaya. Ia jelaskan kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Menurutnya ilmu itu wajib dituntut bukan karena keuntungan di luar hakikatnya, tapi karena hakikatnya sendiri. Sebaliknya, Al-Ghozali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifat kepribadiannya yang dikuasai yaitu tasawuf dan zuhud.
Kurikulum yang diajukan Al-Ghozali ini mendorong kita untuk mengaitkan pada kurikulum yang disusun oleh Herbert Spencer, seorang filosuf berkebangsaan inggris yang muncul pada penghujung abad ke XIX. Dalam sejarah pemikiran tercatat, bahwa spencer termasuk filosuf dan pendidik awal yang berpikir langsung untuk menyusun kurikulumpelajaran yang berdasarkan pada prinsip-prinsip tertentuserta sejalan dengan tujuan pendidikan yang telah digariskannya yang sejalan dengan fisafatnya.
Perhatian Al-Ghozali juga tertuju pada metode pengajaran yang lebih ditujukan pada pengajaran agama untuk anak-anak. Adapun dalam hal yang berkaitan dengan metode mengajar secara umum hanya dikemukakan prinsip-prinsip tertentu dalam langkah-langkah khusus yang seyogianya diikuti oleh seorang guru dalam menunaikan tugas mengajar.
Pada dasarnya, Al-Ghozali yang hidup pada masa  Sembilan abad yang lalu, banyak menemukan dasar-dasar pemikiran tentang pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya berikut :
Seorang guru yang diberi tugas mengajar suatu ilmu tertentu hendaknya memberika kelonggaran seluas-luasnya kepada murid untuk mempelajari pelajaran yang lain. Jika diberi tugas mengajar beberapa ilmu (mata pelajaran), hendaklah memelihara kemajuan murid dari satu tingkat ke tingkat yang lainnya.”[4][4]
Dengan demikian, metode mengajar Al-Ghozali tidak mengikuti aliran tertentu, tetapi berupa satu model yang diperoleh dari hasil pemikiran berdasarkan ajaran islam.       
2.      Konsep Pendidikan Ibnu Sina
Pemikiran Ibnu Sina dalam pendidikan antara lain berkenaan dengan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, guru dan pelaksanaan hukuman dalam pendidikan.
·      Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahluian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan dan kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.[5][5] Selain itu Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya, sehingga akan muncul tenaga-tenaga yang professional yag mampu mengerjakan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil (Manusia Yang Sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh, sebagaimana dikemukakan pada bagia diatas. Ibnu Sina juga ingin agar tujuan pendidikan universal itu diarahkan kepada terbentuknya manusia yang sempurna itu.
Rumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tampak mencerminkan sikapnya yang selain sebagai seorang pemikir, juga sebagai pekerja dan praktisi, dan hal itu memang terdapat dalam dirinya sebagaimana dikemukakan diatas. Melalui tujuan pendidikan yang dirumuskannya, ia tampak menghendaki agar orang lain meniru dirinya.[6][6]
·      Kurikulum
Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk anak usia 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara dan kesenian.
Selanjutnya kurikulum untuk anak usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajarn membaca dan menghafal Al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir, dan pelajaran olahraga.
Sedangkan kurikulum untuk anak usia 14 tahun keatas. Pandangan Ibnu Sina terhadap mata pelajaran yang harus diberikan kepada anak usia 14 tahun keatas berbeda dengan mata pelajaran yag harus diberikan kepada anak usia sebelum 14 tahun sebagaimana telah disebutkan diatas. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak usia 14 tahun keatas, amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak.[7][7] Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan denga kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilihkan jenis pelajaran yang berkaitan denga keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh anak didiknya.
·       Metode Pengajaran
Konsep metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran, Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologisnya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan salah satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak ak kehilangan daya relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang dan penugasan.
Dari beberapa metode diatas, hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan denga tuntutan zaman, bahkan melampauinya.
·       Konsep Guru
Konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni.
Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu, Ibnu Sina selain menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan aklak ia akan dapat membina mental dan akhlak anak.
Guru seperti itu, tampaknya diangkat dari sifat dan kepribadian yang terdapat pada diri Ibnu Sina sendiri, yang selain memiliki kompetensi akhlak yag baik, juga memiliki kecerdasan dan keluasan ilmu.
·       Konsep Hukuman dalam Pelaksanaanya
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukuman dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat mebatasi pelaksanaan hukuman.
Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam  keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh dilakukan. Sikap humanistic ini amat sejalan dengan alam demokrasi yang amat menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan dan sebagainya.
3.    Konsep Pendidikan Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah dalam bidang pendidikan dapat dibagi ke dalam pemikirannya dalam  bidang konsep belajar, metodologi pendidikan, hubungan antara manusia dan pendidikan. Seluruh pemikirannya dalam bidang bidang pendidikan itu ia bangun berdasarkan keterangan yang jelas sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah melalui pemahaman yang mendalam, jernih dan energik. Pemikirannya dalam bidang pendidikan itu merupakan respon terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat Islam pada saat itu yang menuntut pemecahan yang secara strategis melalui jalur pendidikan. Semuanya itu secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut :
·       Konsep Belajar
Konsep belajar terbagi dalam dua teori, yaitu teori malakah dan teori tadarruj.[8][8] Konsep belajar menurut teori malakah adalah upaya untuk memperoleh malakah itu sendiri, yakni penyerapan yang betul-betul mengakar dalam jiwa. Malakah dimiliki oleh orang-orang yang sungguh-sungguh mendalami suatu ilmu atau keterampilan tertentu. Malakh dibedakan dengan pemahaman (al-fahm) dan hafalan ( al-muhafah). Pemahaman dan hafalan adalah suatu hal yang mungkin sama baiknya dengan orang awam dan para pelajar yang sungguh-sungguh mendalami satu waktu. Akan tetapi, malakah adalah ekslusif bagi orang yang mendalami secara sungguh-sungguh saja dan cenderung bersifat kognitif. Adapun teori tadarruj menyatakan bahwa belajar yang efektif adalah belajar yang sesuai dengan kebertahapan dengan kerja akal, yakni bertahap, sedikit demi sedikit dan berkesinambungan.
·       Metodologi Pendidikan
Sesuai dengan teori belajar malakah dan tadarruj, Ibnu Taimiyyah menampilkan metode belajar melalui tiga langkah, yaitu pendahuluan, pengembangan dan penuntasan.ia menambahkan bahwa pandangan tentang metode belajar didasarkan pada asumsi kesanggupan manusia dalam memahami dan menguasai sesuatu hanyalah dengan berjalan sedikit demi sedikit. Ini didasarka pada prinsip Al-Qur’an dalam surat Al-Baqaroh ayat 286 yang menyatakan, “Allah tidak membebani seseorang, sesuai dengan kesanggupannya.” Oleh karena itu, ia menganjurkan para pendidik untuk mengembangkan lebih jauh sesuai dengan bahan dan kesanggupan jiwa subjek atau anak didik, dan metode ini juga harus disempurnakan atau dilengkapi dengan memberi contoh-contoh konkret dan alat peraga. Sementara itu, evaluasi dalam teori belajar mengajar, hanya menunjukka penilaian sejauh mana setiap proses belajar telah mencapai malakah. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang malakah yang dicapai subjek didik,evaluasi dilakukan pada setiap tahap belajar.
Beberapa prinsip metodologis yang dapat dirangkum melalui pandangan Ibnu Taimiyyah adalah sebagai berikut :
a.       Hendaknya tidak menyajikan pelajaran yang sulit kepada anak didik yang baru belajar. Anak didik harus diberi persiapan secara bertahap menuju kesempurnaan.
b.      Agar anak didik diajarkan masalah-masalah yang sederhana, yang dapat ditangkap oleh akal pikirannya, baru kemudian secara bertahap dibawa ke hal-hal yang lebih sukar dengan mempergunakan contoh-contoh yang baik, alat peraga atau alat tertentu.
c.       Jangan memberikan ilmu yang melebihi akal pikiran anak didik karena hal itu dapat menyebabkan anak didik menjauhi ilmu dan membuatnya malas mempelajarinya.[9][9]
Penjabaran ilmu ke dalam kurikulum harus mengacu pada wawasan teosentrik, ilmu-ilmu tidak bebas nilai, kesatuan iman, ilmu dan amal, dengam mempertimbangkan prinsip-prinsip integritas, interval, orientasi pada tujuan, kontinuitas, sinkronisasi, relevansi, dan efektivitas.
·       Hubungan Manusia dan Pendidikan
 Pendidikan sebagai suatu yang alami bagi manusia dan Al-Qur’an sebagai dasar rujukan serta kajian dalam pendidikan dan pengajaran. Keduanya merupakan fondasi bagi semua keahlian yang diperoleh kemudian. Aspek-aspek pendidikan menurut Ibnu Taimiyyah adalah : Pertama, dilihat dari ruang lingkup belajar tujuan pendidikan yang harus dirumuskan dalam tiga matra capaian, yaitu kognitif (penguasaan ilmu), afektif (penguasaan sikap-sikap tertentu), matra psikomotorik (penguasaan aspek-aspek tertentu). Kedua,dilihat dari segi pola mengajar. Tiga tahap atau matra tujuan itu harus dirmuskan untuk setiap tahap yang berlangsung, dan masing-masing tahap diharapkan mencapai sasaran tertentu. Pendidik sering disebut juga dengan pengajar atau guru. Di dalam bahasan ini, istilah yang aka digunakan adalah pendidik. pendidikan dalam konsep Ibnu Taimiyyah adalah sebagai sinaah, yang bertolak dari gejala pendorong manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan (skill), yakni pikiran yang sangat berhasrat untuk memperoleh ilmu dan skill itu.
Pendidikan, menurut Ibnu Taimiyyah adalah mata pencaharian atau industry untuk memperoleh penghidupan. Dilihat dari ruang lingkup belajar, pendidikan bertujuan dalam hal penguasaan ilmu,internalisasi sikap-sikap yang baik, dan penguasaan skill tertentu yang kesemuanya bermuara pada realitas manusia sebagai kholifah di bumi.
IV.   Kesimpulan
Dari uraian di atas dijabarkan berbagai macam metode pengajaran, yang meliputi metode spekulatif dan kontemplatif, metode normative, metode analisis konsep, metode pendekatan sejarah, metode komprehensif, metode analisis sintetis. Selain itu, dijelaskan berbagai ragam pemikiran para tokoh mengenai konsep pendidikan Islam yang meliputi tujuan pendidikan, kurikulum, konsep belajar, konsep guru dan konsep hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: CV.Pustaka Setia, 2011,
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000,
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005,
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000,
Sudarsono, Fisafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007,
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011,
http:// Pemikiran Filsafat Islam.com 






[1][1] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: CV.Pustaka Setia, 2011, hlm. 33
[2][2] Ibid. hlm 36
[3][3] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 86
[4][4] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hlm.98
[5][5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm.67
[6][6] Sudarsono, Fisafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007, hlm. 40
[7][7] Op. Cit hlm 71
[8][8] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011, hlm. 296
[9][9] Ibid