BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ditinjau dari segi jumlah perawi yang meriwayatkan maka hadits terbagi dalam dua bagian, yaitu ;
1. Hadits Mutawatir.
2. Hadits Ahad.
1. Hadits Mutawatir.
2. Hadits Ahad.
Disini akan dibahas tentang kedua bagian hadits tersebut, untuk lebih mudahnya pemahaman tentang keduanya, maka terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat dua istilah dalam ulum al-hadits, yaitu tentang istilah perawi dan sanad.
• Perawi adalah orang orang yang meriwayatkan hadits, mulai dari perawi pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
• Sanad adalah rangkaian mata rantai perawi yang meriwatkan hadits.
• Perawi adalah orang orang yang meriwayatkan hadits, mulai dari perawi pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
• Sanad adalah rangkaian mata rantai perawi yang meriwatkan hadits.
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, yang berupa aqwal, af’al dan taqrir nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan pertama kali melalui penuturan para shahabat yang mendengar atau menyaksikan secara langsung peristiwa yang dilakukan nabi, kepada para shahabat yang tidak menyaksikan langsung dari nabi, atau kepada para tabi’in. Para sahabat yang mendengar atau menyaksikan langsung peristiwa yang dilakukan nabi, disebut perawi pertama, dari perawi pertama ini hadits nabi tersebar melalui perawi kedua, ketiga dan seterusnya. Rangkaian mata rantai perawi, dari perawi pertama, kedua, ketiga dan seterusnya disebut sanad.
B. Rumusan Masalah
1. Apa klasifikasi hadits mutawatir yang di bagi para ulama ?
2. Ada berapa klasifikasi hadits ahad ? sebutkan !
C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui klasifikasi hadits mutawatir yang di bagi para ulama
2. Untuk mengetahui klasifikasi hadits ahad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Terminologi Hadits Mutawatir dan hadits ahad
1. Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Adapun hadis mutawatir menurut istilah ulama hadis, yang artinya adalah ; “khabar yang didasarkan pada panca indra yang di kabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta”
Mutawatir, menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari At-tawatur artinya At-tatabu’(berturut-turut).
· Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Syarat hadits mutawatir ini adalah :
1. Pewartaan yang di sampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
2. Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. Dengan demikian, jumlahnya adalah relative, tidak ada batas tertentu. Menurut Abu Ath-Thayib, jumlah perawinya empat orang, Ashhab Asy-syafi’I menyatakan lima orang, dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluh atau empat puluh orang.
3. Adanya keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqahpertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya.
· Klasifikasi Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi tiga, yaitu mutawatir lafdzi, mutawatir maknawi, dan mutawatir amali.
Ø Hadits Mutawatir Lafzhi
Hadits mutawatir lafzhi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya, yakni Contoh hadits mutawatir lafzhiadalah, yang Artinya : “barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka” (H.R. Bukhari).
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadis, yaitu Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darimi, Abu Dawud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.
Ø Hadits Mutawatir Ma’nawi
Hadits Mutawatir Ma’nawi adalah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis, “Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum”.
Contoh hadis Mutawatir Ma’nawi, yang artinya ; “Nabi SAW. Tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam sholat istiqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya”. (H.R. Bukhari).
Hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut banyak sekali lebih dari 100 hadis.
Ø Hadits Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah, “Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat islam bahwa Nabi SAW. mengerjakannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah di sepakati”.
Contoh hadis mutawatir amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat janazah, shalat ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan.
· Kitab-kitab Tentang Hadits-hadits Mutawatir
Sebagian ulama telah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Di antara kitab-kitab tersebut adalah :
1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
2. Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi , ringkasan dari kitab di atas.
3. Al-La’ali Al-Mutanatsirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Adillah Muhammad bin thulun Ad-Dimasyqi.
4. Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
2. Hadis Ahad
Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir , tidak memenuhi syarat mutawatir , dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Kata ahad sendiri merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kata ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ;
“hadis yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadis mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang tidak memberi pengertian bahwa hadis itu dengan bilangan tersebut masuk kedalam hadis mutawatir”.
· Klasifikasi Hadis Ahad
Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah , mungkin satu orang, dua orang atau malah lebih banyak , namun tidak sampai pada tingkat mutawatir.
Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad ini dapat di bagi dalam tiga macam, yaitu masyhur, aziz, dan gharib.
Ø Hadis Masyhur
a. Pengertian Hadis Masyhur
Menurut bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang yang sudah tersebar , sudah popular. Adapun menurut istilah, hadis masyhur adalah;
“hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih-pada setiap thabaqah-tidak mencapai derajat mutawatir”.
“hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih-pada setiap thabaqah-tidak mencapai derajat mutawatir”.
b. Klasifikasi Hadis masyhur
Istilah ‘masyhur’ yang diterapkan pada suatu hadis kadang-kadang bukan untuk memberikan sifat-sifat hadis menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadis, tetapi di terapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadis yang mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu atau kalangan masyarakat ramai. Dari segi ini, hadis masyhur terbagi kepada :
1) Masyhur dikalangan para muhaditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum), seperti hadis berikut ;
“seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya”.
“seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya”.
2) Masyhur dikalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur dikalangan ahli hadis saja, ahli fiqh saja, ahli tasawuf saja, dan sebagainya.
Contoh hadis yang termasyur dikalangan ulama fiqh adalah ;
“Tidaklah sah shalat bagi orang yang berdekatan dengan masjid, selain shalat di dalam masjid”.
3) Masyhur dikalangan masyarakat umum, seperti hadis berikut ;
“Bagi si peminta-minta ada hak, walaupun datang dengan kuda”
(H.R Ahmad dan An-Nasa’i)
(H.R Ahmad dan An-Nasa’i)
c. Kitab-kitab yang berisi tentang kumpulan hadis masyhur, antara lain Al-Maqasid Al-Hasanah fi ma isytahara ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi, kasyf Al-Khafa’ wa Muzill Al-Ilbas fi Ma Isytahara min Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadits, karya ibnu Daiba’ As-Syaibani.
Ø Hadis Aziz
Aziz menurut bahasa adalah Asy-Safief (yang mulia) An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa alaih (yang sukar diperoleh), dan Al-Qawiyu (yang kuat).
Adapun menurut istilah adalah sebagai berikut; “Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang , walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya”.
Ø Hadis Gharib
a. Pengertian Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa adalah (1) ba’idun ‘anil wathani (yang jauh dari tanah), dan (2) kalimat yang sukar dipahamai. Adapun menurut istilah; “Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi”.
Dalam pengertian lain hadis gharib adalah; “Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendiriannya itu terjadi”.
b. Klasifikasi hadis gharib
1. Gharib Muthlaq
Gharib muthlaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu. penyendiri rawi hadis gharib muthlaq itu berpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni tabiin bukan sahabat.
2. Gharib Nisby
Gharib Nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain :
· Sifat keadilan dan ke-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi.
· Kota atau tempat tinggal tertentu.
· Meriwayatkannya dari orang tertentu.
c. Cara untuk menetapkan ke-gharib-an hadis.
Untuk menetapkan suatu hadis itu gharib, hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab fami’ dan kitab Musnad, apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid.
Adapun menurut istilah, ilmu hadis mutabi’ adalah ; “Hadis yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya (yang terdekat), atau gurunya guru (yang terdekat itu)”.
v Mutabi’ ada dua macam, yaitu sebagai berikut ;
1. Mutabi’ tam, yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
2. Mutabi’ qashir , yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’)yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sekali.
Adapun syahid adalah ; “Meriwayatkan sebuah hadis lain sesuai dengan maknanya.”
v Hadis syahid ada dua macam, yaitu:
a. Syahid bi Al-Lafzhi, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan hadis fard-nya.
b. Syahid bi Al-Ma’na, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain itu, hanya sesuai dengan maknanya.
B. Argumentasi Kehujjahan Hadis Ahad
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang kedudukan hadis ahad. Pendapat tersebut antara lain :
1. Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani , sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2. Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3. Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4. Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak digunakan dalam urusan aqa’id(akidah).
5. Imam syafi’I berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum Al-Quran.
6. Ahlu Zhahir (pengikut Daud Ibnu Ali Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadis ahad.
Hadits Ahad menurut para ahli hadits dan mayoritas ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu.
Namun, Ada golongan atau orang yang berkeyakinan bahwa Hadits Ahad bukan hujjah (argumentasi) dalam hal 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahad itu bukan sumber yang pasti, Dan menganggap tidak dapat memberikan khobar pasti yang bersifat keilmuan dan yaqin. Keyakinan seperti ini merupakan pendapat yang sangat salah dan bathil.
Namun, Ada golongan atau orang yang berkeyakinan bahwa Hadits Ahad bukan hujjah (argumentasi) dalam hal 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahad itu bukan sumber yang pasti, Dan menganggap tidak dapat memberikan khobar pasti yang bersifat keilmuan dan yaqin. Keyakinan seperti ini merupakan pendapat yang sangat salah dan bathil.
Berikut ini penjelasan tentang berahujjah atau berargumentasi dengan Hadits Ahad. Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat;
1. Hadits Ahad dapat memberikan informasi atau kabar yang pasti bersifat ilmu dan yaqin secara mutlak.
Pendapat tersebut jelas-jelas tidak benar dan tidak masuk akal. Sebab bagaimana mungkin kita bisa membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita yang didengarnya. Padahal kita tahu, bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong, dan suka lalaii dalam meriwayatkan hadits.
2. Hadits Ahad tidak dapat memberikan informasi yang pasti atau tidak bersifat ilmu dan yaqin secara total.
3. Hadits Ahad memberikan informasi yang pasti (bersifat ilmu dan yaqin) secara bersyarat.
Inilah pendapat yang benar. Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan dalil-dalil penguat. Dalil penguat itu bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri, bisa juga terkait dengan pembawa berita dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya yakni khabar dan pembawa khabar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi, aziz .
B. Saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian hadits itu sendiri, supaya timbul ke inginan kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bisa membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
DAFTAR PUSTAKA
1997. membahas ilmu –ilmu hadits. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Wijaya, utang ranu. 1998. Ilmu hadits. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Yaqub, Ali Mustafa. 2004. Kritik Hadits. Jakarta : Pustaka Firdaus.