Wednesday 30 November 2016

PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN (ABDUH, AHMAD KHAN, DAN IQBAL)


<![endif]-->

PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN

(ABDUH, AHMAD KHAN, DAN IQBAL)
                                                  MAKALAH                                                 
Tugas ini di ajukan untuk memenuhi mata kuliah ilmu tauhid yang
Di ampuh oleh:
Bapak Ainul Yaqin.M.A
Di susun oleh:
Lailiatul Mutimmah
A.    Walid







PROGRAM STUDY PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016

 


Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Bismillahirrahmanirrahim
            Tidak ada ungkapan kata yang paling baik dan berkah bagi kehidupan ini, kecuali memanjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan karunia, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang  berjudul Pemikiran Kalam Ulama Modern (Abduh, Ahmad Khan, Dan Iqbal) dengan baik. Hal ini semata-mata ikhlas lillahi ta’ala dalam rangka menuntut ilmu dan memenuhi tugas Mata kuliah ilmu tauhid.
            Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan keharibaan junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Yang mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya Islam dan Iman.
            Selanjutnya kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga sangat mengharap saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
            Akhirnya kami berdo’a semoga makalah ini akan membawa manfaat kepada penulis dan pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb









DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................   i
DAFTAR ISI....................................................................................................................   ii
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................................   1
A.    Latar Belakang.......................................................................................................   1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................................   1
C.     Tujuan Masalah......................................................................................................   1                           
BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................................   2
A.    Syekh Muhammad Abduh (1894-1905)................................................................   2
B.     Sayyid Ahmad Khan (1817-1898).........................................................................   7
C.     Muhammad Iqbal (1876-1938)..............................................................................   9
BAB III : PENUTUP.....................................................................................................   14
A.    Kesimpulan..........................................................................................................   14
B.     Saran....................................................................................................................   14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................   15

 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
     Ilmu kalam termasuk kajian yang poko dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama).  Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam dirasat islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu “mendominasi” arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fiqh, usul fiqh, filsafah (islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadits, teori dan praktik dakwah dan pendidikan islam.
     Sering kali dijumpai bahwa umat islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami kesulitan keagamaan  untuk tidak mengatakan tidak siap ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodelogi yang banyak menjelaskan bagaimana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa saja totkoh pemikir kalam ulama modern?
2.      Bagaimanakah pemikiran-pemikiran para tokoh ilmu kalam modern?
C.    Tujuan Masalah
1.      Agar mengetahui siapa saja tokoh pemikir kalam ualam modern
2.      Agar mengetahui pemikiran-pemikiran para tokoh ilmu kalam modern











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Syekh Muhammad Abduh (1894-1905)
1.      Riwayat Hidup Singkat Muhammad Abduh
     Syekh Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin ‘Abduh bin Hasan Khairullah, dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah,mesir, pada tahun 1849 M. Ia berasal dari keturunan yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Walaupun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Kekerasan yang diterapkan penguasa-penguasa Muhammad ‘Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk pindah-pindah tempat untuk menghindarinya. Abduh dilahirkan dalam kondisi yang penuh kecemasan ini.[1]
     Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Tanta tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Akan tetapi, sistem pengajaran di sana sangat menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun di sana, ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani, seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa, ia dinikahkan. Saat itu, ia berumur 16 tahun. Semula ia bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi akhirnya kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya, Abduh berkata,”... Ia telah membebaskanku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan ...”
     Setelah merampungkan studinya di bawah bimbingan pamanya, Abduh melanjutkan study di Al-Azhar pada bulan februari 1866. Pada tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) tiba di mesir. Saat itu, Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar. Kehadirannya di sambut Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya. Untuk selanjutnya, ia menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Lalu Al-Afghani yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang sosial dan politik. Artikel-artikel pembaruannya banyak di muat di surat kabar Al-Ahram di kairo.[2]
     Setelah menyelesaikan studynya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar “Alim”, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, kemudian di Dar Al-Ulum dan di rumahnya. Pada saat Al-Afghani di usir dari mesir pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan penentangan terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga dipandang ikut campur di dalamnya. Oleh karena itu ia dibuang ke luar kota Kairo. Pada tahun 1880 ia diperbolehkan kembali ke ibu kota kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir, Al-Waqa’i Al-Mishriyyah. Pada waktu bersamaan, kesadaran nasional Mesir mulai tampak. Di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping berita-berita resmi.
     Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut, sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat untuk pegasingannya. Ia pun memilih Suriah. Di suriah, ia menetap selama satu tahun. Kemudian, ia menyusul gurunya, Al-Afghani, yang ketika ia berada di paris. Di sana, mereka menerbitkan surat kabar Al-‘Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam serta menentang penjajah Barat, Khususnya Inggris.tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai ia meninggal dunia tahun 1905.
2.      Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh
a.      Kedudukan akal dan fungsi wahyu
     Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Abduh, sebagaiman diakuinya, yaitu:[3]
1)      Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana hak salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan, yaitu memahami langsung dari sumber pokoknya Al-Qur’an;
2)      Memeperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah ataupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Abduh tampaknya muncul ketika ia meratapi perkembangan umat islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Quthb (I. 1906), kondisi umat islam saat itu dapat digambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus pikirannnya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar pada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya, sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi pada akal daripada mu’tazilah. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
1)      Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
2)      Keberadaan hidupdi akhirat;
3)      Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannnya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan perbuatan jahat;
4)      Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
5)      Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjahui perbuatan jahat untuk kebahagiaannya di akhirat;
6)      Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Dengan memerhatikan perbandinagan Muhamhhad Abduh tentang peranan akal, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Menurutnya, wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaaan kehidupan alam akhirat; mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya; menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya; dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
      Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar islam. Iman seseorang tidak sempurna apabila tidak didasarkan pada akal. Islam menurut agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya, kepercayaan pada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan dengan akal. Apabila ternyata antara keduanya terdapat pertentangan, menurutnya terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaiannya.
b.      Kebebasan manusia dan fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang harus ada dalam diri manusia. Jika sifat dasar ini dihilangkan dari diriya, ia bukan manusia lagi, melainkan makhluk lain. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya dan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.
     Karena manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan, paham perbuatan yang dipaksakan atau manusia atau jabariah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh. Menurutnya, manusia adalah manusia karena ia mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih. Manusia tidak memiliki kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh.
c.       Sifat-sifat Tuhan
        Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain, ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Walaupun demikian, Harun Nasution melihat Abduh cenderung pada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak tegas mengatakannya.
d.      Kehendak mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia yang secara bebas dapat dipergunakannya dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam.
e.       Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar pada akal dan kebebasab manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam bukan hanya dari segi kehendak mutlak Tuhan, melainkan juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satu pun ciptaan Tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Mengenai keadilan Tuhan, ia memandang tidak hanya dari segi kemahasempurna-Nya, tetapi dari juga pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
f.        Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk, dan sebagainya harus dipahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya. Dengan demikian, kata al-arsy dalam Al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan; kata al-kursy berarti pengatahuan.
g.      Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya, apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya pada hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.
h.      Pebuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sepaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang terbaik bagi manusia.

B.     Sayyid Ahmad Khan (1817-1898)
1.      Riwayat Hidup Singkat Sayyid Ahmad Khan
     Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817 dan menurut keterangan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. melalui Fatimah dan Ali. Neneknys Sayyid Hadi adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Ia mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Di samping belajar bahasa Arab, ia juga belajar bahasa persia. Ia orang yang rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Pada waktu berusia delapan belas tahun, ia bekerja di Serikat India Timur. Kemudian, ia bekerja pula sebagai hakim. Pada tahun 1846, ia pulang kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar. [4]
     Di Delhi ia dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuka muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Muhammad khan, dan Nawab Aminuddin. Semasa di Delhi, ia mula mengarang, karangan yang pertama adalah Asar As-Sanadid. Pada tahun 1855, ia pindah ke Bijnore. Di tempat ini ia juga tetap mengarang buku-buku penting islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Pada saat melihat keadaan rakyat Delhi, Sayyid Ahmad Khan sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju mesir, tetapi ia sadar untuk memperjuangkan umat islam India menjadi maju. Ia berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan. Dengan demikian, ia banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan hingga diberi gelar Sir, tetapi ia menolaknya. Usahanya dalam bidang pendidikan untuk bangsa India sangat besar karena pada tahun 1861, ia mendirikan sekolah di Muradabad. Hingga akhir hayatnya, ia mementingkan pendidikan umat islam India. Pada tahun 1878, ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat islam India.


2.      Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
     Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesir setelah berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan sekembalinya dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran islam yang taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia berpendapat bahwa akal bukan segalanya dan kekuatan akal terbatas.[5]
     Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan Khan percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia mempunyai paham yang sama dengan paham Qadariah. Menurutnya, manusia telah dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, di antaranya daya berpikir berupa akal dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kepercayaannya kuatterhadap hukum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hukum alam, ia dianggap kafir oleh sebagian umat islam. Bahkan, ketika datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani (1838/9-1897) menerima keluhan itu. Sebagai tantangan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd’ala Ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap Materialis).
     Sejalan dengan paham Qadariah yang dianutnya, ia menentang keras paham taqlid. Khan berpendapat bahwa umat islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung peradaban islam klasik masih melenakan mereka, sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru telah timbul di Barat. Peradaban baru timbul dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah penyebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang barat.
     Selanjutnya, Khan mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature (sunnatulah) bagi setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah. Menurutnya, islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum alam kaeena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adlah firman-Nya, sudah tentu keduanya sejalan dan tidak ada pertentangan.
     Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, Khan tidak ingin pemikirannya terganggu otoritas hadits dan fiqih. Segala sesuatu diukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya ingin mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting. Alasan penolakannya terhadap hadits karena hadits berisi moralitas sosial dari masyarakat islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadits dikumpulkan. Menurutnya, hukum fiqih berisi moralitas masyarakat sampai saat timbulnya mazhab-mazhab. Ia menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.
     Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.

C.    Muhammad Iqbal (1876-1938)
1.      Riwayat Hidup Singkat Muhammad Iqbal
     Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1876. Ia berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernma Nur Muhammad yang terkenal saleh dalam bergama. Guru pertama Iqbal adalah ayahnya kemudian ia dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an. Setelah itu, ia dimasukkan ke Scottish Mission School.Di bawah bimbingan Mir Hasan, ia diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Salkot, ia pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Govemment College. Di sini, ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat di universitas tersebut.[6]
     Pada tahun 1905 setelah mendapat gelar M.A. di Govemment College, Iqbal pergi ke Inggris untuk belajar filsafat di universitas Cambridge. Dua tahun kemudian, ia pindah ke Munich, Jerman. Di universitas ini, ia memperoleh gelar Ph.D. dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Deveploment ofMetaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).
     Iqbal tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, ia menjadi adyokat di samping sebagai dosen. Buku yang berjudul TheRecontruction of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karya terbesarnya dalam bidang filsafat.
     Pada tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1932, ia ikut dalam konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, ia diundang ke Afganistan untuk mrembicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan ia meninggal pada tanggal 20 April tahun 1935.

2.      Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
     Dibandingkan sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih terkenal sebagai seorang filsuf eksistensialis. Oleh karena itu, kesulitan untuk menemukan pandangan-pandangannya mengenai wacana-wacana kalam klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, dan kewajiban-kewajiban Tuhan. Itu bukan berarti ia tidak sama sekali menyinggung ilmu kalam. Sebagaimana akan terlihat nanti, ia sering menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah islam.
     Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat islam untuk melakukan pembaharuan dalam islam agar dapat keluar dari kemundurannya. Kemunduran umat islam, menurutnya disebabkan kebekuan uamt islam dalam pemikiran dan ditutupnya pintu ijtihad. Mereka, seperti kaum konservatif, menolak kebiasaan berpikir rasional kaum mu’tazilah karena hal tersebut dianggap akan membawa pada disintegrasi umat islam dan membahayakan kestabilan politik mereka. Hal inilah yang dianggapnya sebagai penyimpangan dari semangat islam, semangat dinamis dan kreatif. Islam tidak statis, tetapi dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri dari dinamika yang harus dilambangkan dalam islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk merespon kebutuhan individu dan masyarakat karena islam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.
     Islam dalam pandangan Iqbal menolak kosep lama yang mengatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, menurutnya mempertahankan kosep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kahidupan sosial manusia. Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-Nya harus menciptakan perubahan.
     Besarnya penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini, membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hukum islam. Tujuan diturunkannya Al-Qur’an, menurutnya untuk membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nash-nash Al-Qur’an yang masih global dalam realitas kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oelh Iqbal disebut sebagai prinsip gerak dalam struktur islam.
     Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika islam, dalam rangka membuang kekakuan dan kejumudan hukum islam, ijtihad harus dialihkan mejadi ijtihad kolektif. Menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem hukum islam yang selama ini hilang dari umat islam dan menyerukan kepada kaum muslim agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil rasionalisme tersebut.
a.      Hakikat teologi
     Secara umum, ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Di dalamnya memuat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetia kawanan”, dan “kebebasmerdekaan”. Pandangannya tentang ontologi teologi membuatnya berhasil melihat adanya anomali (penyimpangan) yang melekat dalam literatur ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariah menggunakan cara dan pola berpikir yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal sehingga mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman konkret merupakan kesalahan besar.
b.      Pembuktian Tuhan
     Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, Iqbal menolak argumen kosmologis ataupun ontologis. Ia juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Meskipun demikian, ia menerima landasan teleologis yang imanen (tetap ada). Untuk menopang hal ini, Iqbal menolak pandangan yang statis matter serta menerima pandangan whitehead sebagai “struktur kejadian” dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan iqbal dalam “jangka waktu muni”–nya Bergson, yng tidak terjangkau oleh sereal waktu. Dalam  “jangka waktu murni” ada perubahan, melainkan tidak ada suksesi (penggantian). Kesatuannya serperti kuman yang didalamnya terdapat Pengalaman nenek moyang para individu, bukan sebagai suatau kumpulan, tetapi sebagai suatu kesatuan yang didalamnya setiap pengalaman menyerap keselurahannya. Dari diri individu, “jangka waktu murni” ini kemudian di transfer ke alam semesta dan membenarkan ego mutlak. Gagasan inilah yang “di bicarakan” Iqbal kedalam Al-Qur’an. Jadi, Iqbal telah menafsirkan Tuhan yang imanen bagi alam.
c.       Jati diri manusia
     Paham dinamisme Iqbal berpengaruh benar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat di lihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu di artikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk me ngetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yaitu melemahkan pribadinya, seperti yang di lakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah. Pada hakikatnya, menafikan diri bukan ajaran islam karena hakikat hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat khudi-nya tampak merupakan reaksi terhadap kondisi umat islam ketika itu telah membawa meraka jauh dari tujuan dan maksud islam yang sebenarnya. Dengan ajaran khudi-nya, ia mengemukakan pandangannya yang dinamis tentang kehidupan dunia.
d.      Dosa
     Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang penuh berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitif yang dikuasai hawa nafsu naluriah pada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang “dan” timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih”.”Allah. telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh risiko ini, menunjukkan kepercayaan-Nya yang besar kepada manusia. Sekarang, kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Pengakuan terhadap kemandirian (manusia) melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang timbul dari keterbatasan kemandirian.
e.       Surga dan neraka
     Surga dan neraka, menurut Iqbal merupakan keadaan-keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju pada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam islam. Neraka sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang disediakan Tuhan. Ia merupakan pengalaman korektif yang dapat memperkeras ego agar lebih sensitif terhadap tiupan angin sejuk dari kemahamurahan Allah. Surga juga bukan merupakan tempat berlibur. Kehidupan itu hanya dan berkesinambungan.

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
     Dalam peradaban islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terjadi berbagai macam paham dalam ajaran islam dimana umat islam terpecah-pecah dan pemikir kalam yang bermacam-macam dalam berpaham ajaran agama islam. Diantaranya pemikiran kalam yang terkenal pada masa sekarang adalah :
1.      Syekh Muhammad Abduh
2.      Sayyid Ahmad Khan
3.      Muhammad Iqbal
     Dari ketiga tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajran dimana para ulama tersebut rela berkorban rela menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di dunia islam yang mana umat islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang sudah lalai dengan kenikmatan dunia. Oleh sebab itu ketiga tokoh ulama ini mengajak umat islam untuk kembali pada ajaran islam yang sebenarnya.
B.     Saran
     Penulis berharap agar makalah ini bermanfaat guna menunjang pemahaman terhadap mata kuliah ilmu kalam. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca serta penulis sendiri. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran guna perkembangan ke depan dalam menyusun makalah kembali.













DAFTAR PUSTAKA
Razak, Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2012
Yusuf, Yunan Muhammaad. Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam. Jakarta: Prenadamedia Group, 2014
Ali, Mukhti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Mizan, 1993


[1]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm.252
[2] Ibid.
[3]M. Yunan yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Penadamedia Group, 2014), hlm.196
[4]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm.257
[5] Mukhti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), hlm.65-66
[6]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm.260