PEMIKIRAN KALAM ULAMA
MODERN
(ABDUH, AHMAD KHAN, DAN
IQBAL)
MAKALAH
Tugas
ini di ajukan untuk memenuhi mata kuliah ilmu tauhid yang
Di
ampuh oleh:
Di susun oleh:
Lailiatul Mutimmah
A.
Walid
PROGRAM STUDY
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI ISLAM
NEGERI PAMEKASAN
2016
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Bismillahirrahmanirrahim
Tidak ada ungkapan
kata yang paling baik dan berkah bagi kehidupan ini, kecuali memanjatkan rasa
syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan karunia, taufiq, dan
hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pemikiran Kalam Ulama Modern (Abduh,
Ahmad Khan, Dan Iqbal) dengan baik. Hal ini semata-mata ikhlas lillahi ta’ala
dalam rangka menuntut ilmu dan memenuhi tugas Mata kuliah ilmu tauhid.
Shalawat dan salam
semoga tetap tercurahkan keharibaan junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Yang
mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya Islam dan Iman.
Selanjutnya kami
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
banyak kekurangan, sehingga sangat mengharap saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Akhirnya kami
berdo’a semoga makalah ini akan membawa manfaat kepada penulis dan pembaca pada
umumnya.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A. Latar
Belakang....................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................. 1
C. Tujuan
Masalah...................................................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN............................................................................................... 2
A. Syekh
Muhammad Abduh (1894-1905)................................................................ 2
B. Sayyid
Ahmad Khan (1817-1898)......................................................................... 7
C. Muhammad
Iqbal (1876-1938).............................................................................. 9
BAB III : PENUTUP..................................................................................................... 14
A. Kesimpulan.......................................................................................................... 14
B. Saran.................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 15
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ilmu
kalam termasuk kajian yang poko dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu
ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam
dirasat islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu
“mendominasi” arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman
yang lain, seperti fiqh, usul fiqh, filsafah (islam), ulum al-tafsir, ulum
al-hadits, teori dan praktik dakwah dan pendidikan islam.
Sering
kali dijumpai bahwa umat islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai
kelompok, mengalami kesulitan keagamaan
untuk tidak mengatakan tidak siap ketika harus berhadapan dengan arus
dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak
cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodelogi yang banyak
menjelaskan bagaimana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul,
bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam
praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
B. Rumusan
Masalah
1. Siapa
saja totkoh pemikir kalam ulama modern?
2. Bagaimanakah
pemikiran-pemikiran para tokoh ilmu kalam modern?
C. Tujuan
Masalah
1. Agar
mengetahui siapa saja tokoh pemikir kalam ualam modern
2. Agar
mengetahui pemikiran-pemikiran para tokoh ilmu kalam modern
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syekh
Muhammad Abduh (1894-1905)
1. Riwayat
Hidup Singkat Muhammad Abduh
Syekh
Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin ‘Abduh bin Hasan Khairullah,
dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah,mesir, pada tahun
1849 M. Ia berasal dari keturunan yang tidak tergolong kaya, bukan pula
keturunan bangsawan. Walaupun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat
yang suka memberi pertolongan. Kekerasan yang diterapkan penguasa-penguasa
Muhammad ‘Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk pindah-pindah tempat
untuk menghindarinya. Abduh dilahirkan dalam kondisi yang penuh kecemasan ini.[1]
Mula-mula
Abduh dikirim ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Tanta tempat ini menjadi pusat
kebudayaan selain Al-Azhar. Akan tetapi, sistem pengajaran di sana sangat
menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun di sana, ia memutuskan untuk
kembali ke desanya dan bertani, seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu
kembali ke desa, ia dinikahkan. Saat itu, ia berumur 16 tahun. Semula ia
bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi akhirnya kembali belajar
atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mengaruhi kehidupan Abduh
sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya, Abduh berkata,”...
Ia telah membebaskanku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan
membimbingku menuju ilmu pengetahuan ...”
Setelah
merampungkan studinya di bawah bimbingan pamanya, Abduh melanjutkan study di
Al-Azhar pada bulan februari 1866. Pada tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani
(1839-1897) tiba di mesir. Saat itu, Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar.
Kehadirannya di sambut Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya.
Untuk selanjutnya, ia menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Lalu Al-Afghani yang
mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang sosial dan politik. Artikel-artikel
pembaruannya banyak di muat di surat kabar Al-Ahram di kairo.[2]
Setelah
menyelesaikan studynya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar “Alim”,
Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, kemudian di Dar Al-Ulum dan di rumahnya. Pada
saat Al-Afghani di usir dari mesir pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan
gerakan penentangan terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga dipandang ikut campur
di dalamnya. Oleh karena itu ia dibuang ke luar kota Kairo. Pada tahun 1880 ia
diperbolehkan kembali ke ibu kota kemudian diangkat menjadi redaktur surat
kabar resmi pemerintahan Mesir, Al-Waqa’i Al-Mishriyyah. Pada waktu bersamaan,
kesadaran nasional Mesir mulai tampak. Di bawah pimpinan Abduh, surat kabar
resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas
nasional Mesir, di samping berita-berita resmi.
Setelah
revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh ketika itu masih
memimpin surat kabar Al-Waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut,
sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun
dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat untuk pegasingannya. Ia pun
memilih Suriah. Di suriah, ia menetap selama satu tahun. Kemudian, ia menyusul
gurunya, Al-Afghani, yang ketika ia berada di paris. Di sana, mereka
menerbitkan surat kabar Al-‘Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan
Pan-Islam serta menentang penjajah Barat, Khususnya Inggris.tahun 1885, Abduh
diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh negara
itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi
mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai ia meninggal dunia tahun
1905.
2. Pemikiran-Pemikiran
Kalam Muhammad Abduh
a.
Kedudukan akal dan
fungsi wahyu
Ada
dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Abduh, sebagaiman diakuinya,
yaitu:[3]
1) Membebaskan
akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan
pengetahuan agama sebagaimana hak salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3
Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan, yaitu memahami langsung dari sumber
pokoknya Al-Qur’an;
2) Memeperbaiki
gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor
pemerintah ataupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok yang menjadi fokus
pemikiran Abduh tampaknya muncul ketika ia meratapi perkembangan umat islam
pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Quthb (I. 1906), kondisi umat islam
saat itu dapat digambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup
rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat
Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum karena mereka telah merasa cukup
dengan hasil karya para pendahulunya yang hidup dalam masa kebekuan akal
(jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus pikirannnya itu,
Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar pada akal. Begitu besarnya
peranan yang diberikan olehnya, sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa
Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi pada akal daripada
mu’tazilah. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
1) Tuhan
dan sifat-sifat-Nya;
2) Keberadaan
hidupdi akhirat;
3) Kebahagian
jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan
kesengsaraannnya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan perbuatan jahat;
4) Kewajiban
manusia mengenal Tuhan;
5) Kewajiban
manusia untuk berbuat baik dan menjahui perbuatan jahat untuk kebahagiaannya di
akhirat;
6) Hukum-hukum
mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Dengan memerhatikan perbandinagan
Muhamhhad Abduh tentang peranan akal, dapat diketahui pula bagaimana fungsi
wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia
pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Menurutnya, wahyu
menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaaan kehidupan alam akhirat;
mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya;
menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya; dan
mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian,
wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan
menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar islam.
Iman seseorang tidak sempurna apabila tidak didasarkan pada akal. Islam menurut
agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya,
kepercayaan pada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu yang dibawa Nabi
tidak mungkin bertentangan dengan akal. Apabila ternyata antara keduanya
terdapat pertentangan, menurutnya terdapat penyimpangan dalam tataran
interpretasi sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada
penyesuaiannya.
b.
Kebebasan manusia dan
fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya
pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar
alami yang harus ada dalam diri manusia. Jika sifat dasar ini dihilangkan dari
diriya, ia bukan manusia lagi, melainkan makhluk lain. Manusia dengan akalnya
mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil
keputusan dengan kemauannya dan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada
dalam dirinya.
Karena manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan
dalam kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan, paham perbuatan yang
dipaksakan atau manusia atau jabariah tidak sejalan dengan pandangan hidup
Muhammad Abduh. Menurutnya, manusia adalah manusia karena ia mempunyai
kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih. Manusia tidak memiliki
kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai
kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh.
c.
Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat
Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain,
ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk
mengetahuinya. Walaupun demikian, Harun Nasution melihat Abduh cenderung pada
pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak tegas mengatakannya.
d.
Kehendak mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan
kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah
membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada
manusia yang secara bebas dapat dipergunakannya dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah
yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan
kemauan-Nya telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatullah yang diciptakan-Nya
untuk mengatur alam.
e.
Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar pada akal
dan kebebasab manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan
meninjau alam bukan hanya dari segi kehendak mutlak Tuhan, melainkan juga dari
segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan
untuk kepentingan manusia dan tidak satu pun ciptaan Tuhan yang tidak membawa
manfaat bagi manusia. Mengenai keadilan Tuhan, ia memandang tidak hanya dari
segi kemahasempurna-Nya, tetapi dari juga pemikiran rasional manusia. Sifat
ketidakadilan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak
sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
f.
Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani,
rasio tidak dapat menerima paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.
Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin
esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam
ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk, dan sebagainya harus dipahami sesuai
dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya. Dengan demikian, kata
al-arsy dalam Al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan; kata al-kursy berarti
pengatahuan.
g.
Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak
menjelaskan pendapatnya, apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat
oleh manusia dengan mata kepalanya pada hari perhitungan kelak? Ia hanya
menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada
satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan
tidak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan
melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.
h.
Pebuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan
Tuhan yang wajib, Abduh sepaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib
bagi Tuhan untuk berbuat yang terbaik bagi manusia.
B. Sayyid
Ahmad Khan (1817-1898)
1. Riwayat
Hidup Singkat Sayyid Ahmad Khan
Sayyid
Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817 dan menurut keterangan berasal dari
keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. melalui Fatimah dan Ali. Neneknys
Sayyid Hadi adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Ia
mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Di samping belajar bahasa
Arab, ia juga belajar bahasa persia. Ia orang yang rajin membaca buku dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Pada waktu berusia delapan belas tahun, ia
bekerja di Serikat India Timur. Kemudian, ia bekerja pula sebagai hakim. Pada
tahun 1846, ia pulang kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk
belajar. [4]
Di
Delhi ia dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan islam dan
bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuka muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab
Mustafa Khan, Hakim Muhammad khan, dan Nawab Aminuddin. Semasa di Delhi, ia
mula mengarang, karangan yang pertama adalah Asar As-Sanadid. Pada tahun
1855, ia pindah ke Bijnore. Di tempat ini ia juga tetap mengarang buku-buku
penting islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan
politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India.
Pada saat melihat keadaan rakyat Delhi, Sayyid Ahmad Khan sempat berpikir untuk
meninggalkan India menuju mesir, tetapi ia sadar untuk memperjuangkan umat
islam India menjadi maju. Ia berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan. Dengan
demikian, ia banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan hingga diberi gelar
Sir, tetapi ia menolaknya. Usahanya dalam bidang pendidikan untuk bangsa India
sangat besar karena pada tahun 1861, ia mendirikan sekolah di Muradabad. Hingga
akhir hayatnya, ia mementingkan pendidikan umat islam India. Pada tahun 1878,
ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di
Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk
memajukan umat islam India.
2. Pemikiran
Kalam Sayyid Ahmad Khan
Sayyid
Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesir setelah
berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan sekembalinya dari pengasingan. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal
yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai
penganut ajaran islam yang taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia
berpendapat bahwa akal bukan segalanya dan kekuatan akal terbatas.[5]
Keyakinan
kekuatan dan kebebasan akal menjadikan Khan percaya bahwa manusia bebas untuk
menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia mempunyai
paham yang sama dengan paham Qadariah. Menurutnya, manusia telah dianugerahi
Tuhan berbagai macam daya, di antaranya daya berpikir berupa akal dan daya
fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kepercayaannya kuatterhadap
hukum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hukum alam, ia dianggap kafir
oleh sebagian umat islam. Bahkan, ketika datang ke India pada tahun 1869,
Jamaluddin Al-Afghani (1838/9-1897) menerima keluhan itu. Sebagai tantangan
atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd’ala
Ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap Materialis).
Sejalan
dengan paham Qadariah yang dianutnya, ia menentang keras paham taqlid.
Khan berpendapat bahwa umat islam India mundur karena mereka tidak mengikuti
perkembangan zaman. Gaung peradaban islam klasik masih melenakan mereka,
sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru telah timbul di Barat. Peradaban
baru timbul dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah penyebab
utama bagi kemajuan dan kekuatan orang barat.
Selanjutnya,
Khan mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature
(sunnatulah) bagi setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah.
Menurutnya, islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum alam kaeena
hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adlah firman-Nya, sudah tentu
keduanya sejalan dan tidak ada pertentangan.
Sejalan
dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, Khan tidak ingin
pemikirannya terganggu otoritas hadits dan fiqih. Segala sesuatu diukurnya
dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua yang bertentangan dengan logika
dan hukum alam. Ia hanya ingin mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi islam,
sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting. Alasan
penolakannya terhadap hadits karena hadits berisi moralitas sosial dari
masyarakat islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadits dikumpulkan.
Menurutnya, hukum fiqih berisi moralitas masyarakat sampai saat timbulnya
mazhab-mazhab. Ia menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk menguraikan
relevansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.
Sebagai
konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memandang perlu diadakannya
ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran islam dengan
situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
C. Muhammad
Iqbal (1876-1938)
1. Riwayat
Hidup Singkat Muhammad Iqbal
Muhammad
Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1876. Ia berasal dari keluarga kasta Brahmana
Khasmir. Ayahnya bernma Nur Muhammad yang terkenal saleh dalam bergama. Guru
pertama Iqbal adalah ayahnya kemudian ia dimasukkan ke sebuah maktab untuk
mempelajari Al-Qur’an. Setelah itu, ia dimasukkan ke Scottish Mission
School.Di bawah bimbingan Mir Hasan, ia diberi pelajaran agama, bahasa
Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Salkot, ia pergi
ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Govemment
College. Di sini, ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang
menjadi guru besar dalam bidang filsafat di universitas tersebut.[6]
Pada
tahun 1905 setelah mendapat gelar M.A. di Govemment College, Iqbal pergi
ke Inggris untuk belajar filsafat di universitas Cambridge. Dua tahun kemudian,
ia pindah ke Munich, Jerman. Di universitas ini, ia memperoleh gelar Ph.D.
dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Deveploment
ofMetaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).
Iqbal
tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, ia
menjadi adyokat di samping sebagai dosen. Buku yang berjudul TheRecontruction
of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak
tahun 1982 dan merupakan karya terbesarnya dalam bidang filsafat.
Pada
tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan
Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1932, ia ikut
dalam konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi
India. Pada bulan Oktober tahun 1933, ia diundang ke Afganistan untuk
mrembicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit
dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan
ia meninggal pada tanggal 20 April tahun 1935.
2. Pemikiran
Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan
sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih terkenal sebagai seorang
filsuf eksistensialis. Oleh karena itu, kesulitan untuk menemukan
pandangan-pandangannya mengenai wacana-wacana kalam klasik, seperti fungsi akal
dan wahyu, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, dan kewajiban-kewajiban Tuhan.
Itu bukan berarti ia tidak sama sekali menyinggung ilmu kalam. Sebagaimana akan
terlihat nanti, ia sering menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul
dalam sejarah islam.
Sebagai
seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat islam untuk melakukan
pembaharuan dalam islam agar dapat keluar dari kemundurannya. Kemunduran umat
islam, menurutnya disebabkan kebekuan uamt islam dalam pemikiran dan ditutupnya
pintu ijtihad. Mereka, seperti kaum konservatif, menolak kebiasaan berpikir
rasional kaum mu’tazilah karena hal tersebut dianggap akan membawa pada
disintegrasi umat islam dan membahayakan kestabilan politik mereka. Hal inilah
yang dianggapnya sebagai penyimpangan dari semangat islam, semangat dinamis dan
kreatif. Islam tidak statis, tetapi dapat disesuaikan dengan perkembangan
zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri dari
dinamika yang harus dilambangkan dalam islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat
pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk merespon kebutuhan
individu dan masyarakat karena islam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.
Islam
dalam pandangan Iqbal menolak kosep lama yang mengatakan bahwa alam bersifat
statis. Islam, menurutnya mempertahankan kosep dinamis dan mengakui adanya
gerak perubahan dalam kahidupan sosial manusia. Oleh karena itu, manusia dengan
kemampuan khudi-Nya harus menciptakan perubahan.
Besarnya
penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini, membawa pemahaman yang
dinamis tentang Al-Qur’an dan hukum islam. Tujuan diturunkannya Al-Qur’an,
menurutnya untuk membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan
dan menjabarkan nash-nash Al-Qur’an yang masih global dalam realitas kehidupan
dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah.
Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oelh Iqbal
disebut sebagai prinsip gerak dalam struktur islam.
Oleh
karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika islam, dalam rangka membuang
kekakuan dan kejumudan hukum islam, ijtihad harus dialihkan mejadi
ijtihad kolektif. Menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang
mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif islam adalah satu-satunya
bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem hukum islam
yang selama ini hilang dari umat islam dan menyerukan kepada kaum muslim agar
menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil rasionalisme tersebut.
a.
Hakikat teologi
Secara
umum, ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan
pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Di dalamnya memuat
jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetia kawanan”, dan “kebebasmerdekaan”.
Pandangannya tentang ontologi teologi membuatnya berhasil melihat adanya anomali
(penyimpangan) yang melekat dalam literatur ilmu kalam klasik. Teologi
Asy’ariah menggunakan cara dan pola berpikir yunani untuk mempertahankan dan
mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jauh
bersandar pada akal sehingga mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah
pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman konkret
merupakan kesalahan besar.
b. Pembuktian
Tuhan
Dalam
membuktikan eksistensi Tuhan, Iqbal menolak argumen kosmologis ataupun
ontologis. Ia juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan
eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Meskipun
demikian, ia menerima landasan teleologis yang imanen (tetap ada). Untuk
menopang hal ini, Iqbal menolak pandangan yang statis matter serta menerima
pandangan whitehead sebagai “struktur kejadian” dalam aliran dinamis yang tidak
berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan iqbal dalam “jangka waktu
muni”–nya Bergson, yng tidak terjangkau oleh sereal waktu. Dalam “jangka waktu murni” ada perubahan, melainkan
tidak ada suksesi (penggantian). Kesatuannya serperti kuman yang didalamnya
terdapat Pengalaman nenek moyang para individu, bukan sebagai suatau kumpulan,
tetapi sebagai suatu kesatuan yang didalamnya setiap pengalaman menyerap
keselurahannya. Dari diri individu, “jangka waktu murni” ini kemudian di
transfer ke alam semesta dan membenarkan ego mutlak. Gagasan inilah yang “di
bicarakan” Iqbal kedalam Al-Qur’an. Jadi, Iqbal telah menafsirkan Tuhan yang
imanen bagi alam.
c. Jati
diri manusia
Paham
dinamisme Iqbal berpengaruh benar terhadap jati diri manusia. Penelusuran
terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat di lihat dari konsepnya
tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu di artikan
dengan kepribadian. Manusia hidup untuk me ngetahui kepribadiannya serta
menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yaitu melemahkan
pribadinya, seperti yang di lakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa
sehingga fana dengan Allah. Pada hakikatnya, menafikan diri bukan ajaran islam
karena hakikat hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat
khudi-nya tampak merupakan reaksi terhadap kondisi umat islam ketika itu telah
membawa meraka jauh dari tujuan dan maksud islam yang sebenarnya. Dengan ajaran
khudi-nya, ia mengemukakan pandangannya yang dinamis tentang kehidupan dunia.
d. Dosa
Iqbal
secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur’an menampilkan
ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini,
ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang)
sebagai kisah yang penuh berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari
kondisi primitif yang dikuasai hawa nafsu naluriah pada pemilikan kepribadian
bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan
kecenderungan untuk membangkang “dan” timbulnya ego terbatas yang memiliki
kemampuan untuk memilih”.”Allah. telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh
risiko ini, menunjukkan kepercayaan-Nya yang besar kepada manusia. Sekarang,
kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Pengakuan terhadap
kemandirian (manusia) melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan
yang timbul dari keterbatasan kemandirian.
e. Surga
dan neraka
Surga
dan neraka, menurut Iqbal merupakan keadaan-keadaan, bukan tempat.
Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah
penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka
menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala dan yang
membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan
manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi
berbagai dorongan yang menuju pada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam
islam. Neraka sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bukanlah kawah tempat
penyiksaan abadi yang disediakan Tuhan. Ia merupakan pengalaman korektif yang
dapat memperkeras ego agar lebih sensitif terhadap tiupan angin sejuk dari
kemahamurahan Allah. Surga juga bukan merupakan tempat berlibur. Kehidupan itu
hanya dan berkesinambungan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
peradaban islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terjadi berbagai macam paham
dalam ajaran islam dimana umat islam terpecah-pecah dan pemikir kalam yang
bermacam-macam dalam berpaham ajaran agama islam. Diantaranya pemikiran kalam
yang terkenal pada masa sekarang adalah :
1. Syekh
Muhammad Abduh
2. Sayyid
Ahmad Khan
3. Muhammad
Iqbal
Dari
ketiga tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajran dimana para ulama tersebut
rela berkorban rela menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di dunia islam yang
mana umat islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang sudah lalai
dengan kenikmatan dunia. Oleh sebab itu ketiga tokoh ulama ini mengajak umat
islam untuk kembali pada ajaran islam yang sebenarnya.
B. Saran
Penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat guna menunjang pemahaman terhadap mata
kuliah ilmu kalam. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca serta penulis
sendiri. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran guna perkembangan ke depan
dalam menyusun makalah kembali.
DAFTAR
PUSTAKA
Razak, Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu
Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2012
Yusuf, Yunan Muhammaad. Alam Pikiran
Islam Pemikiran Kalam. Jakarta: Prenadamedia Group, 2014
Ali, Mukhti. Alam Pikiran Islam
Modern di India dan Pakistan. Bandung: Mizan, 1993
[1]Abdul Rozak dan Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm.252
[2] Ibid.
[3]M. Yunan yusuf, Alam
Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Penadamedia Group, 2014), hlm.196
[4]Abdul Rozak dan Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm.257
[5] Mukhti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993),
hlm.65-66
[6]Abdul Rozak dan Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm.260