Thursday 3 November 2016

Peran Penegak Hukum pada Masa Khulafa Al-Rasyidin dalam Kajin Sosiologi Hukum Islam


BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar belakang
Periode kedua dari masa-masa perkembangan hukum islam bermula sejak wafatnya nabi Muhammad saw. Pada tahun 11 H, dan berakhir ketika mu’awiyah bin abi sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. pada periode ini hiduplah sahabat-sahabat nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah islam setelah wafatnya nabi saw.
Sepeninggal rasulullah, empat orang pengganti beliau adalah para pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari sang guru agung bagi kemajuan islam dan ummatnya. Oleh karena itu, gelar al-khulafa ar-rasyidin yang mendapat bimbingan di jalan lurus diberikan kepada mereka.
Para sahabat, khususnya periode ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak sekedar melestarikan tradisi hidup nabi, tetapi juga melebarkan sayap dakwah islam hingga ke negeri Persia, irak, syam dan mesir.
Para sahabat dengan kapasitas pemahaman yang mampu menangkap (menerima) dengan baik, luas dan lengkap terhadap islam karena lamanya bergaul dengan nabi dan menyaksikan sendiri proses turunnya syariat menyikapi setiap persoalan yang muncul dengan merujuk kepada al-quran dan sunnah nabi mereka menggali kandungan-kandungan moral al-quran pada kalanya mereka menemukan nash al-quran atau petunjuk nabi yang secara jelas menunjukan pada persoalan itu tetapi dalam banyak hal mereka harus menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam al-quran untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak dijumpai ketentuan nashnya perkembangan baru yang muncul mengiringi perluasan wilayah islam.

     B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana peran penegak hukum Abu Bakar Ash-Shiddiq ?
2.      Bagaimana peran penegak hukum Umar Bin Khattab ?
3.      Bagaimana peran penegak hukum Ustman Bin Affan ?
4.      Bagaimana peran penegak hukum Ali Bin Abi Thalib ?

BAB II
PEMBAHASAN

     A.    Peran Penegak Hukum Abu Bakar Ash-Shiddiq
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan islam ke persia, sebagian jazirah arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran bizantium Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang dialaminya.[1]
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Nabi Muhammad. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan sendirinya batal setelah nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid bin Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini. Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.[2]
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil bin Hasanah. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah bin Zaid yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.[3]
Adapun kesuksesan yang diraih Khalifah Abu Bakar selama memimpin pemerintahan Islam dapat dirinci sebagai berikut:
1.      Perhatian Abu Bakar ditujukan untuk melaksanakan keinginan nabi, yang hampir tidak terlaksana, yaitu mengirimkan suatu ekspedisi dibawah pimpinan Usamah keperbatasan Syiria. Meskipun hal itu dikecam oleh sahabat-sahabat yang lain, karena kondisi dalam negara pada saat itu masih labil. Akhirnya pasukan itu diberangkatkan, dan  dalam tempo beberapa hari Usamah kembali dari Syiria dengan membawa kemenangan yang gemilang.
2.      Keahlian Khalifah Abu Bakar dalam menghancurkan gerakan kaum riddat, sehingga gerakan tersebut dapat dimusnahkan dan dalam waktu satu tahun kekuasaan Islam pulih kembali. Setelah peristiwa tersebut solidaritas Islam terpelihara dengan baik dan kemenangan atas suku yang memberontak memberi jalan bagi perkembangan Islam. Keberhasilan tersebut juga memberi harapan dan keberanian baru untuk menghadapi kekuatan Bizantium dan Sasania.
3.      Ketelitian Khalifah Abu Bakar dalam menangani orang-orang yang menolak membayar zakat. Beliau memutuskan untuk memberantas dan menundukkan kelompok tersebut dengan serangan yang gencar sehingga sebagian mereka menyerah dan kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya. Dengan demikian Islam dapat diselamatkan dan zakat mulai mengalir lagi dari dalam maupun dari luar negeri.[4]
Melakukan  pengembangan  wilayah  Islam  keluar  Arabia.  Untuk  itu,  Abu  Bakar membentuk kekuatan dibawah komando Kholid bin Walid yang dikirim ke Irak dan Persia. Ekspedisi ini membuahkan hasil yang gemilang. Selanjutnya memusatkan serangan ke Syiria yang diduduki bangsa Romawi. Hal ini didasarkan secara ekonomis Syiria merupakan wilayah yang penting bagi Arabia, karena eksistensi Arabia bergantung pada perdagangan dengan Syiria. Sehingga penaklukan ke wilayah Syiria penting bagi umat Islam. Tetapi kemenangan secara mutlak belum terwujud sampai Abu Bakar meninggal Dunia pada hari Kamis, tanggal 22 Jumadil Akhir, 13 H atau 23 Agustus 634 M.[5]       
        B.     Peran Penegak Hukum Umar Bin Khattab
Umar bin Khattab , menjadi khalifah 634 - 644 M adalah khalifah ke-2 dalam sejarah Islam. pengangkatan umar bukan berdasarkan konsensus tetapi berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Hal ini tidak menimbulkan pertentangan berarti di kalangan umat islam saat itu karena umat Muslim sangat mengenal Umar sebagai orang yang paling dekat dan paling setia membela ajaran Islam. Hanya segelintir kaum, yang kelak menjadi golongan Syi'ah, yang tetap berpendapat bahwa seharusnya Ali yang menjadi khalifah. Umar memerintah selama sepuluh tahun dari tahun 634 hingga 644.[6]
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir[7].
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.[8]
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak persia yang bernama Abu Lulu'ah yang beragama Majusi. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali bin Abi Thalib.[9]
       C.    Peran Penegak Hukum Ustman Bin Affan
Utsman bin Affan dilahirkan pada tahun 573 M pada sebuah keluarga dari suku Quraisy bani Umayah. Dia lebih muda 6 tahun dari Rasulullah SAW.Nenek moyangnya bersatu dengan nasab Nabi Muhammad pada generasi ke-5. Sebelum masuk islam ia dx panggil degan sebutan Abu Amr. Ia begelar Dzunnurain, karena menikahi dua putri nabi (menjadi khalifah 644-655 M) adalah khalifah ke-3 dalam sejarah Islam. Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin AufSaad bin Abi WaqashThalhah bin UbaidillahZubair bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.[10]
Pada masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang Yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ itu.[11]
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan bin Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’, meskipun Utsman tercatat paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid nabi di Madinah.[12]
Pemerintahan Utsman bin Affan pada dasarnya tidak jauh berbeda dari pendahulunya. Kekuasaan tertinggi dan pelaksana kekuasaan eksekutif berada ditangan khalifah. Khalifah Utsman bin Affan mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah dan provinsi dalam melaksanakan administrasi pemerintahan. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Penasihat atau Majelis Syura, tempat khalifah untuk mengadakan musyawarah atau konsultasi. Tugas Dewan penasehat adalah memberikan saran, usul, dan nasehat kepada khalifah tentang berbagai masalah penting yang dihadapi negara (Supriyadi, 2008: 91). Pada awal pemerintahan Ustman bin Affan kondisi wilayah kekuasaan Islam mengalami kesusuhan pasca terbunuhnya Umar bin Khattab. Wilayah-wilayah kekuasaan Islam mulai melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam salah satunya Azerbaijan pada tahun 24 H/645 M. Kondisi tersebut memperlihatkan bagaimana khalifah Ustman bin Affan harus berusaha untuk meredam kekacauan yang terjadi pada awal pemerintahannya. Ustman bin Affan mengutus para pejabat untuk menjalankan pekerjaannya secara bersih dan tidak mencederai kepercayaan masyarakat. Keadaan masyarakat pada masa khalifah Utsman bin Affan benar-benar menikmati kehidupan yang tentram dan sejahtera. Perekonomian pada masa pemerintahan Utsman bin Affan sangat baik dan maju, dengan bertambahnya jumlah kas negara melalui pemasukan yang datang dari berbagai penjuru yang membuatnya dapat menaikkan tunjangan bagi rakyat sampai 100 ribu dirham lebih tinggi dari masa Umar bin Khattab. Keagungan agama Islam sangat dicerminkan oleh pemerintahan Islam saat kepemimpinan dibawah Utsman bin Affan. Peristiwa yang sangat penting adalah penyempurnaan bacaan Al-qur’an yang dilakukan oleh pemerintahannya. Konflik antar umat Islam pada saat pemerintahan Utsman bin Affan dikarenakan banyak pelencengan bacaan Al-qur’an. Peristiwa tersebut adalah salah satu ancaman yang mampu menghancurkan persatuan umat Islam. kebijakan untuk menyempurnakan bacaan Al-qur’an merupakan salah satu cara agar tidak ada kesalahan makna dalam memahami bacaan Alqur’an. Pemerintahan Utsman bin Affan merupakan salah satu bentuk kemajuan pemerintahan Islam. Kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Utsman bin Affan adalah langkah untuk menuju Islam yang lebih besar.[13]
        D.    Peran Penegak Hukum Ali Bin Abi Thalib
Para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman. Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.[14]
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.[15]
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, serta Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini di akhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, kaum Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Mulja[16]


BAB III
                                                    PENUTUP                                                     
         A.    Kesimpulan
1.      kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
2.      Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
3.      Pemerintahan Utsman bin Affan pada dasarnya tidak jauh berbeda dari pendahulunya. Kekuasaan tertinggi dan pelaksana kekuasaan eksekutif berada ditangan khalifah. Khalifah Utsman bin Affan mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah dan provinsi dalam melaksanakan administrasi pemerintahan. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Penasihat atau Majelis Syura, tempat khalifah untuk mengadakan musyawarah atau konsultasi. Tugas Dewan penasehat adalah memberikan saran, usul, dan nasehat kepada khalifah tentang berbagai masalah penting yang dihadapi negara (Supriyadi, 2008: 91). Pada awal pemerintahan Ustman bin Affan kondisi wilayah kekuasaan Islam mengalami kesusuhan pasca terbunuhnya Umar bin Khattab. Wilayah-wilayah kekuasaan Islam mulai melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam salah satunya
4.      Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.



DAFTAR PUSTAKA
Abdulah,  Taufik,  2002,   Ensiklopedi  Tematis  Dunia Islam:  Pemikiran  dan Peradaban, Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Cet II, Bandung: Malja.
Maulana Muhammad  Sa’ad al Kandhalawi,  2004, Muntakhab  Ahadits: Tuntunan Sifat- sifat Mulia Para Sahabat Nabi SAW, Pustaka Ramadhan: Jakarta.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.



[1] Taufik abdullah, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam: Pemikiran  dan Peradaban,(jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm 23
[2] Ibid, hlm 23
[3] Ibid, hlm 24
[4] Ahmad Hanafi. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. (bandung: malja, 1970), Cet II, hlm 52
[5]Ibid, hlm 53
[6] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hlm 21
[7] Ibid, hlm 21
[8] Taufik abdullah, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam: Pemikiran  dan Peradaban,(jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm 26
[9] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hlm 24
[10] Ibid, hlm 26
[11] ibid
[12] Taufik abdullah, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam: Pemikiran  dan Peradaban,(jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)
[13] Muhammad Maulana, Muntakhab  Ahadits: Tuntunan Sifat- sifat Mulia Para Sahabat Nabi SAW, (jakarta: pustaka ramadhan, 2004),
[14] Ahmad Hanafi. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. (bandung: malja, 1970), Cet II, hlm 57
[15] Ibid, hlm 57
[16] Ibid,hlm 57