DEMOKRASI
II
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan
Yang diampu oleh Bapak
Abdul Wafi, S.S., M.Pd.
Disusun Oleh:
Imam Hanafi
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
KATA PENGANTAR
Dengan segala puji bagi
Allah yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semua. Sehingga,
dengan bentuk kasih sayang-Nya kita masih dapat menghirup udara yakni bernafas
dan masih dapat melakukan aktifitas sebagaimana mestinya.
Shalawat serta salam masih tetap
tercurah limpahkan kehadiran Nabi besar Nabi Muhammad SAW. Yang mana beliau
telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman terang benderang yang
penuh dengan keilmuan seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Selanjutnya kami ucapakan banyak
terima kasih kepada :
1.
Bapak
Abdul Wafi, S.S., M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan.
2.
Kedua
orang tua yang telah memberikan motivasi penuh kepada kami dalam penyelesaian
tugas makalah ini.
3.
Teman-teman
yang telah mendukung dan membantu dalam menyelesaikan makalah ini baik materi
maupun non-materi.
Semoga makalah ini serta
keterangan yang ada didalamnya dapat membawa berkah dan bermanfaat bagi kita
semua, dan kami mengharapakan kritik dan saran kepada pembaca demi lebih
baiknya penulisan makalah ke depan.
Pamekasan, 22 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar..................................................................................................... i
Daftar isi: ............................................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan masalah................................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Demokrasi di Indonesia............................................................ 2
B.
Keterkaitan
Demokrasi Dengan Islam....................................................5
C.
Pelaksanaan
Demokrasi di Indonesia..................................................... 8
BAB III :PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................... 15
B.
Daftar
Pustaka...................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warga negara) atas negara untuk dijalankanoleh pemerintah negara tersebut. Pada
intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu
kebenaran. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif)
untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen)
dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan
independensi ketiga jenis lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks dan balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah
lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan
melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah
sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang
wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya
(konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif,
selain sesuai dengan hukum dan peraturan.
Demokrasi khususnya di Indonesia mengalami perubahan dari
periode ke periode. Sehingga dalam runtutannya tercatat dalam sejarah demokrasi
di Indonesia. Demokrasi memiliki kecocokan terhadap warga Indonesia, sehingga
dapat bertahan dengan negara demokrasi sampai saat ini. Sekalipun mengalami
perubahan-perubahan namun tetaplah dalam naungan demokrasi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah demokrasi di Indonesia?
2.
Bagaimana keterkaitan demokrasi
dengan Islam?
3.
Bagaimana pelaksanaan demokrasi
di Indonesia?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui sejarah
demokrasi di Indonesia.
2.
Untuk memahami keterkaitan
demokrasi dengan Islam.
3.
Untuk mengetahui pelaksanaan
demokrasi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Demokrasi di Indonesia
a.
Periode 1945-1959
Demokrasi
pada masa ini dikenal dengan sebutan Demokrasi parlementer. Sistem parlementer
ini mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan. Namun demikian,
model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya
demokrasi untuk mempraktikkan demokrasi model Barat ini telah memberi peluang
sangat besar kepada partai-partai poitik untuk mendominasi kehidupan sosial
politik.
Ketiadaan
budaya demokrasi yang sesuai dengan sistem Demokrasi Parlementer ini akhirnya
melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi kesukuan dan agama.
Akibatnya, pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada masa ini jarang
dapat bertahan lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat mudah pecah. Hal ini
mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional
yang sedang dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi-faksi politik dan
pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalannya
demokrasi itu sendiri.
Faktor-faktor
disintegratif di atas, ditambah dengan kegagalan partai-partai dalam Majelis
Konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang
dasar baru, mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada
5 Juli 1959, yang menegaskan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian, masa
demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir, digantikan oleh Demokrasi
Terpimpin (Guided Democracy) yang memosisikan Presiden Soekarno menjadi
pusat kekuasaan negara.
b.
Periode 1959-1965
Periode
ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy).
Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominasi politik Presiden dan berkembangnya
pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) dalam panggung politik nasional.
Hal ini disebabkan oleh lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai usaha
untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan politik melalui pembentukan
kepemimpinan personal yang kuat. Sekalipun UUD 1945 memberi peluang seorang
Presiden untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun, ketetapan MPRS No. III/1963
mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Dengan lahirnya
ketetapan MPRS ini secara otomatis telah membatalkan pembatasan waktu lima
tahun sebagimana ketetapan UUD 1945.
Kepemimpinan
presiden tanpa batas ini terbukti melahirkan tindakan dan kebijakan yang
menyimpang dari ketentuan-ketentuan UUD 1945. Misalnya, pada tahun 1960
Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilihan umum, padahal dalam
penejalasna UUD 1945 secara eksplit ditentukan bahwa presiden tidak memiliki
wewenang untuk bebuat demikian. Dengan kata lain, sejak diberlakukan Dekrit Presiden
1959 telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh Presiden.
Dalam
pandangan sejarawan Ahmad Syafi’i Ma’arif, Demokrasi Terpimpin sebenarnya ingin
menempatkan Presiden Soekarno ibarat seorang ayah dalam sebuah keluarga besar
yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan
demikian, kekaliruan yang sangat besar dalam Demokrasi Terpimpin model Presiden
Soekarno adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi, yakni lahirnya
absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada diri pemimpin, dan pada saat yang
sama hilangnya kontrol sosial dan check dan balance.
Dalam
kehidupan politik, peran politik Partai Komunis Indonesia (PKI) sangatlah
menonjol. Bersandar pada Dekrit Presiden 5 Juli sebagai sumber hukum, didirikan
banyak badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional telah dimanipulasi oleh
PKI untuk menjadi bagian strategi taktik komunisme internasional yang
menggariskan pembentukan Front Nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya
demokrasi rakyat. Strategi politik PKI untuk mendulang keuntungan dari karisma
kepemimpinan Presiden Soekarno dengan cara mendukung pemberedelan pers dan
partai politik misalnya Masyumi, yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakan
pemerintahan.
Perilaku
politik PKI yang haluan sosialis Marxis tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh
partai politik Islam dan kalangan militer (TNI), yang pada waktu itu merupakan
salah satu komponen politik penting Presiden Soekarno. Akhir dari sistem
demokrasi terpimpin Soekarno yang berakibat pada perseteruan politik ideologis
antar PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah yang dikenal dengan Gerakan 30
September 1965.
c.
Periode 1965-1998
Periode
1965-1998 merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Barunya.
Sebutan Orde Baru merupakan kritik terhadap periode sebelumnya, Orde Lama. Orde
Baru, sebagaimana dinyatakan oleh pendukungnya adalah upaya untuk meluruskan
kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi dalam masa Demokrasi
Terpimpin. Seiring pergantian kepemimpinan nasional, demokrasi terpimpin ala
Presiden Soekarno telah diganti oleh elite Orde Baru dengan Demokrasi
Pancasila.
Beberapa kebijakan
pemerintah sebelumnya yang menetapkan masa jabatan presiden seumur hidup untuk
Presiden Soekarno telah dihapuskan dan diganti dengan pembatasan jabatan
presiden lima tahun dan dapat dipilih kembali melalui proses pemilu.
Demokrasi
Pancasila secara garis besar menawarkan tiga komponen demokrasi. Pertama, demokrasi dalam bidang politik
pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas Negara hokum dan kepastian
hokum. Kedua, demokrasi dalam bidang
ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga Negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang hokum
pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas yang tidak memihak.
Hal yang sangat
disayangkan adalah alih-alih pelaksanaan ajaran Pancasila secara murni dan
konsekuen, Demokrasi Pancasila yang dikampanyekan oleh Orde Baru baru sebatas
retorika politik belaka. Dalam praktik kenegaraan dan pemerintahannya, penguasa
Orde Baru bertindak jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Seperti dikatakan oleh
M. Rusli Karim, ketidakdemokratisan penguasa Orde Baru ditandai oleh:
a)
Dominannya
peranan militer (ABRI)
b)
Birokratisasi
dan sentralisasi pengambilan keputusan politik
c)
Pengebirian
peran dan fungsi partai politik
d)
Campur tangan
pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan public
e)
Politik masa
mengambang
f)
Monolitisasi
ideology Negara
g)
Inkorporasi
lembaga nonpemerintah
d.
Periode Pasca Orde Baru
Demokrasi ini
erat hubungannya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan
demokrasi dan HAM secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya
Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan Orde Baru pada Mei 1998, setelah lebih
dari tiga puluh tahun berkuasa dengan Demokrasi pancasilanya. Penyelewengan
atas dasar Negara Pancasila oleh penguasa Orde Baru berdampak pada sikap
antipasti sebagian masyarakat terhadap dasar Negara tersebut.
Pengalaman
pahit yang menimpa Pancasila, yang pada dasarnya sangat terbuka, inklusif dan
penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan tokoh reformasi untuk
menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi. Bercermin pada pengalaman
manipulasi atas Pancasila oleh penguasa Orde Baru, demokrasi yang hendak dikembangkan
setelah kejatuhan rezim Orde Baru adalah demokrasi tanpa nama atau demokrasi
tanpa embel-embel dimana hak rakyat merupakan komponen inti dalam mekanisme dan
pelaksanaan pemerintahan yang demokratis. Wacana demokrasi pasca Orde Baru erat
kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat madani (civil society) dan
penegakan HAM secara sungguh-sungguh.[1]
B.
Keterkaitan
Demokrasi Dengan Islam
Di tengah
proses demokratisasi global, banyak kalangan ahli demokrasi, diantaranya Larry
Diamong, Juan J. Linze, Seymour Martin Liset, menyimpulkan bahwa dunia Islam
tidak mempunyai prospek untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai
pengalaman demorasi yang cukup andal. Hal senada juga dikemukakan oleh Samuel
P. Huntingtong yang meragukan Islam dapat berjalan dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang secara cultural lahir di Barat. Karena alasan inilah dunia Islam
dipandang tidak menjadi bagian dari proses gelombang demokratisasi dunia.
Setidaknya terdapat
tiga pandangan tentang Islam dan demokrasi: Pertama,
Islam dan demokrasi adalah dua system politik yang berbeda. Islam tidak bisa
disubordinatkan dengan demokrasi karena Islam merupakan sistem
politik yang mandiri (self-sufficient).
Dalam bahasa politik muslim, Islam sebagai agama yang kaffah (sempurna) tidak saja mengatur persoalan keimanan (akidah)
dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia termasuk
aspek kehidupan bernegara. Pandangan ini didukung oleh kalangan pemikir muslim
seperti Sayyid Qutb dan Thabathabai. Hubungan Islam dan demokrasi bersifat
saling menguntungkan secara eksklusif (mutually
exclusive). Bagi penganut demokrasi sebagai satu-satunya sistem
terbaik yang tersedia saat ini, Islam dipandang sebagai sistem
politik alternatif terhadap demokrasi. Sebaliknya, bagi pandangan Islam sebagai sistem
yang lengkap (kaffah), Islam dan
demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai konsep
Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dalam masyarakat muslim, Islam tidak bisa
dipadukan dengan demokrasi.
Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi jika demokrasi didefinisikan
secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikkan di Negara-negara Barat.
Kelompok kedua ini menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam.
Tetapi, mengakui adanya perbedaan antara Islam dan demokrasi. Bagi kelompok ini
Islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara
substantif, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan negara
merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian, dalam
pandangan kelompok ini, demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan Islam
setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri.
Di antara tokoh dari kelompok ini adalah Al-Maududi dan Moh. Natsir.
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang
membenarkan dan mendukung sistem politik
demokrasi seperti yang dipraktikkan Negara-negara maju. Islam di dalam dirinya
demokratis tidak hanya karena prinsip syura
(musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma
(konsensus). Seperti dinyatakan oleh pakar ilmu politik R. William Liddle dan
Saiful Mujani, di Indonesia pandangan yang ketiga tampaknya yang lebih dominan
karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem
pemerintahan Indonesia dan Negara-negara muslim lainnya. Di antara tokoh muslim
yang mendukung pandangan ini adalah Fahmi Huwaidi, M. Husain Haekal, Muhammad
Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Di Indonesia diwakili oleh Nurcholish Madjid,
Abdurrahman Wahid, Amin Rais dan Ahmad Syafi’I Ma’arif.
Penerimaan
Negara-negara muslim (dunia Islam) terhadap demokrasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh kelompok ketiga ini, tidak berarti bahwa demokrasi dapat
tumbuh dan berkembang di Negara muslim secara otomatis. Bahkan yang terjadi
adalah kebalikannya di mana Negara-negara muslim justru meruapakan Negara yang
tertinggal dalam berdemokrasi, sementara kehadiran rezim otoriter di sejumlah
Negara muslim pada umumnya menjadi kecenderungan yang dominan.
Terdapat beberapa
argument teoretis yang bisa menjelaskan lambannya pertumbuhan dan perkembangan
demokrasi di dunia Islam. Pertama, pemahaman
doktrinal menghambat praktik demokrasi. Teori ini dikembangkan oleh
Elie Khudourie bahwa gagasan demokrasi masih cukup asing dalam tradisi
pemikiran. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang cenderung
memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Untuk
mengatasi hal itu tak perlu dikembangkan upaya liberalisasi pemahaman keagamaan
dalam rangka mencari consensus dan sintesis antara pemahaman doktrin Islam
dengan teori-teori modern seperti demokrasi dan kebebasan.
Kedua, persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di
Negara-negara muslim sejak paruh pertama abad-20, tetapi gagal. Tampaknya, ia
tidak sukses pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural
masyarakat muslim sudah terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan absolut kepada
pemimpin, baik pemimpin agama maupun penguasa. Teori ini dikembangkan oleh
Bernard Lewis. Karena itu, langkah yang sangat diperlukan adalah penjelasan kultural
kenapa demokrasi tumbuh subur di Eropa, sementara di kawasan dunia Islam malah
otoritarianisme yang tumbuh dan berkembang.
Menurut
sebagian ahli, persoalan kultur politik (political
culture) ditengarai sebagai yang paling bertanggung jawab atas tidak
berkembangnya demokrasi di Negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Tuduhan
ini tidaklah tanpa alasan, karena jika dikaitkan secara doctrinal pada dasarnya
hamper tidak dijumpai hambatan teologis di kalangan umat Islam yang
memperhadapkan demokrasi vis a vis Islam.
Oleh karena itu, fokus perdebatannya tidak lagi pada apakah Islam compatible dengan demokrasi, melainkan
bagaimana keduanya saling memperkuat (mutually
reinforcing).
Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tidak ada
hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat
alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi diperlukan
kesungguhan, kesabaran dan di atas segalanya adalah waktu. John Esposito dan O.
Voll adalah di antara tokoh yang optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia
Islam, sekalipun Islam tidak memiliki tradisi kuat berdemokrasi.
Dalam
konteks Indonesia, tampaknya kesabaran dan kesungguhan yang diharapkan kedua
pakar Islam tersebut semestinya dihayati oleh umat Islam, khususnya kalangan
pemimpin mereka. Kesungguhan dan kesabaran dari kalangan pemimpin muslim
Indonesia untuk membangun demokrasi di negeri ini dapat diuji melalui
kesungguhan mereka untuk tidak menggunakan otoritas keagamaan yang mereka miliki
untuk kepentingan sesaat yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan
urusan agama. Sementara kesabaran mereka selayaknya diaktualisasikan dengan cara
bersabar untuk menjadi figur teladan bagi pengikutnya dalam bersikap dan
berindak demokratis.[2]
C.
Pelaksanaan
Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, UUD 1945 memberikan penggambaran
bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi. Dalam
mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana
MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari rakyat. Sehingga secara hirarki
seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan Negara melalui mekanisme
perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi
singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu
bebas di Indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi
terpimpin sebagai pilihan system pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi
Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan
Soeharto, Indonesia kembali masuk ke dalam alam demokrasi pada tahun 1998
ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua
bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan PDIP sebagai
pemenang pemilu.
Bisa
dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan
Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan system demokrasi.
Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik, Pri Sulisto,
keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi
Negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa diantaranya masih
diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa
pembangunan system demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan
ekonomi. Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yang tidak
banyak disadari itu membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional
Konsultan Politik membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut
merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan
Indonesia sangat berpotensi mengatar datangnya suatu era baru di Asia yang
demokratis dan makmur.
Dalam
kesempatan yang sama, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab
disapa SBY menerima anugerah medali demokrasi. SBY pun memaparkan panjang lebar
perjalanan demokrasi Indonesia. Menurutnya, demokrasi Indonesia merupakan
jawaban terhadap skeptisme perjalanan demokrasi di negeri ini. Beliau pun
mencontohkan beberapa nada skeptic yang ditujukan kepada Indonesia. Hanyalah
perubahan rezim, demokrasi akan memicu ekstrimisme dan readikalisme politik di
Indonesia. Beliau pun menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia menunjukan Islam
dan moderitas dapat berjalan bersama. Dan terlepas dari goncangan hebat akibat
pergantian 4 kali Presiden selama periode 1998-2002, demokrasi Indonesia telah
menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain itu,
Indonesia juga telah berhasil menjadi sebuah Negara demokrasi terbesar di dunia
dan melaksanakan pemilu yang kompleks dengan sangat sukses.
Meski
pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia,
kenyataannya demokrasi di Indonesia saat ini telah berusia 10 tahun dan akan
terus berkembang. Sebagianorang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan
berlangsung lama di Indonesia, karena masyarakatnya belum siap. Mereka juga
pernah mengatakan bahwa Negara Indonesia terlalu besar dan memiliki persoalan
yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai kekhawatiran yang dapat
membuat Indonesia chaos yang dapat
mengakibatkan perpecahan.
Sementara
itu, mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang turut hadir
menyebutkan bahwa demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah
menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil
melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai Negara berpenduduk
Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi. Dia juga
berharap agar perkembangan ekonomi juga makin meyakinkan sehingga demokrasi
bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut tentunya bisa
terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan kekayaan hanya
pada elit tertentu. Menurut Anwar Ibrahim, demokrasi adalah pemberian kebebasan
kepada warga Negara, sedangkan kegagalan atau keberhasilan ekonomi menyangkut sistem
yang diterapkan.[3]
Secara
umum pelaksanaan demokrasi di Indonesia dikelompokkan dalam tiga kelompok,
yaitu:
a. Demokrasi Parlementer (Liberal)
Demokrasi parlementer di negara kita telah dipraktikkan pada masa berlakunya
UUD 1945 periode pertama (1945-1949), kemudian
dilanjutkan pada masa berlakunya RIS 1949 dan UUDS 1950.
Pelaksanaan Demokrasi parelementer tersebut secara yuridis formal berakhir
pada tanggal 5 Juli 1959 bersamaan dengan pemberlakuan kembali UUD 1945.
Masa
berlakunya Demokrasi Parlementer (1945-1959), kehidupan politik dan
pemerintahan tidak stabil sehingga program suatu kabinet
tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan berkesinambungan. Salah satu faktor
penyebab ketidakstabilan tersebut adalah sering bergantinya kabinet yang
bertugas sebagai pelaksana pemerintahan. Misalnya, Kabinet Syahrir I, Kabinet
Syahrir II dan Kabinet Amir Syarifudin. Sementara itu, pada tahun 1950-1959,
umur kabinet kurang lebih hanya satu tahun dan terjadi tujuh kali pergantian
kabinet, yaitu Kabinet Natsir, Sukimin, Wilopo, Ali Sastro Amodjojo I,
Burhanudin Harahap, Ali Sastro Amidjojo II dan Kabinet Djuanda.
Hal
ini terjadi karena dalam Negara demokrasi dengan sistem
kabinet
parlementer, kedudukan kabinet berada di bawah DPR (parlemen), DPR dapat menjatuhkan kabinet
dengan mosi tidak percaya.
Faktor
lain yang menyababkan tidak tercapainya stabilitas politik adalah timbulnya
perbedaan pendapat yang sangat mendasar di antara partai politik yang ada saat
itu. Sebagai contoh dapat kita kaji peristiwa kegagalan konstituante memperoleh
kesepakatan tentang dasar Negara. Pada saat itu terdapat dua kubu yang yang
bertentangan, yaitu di satu pihak ingin tetap mempertahankan pancasila sebagai
dasar Negara, sedangkan di pihak lain menghendaki kembali kepada Piagam Jakarta
yang berarti menghendaki Islam sebagai dasar Negara. Pertentangan pendapat
tersebut terus berlanjut dan tidak pernah mencapai kesepakatan. Merujuk pada
kenyataan politik pada masa itu, jelaslah bahwa keadaan partai-partai politik
pada saat itu lebih menonjolkan perbedaan-perbedaan pahamnya daripada mencari
persamaan-persamaan yang dapat mempersatukan bangsa.
Berbagai
dari berbagai kegagalan dan kelemahan itulah, Demokrasi Parlementer di
Indonesia ditinggalkan dan diganti dengan Demokrasi Terpimpin sejak 5 Juli
1959.
b. Demokrasi Terpimpin
Karena adanya kegagalan konstituante dalam menetapkan UUD baru,
yang diikuti suhu politik yang memanas dan membahayakan keselamatan bangsa dan
Negara, pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan suatu keputusan yang
dikenal dengan Dekrit Presiden.
Dekrit Presiden
dipandang sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari
kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpiman yang kuat untuk mencapai hal
tersebut, yang di Negara kita saat itu digunakan Demokrasi Terpimpin. Istilah
Demokrasi Terpimpin untuk pertama kalinya dipakai secara resmi dalam pidato
Presiden Soekarno pada 10 November 1956 ketika membuka siding konstituante di
Bandung.
Demokrasi
Terpimpin timbul dari keinsyafan, kesadaran dan keyakinan terhadap keburukan
yang diakibatkan oleh praktik Demokrasi Parlementer (liberal) yang melahirkan
terpecahnya masyarakat, baik dalam kehidupan politik maupun dalam tatanan
kehidupan ekonomi.
Secara
konsepsional, Demokrasi Terpimpin berarti pemerintahan rakyat yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan atau perwakilan. Hal ini mengandung arti bahwa yang
membimbing dan sekaligus menjadi landasan kehidupan demokrasi di Negara kita
adalah sila keempat Pancasila, dan bukan kepada perorangan atau pimpinan.
Apalagi kita mengkaji
hakikat dan ciri Negara demokrasi, dapat dikatakan bahwa Demokrasi Terpimpin
dalam banyak aspek telah menyimpang dari Demokrasi Konstitusional. Demokrasi
Terpimpinan menonjolkan “kepemimpinan” yang jauh lebih besar daripada
demokrasinya sehingga ide dasar demokrasi kehilangan artinya. Akibat dominannya
kekuasaan Presiden dan kurang berfungsinya lembaga legislatif
dalam menongontrol pemerintahan, kebijakan pemerintah sering kali menyimpang
dari ketentuan UUD 1945. Misalnya pada 1960, Presiden membubarkan DPR hasil
pemilihan umum tahun 1955 dan digantikan oleh DPR Gotong Royong. Melalui
penerapan Presiden, pimpinan DPR/MPR dijadikan menteri sehingga otomatis
menjadi pembantu Presiden dan pengangkatan Presiden seumur hidup melalui Ta.
MPRS No. III/MPRS/1963,
Secara
konsepsional pula, Demokrasi Terpimpin memiliki kelebihan yang dapat mengatasi
permasalahan yang dihadapi masyarakat pada waktu itu. Hal itu dapat dilihat
dari ungkapan Bung Karno ketika memberikan amanat kepada konstituante pada 22
April 1959 tentang pokok-pokok Demokrasi Terpimpin yang antara lain adalah
sebagai berikut:
a)
Demokrasi
Terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan Demokrasi Sentralisme, dan berbeda pula
dengan Demokrasi Liberal yang dipraktikkan selama ini.
b)
Demokrasi
Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa
Indonesia.
c)
Demokrasi
Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang
meliputi bidang politik, ekonomi dan sosial.
d)
Inti pimpinan
dalam Demokrasi Terpimpin adalah permusyawartan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan, bukan oleh perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan
pengaduan kekuatan dan penghitungan suara pro dan kontra.
e)
Oposisi
dalam arti melahirkan pendapat yang
sehat dan yang membangun diharuskan dalam alam Demokrasi Terpimpin. Inti
Demokrasi Terpimpin adalah yang penting ialah para permusyawaratan yang
dipimpin dengan hikmat kebijaksanaan.
Berdasarkan
pokok pikiran di atas, tampak bahwa Demokrasi Terpimpin tidak bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945 serta budaya bangsa Indonesia. Namun, dalam
praktiknya, konsep-konsep tersebut tidak direalisasikan sebagimana mestinya
sehingga sering kali menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 dan budaya
bangsa. Penyebab penyelewengan tersebut, selain terletak pada Presiden, juga
dikarenakan kelemahan legislatif sebagai partner
dan pengontrol eksekutif, serta situasi sosial
politik yang tidak menentu saat itu.
c. Demokrasi
Pancasila Pada Orde Baru
a) Latar Belakang dan Makna Demokrasi Pancasila
Karena
adanya berbagai penyelewengan dan permasalahan yang dialami bangsa Indonesia
pada masa berlakunya Demokrasi parlementer dan Demokrasi Terpimpin, kedua jenis
demokrasi tersebut dianggap tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia yang
bernapaskan kekluargaan dan gotong-royong. Sejak lahirnya orde baru,
diberlakukan Demokrasi Pancasila, sampai saat ini. Secara konsepsional,
demokrasi Pancasila masih masih dianggap dan dirasakan paling cocok diterapkan
di Indonesia. Demokrasi Pancasila bersumberkan pada pola pikir dan tata nilai
sosial budaya bangsa Indonesia dan menghargai hak individu yang tidak terlepas
dari kepentingan sosial. Misalnya, “kebebasan” berpendapat merupakan hak setiap
warga negara yang harus dijunjung tinggi oleh penguasa. Dalam demokrasi Pancasila
hak tersebut tetap dihargai, tetapi harus diimbangi dengan kebebasan yang yang
bertanggung jawab.
Secara
lengkap Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawartan atau perwakilan yang berketuhanan Yang Maha
Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia,
dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan
tersebut mengandung arti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi,
haruslahdisertai rasa tnaggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut
keyakinan agama masing-masing; menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai
dengan martabat dan harkat manusia; haruslah menjamin persatuan dankesatuan
bangsa; dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Jadi Demokrasi
pancasila berpangkal tolak darri kekeluargaan dan gotong-royong. Semangat
kekeluargaan itu sendiri sudah lama dianut dan bberkembang dalama masyarakt
Indonesia, khusunya di masyarakat pedesaan. Menurut Soepomo, dalam masyarakat
yang dilandasi semangat kekeluargaan, sumber filosofi yang paling tepat adalah
aliran pikiran Integralistik. Dengan demikian, dalam Demokrasi Pancasila
nilai-nilai perbedaan tetap dipelihara sebagai sebuah kekayaan dan anugerah
Tuhan Yang Maha Esa.
b) Ciri dan Aspek Demokrasi Pancasila
Demokrasi
Pancasila memiliki ciri khas antara lain bersifat kekeluargaan dan
kegotong-royongan yang bernapaskan Ketuhanan Yang Maha Esa; menghargai hak-hak
asasi manusia serta menjamin adanya hak-hak minoritas; pengambilan keputusan sedapat
mungkin didasarkan atas musyawarah untuk mufakat; dan bersendi atas hukum.
Dalam
Demokrasi Pancasila, kehidupan ketatanegaraan harus berdasarkan atas
kelembagaan. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan segala sesuatu melalui
saluran-saluran tertentu sesuai dengan UUD 1945. Hal ini penting untuk
menghindari adanya kegoncangan politik dalam negara.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam sejarahnya
Demokrasi di Indonesia dikelompokkan ke dalam 4 periode, yaitu:
1.
Periode 1945-1959
2.
Periode 1959-1965
3.
Periode 1965-1998
4.
Periode pasca orde baru
Persoalan Islam dan Demokrasi memiliki 3
pandangan dari kalangan ahli demokrasi, yaitu:
1.
Islam dan
demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa
disubordinatkan dengan demokrasi karena Islam merupakan sistem
politik yang mandiri (self-sufficient).
karena itu demokrasi sebagai konsep Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai
acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam masyarakat
muslim, Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi.
2.
Islam berbeda
dengan demokrasi jika demokrasi didefinisikan secara prosedural
seperti dipahami dan dipraktikkan di Negara-negara Barat. Kelompok kedua ini
menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Tetapi, mengakui
adanya perbedaan antara Islam dan demokrasi. Bagi kelompok ini Islam merupakan
sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara
substantif, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan negara
merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini.
3.
Islam adalah sistem
nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik
demokrasi seperti yang dipraktikkan Negara-negara maju. Islam di dalam dirinya
demokratis tidak hanya karena prinsip syura
(musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma
(konsensus).
Beberapa
demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia, ialah:
1.
Demokrasi
Parlementer (Liberal)
2.
Demokrasi
Terpimpin
3.
Demokrasi Pancasila Pada Orde Baru
B.
Saran
Kepada penulis:
1.
Diharapkan
penulisan makalah ini dapat dijadikan evaluasi dalam penulisan karya ilmiah
yang berikutnya.
2.
Menjadikan
penulis lebih kreatif dan inovatif dalam menulis sebuah karya ilmiah
Kepada
pembaca:
1.
Dapat dijadikan
sumber tambahan dalam membahas permasalahan mengenai ham.
2.
Bermanfaat
didalam membacanya dan bisa di jadikan referensi lebih sebagai bentuk
penghargaan terhadap penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, Fitri Setiya. Demokrasi dan Pelaksanaan
Demokrasi di Indonesia. Artikel PKN. Diakses dari http://artikelpkn.blogspot.com. Pada tanggal 22 November 2016 pukul 13.28.
Herdiawanto, Heri dan Jumanta Hamdayama. Cerdas,
Kritis dan Aktif Berwarganegara. Jakarta: Erlangga, 2010.
Hidayat, Komarudin dan Azyumardi Azra. Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education). Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidyatullah,
2010.
[1] Komarudin Hidayat dan Azyumardi Azra, Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education), vol. 3 (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidyatullah, 2010), hlm. 43-46.
[2] Ibid. 51-54.
[3] Fitri Setiya Handayani, Demokrasi dan
Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia, Artikel PKN, diakses dari http://artikelpkn.blogspot.com, pada tanggal 22 November 2016 pukul 13.28.
[4] Heri Herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas,
Kritis dan Aktif Berwarganegara (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 90-94.