IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tauhid
yang diampu
oleh Bapak Misnawi, M. Pd.I
Imam Hanafi
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
imam
Kata “Iman”
berasal dari bahasa arab yang berarti tasdiq (membenarkan). iman itu tempatnya
dalam hati yang membenarkan semua yang dibawah Rasul Muhammad SAW baik yang
bersifat wajib maupun yang mustahil bagi Allah SWT. Dalam pembahasan Ilmu
Tauhid/Ilmu Kalam konsep iman terbagi menjadi tiga yaitu:
1.
Iman adalah
tasdik dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan Nabi dan Rasul Allah. Menurut
konsep ini Iman dan Kufur itu adalah semata-mata urusan hati, bukan terlihat
dari luar. Jika seseorang sudah tasdik (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah
maka ia disebut telah beriman, sekalipun perbuatannya belum sesuai dengan
tuntunan ajaran agamanya.
2.
Iman adalah
tasdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lisan. Dengan demikian seseorang
dapat digolongkan beriman apabila ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan
Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaan itu dengan lisan. Antara
keimanan dan amal perbuatan manusia tidak terdapat hubungan, yang terpenting
dalam iman itu adalah tasdik dan ikrar.
3.
Iman adalah
tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan.
Antara iman dan perbuatan terdapat keterkaitan, karena iman seseorang
ditentukan dengan amal perbuatannya.
Dari uraian singkat di atas terlihat
bahwa konsep iman dikalangan kaum muslimin adalah bervareasi, ada yang hanya
memasukkan unsure tasdiq, ada juga yang menambah unsur ikrar tanpa unsur amal
perbuatan, ada pula yang mengumpulkan ketiga unsur tersebut yaitu: tasdiq,
ikrar dan amal perbuatan.
Pembahasan
masalah keimanan dalam Ilmu Tauhid juga menyangkut apakah imam seseorang dapat
bertambah atau sebaliknya. Dalam ini ada dua golongan yang menyatakan
pendapatnya yaitu: (1) mereka yang mengatakan bahwa iman seseorang itu tidak
dapat bertambah atau berkurang, (2) golongan yang mengatakan bahwa iman
seseorang itu dapat bertambah atau berkurang.
Golongan yang berpendapat bahwa iman seseorang itu dapat
bertambah atau berkurang pada tasdiq dan amalnya. Tasdiq yang bertambah tentu
di ikuti oleh frekuensi amal perbuatannya dan ketaatannya. Bertambah atau
berkurangnya tasdiq seseorang tergantung kepada:
a.
Kuat atau
lemahnya dalil (bukti) yang di terima oleh seseorang sehingga dapat menguatkan
atau melemahkan tasdiqnya.
b.
Diri pribadi
seseorang itu, artinya kemampuannya menyerap dalil-dalil keimaman, makin kuat
daya serapnya kuat pula tasdiqnya. Sebaliknya jika daya serapnya lemah atau
tidak baik maka tasdiqnya akan lemah pula.
c.
Pengalaman
terhadap ajaran agama. seseorang yang melaksanakan ajaran-ajaran agamanya
dengan baik dan benar, akan merasakan kekuatan iman yang tinggi. makin tinggi
frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat imannya atau tasdiqnya.
Masalah iman, yang berarti
percaya, ramai pula dibicarakan dalam ilmu Kalam.
Pembicaraan tentang iman ini berkisar di seputar, apakah
iman itu hanya sebatas pembenaran dalam hati saja,ataukah iman juga harus
sampai kepada pengetahuan rasio dan pengalaman dalam kehidupan nyata? Dengan
kata lain, apakah iman hanya di tasdiq (pembenaran atas apa yang di dengar),
ataukah harus meningkat sampai ma’rifah (mengetahui benar apa yang di yakini)
serta ‘amal (perbuatan).[1]
Bagi pemikiran kalam rasional,
karena memberikan daya yang kuat kepada akal, iman bukan hanya sekedar tasdiq, tetapi
juga ma’rifah serta ‘amal. Sedangkan bagi pemikiran tradisional,
karena memberikan daya kecil kepada akal,
iman hanyalah sebatas tasdiq (pembenaran
dalam hati tentang apa yang di dengar).[2]
Aliran kalam rasional yang
berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya tuhan, kewajiban
berterima kasih kepada tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan
yang baik serta yang buruk, memberikan konsep iman tidak hanya dengan tasdiq
semata, tetapi harus meningkat lebih tinggi dari itu, yakni ma’rifah dan ‘amal.
Dikalangan para pemikir kalam tradisional iman
adalah tasdiq. Sejalan dengan pandangan pemikiran kalam tradisional terhadap
akal, yang hanya mempunyai daya kecil, maka segala sesuatu yang berkaitan
dengan agama, terutama tentang iman didasarkan atas informasi wahyu. Oleh sebab
itu, tasdiq disini berarti pembenaran tentang apa yang di dengar dari wahyu.[3]
Bagi maturidiyah samarkand, sebagai yang dijelaskan
oleh imam Abu Mansur Al-maturidi sendiri, iman adalah tasdiq bukan lisan. Apa
yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, akan menjadi batal,
bila hati tidak mengakui apa yang di ucapkan itu.[4]
Namun Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu.
Tasdiq, yang difahami Al-Maturidi adalah tasdiq sebagai hasil dari ma’rifah.
Tasdiq hasil ma’rifah ini, adalah tasdiq yang dihasilkan melalui penjelajahan
al-‘aql bukan semata-mata al-sam’u (pendengaran). Al-maturidi mendasari pandangan
ini pada ayat 260 surah Al-Baqarah.
وَاِذْ قاَلَ اِبْرَهمُ
رَبِّ اَرْنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى, قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ, قاَلَ بَلى وَلَكِنْ
لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِيْ, قَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ
ثُمَّ اجْعَلْ عَلى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَآْ تِيْنَكَ
سَعْياً, وَاعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَزِيْزُ حَكِيْم.ُِ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata,
“Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.”
Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku
percaya, tetapi agar hatiku tenang
(mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu,
kemudian letakkan diatas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah
mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Menurut Al-Maturidi, ayat diatas menjelaskan bahwa
ketika Nabi ibrahim meminta tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan
menghidupkan orang mati, bukan berarti Nabi ibrahim belum beriman. Tetapi yang dimaksud oleh ibrahim
adalah agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil
ma’rifah.[5]
Sementara bagi aliran mu’tazilah iman bukanlah
sekedar tasdiq dan ma’rifah,tetapi harus meningkat kepada ‘amal.itulah
sebabnya, menurut muktazilah iman adalah pelaksanaan perintah tuhan. Seseorang dikatakan
tidak beriman, bila seseorang itu tahu tentang tuhan, tetapi tidak melaksanakan
perintah-perintahnya atau menentangnya. Konsep iman seperti ini diberi sandaran
ayat 2 surah Al-Anfal.[6]
اِنَّمَا
الْمُوْمِنُوْنَ اَلَّدِيْنَ اِذَا ذُكِرِاللهُ وَجَلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيَتُهُ زَاِذَ تَهُمْ اِيْماَناً وَّعَلى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَلُوْنَ.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan
ayat-ayatnya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan
mereka bertawakal.
Sesungguhnya orang-orang beriman, ialah orang-orang
yang bila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat
Allah, bertambah imannya, sedang mereka itu bertawakkal kepada Allah.
Demikian Al-Asy’ari memberikan konsep iman dengan
mengatakan’’ Al-iman huwa Al-tasdiq bi Allah’’ (menerima sebagai benar
informasi tentang adanya Allah). Al-Bazdawi sebagai tokoh almaturidiyah bukhara
mengatakan bahwa iman adalah penerimaan dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan dia.[7]
Aliran Asy’ariyah, sebagai yang dijelaskan oleh
Asy’ari, menggunakan dalil naqli, yakni surah Ibrahim ayat 4, surah As-Syu’ara
ayat 195 dan surah ayat 17.
Ayat-ayat tersebut, menurut Asy’ari, menjelaskan
bahwa informasi tentang agama yang harus di imani itu, disampaikan lewat lisan
atau bahasa kaum tempat Rasul itu di utus serta dalam bahasa arab yang jelas.
Oleh sebab itu, lanjut Al-Asy’ari, iman berarti tasdiq atas apa yang di
turunkan dari Allah. Sementara itu penggalan ayat 17 surah Yusuf difahami oleh
Asy’ari dengan mengatakan adanya hubungan antara kata mu’min dan siddiqin. Oleh
sebab itu, demikian Asy’ari, iman adalah at-tasdiq bi al-qalb (pembenaran
dengan hati atas berita yang dibawa oleh Nabi dan dan Rasul). [8]
Sementara itu maturidiyah bukhara, sebagai yang
ditulis oleh bazdawi, juga menggunakan surah Yusuf ayat 17 sebagai dalil.
قَاُلوْا يَاَبَانَااِنَّاذَهَبْنَا
نَسْتَبِقُ وَتَرَكَنَا يُوْسُفَ عِنْدَ مَتَا عِناَ فَاَكَلَهُ الَذِّئْبُ, وَمَااَنْتَ
بِمُؤْمِنٍ لَّناَ وَلَوْكُنَّاصدِقِيْنَ.
Artinya: Mereka berkata, “Wahai ayah kami!
Sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat
barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau tentu tidak akan
percayakepada kami, sekalipun kami berkata benar.”
Ayat tersebut difahami Al-Bazdawi sebagai penjelasan
tentang iman adalah tasdiq, baik secara bahasa ataupun syariah.[9]
Kesatuan Pengetahuan
Sebenarnya
manusia itu tidak punya pengetahuan sama sekali. Yang memiliki pengetahuan hanyalah Allah. Lantas Allah mengeluarkan dua
sumber pengetahuan yaitu Al-Qur’an dan Alam. Dengan membaca Al-Qur’an manusia memperoleh
ber-macam- macam pengetuahuan, dengan membaca alam maanusia juga memperoleh
pengetahuan yang banyak.
Pengetahuan yang berasal dari Al-Qur’an itu didak mungkin
berlawanan dengan pengetahuan yang berasal dari alam. Pengetahuan berasal dari
Al-Qur’an adalah pengetahuan yang selalu
benar, pengetahuan yang berasal dari alam juga pengetahuan yang benar karena
juga berasal dari yang selalu benar. Tidak mungkin, misalnya, pengetahuan dari
Al-Qur’an mengatakan riba haram sementara pengetahuan dari alam (dalam hal ini
ilmu ekonomi) menyatakan riba boleh. Itu tidak mungkin karena tidak ada
pertentangan dalam pengetahuan tuhan. Penegetahuan tuhan itu sangat banyak dan
tidak satupun pengetahuannya itu yang saling berlawanan. Dalam hubungan antara pengetahuan dan keyakinan adalah hubungan
“negasi-afirmasi”. Abd al-Jabbar dengan sangat baik mengartikulasi hal ini
dengan statement singkatnya, berikut ini:
وأدعلمنا ان الطم صداهوالاعتقاد الذى يتطق بنفي ما تطق العلم با ثباته, ألوبإ
ثبات ما تعلق العلم بنفيه, لأته قد ثبت امتتاع الجمع بينهماولاوجه إلااتضاد.[10]
Oleh karena itu, pengetahuan dalam
relasinya dengan keyakinan tidak terlepas dari dua keadaan: (1) pengetahuan
menegasikan apa yang oleh keyakinan diafirmasikan karena pengetahuan tidak
mengafirmasikannya, atau (2) pengetahuan mengafirmasikan apa yang oleh
keyakinan dinegasikan karena tuntutan pengetahuan bahwa hal itu harus
diafirmasikan. Terhadap keyakinan tentang objek tertentu, pengetahuan tidak
terlepas dari salah satunya. Namun, sebagai kerja termenologi keilmuan,
negasi-afirmasi adalah dua hal yang tidak terpisahkan (ada proses penyaringan
oleh akal terhadap berbagai fenomena untuk ditunjuk sebagai fakta dan data).
Kesatuan Pengetahuan Dalam Pendidikan
Dalam pendidikan yang harus kita ajarkan
adalah pengetahuan yang dikotomis. Pengetahuan yang terdikotomi berbahaya di
ajarkan. Bila pengetahuan yang terdikotomi itu berlawanan dan lantas kita
ajarkan maka ada dua bahayanya. pertama, pasti salah satu yang salah atau
kedua-duanya salah, berarti kita pasti mengajarkan pengetahuan yang salah.
Kedua, pelajar memperoleh pengetahuan seperti itu akan terbelah kepribadiaannya
(split personality).
Agar
kita tidak mengajarkan pengetahuan yang saling berlawana, maka sebelum
diajarkan teori pengetahuan umum yang hendak kita ajarkan itu di periksa terlebih
dahulu apakah berlawanan dengan ajaran agama atau tidak. Dan sebaliknya, ajaran
agama yang hendak di ajarkan seharusnya kita periksa lebih dahulu apakah tidak
perlawanan dengan teori pengetahuan umum yang sudah pasti benarnya.
Fungsi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan bekerja untuk mendorong manusia terus-menerus
berlomba mengambil manfaat dari manusia dan alam bagi kesejahteraan manusia
kini dan yang akan datang. Karena itu
dalam dunia dalam dunia keilmuan manusia terbaik adalah manusia yang menyiapkan
diri untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pada sesamanya, Saling
memanfaatkan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang di kuasainya. Artinya tanpa
penguasaan ilmu pengetahuan, seseorang atau suatu konitas orang, halnya akan
jadi objek/dimanfaatkan komonitas yang lain tanpa ia sendiri memperoleh manfaat
dari keadaan atau hal tersebut. Komonitas tanpa iptek bisa bebas dari objek
pemanfaatan komonitas beriptek, hanya bila komonitas beribteknya memiliki
tauhid/berimtak.
Karena itu untuk mampu bertahan hidup dalam
suasana global, manusia berimtek harus berlomba memelihara dan mengembangkan
iptek. Semakin tinggi dan banyak penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
semakin besar peluang untuk hidup memberi manfaat, sebaliknya semakin tidak
menguasai iptek semakin hidupnya kurang atau malah tidak memberi manfaat bagi
manusia lainnya. Namun demikian, realitas kehidupan manusia menunjukkan bahwa
keluhuran manfaat ilmu itu tidak selamanya memberikan kesejahteraan, baik dalam
dimensi perorangan maupun dalam dimensi kelompok atau malah Negara. Pada jaman
sekarangpun tidak sedikit kelompok masyarakat yang makmur secara materi
lantaran memiliki kepinteran dalam suatu bidang profesi bersentuhanlangsung
dengan hajat hidup orang banyak, namun hidupnya tidak sejahtera.
Ilmu Dalam Dimensi Tauhid
Dalam
dimensi tauhid, kata ilmu di maksudkan untuk dua jenis. Pertama, ilmu wahyu dan
Kedua, hasil cipta karya manusia. Ilmu wahyu karena sumbernya dari Allah yang
hak, memiliki superioritas kebenaran. demikian menurut Izutsuyang di kutib
Abdurrahman Shalih Abdullah (1991:112) Sementara ilmu hasil manusia karena
proses pencarian dan penemuannya di batasi oleh keterbatasan kemampuan manusia,
maka tingkay kebenarannya berada di bawah ilmu wahyu, sifatnya zhan. Sifat
ilmu manusia ini mendorong dua kemungkinan. Pertama, digunakan untuk
hawa nafsu sesudah Nampak kebenaran dari Allah. Ilmu demikian tidak akan
berfungsi sebagai pelindung atau penyelamat pelakunya (QS2:120). Kedua, dipakai
untuk memperkuat keimanan tentang Allah sebagai sumber segala hidup dan
kehidupan manusia. Inilah sikap manusia yang tergolong Ar Rasikhuna fi
al-‘ilmi (ilmuan mumpuni).
Ilmu
wahyu ini menurut Fazlur Rahman dalam bukunya Tema pokok Al-Qur’an, memiliki
sifat deskriptif yang sekaligus juga preskriptif. Namun walau wahyu bersifat
deskriptif, keakuratan deskripsinya dalam realitas kehidupan tidak hanya
terletak pada substansi wahyunya sendiri, namun juga berkaitan dengan kemampuan
manusia memahami ayat/ilmu wahyu tersebut. Namun demikian wahyu dan ilham
memiliki perbedaan yang sangat jauh pada tingkat kebenarannya. Wahyu karena
berasal dari Allah dan diterima Nabi atau Rasul, memiliki mutu kebenaran
mutlak, sementara ilham karena dimungkinkan dating dari malaikat dan syetan,
dan diterima oleh manusia biasa yang tidak dijamin kemampuan menangkap
kebenaran, maka nilai kebenarannya bersifat relative. Namun Dr Mahdi Gulsyani
(1988:95) menegaskan bahwa ilham-pun bersumber dari Allah, hanya lantaran
tingkat hubungan antara manusia dengan Allah yang berbeda-beda maka kebenaran
yang didapat-pun berbeda-beda, selain cara mendapatkannya-pun berbeda-beda.
Sebagian orang cukup dengan perenungan (meditasi) sedang sebagian lainnya
melalui sedikit spekulasi.
Pengetahuan Dunia Eksternal
Di
kalangan Mutakallimun, sebagaimana dicatat al-Asy’ari dalam Maqalat
al-islamiyyin, setidaknya terjadi polarisasi pendapat tentang
kredibilitas pengetahuan inderawi menjadi tiga belas pendapat, Mu’tazilah
Baghdad, Al-iskafi, Abu Al-Husayn ash-Shahih, dan Ahl an-Nazhar (pendukung
nalar)[11]
Menurut
‘Abd al-Jabbar, pengetahuan tentang dunia eksternal yang empiris dan sensual
merupakan pengetahuan yang tak terbantah. Istilah kunci yang digunakannya, mudrakat
(dari idrak), sebenarnya digunakan untuk objek-objek yang di
persepsi secara inderawi maupun secara rasional. Akan tetapi, mudrakat lebih
ditekankan pada objek-objek empiris sensual sehingga mencakup pengertian musyahadat
(objek-objek yang dilihat). Onjek-objek empiris sensual (mudrakat),
sebagaimana dijelaskan dalam syarh, mencakup tujuh hal, yaitu: warna,
rasa, bau, rasa dingin, panas, rasa sakit, dan suara, yang semuanya menjadi
objek cerapan panca indera manusia. Hal ini dapat dipahami, antara lain, dari
penekanannya pada hal-hal berikut: Pertama, ketika membahas kesempurnaan
akal (kamal al-‘aql) ‘Abd al-Jabbar menekankan bahwa ilmu, menurutnya,
harus dibangun dari pengetahuan tentang realitas fisikal yang disebutnya
sebagai “fondasi ilmu” (ashl li al-‘ilm).[12]
Kedua, ketika menolak skeptisisme epistimologis yang menganggap fakta-fakta
empiris inderawi merupakan mimpi orang tidur yang tidak memiliki realitas atau
kebenaran, ‘Abd al-Jabbar memang menegaskan bahwa inderawi (baca:esensi) hanya
bisa melaporkan bahwa suatu objek ada seperti realitas objektifnya (‘ala ma’
huwa ‘alayh lidzatih), tidak memberikan keputusan apapun, yang sesungguhnya
kembali ke subjek.[13] Ketiga,
ketika mengkritik pandangan relativitas (ashhab at-tajahul), dimana
pandangan relativitasme berimplikasi pada penerimaan prinsip “keserbabolehan” (at-tajwiz)
bahwa apa yang dilihat sebagai hitam mungkin menjadi putih, suatu
pengandaian yang kontradiktif dengan kenyataan. ‘Abd al-Jabbar berargumen bahwa
keyakinan subjek tidak akan berpengaruh terhadap keadaan objek.[14]
Persepsi
sebagai pengalaman manusia dan sebagai sumber pengetahuan dapat di klasifisikan
kepada dua kategori:[15] (1) persepsi terhadap fakta-fakta dunia
eksternal, dimana data materiil di persepsi dengan panca indera, dan (2)
persepsi internal manusia “menemukan dirinya” (wajad nafsah) dalam
istilah ‘Abd al-Jabbar, atau persepsi introspektifdalam istilah Hourani. berbeda dengan yang pertama, kategori
kedua merupakan tahap awal pengetahuan rasional dari dalam diri manusia.
Karena
terjadi interrelasi keduanya, disini dikemukakan pemerian kategori kedua secara
singkat. ‘Abd al-Jabbar menganggap persepsi introspektif sebagai evindensi
paling jelas bagi kebenaran pengetahuan. Setiap manusia memiliki potensi untuk
memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Contoh-contoh sederhana
yang dikemukakan adalah bahwa kita memiliki kemampuan untuk bertindak; bahwa
jiwa kita dalam keadaan puas (sakun an-nafs), “berfikir merupakan
observasi terhadap keadaan objek komparasi antara objek tersebut dengan objek
lain, atau komprasi antara suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain”, dan
bahwa nalarberbeda dengan keadaan (ahwal) pikiran lainnya, misalnya
perbedaan antara keyakinan dan kehendak. Atas dasar ini, persepsi introspektif
sebenarnya merupakan upaya memfungsikan ‘aql untuk menyerapkan data
pengalaman internal sehingga terjadi proses pemilahan dan perbandingan.
[1] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam
pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.118.
[2] Ibid.,hlm.119
[3] Ibid.,hlm.121
[4] Ibid.,hlm.120
[5] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam
pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.120.
[6] Ibid.,hlm.121
[7] Prof.dr.M.Yunan Yusuf,alam
pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.122.
[8] Ibid.,hlm.123
[9] Ibid.
[11] Lihat Abu al-Hasan
al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyah, Juz II, ed. Muhammad Muhyi ad-Din ‘Abd
al-Hamid, (Beirut: al-Maktabat al-Ashriyyah, 1990/1411), hlm. 79-82.
[14] Ibid., Juz XII, hlm.
48 Uraian lebih lanjut tentang hal ini di kemukakan dalam bahasan tentang
kritik ‘Abd al-Jabbar terhadap spektisisme.
IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tauhid
yang diampu
oleh Bapak Misnawi, M. Pd.I
Imam Hanafi
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
imam
Kata “Iman”
berasal dari bahasa arab yang berarti tasdiq (membenarkan). iman itu tempatnya
dalam hati yang membenarkan semua yang dibawah Rasul Muhammad SAW baik yang
bersifat wajib maupun yang mustahil bagi Allah SWT. Dalam pembahasan Ilmu
Tauhid/Ilmu Kalam konsep iman terbagi menjadi tiga yaitu:
1.
Iman adalah
tasdik dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan Nabi dan Rasul Allah. Menurut
konsep ini Iman dan Kufur itu adalah semata-mata urusan hati, bukan terlihat
dari luar. Jika seseorang sudah tasdik (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah
maka ia disebut telah beriman, sekalipun perbuatannya belum sesuai dengan
tuntunan ajaran agamanya.
2.
Iman adalah
tasdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lisan. Dengan demikian seseorang
dapat digolongkan beriman apabila ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan
Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaan itu dengan lisan. Antara
keimanan dan amal perbuatan manusia tidak terdapat hubungan, yang terpenting
dalam iman itu adalah tasdik dan ikrar.
3.
Iman adalah
tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan.
Antara iman dan perbuatan terdapat keterkaitan, karena iman seseorang
ditentukan dengan amal perbuatannya.
Dari uraian singkat di atas terlihat
bahwa konsep iman dikalangan kaum muslimin adalah bervareasi, ada yang hanya
memasukkan unsure tasdiq, ada juga yang menambah unsur ikrar tanpa unsur amal
perbuatan, ada pula yang mengumpulkan ketiga unsur tersebut yaitu: tasdiq,
ikrar dan amal perbuatan.
Pembahasan
masalah keimanan dalam Ilmu Tauhid juga menyangkut apakah imam seseorang dapat
bertambah atau sebaliknya. Dalam ini ada dua golongan yang menyatakan
pendapatnya yaitu: (1) mereka yang mengatakan bahwa iman seseorang itu tidak
dapat bertambah atau berkurang, (2) golongan yang mengatakan bahwa iman
seseorang itu dapat bertambah atau berkurang.
Golongan yang berpendapat bahwa iman seseorang itu dapat
bertambah atau berkurang pada tasdiq dan amalnya. Tasdiq yang bertambah tentu
di ikuti oleh frekuensi amal perbuatannya dan ketaatannya. Bertambah atau
berkurangnya tasdiq seseorang tergantung kepada:
a.
Kuat atau
lemahnya dalil (bukti) yang di terima oleh seseorang sehingga dapat menguatkan
atau melemahkan tasdiqnya.
b.
Diri pribadi
seseorang itu, artinya kemampuannya menyerap dalil-dalil keimaman, makin kuat
daya serapnya kuat pula tasdiqnya. Sebaliknya jika daya serapnya lemah atau
tidak baik maka tasdiqnya akan lemah pula.
c.
Pengalaman
terhadap ajaran agama. seseorang yang melaksanakan ajaran-ajaran agamanya
dengan baik dan benar, akan merasakan kekuatan iman yang tinggi. makin tinggi
frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat imannya atau tasdiqnya.
Masalah iman, yang berarti
percaya, ramai pula dibicarakan dalam ilmu Kalam.
Pembicaraan tentang iman ini berkisar di seputar, apakah
iman itu hanya sebatas pembenaran dalam hati saja,ataukah iman juga harus
sampai kepada pengetahuan rasio dan pengalaman dalam kehidupan nyata? Dengan
kata lain, apakah iman hanya di tasdiq (pembenaran atas apa yang di dengar),
ataukah harus meningkat sampai ma’rifah (mengetahui benar apa yang di yakini)
serta ‘amal (perbuatan).[1]
Bagi pemikiran kalam rasional,
karena memberikan daya yang kuat kepada akal, iman bukan hanya sekedar tasdiq, tetapi
juga ma’rifah serta ‘amal. Sedangkan bagi pemikiran tradisional,
karena memberikan daya kecil kepada akal,
iman hanyalah sebatas tasdiq (pembenaran
dalam hati tentang apa yang di dengar).[2]
Aliran kalam rasional yang
berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya tuhan, kewajiban
berterima kasih kepada tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan
yang baik serta yang buruk, memberikan konsep iman tidak hanya dengan tasdiq
semata, tetapi harus meningkat lebih tinggi dari itu, yakni ma’rifah dan ‘amal.
Dikalangan para pemikir kalam tradisional iman
adalah tasdiq. Sejalan dengan pandangan pemikiran kalam tradisional terhadap
akal, yang hanya mempunyai daya kecil, maka segala sesuatu yang berkaitan
dengan agama, terutama tentang iman didasarkan atas informasi wahyu. Oleh sebab
itu, tasdiq disini berarti pembenaran tentang apa yang di dengar dari wahyu.[3]
Bagi maturidiyah samarkand, sebagai yang dijelaskan
oleh imam Abu Mansur Al-maturidi sendiri, iman adalah tasdiq bukan lisan. Apa
yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, akan menjadi batal,
bila hati tidak mengakui apa yang di ucapkan itu.[4]
Namun Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu.
Tasdiq, yang difahami Al-Maturidi adalah tasdiq sebagai hasil dari ma’rifah.
Tasdiq hasil ma’rifah ini, adalah tasdiq yang dihasilkan melalui penjelajahan
al-‘aql bukan semata-mata al-sam’u (pendengaran). Al-maturidi mendasari pandangan
ini pada ayat 260 surah Al-Baqarah.
وَاِذْ قاَلَ اِبْرَهمُ
رَبِّ اَرْنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى, قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ, قاَلَ بَلى وَلَكِنْ
لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِيْ, قَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ
ثُمَّ اجْعَلْ عَلى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَآْ تِيْنَكَ
سَعْياً, وَاعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَزِيْزُ حَكِيْم.ُِ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata,
“Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.”
Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku
percaya, tetapi agar hatiku tenang
(mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu,
kemudian letakkan diatas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah
mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Menurut Al-Maturidi, ayat diatas menjelaskan bahwa
ketika Nabi ibrahim meminta tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan
menghidupkan orang mati, bukan berarti Nabi ibrahim belum beriman. Tetapi yang dimaksud oleh ibrahim
adalah agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil
ma’rifah.[5]
Sementara bagi aliran mu’tazilah iman bukanlah
sekedar tasdiq dan ma’rifah,tetapi harus meningkat kepada ‘amal.itulah
sebabnya, menurut muktazilah iman adalah pelaksanaan perintah tuhan. Seseorang dikatakan
tidak beriman, bila seseorang itu tahu tentang tuhan, tetapi tidak melaksanakan
perintah-perintahnya atau menentangnya. Konsep iman seperti ini diberi sandaran
ayat 2 surah Al-Anfal.[6]
اِنَّمَا
الْمُوْمِنُوْنَ اَلَّدِيْنَ اِذَا ذُكِرِاللهُ وَجَلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيَتُهُ زَاِذَ تَهُمْ اِيْماَناً وَّعَلى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَلُوْنَ.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan
ayat-ayatnya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan
mereka bertawakal.
Sesungguhnya orang-orang beriman, ialah orang-orang
yang bila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat
Allah, bertambah imannya, sedang mereka itu bertawakkal kepada Allah.
Demikian Al-Asy’ari memberikan konsep iman dengan
mengatakan’’ Al-iman huwa Al-tasdiq bi Allah’’ (menerima sebagai benar
informasi tentang adanya Allah). Al-Bazdawi sebagai tokoh almaturidiyah bukhara
mengatakan bahwa iman adalah penerimaan dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan dia.[7]
Aliran Asy’ariyah, sebagai yang dijelaskan oleh
Asy’ari, menggunakan dalil naqli, yakni surah Ibrahim ayat 4, surah As-Syu’ara
ayat 195 dan surah ayat 17.
Ayat-ayat tersebut, menurut Asy’ari, menjelaskan
bahwa informasi tentang agama yang harus di imani itu, disampaikan lewat lisan
atau bahasa kaum tempat Rasul itu di utus serta dalam bahasa arab yang jelas.
Oleh sebab itu, lanjut Al-Asy’ari, iman berarti tasdiq atas apa yang di
turunkan dari Allah. Sementara itu penggalan ayat 17 surah Yusuf difahami oleh
Asy’ari dengan mengatakan adanya hubungan antara kata mu’min dan siddiqin. Oleh
sebab itu, demikian Asy’ari, iman adalah at-tasdiq bi al-qalb (pembenaran
dengan hati atas berita yang dibawa oleh Nabi dan dan Rasul). [8]
Sementara itu maturidiyah bukhara, sebagai yang
ditulis oleh bazdawi, juga menggunakan surah Yusuf ayat 17 sebagai dalil.
قَاُلوْا يَاَبَانَااِنَّاذَهَبْنَا
نَسْتَبِقُ وَتَرَكَنَا يُوْسُفَ عِنْدَ مَتَا عِناَ فَاَكَلَهُ الَذِّئْبُ, وَمَااَنْتَ
بِمُؤْمِنٍ لَّناَ وَلَوْكُنَّاصدِقِيْنَ.
Artinya: Mereka berkata, “Wahai ayah kami!
Sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat
barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau tentu tidak akan
percayakepada kami, sekalipun kami berkata benar.”
Ayat tersebut difahami Al-Bazdawi sebagai penjelasan
tentang iman adalah tasdiq, baik secara bahasa ataupun syariah.[9]
Kesatuan Pengetahuan
Sebenarnya
manusia itu tidak punya pengetahuan sama sekali. Yang memiliki pengetahuan hanyalah Allah. Lantas Allah mengeluarkan dua
sumber pengetahuan yaitu Al-Qur’an dan Alam. Dengan membaca Al-Qur’an manusia memperoleh
ber-macam- macam pengetuahuan, dengan membaca alam maanusia juga memperoleh
pengetahuan yang banyak.
Pengetahuan yang berasal dari Al-Qur’an itu didak mungkin
berlawanan dengan pengetahuan yang berasal dari alam. Pengetahuan berasal dari
Al-Qur’an adalah pengetahuan yang selalu
benar, pengetahuan yang berasal dari alam juga pengetahuan yang benar karena
juga berasal dari yang selalu benar. Tidak mungkin, misalnya, pengetahuan dari
Al-Qur’an mengatakan riba haram sementara pengetahuan dari alam (dalam hal ini
ilmu ekonomi) menyatakan riba boleh. Itu tidak mungkin karena tidak ada
pertentangan dalam pengetahuan tuhan. Penegetahuan tuhan itu sangat banyak dan
tidak satupun pengetahuannya itu yang saling berlawanan. Dalam hubungan antara pengetahuan dan keyakinan adalah hubungan
“negasi-afirmasi”. Abd al-Jabbar dengan sangat baik mengartikulasi hal ini
dengan statement singkatnya, berikut ini:
وأدعلمنا ان الطم صداهوالاعتقاد الذى يتطق بنفي ما تطق العلم با ثباته, ألوبإ
ثبات ما تعلق العلم بنفيه, لأته قد ثبت امتتاع الجمع بينهماولاوجه إلااتضاد.[10]
Oleh karena itu, pengetahuan dalam
relasinya dengan keyakinan tidak terlepas dari dua keadaan: (1) pengetahuan
menegasikan apa yang oleh keyakinan diafirmasikan karena pengetahuan tidak
mengafirmasikannya, atau (2) pengetahuan mengafirmasikan apa yang oleh
keyakinan dinegasikan karena tuntutan pengetahuan bahwa hal itu harus
diafirmasikan. Terhadap keyakinan tentang objek tertentu, pengetahuan tidak
terlepas dari salah satunya. Namun, sebagai kerja termenologi keilmuan,
negasi-afirmasi adalah dua hal yang tidak terpisahkan (ada proses penyaringan
oleh akal terhadap berbagai fenomena untuk ditunjuk sebagai fakta dan data).
Kesatuan Pengetahuan Dalam Pendidikan
Dalam pendidikan yang harus kita ajarkan
adalah pengetahuan yang dikotomis. Pengetahuan yang terdikotomi berbahaya di
ajarkan. Bila pengetahuan yang terdikotomi itu berlawanan dan lantas kita
ajarkan maka ada dua bahayanya. pertama, pasti salah satu yang salah atau
kedua-duanya salah, berarti kita pasti mengajarkan pengetahuan yang salah.
Kedua, pelajar memperoleh pengetahuan seperti itu akan terbelah kepribadiaannya
(split personality).
Agar
kita tidak mengajarkan pengetahuan yang saling berlawana, maka sebelum
diajarkan teori pengetahuan umum yang hendak kita ajarkan itu di periksa terlebih
dahulu apakah berlawanan dengan ajaran agama atau tidak. Dan sebaliknya, ajaran
agama yang hendak di ajarkan seharusnya kita periksa lebih dahulu apakah tidak
perlawanan dengan teori pengetahuan umum yang sudah pasti benarnya.
Fungsi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan bekerja untuk mendorong manusia terus-menerus
berlomba mengambil manfaat dari manusia dan alam bagi kesejahteraan manusia
kini dan yang akan datang. Karena itu
dalam dunia dalam dunia keilmuan manusia terbaik adalah manusia yang menyiapkan
diri untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pada sesamanya, Saling
memanfaatkan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang di kuasainya. Artinya tanpa
penguasaan ilmu pengetahuan, seseorang atau suatu konitas orang, halnya akan
jadi objek/dimanfaatkan komonitas yang lain tanpa ia sendiri memperoleh manfaat
dari keadaan atau hal tersebut. Komonitas tanpa iptek bisa bebas dari objek
pemanfaatan komonitas beriptek, hanya bila komonitas beribteknya memiliki
tauhid/berimtak.
Karena itu untuk mampu bertahan hidup dalam
suasana global, manusia berimtek harus berlomba memelihara dan mengembangkan
iptek. Semakin tinggi dan banyak penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
semakin besar peluang untuk hidup memberi manfaat, sebaliknya semakin tidak
menguasai iptek semakin hidupnya kurang atau malah tidak memberi manfaat bagi
manusia lainnya. Namun demikian, realitas kehidupan manusia menunjukkan bahwa
keluhuran manfaat ilmu itu tidak selamanya memberikan kesejahteraan, baik dalam
dimensi perorangan maupun dalam dimensi kelompok atau malah Negara. Pada jaman
sekarangpun tidak sedikit kelompok masyarakat yang makmur secara materi
lantaran memiliki kepinteran dalam suatu bidang profesi bersentuhanlangsung
dengan hajat hidup orang banyak, namun hidupnya tidak sejahtera.
Ilmu Dalam Dimensi Tauhid
Dalam
dimensi tauhid, kata ilmu di maksudkan untuk dua jenis. Pertama, ilmu wahyu dan
Kedua, hasil cipta karya manusia. Ilmu wahyu karena sumbernya dari Allah yang
hak, memiliki superioritas kebenaran. demikian menurut Izutsuyang di kutib
Abdurrahman Shalih Abdullah (1991:112) Sementara ilmu hasil manusia karena
proses pencarian dan penemuannya di batasi oleh keterbatasan kemampuan manusia,
maka tingkay kebenarannya berada di bawah ilmu wahyu, sifatnya zhan. Sifat
ilmu manusia ini mendorong dua kemungkinan. Pertama, digunakan untuk
hawa nafsu sesudah Nampak kebenaran dari Allah. Ilmu demikian tidak akan
berfungsi sebagai pelindung atau penyelamat pelakunya (QS2:120). Kedua, dipakai
untuk memperkuat keimanan tentang Allah sebagai sumber segala hidup dan
kehidupan manusia. Inilah sikap manusia yang tergolong Ar Rasikhuna fi
al-‘ilmi (ilmuan mumpuni).
Ilmu
wahyu ini menurut Fazlur Rahman dalam bukunya Tema pokok Al-Qur’an, memiliki
sifat deskriptif yang sekaligus juga preskriptif. Namun walau wahyu bersifat
deskriptif, keakuratan deskripsinya dalam realitas kehidupan tidak hanya
terletak pada substansi wahyunya sendiri, namun juga berkaitan dengan kemampuan
manusia memahami ayat/ilmu wahyu tersebut. Namun demikian wahyu dan ilham
memiliki perbedaan yang sangat jauh pada tingkat kebenarannya. Wahyu karena
berasal dari Allah dan diterima Nabi atau Rasul, memiliki mutu kebenaran
mutlak, sementara ilham karena dimungkinkan dating dari malaikat dan syetan,
dan diterima oleh manusia biasa yang tidak dijamin kemampuan menangkap
kebenaran, maka nilai kebenarannya bersifat relative. Namun Dr Mahdi Gulsyani
(1988:95) menegaskan bahwa ilham-pun bersumber dari Allah, hanya lantaran
tingkat hubungan antara manusia dengan Allah yang berbeda-beda maka kebenaran
yang didapat-pun berbeda-beda, selain cara mendapatkannya-pun berbeda-beda.
Sebagian orang cukup dengan perenungan (meditasi) sedang sebagian lainnya
melalui sedikit spekulasi.
Pengetahuan Dunia Eksternal
Di
kalangan Mutakallimun, sebagaimana dicatat al-Asy’ari dalam Maqalat
al-islamiyyin, setidaknya terjadi polarisasi pendapat tentang
kredibilitas pengetahuan inderawi menjadi tiga belas pendapat, Mu’tazilah
Baghdad, Al-iskafi, Abu Al-Husayn ash-Shahih, dan Ahl an-Nazhar (pendukung
nalar)[11]
Menurut
‘Abd al-Jabbar, pengetahuan tentang dunia eksternal yang empiris dan sensual
merupakan pengetahuan yang tak terbantah. Istilah kunci yang digunakannya, mudrakat
(dari idrak), sebenarnya digunakan untuk objek-objek yang di
persepsi secara inderawi maupun secara rasional. Akan tetapi, mudrakat lebih
ditekankan pada objek-objek empiris sensual sehingga mencakup pengertian musyahadat
(objek-objek yang dilihat). Onjek-objek empiris sensual (mudrakat),
sebagaimana dijelaskan dalam syarh, mencakup tujuh hal, yaitu: warna,
rasa, bau, rasa dingin, panas, rasa sakit, dan suara, yang semuanya menjadi
objek cerapan panca indera manusia. Hal ini dapat dipahami, antara lain, dari
penekanannya pada hal-hal berikut: Pertama, ketika membahas kesempurnaan
akal (kamal al-‘aql) ‘Abd al-Jabbar menekankan bahwa ilmu, menurutnya,
harus dibangun dari pengetahuan tentang realitas fisikal yang disebutnya
sebagai “fondasi ilmu” (ashl li al-‘ilm).[12]
Kedua, ketika menolak skeptisisme epistimologis yang menganggap fakta-fakta
empiris inderawi merupakan mimpi orang tidur yang tidak memiliki realitas atau
kebenaran, ‘Abd al-Jabbar memang menegaskan bahwa inderawi (baca:esensi) hanya
bisa melaporkan bahwa suatu objek ada seperti realitas objektifnya (‘ala ma’
huwa ‘alayh lidzatih), tidak memberikan keputusan apapun, yang sesungguhnya
kembali ke subjek.[13] Ketiga,
ketika mengkritik pandangan relativitas (ashhab at-tajahul), dimana
pandangan relativitasme berimplikasi pada penerimaan prinsip “keserbabolehan” (at-tajwiz)
bahwa apa yang dilihat sebagai hitam mungkin menjadi putih, suatu
pengandaian yang kontradiktif dengan kenyataan. ‘Abd al-Jabbar berargumen bahwa
keyakinan subjek tidak akan berpengaruh terhadap keadaan objek.[14]
Persepsi
sebagai pengalaman manusia dan sebagai sumber pengetahuan dapat di klasifisikan
kepada dua kategori:[15] (1) persepsi terhadap fakta-fakta dunia
eksternal, dimana data materiil di persepsi dengan panca indera, dan (2)
persepsi internal manusia “menemukan dirinya” (wajad nafsah) dalam
istilah ‘Abd al-Jabbar, atau persepsi introspektifdalam istilah Hourani. berbeda dengan yang pertama, kategori
kedua merupakan tahap awal pengetahuan rasional dari dalam diri manusia.
Karena
terjadi interrelasi keduanya, disini dikemukakan pemerian kategori kedua secara
singkat. ‘Abd al-Jabbar menganggap persepsi introspektif sebagai evindensi
paling jelas bagi kebenaran pengetahuan. Setiap manusia memiliki potensi untuk
memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Contoh-contoh sederhana
yang dikemukakan adalah bahwa kita memiliki kemampuan untuk bertindak; bahwa
jiwa kita dalam keadaan puas (sakun an-nafs), “berfikir merupakan
observasi terhadap keadaan objek komparasi antara objek tersebut dengan objek
lain, atau komprasi antara suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain”, dan
bahwa nalarberbeda dengan keadaan (ahwal) pikiran lainnya, misalnya
perbedaan antara keyakinan dan kehendak. Atas dasar ini, persepsi introspektif
sebenarnya merupakan upaya memfungsikan ‘aql untuk menyerapkan data
pengalaman internal sehingga terjadi proses pemilahan dan perbandingan.
[1] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam
pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.118.
[2] Ibid.,hlm.119
[3] Ibid.,hlm.121
[4] Ibid.,hlm.120
[5] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam
pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.120.
[6] Ibid.,hlm.121
[7] Prof.dr.M.Yunan Yusuf,alam
pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.122.
[8] Ibid.,hlm.123
[9] Ibid.
[11] Lihat Abu al-Hasan
al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyah, Juz II, ed. Muhammad Muhyi ad-Din ‘Abd
al-Hamid, (Beirut: al-Maktabat al-Ashriyyah, 1990/1411), hlm. 79-82.
[14] Ibid., Juz XII, hlm.
48 Uraian lebih lanjut tentang hal ini di kemukakan dalam bahasan tentang
kritik ‘Abd al-Jabbar terhadap spektisisme.
IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tauhid
yang diampu
oleh Bapak Misnawi, M. Pd.I
Imam Hanafi
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
imam
Kata “Iman”
berasal dari bahasa arab yang berarti tasdiq (membenarkan). iman itu tempatnya
dalam hati yang membenarkan semua yang dibawah Rasul Muhammad SAW baik yang
bersifat wajib maupun yang mustahil bagi Allah SWT. Dalam pembahasan Ilmu
Tauhid/Ilmu Kalam konsep iman terbagi menjadi tiga yaitu:
1.
Iman adalah
tasdik dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan Nabi dan Rasul Allah. Menurut
konsep ini Iman dan Kufur itu adalah semata-mata urusan hati, bukan terlihat
dari luar. Jika seseorang sudah tasdik (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah
maka ia disebut telah beriman, sekalipun perbuatannya belum sesuai dengan
tuntunan ajaran agamanya.
2.
Iman adalah
tasdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lisan. Dengan demikian seseorang
dapat digolongkan beriman apabila ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan
Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaan itu dengan lisan. Antara
keimanan dan amal perbuatan manusia tidak terdapat hubungan, yang terpenting
dalam iman itu adalah tasdik dan ikrar.
3.
Iman adalah
tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan.
Antara iman dan perbuatan terdapat keterkaitan, karena iman seseorang
ditentukan dengan amal perbuatannya.
Dari uraian singkat di atas terlihat
bahwa konsep iman dikalangan kaum muslimin adalah bervareasi, ada yang hanya
memasukkan unsure tasdiq, ada juga yang menambah unsur ikrar tanpa unsur amal
perbuatan, ada pula yang mengumpulkan ketiga unsur tersebut yaitu: tasdiq,
ikrar dan amal perbuatan.
Pembahasan
masalah keimanan dalam Ilmu Tauhid juga menyangkut apakah imam seseorang dapat
bertambah atau sebaliknya. Dalam ini ada dua golongan yang menyatakan
pendapatnya yaitu: (1) mereka yang mengatakan bahwa iman seseorang itu tidak
dapat bertambah atau berkurang, (2) golongan yang mengatakan bahwa iman
seseorang itu dapat bertambah atau berkurang.
Golongan yang berpendapat bahwa iman seseorang itu dapat
bertambah atau berkurang pada tasdiq dan amalnya. Tasdiq yang bertambah tentu
di ikuti oleh frekuensi amal perbuatannya dan ketaatannya. Bertambah atau
berkurangnya tasdiq seseorang tergantung kepada:
a.
Kuat atau
lemahnya dalil (bukti) yang di terima oleh seseorang sehingga dapat menguatkan
atau melemahkan tasdiqnya.
b.
Diri pribadi
seseorang itu, artinya kemampuannya menyerap dalil-dalil keimaman, makin kuat
daya serapnya kuat pula tasdiqnya. Sebaliknya jika daya serapnya lemah atau
tidak baik maka tasdiqnya akan lemah pula.
c.
Pengalaman
terhadap ajaran agama. seseorang yang melaksanakan ajaran-ajaran agamanya
dengan baik dan benar, akan merasakan kekuatan iman yang tinggi. makin tinggi
frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat imannya atau tasdiqnya.
Masalah iman, yang berarti
percaya, ramai pula dibicarakan dalam ilmu Kalam.
Pembicaraan tentang iman ini berkisar di seputar, apakah
iman itu hanya sebatas pembenaran dalam hati saja,ataukah iman juga harus
sampai kepada pengetahuan rasio dan pengalaman dalam kehidupan nyata? Dengan
kata lain, apakah iman hanya di tasdiq (pembenaran atas apa yang di dengar),
ataukah harus meningkat sampai ma’rifah (mengetahui benar apa yang di yakini)
serta ‘amal (perbuatan).[1]
Bagi pemikiran kalam rasional,
karena memberikan daya yang kuat kepada akal, iman bukan hanya sekedar tasdiq, tetapi
juga ma’rifah serta ‘amal. Sedangkan bagi pemikiran tradisional,
karena memberikan daya kecil kepada akal,
iman hanyalah sebatas tasdiq (pembenaran
dalam hati tentang apa yang di dengar).[2]
Aliran kalam rasional yang
berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya tuhan, kewajiban
berterima kasih kepada tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan
yang baik serta yang buruk, memberikan konsep iman tidak hanya dengan tasdiq
semata, tetapi harus meningkat lebih tinggi dari itu, yakni ma’rifah dan ‘amal.
Dikalangan para pemikir kalam tradisional iman
adalah tasdiq. Sejalan dengan pandangan pemikiran kalam tradisional terhadap
akal, yang hanya mempunyai daya kecil, maka segala sesuatu yang berkaitan
dengan agama, terutama tentang iman didasarkan atas informasi wahyu. Oleh sebab
itu, tasdiq disini berarti pembenaran tentang apa yang di dengar dari wahyu.[3]
Bagi maturidiyah samarkand, sebagai yang dijelaskan
oleh imam Abu Mansur Al-maturidi sendiri, iman adalah tasdiq bukan lisan. Apa
yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, akan menjadi batal,
bila hati tidak mengakui apa yang di ucapkan itu.[4]
Namun Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu.
Tasdiq, yang difahami Al-Maturidi adalah tasdiq sebagai hasil dari ma’rifah.
Tasdiq hasil ma’rifah ini, adalah tasdiq yang dihasilkan melalui penjelajahan
al-‘aql bukan semata-mata al-sam’u (pendengaran). Al-maturidi mendasari pandangan
ini pada ayat 260 surah Al-Baqarah.
وَاِذْ قاَلَ اِبْرَهمُ
رَبِّ اَرْنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى, قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ, قاَلَ بَلى وَلَكِنْ
لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِيْ, قَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ
ثُمَّ اجْعَلْ عَلى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَآْ تِيْنَكَ
سَعْياً, وَاعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَزِيْزُ حَكِيْم.ُِ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata,
“Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.”
Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku
percaya, tetapi agar hatiku tenang
(mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu,
kemudian letakkan diatas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah
mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Menurut Al-Maturidi, ayat diatas menjelaskan bahwa
ketika Nabi ibrahim meminta tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan
menghidupkan orang mati, bukan berarti Nabi ibrahim belum beriman. Tetapi yang dimaksud oleh ibrahim
adalah agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil
ma’rifah.[5]
Sementara bagi aliran mu’tazilah iman bukanlah
sekedar tasdiq dan ma’rifah,tetapi harus meningkat kepada ‘amal.itulah
sebabnya, menurut muktazilah iman adalah pelaksanaan perintah tuhan. Seseorang dikatakan
tidak beriman, bila seseorang itu tahu tentang tuhan, tetapi tidak melaksanakan
perintah-perintahnya atau menentangnya. Konsep iman seperti ini diberi sandaran
ayat 2 surah Al-Anfal.[6]
اِنَّمَا
الْمُوْمِنُوْنَ اَلَّدِيْنَ اِذَا ذُكِرِاللهُ وَجَلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيَتُهُ زَاِذَ تَهُمْ اِيْماَناً وَّعَلى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَلُوْنَ.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan
ayat-ayatnya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan
mereka bertawakal.
Sesungguhnya orang-orang beriman, ialah orang-orang
yang bila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat
Allah, bertambah imannya, sedang mereka itu bertawakkal kepada Allah.
Demikian Al-Asy’ari memberikan konsep iman dengan
mengatakan’’ Al-iman huwa Al-tasdiq bi Allah’’ (menerima sebagai benar
informasi tentang adanya Allah). Al-Bazdawi sebagai tokoh almaturidiyah bukhara
mengatakan bahwa iman adalah penerimaan dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan dia.[7]
Aliran Asy’ariyah, sebagai yang dijelaskan oleh
Asy’ari, menggunakan dalil naqli, yakni surah Ibrahim ayat 4, surah As-Syu’ara
ayat 195 dan surah ayat 17.
Ayat-ayat tersebut, menurut Asy’ari, menjelaskan
bahwa informasi tentang agama yang harus di imani itu, disampaikan lewat lisan
atau bahasa kaum tempat Rasul itu di utus serta dalam bahasa arab yang jelas.
Oleh sebab itu, lanjut Al-Asy’ari, iman berarti tasdiq atas apa yang di
turunkan dari Allah. Sementara itu penggalan ayat 17 surah Yusuf difahami oleh
Asy’ari dengan mengatakan adanya hubungan antara kata mu’min dan siddiqin. Oleh
sebab itu, demikian Asy’ari, iman adalah at-tasdiq bi al-qalb (pembenaran
dengan hati atas berita yang dibawa oleh Nabi dan dan Rasul). [8]
Sementara itu maturidiyah bukhara, sebagai yang
ditulis oleh bazdawi, juga menggunakan surah Yusuf ayat 17 sebagai dalil.
قَاُلوْا يَاَبَانَااِنَّاذَهَبْنَا
نَسْتَبِقُ وَتَرَكَنَا يُوْسُفَ عِنْدَ مَتَا عِناَ فَاَكَلَهُ الَذِّئْبُ, وَمَااَنْتَ
بِمُؤْمِنٍ لَّناَ وَلَوْكُنَّاصدِقِيْنَ.
Artinya: Mereka berkata, “Wahai ayah kami!
Sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat
barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau tentu tidak akan
percayakepada kami, sekalipun kami berkata benar.”
Ayat tersebut difahami Al-Bazdawi sebagai penjelasan
tentang iman adalah tasdiq, baik secara bahasa ataupun syariah.[9]
Kesatuan Pengetahuan
Sebenarnya
manusia itu tidak punya pengetahuan sama sekali. Yang memiliki pengetahuan hanyalah Allah. Lantas Allah mengeluarkan dua
sumber pengetahuan yaitu Al-Qur’an dan Alam. Dengan membaca Al-Qur’an manusia memperoleh
ber-macam- macam pengetuahuan, dengan membaca alam maanusia juga memperoleh
pengetahuan yang banyak.
Pengetahuan yang berasal dari Al-Qur’an itu didak mungkin
berlawanan dengan pengetahuan yang berasal dari alam. Pengetahuan berasal dari
Al-Qur’an adalah pengetahuan yang selalu
benar, pengetahuan yang berasal dari alam juga pengetahuan yang benar karena
juga berasal dari yang selalu benar. Tidak mungkin, misalnya, pengetahuan dari
Al-Qur’an mengatakan riba haram sementara pengetahuan dari alam (dalam hal ini
ilmu ekonomi) menyatakan riba boleh. Itu tidak mungkin karena tidak ada
pertentangan dalam pengetahuan tuhan. Penegetahuan tuhan itu sangat banyak dan
tidak satupun pengetahuannya itu yang saling berlawanan. Dalam hubungan antara pengetahuan dan keyakinan adalah hubungan
“negasi-afirmasi”. Abd al-Jabbar dengan sangat baik mengartikulasi hal ini
dengan statement singkatnya, berikut ini:
وأدعلمنا ان الطم صداهوالاعتقاد الذى يتطق بنفي ما تطق العلم با ثباته, ألوبإ
ثبات ما تعلق العلم بنفيه, لأته قد ثبت امتتاع الجمع بينهماولاوجه إلااتضاد.[10]
Oleh karena itu, pengetahuan dalam
relasinya dengan keyakinan tidak terlepas dari dua keadaan: (1) pengetahuan
menegasikan apa yang oleh keyakinan diafirmasikan karena pengetahuan tidak
mengafirmasikannya, atau (2) pengetahuan mengafirmasikan apa yang oleh
keyakinan dinegasikan karena tuntutan pengetahuan bahwa hal itu harus
diafirmasikan. Terhadap keyakinan tentang objek tertentu, pengetahuan tidak
terlepas dari salah satunya. Namun, sebagai kerja termenologi keilmuan,
negasi-afirmasi adalah dua hal yang tidak terpisahkan (ada proses penyaringan
oleh akal terhadap berbagai fenomena untuk ditunjuk sebagai fakta dan data).
Kesatuan Pengetahuan Dalam Pendidikan
Dalam pendidikan yang harus kita ajarkan
adalah pengetahuan yang dikotomis. Pengetahuan yang terdikotomi berbahaya di
ajarkan. Bila pengetahuan yang terdikotomi itu berlawanan dan lantas kita
ajarkan maka ada dua bahayanya. pertama, pasti salah satu yang salah atau
kedua-duanya salah, berarti kita pasti mengajarkan pengetahuan yang salah.
Kedua, pelajar memperoleh pengetahuan seperti itu akan terbelah kepribadiaannya
(split personality).
Agar
kita tidak mengajarkan pengetahuan yang saling berlawana, maka sebelum
diajarkan teori pengetahuan umum yang hendak kita ajarkan itu di periksa terlebih
dahulu apakah berlawanan dengan ajaran agama atau tidak. Dan sebaliknya, ajaran
agama yang hendak di ajarkan seharusnya kita periksa lebih dahulu apakah tidak
perlawanan dengan teori pengetahuan umum yang sudah pasti benarnya.
Fungsi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan bekerja untuk mendorong manusia terus-menerus
berlomba mengambil manfaat dari manusia dan alam bagi kesejahteraan manusia
kini dan yang akan datang. Karena itu
dalam dunia dalam dunia keilmuan manusia terbaik adalah manusia yang menyiapkan
diri untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pada sesamanya, Saling
memanfaatkan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang di kuasainya. Artinya tanpa
penguasaan ilmu pengetahuan, seseorang atau suatu konitas orang, halnya akan
jadi objek/dimanfaatkan komonitas yang lain tanpa ia sendiri memperoleh manfaat
dari keadaan atau hal tersebut. Komonitas tanpa iptek bisa bebas dari objek
pemanfaatan komonitas beriptek, hanya bila komonitas beribteknya memiliki
tauhid/berimtak.
Karena itu untuk mampu bertahan hidup dalam
suasana global, manusia berimtek harus berlomba memelihara dan mengembangkan
iptek. Semakin tinggi dan banyak penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
semakin besar peluang untuk hidup memberi manfaat, sebaliknya semakin tidak
menguasai iptek semakin hidupnya kurang atau malah tidak memberi manfaat bagi
manusia lainnya. Namun demikian, realitas kehidupan manusia menunjukkan bahwa
keluhuran manfaat ilmu itu tidak selamanya memberikan kesejahteraan, baik dalam
dimensi perorangan maupun dalam dimensi kelompok atau malah Negara. Pada jaman
sekarangpun tidak sedikit kelompok masyarakat yang makmur secara materi
lantaran memiliki kepinteran dalam suatu bidang profesi bersentuhanlangsung
dengan hajat hidup orang banyak, namun hidupnya tidak sejahtera.
Ilmu Dalam Dimensi Tauhid
Dalam
dimensi tauhid, kata ilmu di maksudkan untuk dua jenis. Pertama, ilmu wahyu dan
Kedua, hasil cipta karya manusia. Ilmu wahyu karena sumbernya dari Allah yang
hak, memiliki superioritas kebenaran. demikian menurut Izutsuyang di kutib
Abdurrahman Shalih Abdullah (1991:112) Sementara ilmu hasil manusia karena
proses pencarian dan penemuannya di batasi oleh keterbatasan kemampuan manusia,
maka tingkay kebenarannya berada di bawah ilmu wahyu, sifatnya zhan. Sifat
ilmu manusia ini mendorong dua kemungkinan. Pertama, digunakan untuk
hawa nafsu sesudah Nampak kebenaran dari Allah. Ilmu demikian tidak akan
berfungsi sebagai pelindung atau penyelamat pelakunya (QS2:120). Kedua, dipakai
untuk memperkuat keimanan tentang Allah sebagai sumber segala hidup dan
kehidupan manusia. Inilah sikap manusia yang tergolong Ar Rasikhuna fi
al-‘ilmi (ilmuan mumpuni).
Ilmu
wahyu ini menurut Fazlur Rahman dalam bukunya Tema pokok Al-Qur’an, memiliki
sifat deskriptif yang sekaligus juga preskriptif. Namun walau wahyu bersifat
deskriptif, keakuratan deskripsinya dalam realitas kehidupan tidak hanya
terletak pada substansi wahyunya sendiri, namun juga berkaitan dengan kemampuan
manusia memahami ayat/ilmu wahyu tersebut. Namun demikian wahyu dan ilham
memiliki perbedaan yang sangat jauh pada tingkat kebenarannya. Wahyu karena
berasal dari Allah dan diterima Nabi atau Rasul, memiliki mutu kebenaran
mutlak, sementara ilham karena dimungkinkan dating dari malaikat dan syetan,
dan diterima oleh manusia biasa yang tidak dijamin kemampuan menangkap
kebenaran, maka nilai kebenarannya bersifat relative. Namun Dr Mahdi Gulsyani
(1988:95) menegaskan bahwa ilham-pun bersumber dari Allah, hanya lantaran
tingkat hubungan antara manusia dengan Allah yang berbeda-beda maka kebenaran
yang didapat-pun berbeda-beda, selain cara mendapatkannya-pun berbeda-beda.
Sebagian orang cukup dengan perenungan (meditasi) sedang sebagian lainnya
melalui sedikit spekulasi.
Pengetahuan Dunia Eksternal
Di
kalangan Mutakallimun, sebagaimana dicatat al-Asy’ari dalam Maqalat
al-islamiyyin, setidaknya terjadi polarisasi pendapat tentang
kredibilitas pengetahuan inderawi menjadi tiga belas pendapat, Mu’tazilah
Baghdad, Al-iskafi, Abu Al-Husayn ash-Shahih, dan Ahl an-Nazhar (pendukung
nalar)[11]
Menurut
‘Abd al-Jabbar, pengetahuan tentang dunia eksternal yang empiris dan sensual
merupakan pengetahuan yang tak terbantah. Istilah kunci yang digunakannya, mudrakat
(dari idrak), sebenarnya digunakan untuk objek-objek yang di
persepsi secara inderawi maupun secara rasional. Akan tetapi, mudrakat lebih
ditekankan pada objek-objek empiris sensual sehingga mencakup pengertian musyahadat
(objek-objek yang dilihat). Onjek-objek empiris sensual (mudrakat),
sebagaimana dijelaskan dalam syarh, mencakup tujuh hal, yaitu: warna,
rasa, bau, rasa dingin, panas, rasa sakit, dan suara, yang semuanya menjadi
objek cerapan panca indera manusia. Hal ini dapat dipahami, antara lain, dari
penekanannya pada hal-hal berikut: Pertama, ketika membahas kesempurnaan
akal (kamal al-‘aql) ‘Abd al-Jabbar menekankan bahwa ilmu, menurutnya,
harus dibangun dari pengetahuan tentang realitas fisikal yang disebutnya
sebagai “fondasi ilmu” (ashl li al-‘ilm).[12]
Kedua, ketika menolak skeptisisme epistimologis yang menganggap fakta-fakta
empiris inderawi merupakan mimpi orang tidur yang tidak memiliki realitas atau
kebenaran, ‘Abd al-Jabbar memang menegaskan bahwa inderawi (baca:esensi) hanya
bisa melaporkan bahwa suatu objek ada seperti realitas objektifnya (‘ala ma’
huwa ‘alayh lidzatih), tidak memberikan keputusan apapun, yang sesungguhnya
kembali ke subjek.[13] Ketiga,
ketika mengkritik pandangan relativitas (ashhab at-tajahul), dimana
pandangan relativitasme berimplikasi pada penerimaan prinsip “keserbabolehan” (at-tajwiz)
bahwa apa yang dilihat sebagai hitam mungkin menjadi putih, suatu
pengandaian yang kontradiktif dengan kenyataan. ‘Abd al-Jabbar berargumen bahwa
keyakinan subjek tidak akan berpengaruh terhadap keadaan objek.[14]
Persepsi
sebagai pengalaman manusia dan sebagai sumber pengetahuan dapat di klasifisikan
kepada dua kategori:[15] (1) persepsi terhadap fakta-fakta dunia
eksternal, dimana data materiil di persepsi dengan panca indera, dan (2)
persepsi internal manusia “menemukan dirinya” (wajad nafsah) dalam
istilah ‘Abd al-Jabbar, atau persepsi introspektifdalam istilah Hourani. berbeda dengan yang pertama, kategori
kedua merupakan tahap awal pengetahuan rasional dari dalam diri manusia.
Karena
terjadi interrelasi keduanya, disini dikemukakan pemerian kategori kedua secara
singkat. ‘Abd al-Jabbar menganggap persepsi introspektif sebagai evindensi
paling jelas bagi kebenaran pengetahuan. Setiap manusia memiliki potensi untuk
memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Contoh-contoh sederhana
yang dikemukakan adalah bahwa kita memiliki kemampuan untuk bertindak; bahwa
jiwa kita dalam keadaan puas (sakun an-nafs), “berfikir merupakan
observasi terhadap keadaan objek komparasi antara objek tersebut dengan objek
lain, atau komprasi antara suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain”, dan
bahwa nalarberbeda dengan keadaan (ahwal) pikiran lainnya, misalnya
perbedaan antara keyakinan dan kehendak. Atas dasar ini, persepsi introspektif
sebenarnya merupakan upaya memfungsikan ‘aql untuk menyerapkan data
pengalaman internal sehingga terjadi proses pemilahan dan perbandingan.
[1] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam
pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.118.
[2] Ibid.,hlm.119
[3] Ibid.,hlm.121
[4] Ibid.,hlm.120
[5] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam
pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.120.
[6] Ibid.,hlm.121
[7] Prof.dr.M.Yunan Yusuf,alam
pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.122.
[8] Ibid.,hlm.123
[9] Ibid.
[11] Lihat Abu al-Hasan
al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyah, Juz II, ed. Muhammad Muhyi ad-Din ‘Abd
al-Hamid, (Beirut: al-Maktabat al-Ashriyyah, 1990/1411), hlm. 79-82.
[14] Ibid., Juz XII, hlm.
48 Uraian lebih lanjut tentang hal ini di kemukakan dalam bahasan tentang
kritik ‘Abd al-Jabbar terhadap spektisisme.