Thursday 1 December 2016

MAKALAH Ilmu Tauhid IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN




IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tauhid
yang diampu oleh Bapak Misnawi, M. Pd.I






DisusunOleh:

Imam Hanafi


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN





                                                                               BAB II                                              
PEMBAHASAN
Pengertian imam
            Kata “Iman” berasal dari bahasa arab yang berarti tasdiq (membenarkan). iman itu tempatnya dalam hati yang membenarkan semua yang dibawah Rasul Muhammad SAW baik yang bersifat wajib maupun yang mustahil bagi Allah SWT. Dalam pembahasan Ilmu Tauhid/Ilmu Kalam konsep iman terbagi menjadi tiga yaitu:
1.      Iman adalah tasdik dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan Nabi dan Rasul Allah. Menurut konsep ini Iman dan Kufur itu adalah semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tasdik (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah maka ia disebut telah beriman, sekalipun perbuatannya belum sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya.
2.      Iman adalah tasdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lisan. Dengan demikian seseorang dapat digolongkan beriman apabila ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaan itu dengan lisan. Antara keimanan dan amal perbuatan manusia tidak terdapat hubungan, yang terpenting dalam iman itu adalah tasdik dan ikrar.
3.      Iman adalah tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Antara iman dan perbuatan terdapat keterkaitan, karena iman seseorang ditentukan dengan amal perbuatannya.
            Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa konsep iman dikalangan kaum muslimin adalah bervareasi, ada yang hanya memasukkan unsure tasdiq, ada juga yang menambah unsur ikrar tanpa unsur amal perbuatan, ada pula yang mengumpulkan ketiga unsur tersebut yaitu: tasdiq, ikrar dan amal perbuatan.
            Pembahasan masalah keimanan dalam Ilmu Tauhid juga menyangkut apakah imam seseorang dapat bertambah atau sebaliknya. Dalam ini ada dua golongan yang menyatakan pendapatnya yaitu: (1) mereka yang mengatakan bahwa iman seseorang itu tidak dapat bertambah atau berkurang, (2) golongan yang mengatakan bahwa iman seseorang itu dapat bertambah atau berkurang.
            Golongan yang berpendapat bahwa iman seseorang itu dapat bertambah atau berkurang pada tasdiq dan amalnya. Tasdiq yang bertambah tentu di ikuti oleh frekuensi amal perbuatannya dan ketaatannya. Bertambah atau berkurangnya tasdiq seseorang tergantung kepada:
a.       Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang di terima oleh seseorang sehingga dapat menguatkan atau melemahkan tasdiqnya.
b.      Diri pribadi seseorang itu, artinya kemampuannya menyerap dalil-dalil keimaman, makin kuat daya serapnya kuat pula tasdiqnya. Sebaliknya jika daya serapnya lemah atau tidak baik maka tasdiqnya akan lemah pula.
c.       Pengalaman terhadap ajaran agama. seseorang yang melaksanakan ajaran-ajaran agamanya dengan baik dan benar, akan merasakan kekuatan iman yang tinggi. makin tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat imannya atau tasdiqnya.
Masalah iman, yang berarti percaya, ramai pula dibicarakan dalam ilmu Kalam. Pembicaraan tentang iman ini berkisar di seputar, apakah iman itu hanya sebatas pembenaran dalam hati saja,ataukah iman juga harus sampai kepada pengetahuan rasio dan pengalaman dalam kehidupan nyata? Dengan kata lain, apakah iman hanya di tasdiq (pembenaran atas apa yang di dengar), ataukah harus meningkat sampai ma’rifah (mengetahui benar apa yang di yakini) serta ‘amal (perbuatan).[1]
Bagi pemikiran kalam rasional, karena memberikan daya yang kuat kepada akal, iman bukan hanya sekedar tasdiq, tetapi juga ma’rifah serta ‘amal. Sedangkan bagi pemikiran tradisional, karena memberikan daya kecil kepada akal, iman hanyalah sebatas tasdiq (pembenaran dalam hati tentang apa yang di dengar).[2]
Aliran kalam rasional yang berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya tuhan, kewajiban berterima kasih kepada tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik serta yang buruk, memberikan konsep iman tidak hanya dengan tasdiq semata, tetapi harus meningkat lebih tinggi dari itu, yakni ma’rifah dan ‘amal.
Dikalangan para pemikir kalam tradisional iman adalah tasdiq. Sejalan dengan pandangan pemikiran kalam tradisional terhadap akal, yang hanya mempunyai daya kecil, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, terutama tentang iman didasarkan atas informasi wahyu. Oleh sebab itu, tasdiq disini berarti pembenaran tentang apa yang di dengar dari wahyu.[3]
Bagi maturidiyah samarkand, sebagai yang dijelaskan oleh imam Abu Mansur Al-maturidi sendiri, iman adalah tasdiq bukan lisan. Apa yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, akan menjadi batal, bila hati tidak mengakui apa yang di ucapkan itu.[4]
Namun Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu. Tasdiq, yang difahami Al-Maturidi adalah tasdiq sebagai hasil dari ma’rifah. Tasdiq hasil ma’rifah ini, adalah tasdiq yang dihasilkan melalui penjelajahan al-‘aql bukan semata-mata al-sam’u (pendengaran). Al-maturidi mendasari pandangan ini pada ayat 260 surah Al-Baqarah.
وَاِذْ قاَلَ اِبْرَهمُ رَبِّ اَرْنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى, قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ, قاَلَ بَلى وَلَكِنْ لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِيْ, قَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَآْ تِيْنَكَ سَعْياً, وَاعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَزِيْزُ حَكِيْم.ُِ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang  (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu, kemudian letakkan diatas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Menurut Al-Maturidi, ayat diatas menjelaskan bahwa ketika Nabi ibrahim meminta tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang mati, bukan berarti Nabi ibrahim belum  beriman. Tetapi yang dimaksud oleh ibrahim adalah agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.[5]
Sementara bagi aliran mu’tazilah iman bukanlah sekedar tasdiq dan ma’rifah,tetapi harus meningkat kepada ‘amal.itulah sebabnya, menurut muktazilah iman adalah pelaksanaan perintah tuhan. Seseorang dikatakan tidak beriman, bila seseorang itu tahu tentang tuhan, tetapi tidak melaksanakan perintah-perintahnya atau menentangnya. Konsep iman seperti ini diberi sandaran ayat 2 surah Al-Anfal.[6]
اِنَّمَا الْمُوْمِنُوْنَ اَلَّدِيْنَ اِذَا ذُكِرِاللهُ وَجَلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيَتُهُ زَاِذَ تَهُمْ اِيْماَناً وَّعَلى رَبِّهِمْ يَتَوَكَلُوْنَ.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatnya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.
Sesungguhnya orang-orang beriman, ialah orang-orang yang bila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah, bertambah imannya, sedang mereka itu bertawakkal kepada Allah. 
Demikian Al-Asy’ari memberikan konsep iman dengan mengatakan’’ Al-iman huwa Al-tasdiq bi Allah’’ (menerima sebagai benar informasi tentang adanya Allah). Al-Bazdawi sebagai tokoh almaturidiyah bukhara mengatakan bahwa iman adalah penerimaan dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan dia.[7]
Aliran Asy’ariyah, sebagai yang dijelaskan oleh Asy’ari, menggunakan dalil naqli, yakni surah Ibrahim ayat 4, surah As-Syu’ara ayat 195 dan surah ayat 17.
Ayat-ayat tersebut, menurut Asy’ari, menjelaskan bahwa informasi tentang agama yang harus di imani itu, disampaikan lewat lisan atau bahasa kaum tempat Rasul itu di utus serta dalam bahasa arab yang jelas. Oleh sebab itu, lanjut Al-Asy’ari, iman berarti tasdiq atas apa yang di turunkan dari Allah. Sementara itu penggalan ayat 17 surah Yusuf difahami oleh Asy’ari dengan mengatakan adanya hubungan antara kata mu’min dan siddiqin. Oleh sebab itu, demikian Asy’ari, iman adalah at-tasdiq bi al-qalb (pembenaran dengan hati atas berita yang dibawa oleh Nabi dan dan Rasul). [8]
Sementara itu maturidiyah bukhara, sebagai yang ditulis oleh bazdawi, juga menggunakan surah Yusuf ayat 17 sebagai dalil.
قَاُلوْا يَاَبَانَااِنَّاذَهَبْنَا نَسْتَبِقُ وَتَرَكَنَا يُوْسُفَ عِنْدَ مَتَا عِناَ فَاَكَلَهُ الَذِّئْبُ, وَمَااَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَّناَ وَلَوْكُنَّاصدِقِيْنَ.
Artinya: Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau tentu tidak akan percayakepada kami, sekalipun kami berkata benar.”
Ayat tersebut difahami Al-Bazdawi sebagai penjelasan tentang iman adalah tasdiq, baik secara bahasa ataupun syariah.[9]
Kesatuan Pengetahuan
Sebenarnya manusia itu tidak punya pengetahuan sama sekali. Yang memiliki pengetahuan hanyalah Allah. Lantas Allah mengeluarkan dua sumber pengetahuan yaitu Al-Qur’an dan Alam. Dengan membaca Al-Qur’an manusia memperoleh ber-macam- macam pengetuahuan, dengan membaca alam maanusia juga memperoleh pengetahuan yang banyak.
            Pengetahuan  yang berasal dari Al-Qur’an itu didak mungkin berlawanan dengan pengetahuan yang berasal dari alam. Pengetahuan berasal dari Al-Qur’an adalah pengetahuan yang  selalu benar, pengetahuan yang berasal dari alam juga pengetahuan yang benar karena juga berasal dari yang selalu benar. Tidak mungkin, misalnya, pengetahuan dari Al-Qur’an mengatakan riba haram sementara pengetahuan dari alam (dalam hal ini ilmu ekonomi) menyatakan riba boleh. Itu tidak mungkin karena tidak ada pertentangan dalam pengetahuan tuhan. Penegetahuan tuhan itu sangat banyak dan tidak satupun pengetahuannya itu yang saling berlawanan. Dalam hubungan antara pengetahuan dan keyakinan adalah hubungan “negasi-afirmasi”. Abd al-Jabbar dengan sangat baik mengartikulasi hal ini dengan statement singkatnya, berikut ini:
وأدعلمنا ان الطم صداهوالاعتقاد الذى يتطق بنفي ما تطق العلم با ثباته, ألوبإ ثبات ما تعلق العلم بنفيه, لأته قد ثبت امتتاع الجمع بينهماولاوجه إلااتضاد.[10]
Oleh karena itu, pengetahuan dalam relasinya dengan keyakinan tidak terlepas dari dua keadaan: (1) pengetahuan menegasikan apa yang oleh keyakinan diafirmasikan karena pengetahuan tidak mengafirmasikannya, atau (2) pengetahuan mengafirmasikan apa yang oleh keyakinan dinegasikan karena tuntutan pengetahuan bahwa hal itu harus diafirmasikan. Terhadap keyakinan tentang objek tertentu, pengetahuan tidak terlepas dari salah satunya. Namun, sebagai kerja termenologi keilmuan, negasi-afirmasi adalah dua hal yang tidak terpisahkan (ada proses penyaringan oleh akal terhadap berbagai fenomena untuk ditunjuk sebagai fakta dan data).
Kesatuan Pengetahuan Dalam Pendidikan
            Dalam pendidikan yang harus kita ajarkan adalah pengetahuan yang dikotomis. Pengetahuan yang terdikotomi berbahaya di ajarkan. Bila pengetahuan yang terdikotomi itu berlawanan dan lantas kita ajarkan maka ada dua bahayanya. pertama, pasti salah satu yang salah atau kedua-duanya salah, berarti kita pasti mengajarkan pengetahuan yang salah. Kedua, pelajar memperoleh pengetahuan seperti itu akan terbelah kepribadiaannya (split personality).
            Agar kita tidak mengajarkan pengetahuan yang saling berlawana, maka sebelum diajarkan teori pengetahuan umum yang hendak kita ajarkan itu di periksa terlebih dahulu apakah berlawanan dengan ajaran agama atau tidak. Dan sebaliknya, ajaran agama yang hendak di ajarkan seharusnya kita periksa lebih dahulu apakah tidak perlawanan dengan teori pengetahuan umum yang sudah pasti benarnya.
Fungsi Ilmu Pengetahuan
            Ilmu pengetahuan  bekerja untuk mendorong manusia terus-menerus berlomba mengambil manfaat dari manusia dan alam bagi kesejahteraan manusia kini dan  yang akan datang. Karena itu dalam dunia dalam dunia keilmuan manusia terbaik adalah manusia yang menyiapkan diri untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pada sesamanya, Saling memanfaatkan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang di kuasainya. Artinya tanpa penguasaan ilmu pengetahuan, seseorang atau suatu konitas orang, halnya akan jadi objek/dimanfaatkan komonitas yang lain tanpa ia sendiri memperoleh manfaat dari keadaan atau hal tersebut. Komonitas tanpa iptek bisa bebas dari objek pemanfaatan komonitas beriptek, hanya bila komonitas beribteknya memiliki tauhid/berimtak.
Karena itu untuk mampu bertahan hidup dalam suasana global, manusia berimtek harus berlomba memelihara dan mengembangkan iptek. Semakin tinggi dan banyak penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin besar peluang untuk hidup memberi manfaat, sebaliknya semakin tidak menguasai iptek semakin hidupnya kurang atau malah tidak memberi manfaat bagi manusia lainnya. Namun demikian, realitas kehidupan manusia menunjukkan bahwa keluhuran manfaat ilmu itu tidak selamanya memberikan kesejahteraan, baik dalam dimensi perorangan maupun dalam dimensi kelompok atau malah Negara. Pada jaman sekarangpun tidak sedikit kelompok masyarakat yang makmur secara materi lantaran memiliki kepinteran dalam suatu bidang profesi bersentuhanlangsung dengan hajat hidup orang banyak, namun hidupnya tidak sejahtera.
Ilmu Dalam Dimensi Tauhid
            Dalam dimensi tauhid, kata ilmu di maksudkan untuk dua jenis. Pertama, ilmu wahyu dan Kedua, hasil cipta karya manusia. Ilmu wahyu karena sumbernya dari Allah yang hak, memiliki superioritas kebenaran. demikian menurut Izutsuyang di kutib Abdurrahman Shalih Abdullah (1991:112) Sementara ilmu hasil manusia karena proses pencarian dan penemuannya di batasi oleh keterbatasan kemampuan manusia, maka tingkay kebenarannya berada di bawah ilmu wahyu, sifatnya zhan. Sifat ilmu manusia ini mendorong dua kemungkinan. Pertama, digunakan untuk hawa nafsu sesudah Nampak kebenaran dari Allah. Ilmu demikian tidak akan berfungsi sebagai pelindung atau penyelamat pelakunya (QS2:120). Kedua, dipakai untuk memperkuat keimanan tentang Allah sebagai sumber segala hidup dan kehidupan manusia. Inilah sikap manusia yang tergolong Ar Rasikhuna fi al-‘ilmi (ilmuan mumpuni).
            Ilmu wahyu ini menurut Fazlur Rahman dalam bukunya Tema pokok Al-Qur’an, memiliki sifat deskriptif yang sekaligus juga preskriptif. Namun walau wahyu bersifat deskriptif, keakuratan deskripsinya dalam realitas kehidupan tidak hanya terletak pada substansi wahyunya sendiri, namun juga berkaitan dengan kemampuan manusia memahami ayat/ilmu wahyu tersebut. Namun demikian wahyu dan ilham memiliki perbedaan yang sangat jauh pada tingkat kebenarannya. Wahyu karena berasal dari Allah dan diterima Nabi atau Rasul, memiliki mutu kebenaran mutlak, sementara ilham karena dimungkinkan dating dari malaikat dan syetan, dan diterima oleh manusia biasa yang tidak dijamin kemampuan menangkap kebenaran, maka nilai kebenarannya bersifat relative. Namun Dr Mahdi Gulsyani (1988:95) menegaskan bahwa ilham-pun bersumber dari Allah, hanya lantaran tingkat hubungan antara manusia dengan Allah yang berbeda-beda maka kebenaran yang didapat-pun berbeda-beda, selain cara mendapatkannya-pun berbeda-beda. Sebagian orang cukup dengan perenungan (meditasi) sedang sebagian lainnya melalui sedikit spekulasi.
Pengetahuan Dunia Eksternal
            Di kalangan Mutakallimun, sebagaimana dicatat al-Asy’ari dalam Maqalat al-islamiyyin, setidaknya terjadi polarisasi pendapat tentang kredibilitas pengetahuan inderawi menjadi tiga belas pendapat, Mu’tazilah Baghdad, Al-iskafi, Abu Al-Husayn ash-Shahih, dan Ahl an-Nazhar (pendukung nalar)[11]
            Menurut ‘Abd al-Jabbar, pengetahuan tentang dunia eksternal yang empiris dan sensual merupakan pengetahuan yang tak terbantah. Istilah kunci yang digunakannya, mudrakat (dari idrak), sebenarnya digunakan untuk objek-objek yang di persepsi secara inderawi maupun secara rasional. Akan tetapi, mudrakat lebih ditekankan pada objek-objek empiris sensual sehingga mencakup pengertian musyahadat (objek-objek yang dilihat). Onjek-objek empiris sensual (mudrakat), sebagaimana dijelaskan dalam syarh, mencakup tujuh hal, yaitu: warna, rasa, bau, rasa dingin, panas, rasa sakit, dan suara, yang semuanya menjadi objek cerapan panca indera manusia. Hal ini dapat dipahami, antara lain, dari penekanannya pada hal-hal berikut: Pertama, ketika membahas kesempurnaan akal (kamal al-‘aql) ‘Abd al-Jabbar menekankan bahwa ilmu, menurutnya, harus dibangun dari pengetahuan tentang realitas fisikal yang disebutnya sebagai “fondasi ilmu” (ashl li al-‘ilm).[12] Kedua, ketika menolak skeptisisme epistimologis yang menganggap fakta-fakta empiris inderawi merupakan mimpi orang tidur yang tidak memiliki realitas atau kebenaran, ‘Abd al-Jabbar memang menegaskan bahwa inderawi (baca:esensi) hanya bisa melaporkan bahwa suatu objek ada seperti realitas objektifnya (‘ala ma’ huwa ‘alayh lidzatih), tidak memberikan keputusan apapun, yang sesungguhnya kembali ke subjek.[13] Ketiga, ketika mengkritik pandangan relativitas (ashhab at-tajahul), dimana pandangan relativitasme berimplikasi pada penerimaan prinsip “keserbabolehan” (at-tajwiz) bahwa apa yang dilihat sebagai hitam mungkin menjadi putih, suatu pengandaian yang kontradiktif dengan kenyataan. ‘Abd al-Jabbar berargumen bahwa keyakinan subjek tidak akan berpengaruh terhadap keadaan objek.[14]
            Persepsi sebagai pengalaman manusia dan sebagai sumber pengetahuan dapat di klasifisikan kepada dua kategori:[15]        (1) persepsi terhadap fakta-fakta dunia eksternal, dimana data materiil di persepsi dengan panca indera, dan (2) persepsi internal manusia “menemukan dirinya” (wajad nafsah) dalam istilah ‘Abd al-Jabbar, atau persepsi introspektifdalam istilah Hourani. berbeda dengan yang pertama, kategori kedua merupakan tahap awal pengetahuan rasional dari dalam diri manusia.
            Karena terjadi interrelasi keduanya, disini dikemukakan pemerian kategori kedua secara singkat. ‘Abd al-Jabbar menganggap persepsi introspektif sebagai evindensi paling jelas bagi kebenaran pengetahuan. Setiap manusia memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Contoh-contoh sederhana yang dikemukakan adalah bahwa kita memiliki kemampuan untuk bertindak; bahwa jiwa kita dalam keadaan puas (sakun an-nafs), “berfikir merupakan observasi terhadap keadaan objek komparasi antara objek tersebut dengan objek lain, atau komprasi antara suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain”, dan bahwa nalarberbeda dengan keadaan (ahwal) pikiran lainnya, misalnya perbedaan antara keyakinan dan kehendak. Atas dasar ini, persepsi introspektif sebenarnya merupakan upaya memfungsikan ‘aql untuk menyerapkan data pengalaman internal sehingga terjadi proses pemilahan dan perbandingan.      


[1] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.118.
[2] Ibid.,hlm.119
[3] Ibid.,hlm.121
[4] Ibid.,hlm.120
[5] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.120.
[6] Ibid.,hlm.121
[7] Prof.dr.M.Yunan Yusuf,alam pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.122.
[8] Ibid.,hlm.123
[9] Ibid.
[10] Abd al-Jabbar, Al-Muhith bi at-Taklif, Juz 1, hlm. 196
[11] Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyah, Juz II, ed. Muhammad Muhyi ad-Din ‘Abd al-Hamid, (Beirut: al-Maktabat al-Ashriyyah, 1990/1411), hlm. 79-82.
[12] Abd al-Jabbar, Al-Mughni fi Abwab At-Tauhid wa al-‘Adl, Juz XII, hlm. 67.
[13] Ibid., Juz XII, hlm. 55-56
[14] Ibid., Juz XII, hlm. 48 Uraian lebih lanjut tentang hal ini di kemukakan dalam bahasan tentang kritik ‘Abd al-Jabbar terhadap spektisisme.
[15] George F. Hourani, Islamic Rationalism, hlm. 21.



IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tauhid
yang diampu oleh Bapak Misnawi, M. Pd.I






DisusunOleh:

Imam Hanafi


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN




                                                                               BAB II                                              
PEMBAHASAN
Pengertian imam
            Kata “Iman” berasal dari bahasa arab yang berarti tasdiq (membenarkan). iman itu tempatnya dalam hati yang membenarkan semua yang dibawah Rasul Muhammad SAW baik yang bersifat wajib maupun yang mustahil bagi Allah SWT. Dalam pembahasan Ilmu Tauhid/Ilmu Kalam konsep iman terbagi menjadi tiga yaitu:
1.      Iman adalah tasdik dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan Nabi dan Rasul Allah. Menurut konsep ini Iman dan Kufur itu adalah semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tasdik (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah maka ia disebut telah beriman, sekalipun perbuatannya belum sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya.
2.      Iman adalah tasdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lisan. Dengan demikian seseorang dapat digolongkan beriman apabila ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaan itu dengan lisan. Antara keimanan dan amal perbuatan manusia tidak terdapat hubungan, yang terpenting dalam iman itu adalah tasdik dan ikrar.
3.      Iman adalah tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Antara iman dan perbuatan terdapat keterkaitan, karena iman seseorang ditentukan dengan amal perbuatannya.
            Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa konsep iman dikalangan kaum muslimin adalah bervareasi, ada yang hanya memasukkan unsure tasdiq, ada juga yang menambah unsur ikrar tanpa unsur amal perbuatan, ada pula yang mengumpulkan ketiga unsur tersebut yaitu: tasdiq, ikrar dan amal perbuatan.
            Pembahasan masalah keimanan dalam Ilmu Tauhid juga menyangkut apakah imam seseorang dapat bertambah atau sebaliknya. Dalam ini ada dua golongan yang menyatakan pendapatnya yaitu: (1) mereka yang mengatakan bahwa iman seseorang itu tidak dapat bertambah atau berkurang, (2) golongan yang mengatakan bahwa iman seseorang itu dapat bertambah atau berkurang.
            Golongan yang berpendapat bahwa iman seseorang itu dapat bertambah atau berkurang pada tasdiq dan amalnya. Tasdiq yang bertambah tentu di ikuti oleh frekuensi amal perbuatannya dan ketaatannya. Bertambah atau berkurangnya tasdiq seseorang tergantung kepada:
a.       Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang di terima oleh seseorang sehingga dapat menguatkan atau melemahkan tasdiqnya.
b.      Diri pribadi seseorang itu, artinya kemampuannya menyerap dalil-dalil keimaman, makin kuat daya serapnya kuat pula tasdiqnya. Sebaliknya jika daya serapnya lemah atau tidak baik maka tasdiqnya akan lemah pula.
c.       Pengalaman terhadap ajaran agama. seseorang yang melaksanakan ajaran-ajaran agamanya dengan baik dan benar, akan merasakan kekuatan iman yang tinggi. makin tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat imannya atau tasdiqnya.
Masalah iman, yang berarti percaya, ramai pula dibicarakan dalam ilmu Kalam. Pembicaraan tentang iman ini berkisar di seputar, apakah iman itu hanya sebatas pembenaran dalam hati saja,ataukah iman juga harus sampai kepada pengetahuan rasio dan pengalaman dalam kehidupan nyata? Dengan kata lain, apakah iman hanya di tasdiq (pembenaran atas apa yang di dengar), ataukah harus meningkat sampai ma’rifah (mengetahui benar apa yang di yakini) serta ‘amal (perbuatan).[1]
Bagi pemikiran kalam rasional, karena memberikan daya yang kuat kepada akal, iman bukan hanya sekedar tasdiq, tetapi juga ma’rifah serta ‘amal. Sedangkan bagi pemikiran tradisional, karena memberikan daya kecil kepada akal, iman hanyalah sebatas tasdiq (pembenaran dalam hati tentang apa yang di dengar).[2]
Aliran kalam rasional yang berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya tuhan, kewajiban berterima kasih kepada tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik serta yang buruk, memberikan konsep iman tidak hanya dengan tasdiq semata, tetapi harus meningkat lebih tinggi dari itu, yakni ma’rifah dan ‘amal.
Dikalangan para pemikir kalam tradisional iman adalah tasdiq. Sejalan dengan pandangan pemikiran kalam tradisional terhadap akal, yang hanya mempunyai daya kecil, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, terutama tentang iman didasarkan atas informasi wahyu. Oleh sebab itu, tasdiq disini berarti pembenaran tentang apa yang di dengar dari wahyu.[3]
Bagi maturidiyah samarkand, sebagai yang dijelaskan oleh imam Abu Mansur Al-maturidi sendiri, iman adalah tasdiq bukan lisan. Apa yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, akan menjadi batal, bila hati tidak mengakui apa yang di ucapkan itu.[4]
Namun Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu. Tasdiq, yang difahami Al-Maturidi adalah tasdiq sebagai hasil dari ma’rifah. Tasdiq hasil ma’rifah ini, adalah tasdiq yang dihasilkan melalui penjelajahan al-‘aql bukan semata-mata al-sam’u (pendengaran). Al-maturidi mendasari pandangan ini pada ayat 260 surah Al-Baqarah.
وَاِذْ قاَلَ اِبْرَهمُ رَبِّ اَرْنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى, قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ, قاَلَ بَلى وَلَكِنْ لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِيْ, قَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَآْ تِيْنَكَ سَعْياً, وَاعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَزِيْزُ حَكِيْم.ُِ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang  (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu, kemudian letakkan diatas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Menurut Al-Maturidi, ayat diatas menjelaskan bahwa ketika Nabi ibrahim meminta tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang mati, bukan berarti Nabi ibrahim belum  beriman. Tetapi yang dimaksud oleh ibrahim adalah agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.[5]
Sementara bagi aliran mu’tazilah iman bukanlah sekedar tasdiq dan ma’rifah,tetapi harus meningkat kepada ‘amal.itulah sebabnya, menurut muktazilah iman adalah pelaksanaan perintah tuhan. Seseorang dikatakan tidak beriman, bila seseorang itu tahu tentang tuhan, tetapi tidak melaksanakan perintah-perintahnya atau menentangnya. Konsep iman seperti ini diberi sandaran ayat 2 surah Al-Anfal.[6]
اِنَّمَا الْمُوْمِنُوْنَ اَلَّدِيْنَ اِذَا ذُكِرِاللهُ وَجَلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيَتُهُ زَاِذَ تَهُمْ اِيْماَناً وَّعَلى رَبِّهِمْ يَتَوَكَلُوْنَ.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatnya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.
Sesungguhnya orang-orang beriman, ialah orang-orang yang bila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah, bertambah imannya, sedang mereka itu bertawakkal kepada Allah. 
Demikian Al-Asy’ari memberikan konsep iman dengan mengatakan’’ Al-iman huwa Al-tasdiq bi Allah’’ (menerima sebagai benar informasi tentang adanya Allah). Al-Bazdawi sebagai tokoh almaturidiyah bukhara mengatakan bahwa iman adalah penerimaan dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan dia.[7]
Aliran Asy’ariyah, sebagai yang dijelaskan oleh Asy’ari, menggunakan dalil naqli, yakni surah Ibrahim ayat 4, surah As-Syu’ara ayat 195 dan surah ayat 17.
Ayat-ayat tersebut, menurut Asy’ari, menjelaskan bahwa informasi tentang agama yang harus di imani itu, disampaikan lewat lisan atau bahasa kaum tempat Rasul itu di utus serta dalam bahasa arab yang jelas. Oleh sebab itu, lanjut Al-Asy’ari, iman berarti tasdiq atas apa yang di turunkan dari Allah. Sementara itu penggalan ayat 17 surah Yusuf difahami oleh Asy’ari dengan mengatakan adanya hubungan antara kata mu’min dan siddiqin. Oleh sebab itu, demikian Asy’ari, iman adalah at-tasdiq bi al-qalb (pembenaran dengan hati atas berita yang dibawa oleh Nabi dan dan Rasul). [8]
Sementara itu maturidiyah bukhara, sebagai yang ditulis oleh bazdawi, juga menggunakan surah Yusuf ayat 17 sebagai dalil.
قَاُلوْا يَاَبَانَااِنَّاذَهَبْنَا نَسْتَبِقُ وَتَرَكَنَا يُوْسُفَ عِنْدَ مَتَا عِناَ فَاَكَلَهُ الَذِّئْبُ, وَمَااَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَّناَ وَلَوْكُنَّاصدِقِيْنَ.
Artinya: Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau tentu tidak akan percayakepada kami, sekalipun kami berkata benar.”
Ayat tersebut difahami Al-Bazdawi sebagai penjelasan tentang iman adalah tasdiq, baik secara bahasa ataupun syariah.[9]
Kesatuan Pengetahuan
Sebenarnya manusia itu tidak punya pengetahuan sama sekali. Yang memiliki pengetahuan hanyalah Allah. Lantas Allah mengeluarkan dua sumber pengetahuan yaitu Al-Qur’an dan Alam. Dengan membaca Al-Qur’an manusia memperoleh ber-macam- macam pengetuahuan, dengan membaca alam maanusia juga memperoleh pengetahuan yang banyak.
            Pengetahuan  yang berasal dari Al-Qur’an itu didak mungkin berlawanan dengan pengetahuan yang berasal dari alam. Pengetahuan berasal dari Al-Qur’an adalah pengetahuan yang  selalu benar, pengetahuan yang berasal dari alam juga pengetahuan yang benar karena juga berasal dari yang selalu benar. Tidak mungkin, misalnya, pengetahuan dari Al-Qur’an mengatakan riba haram sementara pengetahuan dari alam (dalam hal ini ilmu ekonomi) menyatakan riba boleh. Itu tidak mungkin karena tidak ada pertentangan dalam pengetahuan tuhan. Penegetahuan tuhan itu sangat banyak dan tidak satupun pengetahuannya itu yang saling berlawanan. Dalam hubungan antara pengetahuan dan keyakinan adalah hubungan “negasi-afirmasi”. Abd al-Jabbar dengan sangat baik mengartikulasi hal ini dengan statement singkatnya, berikut ini:
وأدعلمنا ان الطم صداهوالاعتقاد الذى يتطق بنفي ما تطق العلم با ثباته, ألوبإ ثبات ما تعلق العلم بنفيه, لأته قد ثبت امتتاع الجمع بينهماولاوجه إلااتضاد.[10]
Oleh karena itu, pengetahuan dalam relasinya dengan keyakinan tidak terlepas dari dua keadaan: (1) pengetahuan menegasikan apa yang oleh keyakinan diafirmasikan karena pengetahuan tidak mengafirmasikannya, atau (2) pengetahuan mengafirmasikan apa yang oleh keyakinan dinegasikan karena tuntutan pengetahuan bahwa hal itu harus diafirmasikan. Terhadap keyakinan tentang objek tertentu, pengetahuan tidak terlepas dari salah satunya. Namun, sebagai kerja termenologi keilmuan, negasi-afirmasi adalah dua hal yang tidak terpisahkan (ada proses penyaringan oleh akal terhadap berbagai fenomena untuk ditunjuk sebagai fakta dan data).
Kesatuan Pengetahuan Dalam Pendidikan
            Dalam pendidikan yang harus kita ajarkan adalah pengetahuan yang dikotomis. Pengetahuan yang terdikotomi berbahaya di ajarkan. Bila pengetahuan yang terdikotomi itu berlawanan dan lantas kita ajarkan maka ada dua bahayanya. pertama, pasti salah satu yang salah atau kedua-duanya salah, berarti kita pasti mengajarkan pengetahuan yang salah. Kedua, pelajar memperoleh pengetahuan seperti itu akan terbelah kepribadiaannya (split personality).
            Agar kita tidak mengajarkan pengetahuan yang saling berlawana, maka sebelum diajarkan teori pengetahuan umum yang hendak kita ajarkan itu di periksa terlebih dahulu apakah berlawanan dengan ajaran agama atau tidak. Dan sebaliknya, ajaran agama yang hendak di ajarkan seharusnya kita periksa lebih dahulu apakah tidak perlawanan dengan teori pengetahuan umum yang sudah pasti benarnya.
Fungsi Ilmu Pengetahuan
            Ilmu pengetahuan  bekerja untuk mendorong manusia terus-menerus berlomba mengambil manfaat dari manusia dan alam bagi kesejahteraan manusia kini dan  yang akan datang. Karena itu dalam dunia dalam dunia keilmuan manusia terbaik adalah manusia yang menyiapkan diri untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pada sesamanya, Saling memanfaatkan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang di kuasainya. Artinya tanpa penguasaan ilmu pengetahuan, seseorang atau suatu konitas orang, halnya akan jadi objek/dimanfaatkan komonitas yang lain tanpa ia sendiri memperoleh manfaat dari keadaan atau hal tersebut. Komonitas tanpa iptek bisa bebas dari objek pemanfaatan komonitas beriptek, hanya bila komonitas beribteknya memiliki tauhid/berimtak.
Karena itu untuk mampu bertahan hidup dalam suasana global, manusia berimtek harus berlomba memelihara dan mengembangkan iptek. Semakin tinggi dan banyak penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin besar peluang untuk hidup memberi manfaat, sebaliknya semakin tidak menguasai iptek semakin hidupnya kurang atau malah tidak memberi manfaat bagi manusia lainnya. Namun demikian, realitas kehidupan manusia menunjukkan bahwa keluhuran manfaat ilmu itu tidak selamanya memberikan kesejahteraan, baik dalam dimensi perorangan maupun dalam dimensi kelompok atau malah Negara. Pada jaman sekarangpun tidak sedikit kelompok masyarakat yang makmur secara materi lantaran memiliki kepinteran dalam suatu bidang profesi bersentuhanlangsung dengan hajat hidup orang banyak, namun hidupnya tidak sejahtera.
Ilmu Dalam Dimensi Tauhid
            Dalam dimensi tauhid, kata ilmu di maksudkan untuk dua jenis. Pertama, ilmu wahyu dan Kedua, hasil cipta karya manusia. Ilmu wahyu karena sumbernya dari Allah yang hak, memiliki superioritas kebenaran. demikian menurut Izutsuyang di kutib Abdurrahman Shalih Abdullah (1991:112) Sementara ilmu hasil manusia karena proses pencarian dan penemuannya di batasi oleh keterbatasan kemampuan manusia, maka tingkay kebenarannya berada di bawah ilmu wahyu, sifatnya zhan. Sifat ilmu manusia ini mendorong dua kemungkinan. Pertama, digunakan untuk hawa nafsu sesudah Nampak kebenaran dari Allah. Ilmu demikian tidak akan berfungsi sebagai pelindung atau penyelamat pelakunya (QS2:120). Kedua, dipakai untuk memperkuat keimanan tentang Allah sebagai sumber segala hidup dan kehidupan manusia. Inilah sikap manusia yang tergolong Ar Rasikhuna fi al-‘ilmi (ilmuan mumpuni).
            Ilmu wahyu ini menurut Fazlur Rahman dalam bukunya Tema pokok Al-Qur’an, memiliki sifat deskriptif yang sekaligus juga preskriptif. Namun walau wahyu bersifat deskriptif, keakuratan deskripsinya dalam realitas kehidupan tidak hanya terletak pada substansi wahyunya sendiri, namun juga berkaitan dengan kemampuan manusia memahami ayat/ilmu wahyu tersebut. Namun demikian wahyu dan ilham memiliki perbedaan yang sangat jauh pada tingkat kebenarannya. Wahyu karena berasal dari Allah dan diterima Nabi atau Rasul, memiliki mutu kebenaran mutlak, sementara ilham karena dimungkinkan dating dari malaikat dan syetan, dan diterima oleh manusia biasa yang tidak dijamin kemampuan menangkap kebenaran, maka nilai kebenarannya bersifat relative. Namun Dr Mahdi Gulsyani (1988:95) menegaskan bahwa ilham-pun bersumber dari Allah, hanya lantaran tingkat hubungan antara manusia dengan Allah yang berbeda-beda maka kebenaran yang didapat-pun berbeda-beda, selain cara mendapatkannya-pun berbeda-beda. Sebagian orang cukup dengan perenungan (meditasi) sedang sebagian lainnya melalui sedikit spekulasi.
Pengetahuan Dunia Eksternal
            Di kalangan Mutakallimun, sebagaimana dicatat al-Asy’ari dalam Maqalat al-islamiyyin, setidaknya terjadi polarisasi pendapat tentang kredibilitas pengetahuan inderawi menjadi tiga belas pendapat, Mu’tazilah Baghdad, Al-iskafi, Abu Al-Husayn ash-Shahih, dan Ahl an-Nazhar (pendukung nalar)[11]
            Menurut ‘Abd al-Jabbar, pengetahuan tentang dunia eksternal yang empiris dan sensual merupakan pengetahuan yang tak terbantah. Istilah kunci yang digunakannya, mudrakat (dari idrak), sebenarnya digunakan untuk objek-objek yang di persepsi secara inderawi maupun secara rasional. Akan tetapi, mudrakat lebih ditekankan pada objek-objek empiris sensual sehingga mencakup pengertian musyahadat (objek-objek yang dilihat). Onjek-objek empiris sensual (mudrakat), sebagaimana dijelaskan dalam syarh, mencakup tujuh hal, yaitu: warna, rasa, bau, rasa dingin, panas, rasa sakit, dan suara, yang semuanya menjadi objek cerapan panca indera manusia. Hal ini dapat dipahami, antara lain, dari penekanannya pada hal-hal berikut: Pertama, ketika membahas kesempurnaan akal (kamal al-‘aql) ‘Abd al-Jabbar menekankan bahwa ilmu, menurutnya, harus dibangun dari pengetahuan tentang realitas fisikal yang disebutnya sebagai “fondasi ilmu” (ashl li al-‘ilm).[12] Kedua, ketika menolak skeptisisme epistimologis yang menganggap fakta-fakta empiris inderawi merupakan mimpi orang tidur yang tidak memiliki realitas atau kebenaran, ‘Abd al-Jabbar memang menegaskan bahwa inderawi (baca:esensi) hanya bisa melaporkan bahwa suatu objek ada seperti realitas objektifnya (‘ala ma’ huwa ‘alayh lidzatih), tidak memberikan keputusan apapun, yang sesungguhnya kembali ke subjek.[13] Ketiga, ketika mengkritik pandangan relativitas (ashhab at-tajahul), dimana pandangan relativitasme berimplikasi pada penerimaan prinsip “keserbabolehan” (at-tajwiz) bahwa apa yang dilihat sebagai hitam mungkin menjadi putih, suatu pengandaian yang kontradiktif dengan kenyataan. ‘Abd al-Jabbar berargumen bahwa keyakinan subjek tidak akan berpengaruh terhadap keadaan objek.[14]
            Persepsi sebagai pengalaman manusia dan sebagai sumber pengetahuan dapat di klasifisikan kepada dua kategori:[15]        (1) persepsi terhadap fakta-fakta dunia eksternal, dimana data materiil di persepsi dengan panca indera, dan (2) persepsi internal manusia “menemukan dirinya” (wajad nafsah) dalam istilah ‘Abd al-Jabbar, atau persepsi introspektifdalam istilah Hourani. berbeda dengan yang pertama, kategori kedua merupakan tahap awal pengetahuan rasional dari dalam diri manusia.
            Karena terjadi interrelasi keduanya, disini dikemukakan pemerian kategori kedua secara singkat. ‘Abd al-Jabbar menganggap persepsi introspektif sebagai evindensi paling jelas bagi kebenaran pengetahuan. Setiap manusia memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Contoh-contoh sederhana yang dikemukakan adalah bahwa kita memiliki kemampuan untuk bertindak; bahwa jiwa kita dalam keadaan puas (sakun an-nafs), “berfikir merupakan observasi terhadap keadaan objek komparasi antara objek tersebut dengan objek lain, atau komprasi antara suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain”, dan bahwa nalarberbeda dengan keadaan (ahwal) pikiran lainnya, misalnya perbedaan antara keyakinan dan kehendak. Atas dasar ini, persepsi introspektif sebenarnya merupakan upaya memfungsikan ‘aql untuk menyerapkan data pengalaman internal sehingga terjadi proses pemilahan dan perbandingan.      


[1] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.118.
[2] Ibid.,hlm.119
[3] Ibid.,hlm.121
[4] Ibid.,hlm.120
[5] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.120.
[6] Ibid.,hlm.121
[7] Prof.dr.M.Yunan Yusuf,alam pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.122.
[8] Ibid.,hlm.123
[9] Ibid.
[10] Abd al-Jabbar, Al-Muhith bi at-Taklif, Juz 1, hlm. 196
[11] Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyah, Juz II, ed. Muhammad Muhyi ad-Din ‘Abd al-Hamid, (Beirut: al-Maktabat al-Ashriyyah, 1990/1411), hlm. 79-82.
[12] Abd al-Jabbar, Al-Mughni fi Abwab At-Tauhid wa al-‘Adl, Juz XII, hlm. 67.
[13] Ibid., Juz XII, hlm. 55-56
[14] Ibid., Juz XII, hlm. 48 Uraian lebih lanjut tentang hal ini di kemukakan dalam bahasan tentang kritik ‘Abd al-Jabbar terhadap spektisisme.
[15] George F. Hourani, Islamic Rationalism, hlm. 21.



IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tauhid
yang diampu oleh Bapak Misnawi, M. Pd.I






DisusunOleh:

Imam Hanafi


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN




                                                                               BAB II                                              
PEMBAHASAN
Pengertian imam
            Kata “Iman” berasal dari bahasa arab yang berarti tasdiq (membenarkan). iman itu tempatnya dalam hati yang membenarkan semua yang dibawah Rasul Muhammad SAW baik yang bersifat wajib maupun yang mustahil bagi Allah SWT. Dalam pembahasan Ilmu Tauhid/Ilmu Kalam konsep iman terbagi menjadi tiga yaitu:
1.      Iman adalah tasdik dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan Nabi dan Rasul Allah. Menurut konsep ini Iman dan Kufur itu adalah semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tasdik (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah maka ia disebut telah beriman, sekalipun perbuatannya belum sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya.
2.      Iman adalah tasdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lisan. Dengan demikian seseorang dapat digolongkan beriman apabila ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaan itu dengan lisan. Antara keimanan dan amal perbuatan manusia tidak terdapat hubungan, yang terpenting dalam iman itu adalah tasdik dan ikrar.
3.      Iman adalah tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Antara iman dan perbuatan terdapat keterkaitan, karena iman seseorang ditentukan dengan amal perbuatannya.
            Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa konsep iman dikalangan kaum muslimin adalah bervareasi, ada yang hanya memasukkan unsure tasdiq, ada juga yang menambah unsur ikrar tanpa unsur amal perbuatan, ada pula yang mengumpulkan ketiga unsur tersebut yaitu: tasdiq, ikrar dan amal perbuatan.
            Pembahasan masalah keimanan dalam Ilmu Tauhid juga menyangkut apakah imam seseorang dapat bertambah atau sebaliknya. Dalam ini ada dua golongan yang menyatakan pendapatnya yaitu: (1) mereka yang mengatakan bahwa iman seseorang itu tidak dapat bertambah atau berkurang, (2) golongan yang mengatakan bahwa iman seseorang itu dapat bertambah atau berkurang.
            Golongan yang berpendapat bahwa iman seseorang itu dapat bertambah atau berkurang pada tasdiq dan amalnya. Tasdiq yang bertambah tentu di ikuti oleh frekuensi amal perbuatannya dan ketaatannya. Bertambah atau berkurangnya tasdiq seseorang tergantung kepada:
a.       Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang di terima oleh seseorang sehingga dapat menguatkan atau melemahkan tasdiqnya.
b.      Diri pribadi seseorang itu, artinya kemampuannya menyerap dalil-dalil keimaman, makin kuat daya serapnya kuat pula tasdiqnya. Sebaliknya jika daya serapnya lemah atau tidak baik maka tasdiqnya akan lemah pula.
c.       Pengalaman terhadap ajaran agama. seseorang yang melaksanakan ajaran-ajaran agamanya dengan baik dan benar, akan merasakan kekuatan iman yang tinggi. makin tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat imannya atau tasdiqnya.
Masalah iman, yang berarti percaya, ramai pula dibicarakan dalam ilmu Kalam. Pembicaraan tentang iman ini berkisar di seputar, apakah iman itu hanya sebatas pembenaran dalam hati saja,ataukah iman juga harus sampai kepada pengetahuan rasio dan pengalaman dalam kehidupan nyata? Dengan kata lain, apakah iman hanya di tasdiq (pembenaran atas apa yang di dengar), ataukah harus meningkat sampai ma’rifah (mengetahui benar apa yang di yakini) serta ‘amal (perbuatan).[1]
Bagi pemikiran kalam rasional, karena memberikan daya yang kuat kepada akal, iman bukan hanya sekedar tasdiq, tetapi juga ma’rifah serta ‘amal. Sedangkan bagi pemikiran tradisional, karena memberikan daya kecil kepada akal, iman hanyalah sebatas tasdiq (pembenaran dalam hati tentang apa yang di dengar).[2]
Aliran kalam rasional yang berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya tuhan, kewajiban berterima kasih kepada tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik serta yang buruk, memberikan konsep iman tidak hanya dengan tasdiq semata, tetapi harus meningkat lebih tinggi dari itu, yakni ma’rifah dan ‘amal.
Dikalangan para pemikir kalam tradisional iman adalah tasdiq. Sejalan dengan pandangan pemikiran kalam tradisional terhadap akal, yang hanya mempunyai daya kecil, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, terutama tentang iman didasarkan atas informasi wahyu. Oleh sebab itu, tasdiq disini berarti pembenaran tentang apa yang di dengar dari wahyu.[3]
Bagi maturidiyah samarkand, sebagai yang dijelaskan oleh imam Abu Mansur Al-maturidi sendiri, iman adalah tasdiq bukan lisan. Apa yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, akan menjadi batal, bila hati tidak mengakui apa yang di ucapkan itu.[4]
Namun Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu. Tasdiq, yang difahami Al-Maturidi adalah tasdiq sebagai hasil dari ma’rifah. Tasdiq hasil ma’rifah ini, adalah tasdiq yang dihasilkan melalui penjelajahan al-‘aql bukan semata-mata al-sam’u (pendengaran). Al-maturidi mendasari pandangan ini pada ayat 260 surah Al-Baqarah.
وَاِذْ قاَلَ اِبْرَهمُ رَبِّ اَرْنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى, قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ, قاَلَ بَلى وَلَكِنْ لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِيْ, قَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَآْ تِيْنَكَ سَعْياً, وَاعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَزِيْزُ حَكِيْم.ُِ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang  (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu, kemudian letakkan diatas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Menurut Al-Maturidi, ayat diatas menjelaskan bahwa ketika Nabi ibrahim meminta tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang mati, bukan berarti Nabi ibrahim belum  beriman. Tetapi yang dimaksud oleh ibrahim adalah agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.[5]
Sementara bagi aliran mu’tazilah iman bukanlah sekedar tasdiq dan ma’rifah,tetapi harus meningkat kepada ‘amal.itulah sebabnya, menurut muktazilah iman adalah pelaksanaan perintah tuhan. Seseorang dikatakan tidak beriman, bila seseorang itu tahu tentang tuhan, tetapi tidak melaksanakan perintah-perintahnya atau menentangnya. Konsep iman seperti ini diberi sandaran ayat 2 surah Al-Anfal.[6]
اِنَّمَا الْمُوْمِنُوْنَ اَلَّدِيْنَ اِذَا ذُكِرِاللهُ وَجَلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيَتُهُ زَاِذَ تَهُمْ اِيْماَناً وَّعَلى رَبِّهِمْ يَتَوَكَلُوْنَ.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatnya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.
Sesungguhnya orang-orang beriman, ialah orang-orang yang bila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah, bertambah imannya, sedang mereka itu bertawakkal kepada Allah. 
Demikian Al-Asy’ari memberikan konsep iman dengan mengatakan’’ Al-iman huwa Al-tasdiq bi Allah’’ (menerima sebagai benar informasi tentang adanya Allah). Al-Bazdawi sebagai tokoh almaturidiyah bukhara mengatakan bahwa iman adalah penerimaan dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan dia.[7]
Aliran Asy’ariyah, sebagai yang dijelaskan oleh Asy’ari, menggunakan dalil naqli, yakni surah Ibrahim ayat 4, surah As-Syu’ara ayat 195 dan surah ayat 17.
Ayat-ayat tersebut, menurut Asy’ari, menjelaskan bahwa informasi tentang agama yang harus di imani itu, disampaikan lewat lisan atau bahasa kaum tempat Rasul itu di utus serta dalam bahasa arab yang jelas. Oleh sebab itu, lanjut Al-Asy’ari, iman berarti tasdiq atas apa yang di turunkan dari Allah. Sementara itu penggalan ayat 17 surah Yusuf difahami oleh Asy’ari dengan mengatakan adanya hubungan antara kata mu’min dan siddiqin. Oleh sebab itu, demikian Asy’ari, iman adalah at-tasdiq bi al-qalb (pembenaran dengan hati atas berita yang dibawa oleh Nabi dan dan Rasul). [8]
Sementara itu maturidiyah bukhara, sebagai yang ditulis oleh bazdawi, juga menggunakan surah Yusuf ayat 17 sebagai dalil.
قَاُلوْا يَاَبَانَااِنَّاذَهَبْنَا نَسْتَبِقُ وَتَرَكَنَا يُوْسُفَ عِنْدَ مَتَا عِناَ فَاَكَلَهُ الَذِّئْبُ, وَمَااَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَّناَ وَلَوْكُنَّاصدِقِيْنَ.
Artinya: Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau tentu tidak akan percayakepada kami, sekalipun kami berkata benar.”
Ayat tersebut difahami Al-Bazdawi sebagai penjelasan tentang iman adalah tasdiq, baik secara bahasa ataupun syariah.[9]
Kesatuan Pengetahuan
Sebenarnya manusia itu tidak punya pengetahuan sama sekali. Yang memiliki pengetahuan hanyalah Allah. Lantas Allah mengeluarkan dua sumber pengetahuan yaitu Al-Qur’an dan Alam. Dengan membaca Al-Qur’an manusia memperoleh ber-macam- macam pengetuahuan, dengan membaca alam maanusia juga memperoleh pengetahuan yang banyak.
            Pengetahuan  yang berasal dari Al-Qur’an itu didak mungkin berlawanan dengan pengetahuan yang berasal dari alam. Pengetahuan berasal dari Al-Qur’an adalah pengetahuan yang  selalu benar, pengetahuan yang berasal dari alam juga pengetahuan yang benar karena juga berasal dari yang selalu benar. Tidak mungkin, misalnya, pengetahuan dari Al-Qur’an mengatakan riba haram sementara pengetahuan dari alam (dalam hal ini ilmu ekonomi) menyatakan riba boleh. Itu tidak mungkin karena tidak ada pertentangan dalam pengetahuan tuhan. Penegetahuan tuhan itu sangat banyak dan tidak satupun pengetahuannya itu yang saling berlawanan. Dalam hubungan antara pengetahuan dan keyakinan adalah hubungan “negasi-afirmasi”. Abd al-Jabbar dengan sangat baik mengartikulasi hal ini dengan statement singkatnya, berikut ini:
وأدعلمنا ان الطم صداهوالاعتقاد الذى يتطق بنفي ما تطق العلم با ثباته, ألوبإ ثبات ما تعلق العلم بنفيه, لأته قد ثبت امتتاع الجمع بينهماولاوجه إلااتضاد.[10]
Oleh karena itu, pengetahuan dalam relasinya dengan keyakinan tidak terlepas dari dua keadaan: (1) pengetahuan menegasikan apa yang oleh keyakinan diafirmasikan karena pengetahuan tidak mengafirmasikannya, atau (2) pengetahuan mengafirmasikan apa yang oleh keyakinan dinegasikan karena tuntutan pengetahuan bahwa hal itu harus diafirmasikan. Terhadap keyakinan tentang objek tertentu, pengetahuan tidak terlepas dari salah satunya. Namun, sebagai kerja termenologi keilmuan, negasi-afirmasi adalah dua hal yang tidak terpisahkan (ada proses penyaringan oleh akal terhadap berbagai fenomena untuk ditunjuk sebagai fakta dan data).
Kesatuan Pengetahuan Dalam Pendidikan
            Dalam pendidikan yang harus kita ajarkan adalah pengetahuan yang dikotomis. Pengetahuan yang terdikotomi berbahaya di ajarkan. Bila pengetahuan yang terdikotomi itu berlawanan dan lantas kita ajarkan maka ada dua bahayanya. pertama, pasti salah satu yang salah atau kedua-duanya salah, berarti kita pasti mengajarkan pengetahuan yang salah. Kedua, pelajar memperoleh pengetahuan seperti itu akan terbelah kepribadiaannya (split personality).
            Agar kita tidak mengajarkan pengetahuan yang saling berlawana, maka sebelum diajarkan teori pengetahuan umum yang hendak kita ajarkan itu di periksa terlebih dahulu apakah berlawanan dengan ajaran agama atau tidak. Dan sebaliknya, ajaran agama yang hendak di ajarkan seharusnya kita periksa lebih dahulu apakah tidak perlawanan dengan teori pengetahuan umum yang sudah pasti benarnya.
Fungsi Ilmu Pengetahuan
            Ilmu pengetahuan  bekerja untuk mendorong manusia terus-menerus berlomba mengambil manfaat dari manusia dan alam bagi kesejahteraan manusia kini dan  yang akan datang. Karena itu dalam dunia dalam dunia keilmuan manusia terbaik adalah manusia yang menyiapkan diri untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pada sesamanya, Saling memanfaatkan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang di kuasainya. Artinya tanpa penguasaan ilmu pengetahuan, seseorang atau suatu konitas orang, halnya akan jadi objek/dimanfaatkan komonitas yang lain tanpa ia sendiri memperoleh manfaat dari keadaan atau hal tersebut. Komonitas tanpa iptek bisa bebas dari objek pemanfaatan komonitas beriptek, hanya bila komonitas beribteknya memiliki tauhid/berimtak.
Karena itu untuk mampu bertahan hidup dalam suasana global, manusia berimtek harus berlomba memelihara dan mengembangkan iptek. Semakin tinggi dan banyak penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin besar peluang untuk hidup memberi manfaat, sebaliknya semakin tidak menguasai iptek semakin hidupnya kurang atau malah tidak memberi manfaat bagi manusia lainnya. Namun demikian, realitas kehidupan manusia menunjukkan bahwa keluhuran manfaat ilmu itu tidak selamanya memberikan kesejahteraan, baik dalam dimensi perorangan maupun dalam dimensi kelompok atau malah Negara. Pada jaman sekarangpun tidak sedikit kelompok masyarakat yang makmur secara materi lantaran memiliki kepinteran dalam suatu bidang profesi bersentuhanlangsung dengan hajat hidup orang banyak, namun hidupnya tidak sejahtera.
Ilmu Dalam Dimensi Tauhid
            Dalam dimensi tauhid, kata ilmu di maksudkan untuk dua jenis. Pertama, ilmu wahyu dan Kedua, hasil cipta karya manusia. Ilmu wahyu karena sumbernya dari Allah yang hak, memiliki superioritas kebenaran. demikian menurut Izutsuyang di kutib Abdurrahman Shalih Abdullah (1991:112) Sementara ilmu hasil manusia karena proses pencarian dan penemuannya di batasi oleh keterbatasan kemampuan manusia, maka tingkay kebenarannya berada di bawah ilmu wahyu, sifatnya zhan. Sifat ilmu manusia ini mendorong dua kemungkinan. Pertama, digunakan untuk hawa nafsu sesudah Nampak kebenaran dari Allah. Ilmu demikian tidak akan berfungsi sebagai pelindung atau penyelamat pelakunya (QS2:120). Kedua, dipakai untuk memperkuat keimanan tentang Allah sebagai sumber segala hidup dan kehidupan manusia. Inilah sikap manusia yang tergolong Ar Rasikhuna fi al-‘ilmi (ilmuan mumpuni).
            Ilmu wahyu ini menurut Fazlur Rahman dalam bukunya Tema pokok Al-Qur’an, memiliki sifat deskriptif yang sekaligus juga preskriptif. Namun walau wahyu bersifat deskriptif, keakuratan deskripsinya dalam realitas kehidupan tidak hanya terletak pada substansi wahyunya sendiri, namun juga berkaitan dengan kemampuan manusia memahami ayat/ilmu wahyu tersebut. Namun demikian wahyu dan ilham memiliki perbedaan yang sangat jauh pada tingkat kebenarannya. Wahyu karena berasal dari Allah dan diterima Nabi atau Rasul, memiliki mutu kebenaran mutlak, sementara ilham karena dimungkinkan dating dari malaikat dan syetan, dan diterima oleh manusia biasa yang tidak dijamin kemampuan menangkap kebenaran, maka nilai kebenarannya bersifat relative. Namun Dr Mahdi Gulsyani (1988:95) menegaskan bahwa ilham-pun bersumber dari Allah, hanya lantaran tingkat hubungan antara manusia dengan Allah yang berbeda-beda maka kebenaran yang didapat-pun berbeda-beda, selain cara mendapatkannya-pun berbeda-beda. Sebagian orang cukup dengan perenungan (meditasi) sedang sebagian lainnya melalui sedikit spekulasi.
Pengetahuan Dunia Eksternal
            Di kalangan Mutakallimun, sebagaimana dicatat al-Asy’ari dalam Maqalat al-islamiyyin, setidaknya terjadi polarisasi pendapat tentang kredibilitas pengetahuan inderawi menjadi tiga belas pendapat, Mu’tazilah Baghdad, Al-iskafi, Abu Al-Husayn ash-Shahih, dan Ahl an-Nazhar (pendukung nalar)[11]
            Menurut ‘Abd al-Jabbar, pengetahuan tentang dunia eksternal yang empiris dan sensual merupakan pengetahuan yang tak terbantah. Istilah kunci yang digunakannya, mudrakat (dari idrak), sebenarnya digunakan untuk objek-objek yang di persepsi secara inderawi maupun secara rasional. Akan tetapi, mudrakat lebih ditekankan pada objek-objek empiris sensual sehingga mencakup pengertian musyahadat (objek-objek yang dilihat). Onjek-objek empiris sensual (mudrakat), sebagaimana dijelaskan dalam syarh, mencakup tujuh hal, yaitu: warna, rasa, bau, rasa dingin, panas, rasa sakit, dan suara, yang semuanya menjadi objek cerapan panca indera manusia. Hal ini dapat dipahami, antara lain, dari penekanannya pada hal-hal berikut: Pertama, ketika membahas kesempurnaan akal (kamal al-‘aql) ‘Abd al-Jabbar menekankan bahwa ilmu, menurutnya, harus dibangun dari pengetahuan tentang realitas fisikal yang disebutnya sebagai “fondasi ilmu” (ashl li al-‘ilm).[12] Kedua, ketika menolak skeptisisme epistimologis yang menganggap fakta-fakta empiris inderawi merupakan mimpi orang tidur yang tidak memiliki realitas atau kebenaran, ‘Abd al-Jabbar memang menegaskan bahwa inderawi (baca:esensi) hanya bisa melaporkan bahwa suatu objek ada seperti realitas objektifnya (‘ala ma’ huwa ‘alayh lidzatih), tidak memberikan keputusan apapun, yang sesungguhnya kembali ke subjek.[13] Ketiga, ketika mengkritik pandangan relativitas (ashhab at-tajahul), dimana pandangan relativitasme berimplikasi pada penerimaan prinsip “keserbabolehan” (at-tajwiz) bahwa apa yang dilihat sebagai hitam mungkin menjadi putih, suatu pengandaian yang kontradiktif dengan kenyataan. ‘Abd al-Jabbar berargumen bahwa keyakinan subjek tidak akan berpengaruh terhadap keadaan objek.[14]
            Persepsi sebagai pengalaman manusia dan sebagai sumber pengetahuan dapat di klasifisikan kepada dua kategori:[15]        (1) persepsi terhadap fakta-fakta dunia eksternal, dimana data materiil di persepsi dengan panca indera, dan (2) persepsi internal manusia “menemukan dirinya” (wajad nafsah) dalam istilah ‘Abd al-Jabbar, atau persepsi introspektifdalam istilah Hourani. berbeda dengan yang pertama, kategori kedua merupakan tahap awal pengetahuan rasional dari dalam diri manusia.
            Karena terjadi interrelasi keduanya, disini dikemukakan pemerian kategori kedua secara singkat. ‘Abd al-Jabbar menganggap persepsi introspektif sebagai evindensi paling jelas bagi kebenaran pengetahuan. Setiap manusia memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Contoh-contoh sederhana yang dikemukakan adalah bahwa kita memiliki kemampuan untuk bertindak; bahwa jiwa kita dalam keadaan puas (sakun an-nafs), “berfikir merupakan observasi terhadap keadaan objek komparasi antara objek tersebut dengan objek lain, atau komprasi antara suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain”, dan bahwa nalarberbeda dengan keadaan (ahwal) pikiran lainnya, misalnya perbedaan antara keyakinan dan kehendak. Atas dasar ini, persepsi introspektif sebenarnya merupakan upaya memfungsikan ‘aql untuk menyerapkan data pengalaman internal sehingga terjadi proses pemilahan dan perbandingan.      


[1] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.118.
[2] Ibid.,hlm.119
[3] Ibid.,hlm.121
[4] Ibid.,hlm.120
[5] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.120.
[6] Ibid.,hlm.121
[7] Prof.dr.M.Yunan Yusuf,alam pikiran islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.122.
[8] Ibid.,hlm.123
[9] Ibid.
[10] Abd al-Jabbar, Al-Muhith bi at-Taklif, Juz 1, hlm. 196
[11] Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyah, Juz II, ed. Muhammad Muhyi ad-Din ‘Abd al-Hamid, (Beirut: al-Maktabat al-Ashriyyah, 1990/1411), hlm. 79-82.
[12] Abd al-Jabbar, Al-Mughni fi Abwab At-Tauhid wa al-‘Adl, Juz XII, hlm. 67.
[13] Ibid., Juz XII, hlm. 55-56
[14] Ibid., Juz XII, hlm. 48 Uraian lebih lanjut tentang hal ini di kemukakan dalam bahasan tentang kritik ‘Abd al-Jabbar terhadap spektisisme.
[15] George F. Hourani, Islamic Rationalism, hlm. 21.