Monday 19 December 2016

Penerapan HAM dalam kehidupan bermasyarakat untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan tentang agama islam




ARTIKEL
Penerapan HAM dalam kehidupan bermasyarakat untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan tentang agama islam
Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan pancasila dan kewarganegaraan
Dosen pengampu: Taufikkurrahman, M.H.
 





DisusunOleh:

Imam Hanafi


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN



I.                  Kajian Lapangan
Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Sosial Pengajian.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa, manusia yang selalu berfikir positif, hidupnya akan jauh lebih sehat dan berbahagia. Dalam artian bahwa orng yang selalu berfikir positif dan berusaha melakukan yang terbaik untuk mengembangkan diri dalam bidang ilmu pengetahuan terutama tentang syari’at islam untuk  memenuhi kebutuhan dasarnya, dan juga berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi, seni dan budaya demi meningkatkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Diana Whitney & Amanda Trosten dalam bukunya The Power of Apreciative Inquiry (4 prinsip perubahan positif dalam organisasi) menyatakan bahwa paling tidak ada enam syarat yang diperlukan bagi pembebasan kekuatan. Syarat-syarat tersebut dikenal dengan enam kebebasan, yaitu yang meliputi kebebasan untuk dikenal dalam hubungan, kebebasan untuk didengar, kebebasan untuk bermimpi dalam komunitas, kebebasan untuk memilih dalam berkontribusi, kebebasan untuk bertindak dengan dukungan, dan kebebasan untuk menjadi positif dengan mengembangkan ilmu pengetahuan.
      Masyarakat desa sangat antusias dan bersemangat untuk menimba ilmu pengetahuan tentang agama yang dibutuhkan untuk  menjalani kehidupan bermasyarakat di tempat diselenggarakannya pengajian.  untuk menjalani kehidupan sehari-hari. pada kegiatan pengajian ini yang memang dilakukan setiap minggu satu kali, tepatnya pada hari senin (malam selasa), secara bergantian dari rumah A selanjutnya pindah ke rumah si B dan begitu seterusnya. yang mana kegiatan itu di isi dengan pembacaan yasin bersama, tahlil bersama. setelah itu mereka mendengar dan memperhatikan apa yang disampaikan oleh pemateri untuk mendapatkan tambahan ilmu yang bisa dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan sosial dan bermasyarakat sehari-hari.melalui kegiatan ini masyarakat menginginkan supaya para generasi bangsa khususnya para pemuda diminta agar bisa meneruskan perjuangan mereka dalam rangka memperjuangkan ilmu tentang keagamaan supaya mereka mejadi generasi yang berilmu luas dan berakhlakul karimah.
Dengan demikian, para pemuda sebagai generasi bangsa dituntut untuk berusaha dan bekerja keras agar mereka bisa bermanfaat bagi bangsa dan negara untuk melakukan perubahan yang bertujuan untuk memajukan bangsanya masing-masing dengan ilmu pengetahuannya terutama di daerah tempat tinggalnya masing-masing karena adanya generasi bangsa yang berilmu dan berakhlakul karimah yang sesuai dengan yang diharapkan bangsa.
II.               Kajian Teori HAM
A.    Pengertian Implementasi & Hak Asasi Manusia
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.”
Sedangkan Dalam undang-undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999, dijelaskan pengertian hak asasi manusia (HAM) seperti dalam pasal 1 ayat (1), hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum tuntas, sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1.      Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2.  Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3.  Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4.  Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5.  Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6.  Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Jadi secara keseluruhan Implementasi Hak Asasi Manusia adalah penerapan atau pelaksanaan hak-hak yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan dan hak-hak tersebut tidak dapat di ganggu gugat. Dan kita harus menjujung tinggi nilai-nilai dari hak asasi manusia tersebut.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengajian merupakan satu contoh dari hak asasi sosial dan kebudayaan yang meliputi diantaranya, hak kebebasan mendapatkan pengajaran atau hak pendidikan.sebagaimana tercantum dalam piagam HAM Indonesia yang memuat 10 bab, 44 pasal, yaitu pada Bab 111 Hak Mengembangkan Diri pasal 4 dan 5 yaitu; setiap orang berhak atas perlindungan dan kasih sayang untuk mengembangkan pribadinya, memperoleh, dan mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan juga berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi, seni dan budaya demi kesejahteraan umat manusia. Di dalam piagam HAM Indonesia pada bab 3 pasal 4dan 5 tersebut sudah jelas bahwa setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak untuk mengembangkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi.dan juga terdapat dalam instrumen-instrumen HAM di Indonesia yang terdiri dari: UUD 1945, Tap MPR No. XVII/MPR/1998, dan UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.

B.  Latar Belakang Implementasi Hak Asasi Manusia
Hal-hal yang mendasari dalam pembuatan artikel ini ini adalah bagaimana kita sebagai mahasiswa menyikapi dari permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia. Karena penerapan HAM di Indonesia menurut pandangan kami masih kurang merata karena masih ada saja HAM tersebut di injak-injak sehingga tidak mempunyai harga diri lagi. Persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan masalah hukum dan politik yang saya geluti sejak akhir tahun 1960-an dan awal dasawarsa 1970-an melalui Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI). Di Indonesia terdapat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM yaitu sebuah lembaga mandiri di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan fungsi melaksanakan kajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia.
Latar belakang munculnya Hak Asasi Manusia;
a)    Akibat dari tindakan sewenang-wenang dan ketidak adilan, kezaliman, dan   perbudakan dari penjajahan
b)   Munculnya inisiatif manusia terhadap harga diri dan martabatnya
     C.  Tujuan Implementasi Hak Asasi Manusia.
Implementasi merupakan bentuk tindak lanjut atau penerapan, jadi tujuan dari Implementasi Hak Asasi Manusia adalah.
- untuk Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan PancasilaUUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
- Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
- Untuk mempertahankan hak-hak warga negara di Indonesia. aparat negara  mendorong tumbuh berkembangnya pribadi manusia yang Multidimensional.
D.    Sasaran dari Implementasi HAM
Sasaran dari penerapan HAM ini adalah agar setiap manusia dapat menggunakan hak-hak nya sebagai warga negara Indonesia, bukan saling menginjak-injak atau merebut hak-hak dari mereka yang di ambil HAM nya. Misalnya hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk kemerdekaan, hak untuk mengemukakan pendapat dan masih banyak hak-hak lainnya.
E.     Penerapan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap kebijakan belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau persatuan. Problem dasar HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi warga negara sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya. Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Marzuki Darusman dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi Wartawan Politik (FDWP), di Wisma Surabaya Post Jakarta. Dalam diskusi itu diperbincangkan masalah hak asasi politik dan demokrasi di Indonesia termasuk hubungan Komnas HAM dan pemerintah. “Pelaksanaan HAM di negara kita masih maju mundur. Namun itu tidak menjadi soal karena dalam proses,” kata Marzuki. Padahal jika melihat sisi historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat penderitaan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu pula seperti tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bangsa Indonesia memiliki krisis multi dimensional sebagai akibat menumpuknya masalah ekonomi,  social,  budaya, politik, hukum dan keamanan. Kondisi demikian sangat berpotensi untuk terjadinya sebuah pelanggaran HAM. Pelanggaran Hak Asasi Manusia banyak dilakukan oleh aparat terhadap warga negara dan sebaliknya, bahkan antar warga negara sendiri, hal tersebut sering kita saksikan baik secara langsung maupun melalui media elektronik maupun media cetak seperti:
·      Penganiayaan
·      Pemerkosaan
·      Kekerasan dalam rumah tangga
·      Penjualan anak dan perempuan
·      Pembakaran tempat ibadah.
Kondisi tersebut tidak boleh di biarkan begitu saja, karena akan berdampak pada mental anak cucu bangsa ini.  Contoh penerapan HAM dalam kehidupan sehari-hari, antara lain
1.      Melarang anggota masyarakat untuk tidak main hakim sendiri dalam menghadapi pelanggaran HAM atau kejahatan yang terjadi di lingkungan masyarakat setempat.
2.       Memberi contoh yang baik dalam kehidupan bermasyarakat sehari hari dengan berperilaku yang baik dan sopan misalnya dalam menjalankan kendaraan bermotor dijalan umum atau jalan raya dengan tidak mentang-mentang bahwa ia aparat kepolisian.
3.       Cepat tanggap dan membantu kesulitan yang terjadi di lingkungannya.
4.       Memberi pertolongan baik di lingkungan tugasnya maupun di tempat-tempat lain bila ada orang/anggota masyarakat yang memerlukan pertolongan.
5.       Sopan berkendaraan di jalan umum, dengan mengikuti peraturan/rambu-rambu lalulintas yang berlaku.
6.       Dalam menggunakan fasilitas Rumah Tangga diusahakan tidak mengganggu lingkungan disekitarnya.
7.       Ikut berpartisipasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat dimana ia bertempat tinggal.
8.      Menahan diri apabila terjadi pertengkaran diantara sesama rekan atau tetangga dan berupaya menyelesaikan pertengkaran tersebut dengan baik dan terhormat, serta jangan ikut-ikutan main hakim sendiri.
9.       Melakukan kegiatan rumah tangga dengan tidak mengganggu ketenangan dan ketertiban tetangganya.
10.   Mentaati tata tertib lingkungan hidup sehari-hari di lingkungan masyarakat masing-       masing.
11.   Menghindari pertengkaran/adu fisik karena masing-masing merasa dirinya benar.
12.    Jangan mengembangkan perselisihan antar anak menjadi perselisihan antar orang tua
Maka kemudian menimbulkan keresahan, itu bukan berarti pemerintah mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Din di Jakarta, Jumat (4/3/2011).
E.     HAM untuk Mencegah Absolutisme Kekuuasaan Negara
Berdasarkan pemahaman tentang akar HAM, dalam sejarah perjuangan bangsa itu
menurut  saya, persoalan penegakan HAM haruslah dilihat dari cita-cita bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa penyalahgunaan Kekuasaan Negara (abuse of power) merupakan ancaman paling efektif terhadap hak-hak asasi yang merendahkan martabat manusia sebagaimana dibuktikan selama 40 tahun terakhir. Terutama kecenderungan penguasa untuk membangun kekuasaan yang absolute. Cita-cita bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia tersebut dapat bahkan harus dijadikan alat ukur untuk menakar rezim-rezim yang pernah berkuasa setelah Indonesia merdeka. Adanya perlakuan sewenang-wenang terhadap hak-hak asasi manusia oleh penguasa dalam empat puluh tahun terakhir, baik dalam masa Orde Lama maupun Orde Baru, sudah menyimpang dari cita-cita bangsa untuk mengangkat martabat manusia Indonesia.
Kita mesti mengambil pelajaran penting dari kecanggihan rezim Orde Baru dalam
Mengeliminir hak-hak asasi manusia dengan menggunakan berbagai instrumen politik. Secara sosial, HAM dikualifikasikan sebagai paham individualistik yang bertentangan dengan watak dan kepribadian bangsa Indonesia yang kolektiv secara politik HAM distigmatisasi sebagai paham liberalistik yang bertentangan dengan Pancasila. dan secara budaya diajukan argument partikularistik bahwa bangsa Indonesia memiliki hak-hak asasi sendiri (khas) yang didasarkan pada budaya bangsa.
Pemikiran partikularistik tersebut dipakai untuk menolak watak universal dari HAM yang secara efektif memungkinkan dilahirkannya kebijakan politik, termasuk di bidang hukum, yang mengabaikan hak-hak asasi manusia. Bagi saya sendiri, kecenderungan semacam itu juga mewarnai zaman Orde Lama yang dimungkinkan terjadi karena filosofi kenegaraan, statside integralistik dari Soepomo, yang menjiwai UUD 1945 waktu itu, yang pada dasarnya menolak hak-hak asasi manusia,
kendati di dalamnya ada beberapa pasal mengenai hak-hak warganegara. Seperti kita ketahui, hasil dari kecenderungan itu adalah absolutisme kekuasaan negara yang dipegang kepala negara (presiden).
Ini sebenarnya yang menjadi dasar bagi saya menawarkan constitutional government
atau constitutionalisme sebagai alternatif pendekatan untuk memikirkan reformasi sistem politik dan pemerintahan di Indonesia, yang saya tawarkan jauh-jauh hari sebelum munculnya gerakan reformasi. Tawaran ini juga secara pro-aktif saya ajukan pada saat mulai munculnya gagasan untuk mengamandemen UUD 1945. Menurut paham ini, hak-hak asasi manusia yang secara tertulis harus secara ekspilit dan terinci tertuang dalam konstitusi. Dengan demikian secara normatif hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga negara maupun kewajiban negara terdeskripsikan secara jelas sebagaimana kerangka perumusan HAM PBB, mulai dari DUHAM dan berbagai konvensi lainnya.
Rumusan konstitusi akan menjadi ukuran untuk membatasi kekuasaan negara, kekuasaan pemerintah khususnya. Aturan normatif memang tidak dengan sendirinya berefek membatasi kekuasaan negara. Akan tetapi apa yang tertuang dalam konstitusi bisa menjadi dasar dan instrumen bagi masyarakat sipil, bagi rakyat, untuk menilai, bergerak dan melakukan tuntutan terhadap negara.
Jaminan konstitusional atas hak-hak asasi manusia memberikan dasar yang kokoh
bagi rakyat pemilik kedaulatan, yang nota benenya memiliki dasar historis untuk ikut menentukan corak kekuasaan negara. Dicantumkannya hak-hak asasi manusia ke dalam UUD 1945, melalui amandemen dalam beberapa tahun terakhir ini, dapat dicatat sebagai langkah awal dalam menjabarkan cita-cita bangsa ini untuk menghormati dan meningkatkan harkat dan martabatnya, sekaligus meletakkan rambu-rambu untuk mencegah lahirnya kembali penguasa negara yang otoriter .
F.     Supremasi Hukum Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM
Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti yang telah kita ketahui, ada sejumlah produk politik yang penting tentang HAM. Tercatat mulai dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, kemudian amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak-hak asasi manusia, UU No, 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah dilakukannya amandemen dengan sendirinya UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, merupakan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM. Semua ini melengkapi sejumlah konvenan PBB tentang HAM seperti tentang hak-hak perempuan, hak anak atau kovenan
tentang anti diskriminasi serta kovenan tentang anti tindakan kekejaman yang sudah
diratifikasi.
Saya sendiri memang kurang puas dengan pasal-pasal tentang HAM yang sudah
tercantum dalam UUD 1945. tetapi, menurut hemat saya, akan lebih baik kalaupasal pasal inti dari DUHAM, kovenan hak sipil dan politik, dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya secara komprehensif dimasukkan ke dalam UUD 1945. Namun demikian, dimasukkannya sejumlah hak dalam UUD 1945 tersebut dengan sendirinya mengandung makna simbolik dan menjadi dasar bagi diratifikasinya, khususnya dua kovenan yang amat monumental yaitu kovenan hak sipil dan politik serta kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut sebagaimana yang sudah diagendakan dalam Rencana Aksi Nasional HAM sejak 1998 walaupun tampaknya tidak berjalan dengan baik. Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Saya mencatat, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan. Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum. Dengan demikian pula apa yang saya katakan di atas “perjuangan harus dipahami sebagai komitmen nasional” memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan lembaga-lembaga di luar negeri tidak penting. Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebih bila dilihat darilogika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya. Negara, lebih khusus aparat pemerintah -terutama yang berurusan dengan keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM. Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara) berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM. kalau demikian halnya, kemudian muncul agenda besar.
Pertama, menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang
HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang secara eksplisit sudah memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM. Termasuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional tentang HAM, baik dari segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelembagaan Komnas HAM dan peradilan HAM.
Kedua, melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum
KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM.
Termasuk UU yang dihasilkan dalam lima tahun terakhir ini. Hal ini sebagai konsekuensi dari watak rejim sebelumnya yang memang anti-HAM, sehingga dengan sendirinya produk UU-nya pun sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM.
Dalam konteks ini, maka agenda ini sejalan dan dapat disatukan dengan agenda
reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM.
yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protocol operasionalnya. Dari segi ukuran maupun substansi serta permasalahannya hal ini merupakan agenda raksasa. Untuk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat yang memiliki perhatianyang sama seperti  kalangan LSM bidang hukum. Dan untuk itu pula perlu dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelaksanaannya dilakukan bertahap.
Ketiga, mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan
dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Dalam kesempatan ini, saya tidak ingin ikut membicarakan persoalan memburuknya kondisi system peradilan kita, akan tetapi yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan kelembagaan ini adalah meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini harus disadari betul mengingat masalah HAM baru masuk secara resmi dalam beberapa tahun terakhir ini saja dalam sistem peradilan kita. Bahkan, perlu diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dikatakan pada umumnya, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Lebih-lebih untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
Keempat, penting juga diagendakan adalah sosialisasi dan pemahaman tentang
HAM itu sendiri, khususnya di kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi
yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah HAM. Sosialisasi pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekejaan raksasa, dan sangat terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya. Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan ber-urusan dengan masyarakat yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini disebabkan, antara lain bukan semata-mata karena kurang memahami masalah HAM,
akan tetapi juga karena mereka umumnya kurang dapat melaksanakan  rambu-rambu  profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun aparat keamanan.
Kelima, tentu saja kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama
kalangan Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi agenda yang terprogram dengan baik. Bukan saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalangan masyarakat sebagaimana terjadi di masa lalu. Dalam kerangka mengembangkan iklim yang lebih demokratis, kini saatnya kalangan pemerintah bersikap lebih terbuka kepada masyarakat, lebih-lebih untuk keinginan bersama memajukan HAM dalam konteks penegakan hukum. Perlu disadari bahwa kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga LBH /YLBHI, sudah lama berkecimpung di bidang penegakan HAM, sejak ketika HAM masih dipandang sebagai masalah sensitif atau bahkan subversif secara politik. Pengalaman panjang mereka dapat dimanfaatkan untuk penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM.







III.Kesimpulan.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa, manusia yang selalu berfikir positif, hidupnya akan jauh lebih sehat dan berbahagia. Dalam artian bahwa orang yang selalu berfikir positif dan berusaha melakukan yang terbaik untuk mengembangkan diri dalam bidang ilmu pengetahuan terutama tentang syari’at islam untuk  memenuhi kebutuhan dasarnya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, dalam suatu organisasi keilmuan yang berkembang di kalangan masyarakat seperti yang telah dipaparkan/ dijelaskan di bagian awal artikel ini bahwa, manusia berhak mengembangkan dirinya termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan seperti yang tercantum dalam Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan untuk mendapatkan pendidikan atau pembelajaran dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi, seni dan budaya demi meningkatkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Diana Whitney & Amanda Trosten dalam bukunya The Power of Apreciative Inquiry (4 prinsip perubahan positif dalam organisasi) menyatakan bahwa paling tidak ada enam syarat yang diperlukan bagi pembebasan kekuatan. Syarat-syarat tersebut dikenal dengan enam kebebasan, yaitu yang meliputi kebebasan untuk dikenal dalam hubungan, kebebasan untuk didengar, kebebasan untuk bermimpi dalam komunitas, kebebasan untuk memilih dalam berkontribusi, kebebasan untuk bertindak dengan dukungan, dan kebebasan untuk menjadi positif dengan mengembangkan ilmu pengetahuan.