Saturday, 3 December 2016

RESPON ANAK REMAJA TERHADAP PENDIDIKAN KELUARGA


RESPON ANAK REMAJA TERHADAP PENDIDIKAN KELUARGA

Abstrak
Pada masa yang modern ini banyak para remaja yang kurang memahami akan pentingnya pendidikan, khususnya pendidikan moral yang bisa dikatakan sangatlah minim. Hal itu terjadi tidaklah luput dari efek pendidikan yang ada di keluarganya. Apa orang tua sudah melaksanakan perannya secara optimal terhadap pendidikan anaknya atau belum. Maka orang tua harus memperhatikan hal ini dengan serius.
Kata kunci: kenakalan remaja, peran keluarga, pendidikan moral
Pendahuluan
Remaja merupakan pemimpin masa depan suatu bangsa di samping hal- hal yang mengembirakan dengan kegiatan remaja-remaja ahir-ahir ini seperti semakin aktif mengikuti organisasi antar pelajar dan peningkatan prestasi,kita melihat pula arus kemerosotan moral yang semakin melanda dikalangan sebagian pemuda-pemuda kita, yang lebih terkenal dengan kenakalan remaja hal tersebut adalah suatu masalah yang dihadapi masyarakat yang kini semakin marak kususnya keluarga oleh karena itu keluarga  harus memperhatikan serta mengatur pola pendidikan dalam keluarga tersebut.
Karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja
Karena masa remaja            merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari alannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang. Pembentuk nilai-nilai baru dilakukan dengan dentifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkan sendiri.
kedekatan remaja dengan orang tua
Para remaja menyatakan memiliki kedekatan yang berbeda-beda dengan orang tua.remaja yang tinggal dengan orang tuanya dan merasa nyaman berinteraksi dengan ayah ibunya mengungkapkan perasaan dekat dengan keduanya.mereka biasa berbagi cerita dengan orang tuanya tentang peristiwa yang di alami di sekolah dan melakukan kegiatan bersama seperti menonton tv,melakukan tugas rumah dan ada pula yang bereaksi.para remaja tersebut jarang mengalami masalah di sekolah karena perilakunya.
Remaja yang bermasalah di sekolah pada umumnya adalah remaja yang berasal dari keluarga yang bermasalah.masalah di dalam keluarga tersebut dapat berupa relasi ayah ibu yang bermasalah dan sering mengalami konflik,perilaku orang tua yang bermasalah seperti sering mabuk akibat minum minuman keras dan berjudi,dan relasi orang tua anak yang bermasalah.masalah dalam relasi orang tua anak misalnya adalah orang tua terlalu sering memarahi anak tanpa melakukan klarivikasi pada anak,dan mudah memberikan hukuman pada anak.bahkan dalam memberikan hukuman ada yang bersifat fisik seperti menjewer,mencetot,mencubit,memukul dengan sapu.menyabet dengan ikat pinggang,dan memukul dengan tangan.
Area konflik remaja dengan orang tua
Masalah yang menjadi pemicu konflik antara remaja dan orang tua mencakup tujuh area,yaitu terlambat pulang baik dari sekolah maupun dari bermain;penampilan terutama menyangkut cara berpakain dan modelnya ,serta gaya rambut;karakteristik teman sepergaulan ;prestasi belajar;keterlibatan dalam tugas pekerjaan rumah;penggunaan telepon,terutama ponsel;dan keterlibatan dalam hubungan romantis atau pacaran.
Kriteria remaja dalam memilih teman akrap adakalanya tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan orang tua sehingga menimbulkankan konflik.remaja yang relasinya dengan orang tua kurang baik.cenderung memilih teman akrap dengan mengutamakan kecocokannya dalam berinterksi dengan teman akrap tersebut,namun mengabaikan perilaku temannya seperti sukak mabuk,pernah mencuri,atau putus sekolah.apabila remaja merasa cocok dan di mengerti,maka ia dapat menjalin relasi yang akrap karena sering berbagi dan melakukan aktivitas bersama.menurut remaja,orang tua aturan menunjukkan sikap tidak sukanya apabila mereka bermain dengan remaja lain yang berpakaian yang pendek-pendek(sronok),sering mengajak pergi bermain,dan bersikap tidak tahu aturan(kurang punya tatak rama).orang tua juga kurang suka apabila remaja berteman dengan orang yang sukak mabuk ,merokok,pernah mencuri,dan teman yang putus sekolah.dalam hal ini orang tua kurang memahami penyebab kedekatan anak dengan temannya,dan lebih melihat penampilan fisik atau atribut lainnya.
Hal yang berbeda di ungkapkan oleh remaja yang memiliki relasi yang hangat dengan orang tua.remaja dalam kelompok ini mengikuti nasihat orang tua dalam memilih teman akrap.mereka memilih bergaul dengan teman-teman yang berprilaku baik,lama kelamaan mereka dapat berpengaruh berperilaku kurang baik pula.remaja dalam kelompok ini juga memahami bahwa nasihat yang diberikan orang tua tersebut adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri.
Prestasi belajar yang di capai anak yang kurang sesuai dengan harapan orang tua menjadi penyebab konflik orang tua anak yang berikutnya.apabila prestasi belajar remaja menurun,maka orang tua ada yang menasehati anak,ada pula yang menegur dan memarahinya.nasihat yang di sampaikan orang tua dalam menghadapi situasi ini adalah belajar lebih rajin.prestasi belajar yang menurun di pandang orang tua sebagai akibat terlalu banyak bermain dan menonton televisi sehingga lupa belajar.setelah di nasehati orang tuanya,pada umumnya remaja mau belajar lebih rajin.namun perilakunya belajar lebih rajin tersebut ada yang bertahan lama dan ada yang tidak.remaja yang kembali kendor dalam upaya belajarnya akhirnya mengalami konflik berulang dengan oran tua dalam hal prestasi belajar.untuk mengatasinya,apa bila merasa kepepet tidak dapat menjawab soal-soal ujian,maka mereka memilih untuk meminta jawaban pada teman agar hasil ulangannya tidak jeblok dan tidak dimarahi orang tua lagi.
Dari paparan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa pencetus konflik remaja dengan orang tua dapat berasal dari dua belah pihak.dari pihak orang tua memandang remaja berperilaku kurang sesuai dengan harapan orang tuanya,dan dari pihak remaja merasa dari orang tua kurang memahami dirinya.dari gambaran area konflik tersebut,tanpak bahwa orabg tua belum berhasil mengomunikasikan harapanmya pada anak dengan baik sehingga anak benar-benar memahami maksud orang tuanya.apabila orang tua menginginkan anak berperilaku tertentu,orang tua perlu memberikan penjelasan mengapa hal itu perlu di lakukan oleh anak.di sisi lain,anakpun perlu belajar mengomunikasikan harapannya pada orang tua dan belajar memahami maksud orang tua di balik perkataan yang di sampaikan pada anak remaja.cara berkomunikasi yang dilakukan oleh orang tua maupun anak belum cukup memadai untuk menyampaikan pesan yang di inginkan, sehingga pesan tersebut dapat di pahami sesuai dengan maksud yang sebenarnya.[1]
Fungsi atau peranan keluarga
Lingkungan keluarga merupakan linkungan pendidikan yang pertama karena si dalam keluarga inilah anak pertama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga. Sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak termasuk peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan adalah dalam keluarga.[2]
Faktor orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam belajar anak karena tinggi rendahnya pendidikan orang tua, besar kecil penghasilan, cukup atau kurang perhatian dan bimbingan orang tua, akrab tidaknya hubungan otang tua dengan anak-anak, tenang atau tidaknya situasi di dalam rumah, semua itu turut mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak.[3]
Sebagai sistem social terkecil, keluarga memiliki pengaruh luar biasa dalam hal pembentukan karakter suatu individu. “keluarga merupakan produsen dan konsumen sekaligus dan harus mempersiapkandan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari seperti san dan pangan.  Setiap keluarga dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka dapat hidup lebih senang dan tenang.[4] Keluarga memiliki definisi tersendiri bagi orang jawa. “bagi oaring jawa, keluarga merupakan sarung keamanan dan sumber perlindungan.[5]
Dalam keluarga, anak hidup berkumpul dengan anggota keluarga lainnya dalam suasana pergaulan yang penuh dengan kasih sayang serta suka maupun duka. Sebagai satuan sosial yang dihuni oleh anggota yang memiliki ikatan darah, lembaga keluarga memiliki banyak fungsi bagi anggota keluarganya, khususnya bagi anak. Yaitu; (1) fungsi pendidikan, (2) fungsi sosialisasi, (3) fungsi keagamaan, (4) fungsi rekreasi, (5) fungsi perlindungan, dan (6) fungsi biologis.
1.      Fungsi pendidikan. Pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran(intelect) dan jasmani anak-anak supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.[6]Awalnya keluarga merupakan satu-satunya institusi pendidikan. Seiring dengan perkembangan zaman, bermunculan lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal yang melengkapi lembaga pendidikan keluarga.bahkan proses pendidikan di sekolah semakin lama pengaruhnya menjadi semakin penting dan menggeser peran dari keluarga.kendati demikian, fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan tetap penting karena keluarga sebagai peletak dasar pendidikan anak.
2.      Fungsi sosialisasi. Fungsi ini menitikberatkan kepada pembentukan kepribadian anak.[7] Keluarga merupakan institusi sosial terkecil yang pertama kali dialami oleh anak. di dalam keluarga, anak mulai mengenal dan bergaul dengan individu di luar dirinya. Dan melalui keluarga, anak dipersiapkan agar kelak menjadi anggota masyarakat yang baik. Keluarga merupakan persekutuan hidup pada lingkungan masyarakat, tempat dimana ia menjadi diripribadi atau sebagaimana dalam teori sigmun freud yang menyatakan bahwa “das ueber ich” atau aspek sosiologis dan nilai-nilai tradisional masyarakat sebagaiman ditafsirkan orang tua terhadap anaknya.[8]
3.      Fungsi biologis. Melalui perkawinan maka tercipta keluarga. Dan dari keluarga anak-anak dilahirkan. Dengan demikian, melalui keluarga maka tercipta generasi yanhg tak terputus.
4.      Fungsi rekreasi. Rekreasi merupakan aktivitas atau tempat yang menyenangkan. Keluarga semestinya menjadi suasana dan tempat yang menyenangkan bagi anggota keluarganya, terutama bagi anank-anak. Dengan kondisi menyenagkan, anak akan betah dirumah. Sebaliknya, jika suasana rumah membosankan, maka anak-anak akan mencari tempat rekreasi yang lain, seperti di kebunbinatang, kebun raya, nighclub, komunitas pengguna jasa internet dan lain sebagainya. Hal ini menuntut orang untuk lebih kreatif mengelola keluarga agar fungsi rekreatif keluarga tetap terjaga.
5.      Fungsi keagamaan. keluarga merupakan wahana untuk menumbuhkembangkan rasa keberagamaan anak. karena itu, keluarga tidak bisa meninggalkan fungsi keagamaan ini meskipun telah bermunculan institusi agama. Bahkan seharusnya keluarga bekerjasama dengan institusi-institusi agama dalam mengembangkan rasa keberagamaan anak.
6.      Fungsi perlindungan. Dengan fungsi ini, keluarga memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya. Sekarang banyak fungsi perlindungan dan perawatan ini diambihalih oleh badan-badan sosial, seperti tempat perawatan anak-anak cacat tubuh dan mental, panti asuhan anak yatim piatu, panti jompo, dan sejenisnya. Kendati demikian, fungsi perlindungan keluarga tetap berbeda disbanding lembaga-lembaga sosial. Fungsi perlindungan keluarga bersifat asasi dan kodrati.[9]
Tanggung jawab keluarga
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً  (Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka)[10]
Dasar-dasar tanggung jawab keluarga atau orang tua terhadap pendidikan anaknya meliputi:
a.      Adanya motivasi atau dorongan cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua dan anak. kasih sayang orang tua yng ikhlas dan murni akan mendorong sikap dan tindakan rela menerima tanggung jawab untuk mengorbankan hidupnya dalam memberikan pertolongan kepada anaknya.
b.      Pemberian motivasi kewajiban moral sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Adanya tanggung jawab moral ini meliputi nilai-nilai agama atau nilai-nilai spiritual. Menurut para ahli,bahwa penanaman sikap beragama sangat baik pada masa anak-anak.
c.       Tanggung jawab sosial adalah bagian dari keluarga yang pada gilirannya akan menjadi tanggung jawab masyarakat, bangsa dan Negara.
Tangggung jawab sosial itu merupakan perwujudan kesadaran tanggung jawab kekeluargaan yang dibina oleh darah, keturunan dan kesatuan keyakianan.
Terjalinnya hubungan antara orang tua dengan anak berdasarkan rasa kasih sayang yang ikhlash, dan kesediaan pengorbanan segala-galanya, adalah hanya untuk melindungi dan memberikan pertolongan kepada anak, dalam membimbing mereka agar pertumbungan dan perkembangannya menjadi sempurna, sebagaimana yang diharapkan. Begitu juga diharapkan untuk melatih sikap mandiri dan mampu mengambil keputusan sendiri serta kehidupannya dalam keadaan stabil.
d.     Memelihara dan membesarkan anaknya.
Tanggung jawab ini merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukanmakan, minum dan perwatan agar ia dapat hidup secara berkelanjutan. Disamping itu, ia bertanggung jawab untuk melindungi dan menjamin kesehatan anaknya, baik secara jasmaniyah maupun ruhaniyah dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat embahayakan diri anak tersebut.
e.      Memberikaan pendidikan dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupan anak kelak, sehingga bila ia telah dewasa akan mampu mandiri.
Demikianlah beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai tanggung jawab orang tua terhadap anaknya, terutama dalam konteks pendidikan. Kesadaran akan tanggung jawabmendidik dan membina anak secara terus menrus perlu dikembangkan kepada setiap orang tua, sehingga pendidikan yang dilakukan tidak lagi berdasarkan kebiasaan yang dilihat oleh orang tua, tetapi telah didasari oleh teori-teori pendidikan modern, sesuai dengan perkembangan zaman.[11] Namun kenyataan yang ada, anak tidak merasakan peran-peran dari keluarga tersebut yang mengakibatkan anak cenderung nakal, khususnya pada fase remaja.
Asal mula perilaku menyimpang pada remaja
Awal penyimpangan perilaku anak remaja bermacam-macam. Misalnya anak amerika yang namanya frog. Seperti halnya anak-anak amerika lainnya, Frog (kasus 1) adalah anak yang matearilitas. Mereka mendambakan kemewahan, baju-baju yang sedang in, mobil-mobil keluaran tahun mutakhir, makanan dan barang-barang yang diiklanlan di TV dan semua hal yang hanya dapat dibeli dengan uang. Tetapi frog dan anak-anak lain yang senasib dengannya, datang dari keluarga yang tidak mampu. Sejak lahir mereka sudah tidak mengenal ayahnya, sementara mereka harus menyaksikan ibunya bekerja keras setiap hari untuk m,endapatkan upah beberapa dollar, atau harus antri di kantor sosial untuk meminta tunjangan sosial. Frog sendiri tidak bersekolah. Angka pengangguran dikalangan remaja kulit hitam di amerika serikat mencapai 37%. Tidak ada yang dapat dilakukan frog karena ia hanya pekrja kasar. Penghasilannya sangat tidak memadai. Frog ingin menikmati kemewahan, disamping ia ingin menyenangkan ibunya dengan membelikan barang-barang keperluannya. Inilah yang membuat Frog terjerumus ke dalam perdangangan obat bius.
Cara menerangkan asal mula kenakalan remaja seperti tersebut oleh ensen digolongkan ke dalam teori sosiogenik, yaitu teori-teori yang mencoba mencari sumber penyebab kenakalan remaja pada faktor lingkungan kelluarga dan masyarakat.
Berbagai teori yang mencoba menelaskan penyebab kenakalan remaja, dapat digolongkan sebagai berikut:
1.      Rational choice: Teori ini mengutamakan faktor individu daripada faktor lingkungan.kenakalan yang dilakukannya adalah atas pilihan, interes, motivasi dan kemauannya sendiri.
2.      Social disorganizaziion: Kaum positivis pada ummnya lebih mengutamakan faktor budaya. Yang menyebabkan kenakalan remaja adalah berkurangnya atau menghilangnya pranata-pranata masyarakat yang selama ini menjga keseimbangan atau harmuni dalam masyarakat.
3.       Strain: Teori ini dikemukakan oleh merton yang sudah diuraikan di bab terdahulu. Intinya adalah bahwa tekanan yang besar dalam masyarakat,
4.      Differential association: menurut teori ini, kenakalan remaja adalah akibat salah pergaulan.
5.      Labeling: ada pendapat yang menyatakan bahwa anak nakal selalu dianggap atau dicap (diberi label) nakal.
6.      Male phenomenon: teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal dari pada perempuan. Alasannya karena kenakalan memang adalah sifat Laki-laki atau karena budaya maskulinitas menyatakan bahwa wajar kalau laki-laki nakal.[12]
Pencegahan perilaku menyimpang pada remaja
Dalam menghadapi remaja ada beberapa hal yang harus selalu diingat, yaitu bahwa remaja adalah jiwa yang penuh gejolak (strum und drang)  dan bahwa lingkungan sosial remaja juga ditandai dengan perubahan sosial yang cepat (khususnya di kota-kota besar dan daerah-daerah yang terjangkau sarana dan prasarana komunikasi dan perhubungan) yang mengakibatkan kesimpangsiuran norma (keadaan anomie) kondisi internal dan eksternal yang sama-sama bergejolak inilah yang menyebabkan masa remaja memang lebih rawan daripada tahap-tahap lain dalam perkembangan jiwa manusia.
Untuk mengurangi benturan antar gejolak itu dan untuk memberi kesempatan agar remaja dapat mengembangkan dirinya secara lebih optimal, perlu diciptakan kondisi lingkungan terdekat yang stabil mungkin, khususnya lingkungan keluarga.keadaan keluarga yang ditandai dengan hubungan suami-istri yang harmonis akan lebih menjamin remaja yang bisa melewati masa transisinya dengan mulus daripada jika hubungan suami-istri terganggu. Kondisi di rumah tangga dengan adanya orang tua dan saudara-saudara akan lebih menjamin kesejahteraan jiwa remaja daripada asrama atau lembaga pemasyarakatan anak. Karena itu tindakan pencegahan yang paling utama adalah berusaha menjaga keutuhan keharmonisan keluarga sebaik-baiknya. Kalau terjadi maalah dengan suami-istri (ada yang meninggal atau penceraian) lebih baik anak dipindahkan ke sanak keluarga lain atau kalau perlu dipindahkan ke keluarga yang tidak ada hubungan darah (misalnya tidak ada sanak keluarga atau harus kos) perlu dicarikan hubungan anatar anggota keluarganya cukup harmonis. Baru sebagai jalan terakhir, kalau tidak ada jalan lain yang lebih baik, bisa dianjurkan asrama atau lembaga penhasuhan anak lainnya, seperti panti asuhan da sebagainya. Akan tetapi, jika ingin perkembangan jiwa akan anak yang seoptimal mungkin, perlu diusahakan agar keadaan di asrama aatau lemabaga itu semirip mungkin dengan keadaan keluarga biasa[13]
Penanganan tergadap perilaku menyimpang remaja
1.      Kepercayaan: remaja itu harus percaya kepada orang yang mau membantunya (orang tua, guru, psikolog, ulama dan sebagainya), ia harus yakin bahwa penolong ini memang benar adanya. Untuk memenuhi ketentuan pertama ini,sering kali tenaga profesional (psikolog.konselor)lebih efektif dari pada orang tua atau guru sendiri karena remaja yang bersangkutan sudah terlanjur mempunyai penilaian tertentu kepada orang tua atau gurunya sehingga apapun yang di lakukan orang tua atau guru tidak akan di percayainya lagi.
2.      Kemurnian hati: Remaja harus merasa bahwa penolong itu sungguh-sungguh mau membantunya tanpa syarat.ia tidak suka kalau orang tua, misalnya mengatakan :”bener deh”, mama sayang sama kamu dan mama bantu kamu, tetapi kamu  juga meski ngerti dong.pelajaranmu itu kan penting. pelajaranmu dulu utamakan, nanti yang lainnya mama bantu deh.inikan buat kepentinganmu sendiri”. Buat remaja, kalau membantu, bantu saja. Tidak perlu ditamabahi “tetapi-tetapi”. Karena itulah, remaja lebih sering minta nasehat teman-temannya sendiri walaupun teman-teman itu tidak bisa memberi nasehat atau mencarikan jalan keluar yang baik. Apalagi persoalannya berat dan gawat etatp yang jelas teman-teman itu sering murni mau membantu. Yang juga sering dijadikan sasaran untuk meminta bantuan adalah rubri-rubrik konsultasi di berbagai majalah atau radio. Setidaknya remaja yakin bahwa pengasuh rubrik-rubrik semacam itu sungguh-sungguh mau membantu saja tanpa pamrih walaupun ia juga tahu bahwa jawaban mereka sering tidak tuntas karena terbatasnya ruangan atau waktu dan terbatasnya informasi yang diberikan oleh penanya.
3.      Kemampuan mengerti dan menghayati (empati) perasaan remaja. Dalamposisi yang berbeda antara anak dan orang dewasa (perbedaan usia, perbedaan status, perbedaan cara berfikir dan sebagainya) sulit bagi orang biasa (khususnya orang tua) untuk berempati pada remaja karena setiap orang (khususnya yang tidak terlatih) akan cenderung untuk melihat segala persoalan dari sudut pandangnya sendiri itu. Di pihak remajanya sendiri ada kecenderungan sulit untuk menerima uluran tangan orang dewasa karena ia tidak ada empati terkandung di dalam uluran tangan itu.
4.      Kejujuran. Remaja mengharapkan penolongnya menyampaikan apa adanya saja, termasuk hal-hal yang kurang menyenangkan. Apa yang salah dikatakan salah, apa yang dikatakan benar dikatakan benar. Yang tidak bisa di terimanya jika hal-hal yang pada disalahkan tetapi pada orang lain atau pada orang tuanya sendiri dianggap benar. Kebiasaan orang tua dedan orang dewasa lainnya untuk membohongi remaja  (walaupun dalam rangka menolongnya) lama kelamaan akan meruntuhkan ketentuan pertama dan utama dalam rangka membantu remaja, yaitu kepercayaan remaja itu sendiri terhadap penolongnya.
5.      Mengutamakan persepsi remaja sendiri. Sebagaimana sudah dikatakan diatas, sebagai halnya dengan semua orang lainnya, remaja akan memandang segala sesutu dari sudutnya sendiri. Terlepas dari kenyataan atau pandangan orang lain yang ada, bagi remaja pandangannya sendiri yang merupakan kenyataan dan ia bereaksi terhadap itu. Maka, kalau misalnya ia memandang guru bahasa inggrisnya jahat maka jahatlah guru itu dan remaja itu pun akan membenci guru itu walaupun nmisalnya semua orang mengatakan bahwa guru itu baik. Kemampuan untuk memahami pandangan remaja, berikut seluruh perasaan yang ada dibalik pandangan itu, merupakan modal untuk membangun empati terhadap remaja.[14]

Pola interaksi remaja-orang tua
Sesuai dengan tahap perkembangannya, interaksi remaja dengan orang tua memiliki kekhasan tersendiri. Jersild, brook, dan brook mengatakan bahwa inetraksi antara remaja dengan orang tua dapat digambarkan sebagai drama tiga tindakan (three-act-drama).
Drama tindakan pertama (the first act drama), interaksi remaja dengan orang tua berlangsung sebagaimana yang terjadi pada inetraksi antara masa anak-anak dengan orang tua. Mereka memiliki ketergantungan kepada orang tua dan masih sangat dipengaruhi oleh orang tua. Namun, remaja mulai semakin menyadari keberadaan dirinya sebagai pribadi daripada masa-masa sebelumnya.
Drama tindakan kedua (the second act drama), disebut dengan istilah “peruangan untuk emansipasi”. Pada masa ini, remaja juga memiliki perjuangan yang kuat untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan dengan orang tuanya sebagaimana pada masa anak-anak untuk mencapai status dewasa. Dengan demikian, ketika berinteraksi dengan orang tu, remaja mulai menunggalkan kemanjaan dirinya dengan orang tua dan semakin bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Akibatnya, mereka seringkali mengalami pergolakan dan konflik ketika berinteraksi dengan orang tua.
Drama tindakan ketiga (the third act drama), remaja berusaha menempatkan dirinya berteman dengan orang dewasa dan berinteraksi secara lancer dengan mereka. Namaun, usaha remaja ini seringkali masih memperoleh hambatan yang disebabkan oleh pengaruh dari orang tua yang sebenarnya masih belum bisa melepas anak remajanya secara penuh. Akibatnya, remaja seringkali menentang gagasan-gagasan dan sikap dari orang tua.
Dalam konteks inetraksi remaja dan orang tua, Fontana menambahkan adanya aspek objektif dan subjektif dalam interaksi antara remaja dan orang tua.  Aspek objektif adalah keadaan nyata dari peristiwa yang terjadi pada saat interaksi antara remaja dan orang tua berlangsung. Sedangkan aspek subjektif adalah keadaan nyata yang dipersepsi oleh remaja pada saat interaksi berlangsung. Fontana mengatakan bahwa tidak jarang teradi remaja cenderung menggunakan aspek subjektif ketika berinteraksi dengan orang tuanya. Misalnya, orang tua yang bertindak agak keras terhadap remaja karena merasa khawatir dan cemas terhadap anak remajanya justru dipersepsi oleh remaja sebagai memarahinya. Padahal, sesungguhnya orang tua bermaksud untuk melindunginya. Atas dasar aspek subjektif yang sering digunakan oleh remaja dengan berinteraksi dengan orang tuanya, sebagaiman dikatakan Fontana maka pemahaman terhadap inetraksi remaja perlu memperhatikan bagaimana persepsi remaa tentang interaksinya degan orang lain, dan bukan semata-mata interaksi nyata (real interaction).
Interaksi yang terjadi antarindividu dalam lingkungan keluarga akan tampil dalam kualitas yang berbeda-beda. Kualitas mengacu pada derajat relative kebaikan ayau keunggulan suatu hal, dalam hal ini adalah interaksi antarindividu. Suatu interaksi  dikatakan berkualitas jika mampu memberikan kesempatan kepada individu untuk mengembangkan diri dengan segala kemungkinan yang dimilikinya. Jadi, yang dimaksud dengan interaksi remaja-orang tua adalah hubungan timbal balik secara aktif antara remaja dengan orang tuanya yang terwuud dalam kualitas hubungan yang memungkinkan remaja untuk mengembangkan potensi dirinya.[15]






















PENUTUP
Kesimpulaan
Karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja
Karakteristik yang menonjol dalam perkembanagan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mencapai tahapan berfikir operasional formal
Pola interaksi remaja-orang tua
Jersild, brook, dan brook mengatakan bahwa inetraksi antara remaja dengan orang tua dapat digambarkan sebagai drama tiga tindakan (three-act-drama).
kedekatan remaja dengan orang tua
Remaja yang bermasalah di sekolah pada umumnya adalah remaja yang berasal dari keluarga yang bermasalah.masalah di dalam keluarga tersebut dapat berupa relasi ayah ibu yang bermasalah dan sering mengalami konflik,perilaku orang tua yang bermasalah
Area konflik remaja dengan orang tua
Masalah yang menjadi pemicu konflik antara remaja dan orang tua mencakup tujuh area,yaitu terlambat pulang baik dari sekolah maupun dari bermain;penampilan terutama menyangkut cara berpakain dan modelnya ,serta gaya rambut;karakteristik teman sepergaulan ;prestasi belajar;keterlibatan dalam tugas pekerjaan rumah;penggunaan telepon,terutama ponsel;dan keterlibatan dalam hubungan romantis atau pacaran.
Pencegahan perilaku menyimpang pada remaja
Kepercayaan, Kemurnian hati, Kemampuan mengerti dan menghayati (empati) perasaan remaja, kejujuran, Mengutamakan persepsi remaja sendiri.
Fungsi atau peranan keluarga
Fungsi pendidikan, fungsi sosialisasi, Fungsi biologis, Fungsi rekreasi,  Fungsi keagamaan, Fungsi perlindungan.
Tanggungjawab keluarga
Adanya motivasi atau dorongan cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua dan anak, Pemberian motivasi kewajiban moral sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya, Tanggung jawab sosial, Memelihara dan membesarkan anaknya, Memberikaan pendidikan dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupan anak kelak, sehingga bila ia telah dewasa akan mampu mandiri.
 Asal mula perilaku menyimpang pada remaja
Asal mula perilaku penyimpangan remaja dapat diketahui dengan berbagai teori, yaitu: Rational choice, Social disorganizaziion, Strain, Differential association, Labeling,  Male phenomenon.
















Daftar pustaka
Ali, Muhammad. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004
Dalyono. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Asdi Mahasatya, 1997
Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Karim Dan Terjemahannya. Semarang: PT.karya toha putra,1996
Dewantara, Ki Hajar.  Masalah Kebudayaan: Kenang-Kenangan Promosi Doctor Homoris Causa. Yogyakarta, 1967
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2013
Kosim, Muhammad.  Pengantar Ilmu Pendidikan. Madura: Pena Salsabila, 2013
Lesatri,Sri, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai Dan Penanganan  Konflik Dalam Keluarga. Jakarta: prenada media group, 2012
Mudjiono, dkk. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1996
Padil, Muhammad Dan Triyo Supriyanto. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UIN-Maliki Pers, 2010

Suryabrata, Sumardi. Psikologi pendidikan, cet.V.  Jakarta: Rajawali Pers, 2004
Sarwono, Sarlito W. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers, 2013




[1] Sri Lesatri, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai Dan Penanganan  Konflik Dalam Keluarga (Jakarta: prenada media group,2012), hlm. 178-183
[2] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Cet.XI (Jakarta: Rineka Cipta,2013), hlm.38
[3] Dalyono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Asdi Mahasatya, 1997), hlm.59
[4] Mudjiono, dkk. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: departemen pendidikan dan kebudayaan,1996), Hlm.9
[5] Ibid. hlm. 5
[6] Ki Hajar Dewantara, masalah kebudayaan: kenang-kenangan promosi doctor homoris causa (Yogyakarta,1967), Hlm. 42
[7] Muhammad Padil Dan Triyo Supriyanto, Sosiologi pendidikan (Yogyakarta: UIN-Maliki Pers,2010), hlm. 123
[8] Sumardi suryabrata,  Psikologi pendidikan, cet.V  (Jakarta: Rajawali Pers,2004), hlm. 103
[9] Muhammad Kosim,Pengantar Ilmu Pendidikan  (Madura: Pena Salsabila,2013), hlm. 109
[10] Departemen agama RI, Al-Quran Al-Karim Dan Terjemahannya (Semarang: PT.karya Toha putra,1996),hlm. 820

[11] Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001), Hlm.44- 46
[12] Sarlito W. Sarwono. Psikologi Remaja  (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 254-256
[13] Sarlito W. Sarwono. Psikologi Remaja  (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 280-281

[14] Ibid. Hlm. 284-287
[15] Muhammad Ali. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik  (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), hlm. 88-89