RESPON
ANAK REMAJA TERHADAP PENDIDIKAN KELUARGA
Abstrak
Pada
masa yang modern ini banyak para remaja yang kurang memahami akan pentingnya
pendidikan, khususnya pendidikan moral yang bisa dikatakan sangatlah minim. Hal
itu terjadi tidaklah luput dari efek pendidikan yang ada di keluarganya. Apa
orang tua sudah melaksanakan perannya secara optimal terhadap pendidikan
anaknya atau belum. Maka orang tua harus memperhatikan hal ini dengan serius.
Kata
kunci: kenakalan remaja, peran keluarga, pendidikan moral
Pendahuluan
Remaja
merupakan pemimpin masa depan suatu bangsa di samping hal- hal yang
mengembirakan dengan kegiatan remaja-remaja ahir-ahir ini seperti semakin aktif
mengikuti organisasi antar pelajar dan peningkatan prestasi,kita melihat pula
arus kemerosotan moral yang semakin melanda dikalangan sebagian pemuda-pemuda
kita, yang lebih terkenal dengan kenakalan remaja hal tersebut adalah suatu
masalah yang dihadapi masyarakat yang kini semakin marak kususnya keluarga oleh
karena itu keluarga harus memperhatikan
serta mengatur pola pendidikan dalam keluarga tersebut.
Karakteristik nilai, moral, dan
sikap remaja
Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri,
dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati
dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting dalam
pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan
dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai
dan mengembangkan nilai-nilai yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan,
atau petunjuk dalam mencari alannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri
menuju kepribadian yang semakin matang. Pembentuk nilai-nilai baru dilakukan
dengan dentifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa
saja berusaha mengembangkan sendiri.
kedekatan remaja dengan
orang tua
Para
remaja menyatakan memiliki kedekatan yang berbeda-beda dengan orang tua.remaja
yang tinggal dengan orang tuanya dan merasa nyaman berinteraksi dengan ayah
ibunya mengungkapkan perasaan dekat dengan keduanya.mereka biasa berbagi cerita
dengan orang tuanya tentang peristiwa yang di alami di sekolah dan melakukan
kegiatan bersama seperti menonton tv,melakukan tugas rumah dan ada pula yang
bereaksi.para remaja tersebut jarang mengalami masalah di sekolah karena
perilakunya.
Remaja
yang bermasalah di sekolah pada umumnya adalah remaja yang berasal dari
keluarga yang bermasalah.masalah di dalam keluarga tersebut dapat berupa relasi
ayah ibu yang bermasalah dan sering mengalami konflik,perilaku orang tua yang
bermasalah seperti sering mabuk akibat minum minuman keras dan berjudi,dan
relasi orang tua anak yang bermasalah.masalah dalam relasi orang tua anak
misalnya adalah orang tua terlalu sering memarahi anak tanpa melakukan
klarivikasi pada anak,dan mudah memberikan hukuman pada anak.bahkan dalam
memberikan hukuman ada yang bersifat fisik seperti menjewer,mencetot,mencubit,memukul
dengan sapu.menyabet dengan ikat pinggang,dan memukul dengan tangan.
Area konflik remaja dengan
orang tua
Masalah
yang menjadi pemicu konflik antara remaja dan orang tua mencakup tujuh
area,yaitu terlambat pulang baik dari sekolah maupun dari bermain;penampilan
terutama menyangkut cara berpakain dan modelnya ,serta gaya
rambut;karakteristik teman sepergaulan ;prestasi belajar;keterlibatan dalam
tugas pekerjaan rumah;penggunaan telepon,terutama ponsel;dan keterlibatan dalam
hubungan romantis atau pacaran.
Kriteria
remaja dalam memilih teman akrap adakalanya tidak sesuai dengan kriteria yang
diharapkan orang tua sehingga menimbulkankan konflik.remaja yang relasinya
dengan orang tua kurang baik.cenderung memilih teman akrap dengan mengutamakan
kecocokannya dalam berinterksi dengan teman akrap tersebut,namun mengabaikan
perilaku temannya seperti sukak mabuk,pernah mencuri,atau putus sekolah.apabila
remaja merasa cocok dan di mengerti,maka ia dapat menjalin relasi yang akrap
karena sering berbagi dan melakukan aktivitas bersama.menurut remaja,orang tua
aturan menunjukkan sikap tidak sukanya apabila mereka bermain dengan remaja
lain yang berpakaian yang pendek-pendek(sronok),sering mengajak pergi bermain,dan
bersikap tidak tahu aturan(kurang punya tatak rama).orang tua juga kurang suka
apabila remaja berteman dengan orang yang sukak mabuk ,merokok,pernah
mencuri,dan teman yang putus sekolah.dalam hal ini orang tua kurang memahami
penyebab kedekatan anak dengan temannya,dan lebih melihat penampilan fisik atau
atribut lainnya.
Hal
yang berbeda di ungkapkan oleh remaja yang memiliki relasi yang hangat dengan
orang tua.remaja dalam kelompok ini mengikuti nasihat orang tua dalam memilih
teman akrap.mereka memilih bergaul dengan teman-teman yang berprilaku baik,lama
kelamaan mereka dapat berpengaruh berperilaku kurang baik pula.remaja dalam
kelompok ini juga memahami bahwa nasihat yang diberikan orang tua tersebut
adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri.
Prestasi
belajar yang di capai anak yang kurang sesuai dengan harapan orang tua menjadi
penyebab konflik orang tua anak yang berikutnya.apabila prestasi belajar remaja
menurun,maka orang tua ada yang menasehati anak,ada pula yang menegur dan
memarahinya.nasihat yang di sampaikan orang tua dalam menghadapi situasi ini
adalah belajar lebih rajin.prestasi belajar yang menurun di pandang orang tua
sebagai akibat terlalu banyak bermain dan menonton televisi sehingga lupa
belajar.setelah di nasehati orang tuanya,pada umumnya remaja mau belajar lebih rajin.namun
perilakunya belajar lebih rajin tersebut ada yang bertahan lama dan ada yang
tidak.remaja yang kembali kendor dalam upaya belajarnya akhirnya mengalami
konflik berulang dengan oran tua dalam hal prestasi belajar.untuk
mengatasinya,apa bila merasa kepepet tidak dapat menjawab soal-soal ujian,maka
mereka memilih untuk meminta jawaban pada teman agar hasil ulangannya tidak
jeblok dan tidak dimarahi orang tua lagi.
Dari
paparan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa pencetus konflik remaja dengan
orang tua dapat berasal dari dua belah pihak.dari pihak orang tua memandang
remaja berperilaku kurang sesuai dengan harapan orang tuanya,dan dari pihak
remaja merasa dari orang tua kurang memahami dirinya.dari gambaran area konflik
tersebut,tanpak bahwa orabg tua belum berhasil mengomunikasikan harapanmya pada
anak dengan baik sehingga anak benar-benar memahami maksud orang tuanya.apabila
orang tua menginginkan anak berperilaku tertentu,orang tua perlu memberikan
penjelasan mengapa hal itu perlu di lakukan oleh anak.di sisi lain,anakpun
perlu belajar mengomunikasikan harapannya pada orang tua dan belajar memahami
maksud orang tua di balik perkataan yang di sampaikan pada anak remaja.cara
berkomunikasi yang dilakukan oleh orang tua maupun anak belum cukup memadai
untuk menyampaikan pesan yang di inginkan, sehingga pesan tersebut dapat di
pahami sesuai dengan maksud yang sebenarnya.[1]
Fungsi
atau peranan keluarga
Lingkungan
keluarga merupakan linkungan pendidikan yang pertama karena si dalam keluarga
inilah anak pertama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan
lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di
dalam keluarga. Sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak
termasuk peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan
adalah dalam keluarga.[2]
Faktor
orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam belajar anak
karena tinggi rendahnya pendidikan orang tua, besar kecil penghasilan, cukup
atau kurang perhatian dan bimbingan orang tua, akrab tidaknya hubungan otang
tua dengan anak-anak, tenang atau tidaknya situasi di dalam rumah, semua itu
turut mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak.[3]
Sebagai
sistem social terkecil, keluarga memiliki pengaruh luar biasa dalam hal
pembentukan karakter suatu individu. “keluarga merupakan produsen dan konsumen
sekaligus dan harus mempersiapkandan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari
seperti san dan pangan. Setiap keluarga
dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka dapat hidup
lebih senang dan tenang.[4]
Keluarga memiliki definisi tersendiri bagi orang jawa. “bagi oaring jawa,
keluarga merupakan sarung keamanan dan sumber perlindungan.[5]
Dalam keluarga, anak hidup berkumpul
dengan anggota keluarga lainnya dalam suasana pergaulan yang penuh dengan kasih
sayang serta suka maupun duka. Sebagai satuan sosial yang dihuni oleh anggota
yang memiliki ikatan darah, lembaga keluarga memiliki banyak fungsi bagi
anggota keluarganya, khususnya bagi anak. Yaitu; (1) fungsi pendidikan, (2)
fungsi sosialisasi, (3) fungsi keagamaan, (4) fungsi rekreasi, (5) fungsi
perlindungan, dan (6) fungsi biologis.
1. Fungsi pendidikan. Pendidikan
merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin),
pikiran(intelect) dan jasmani anak-anak supaya dapat memajukan kesempurnaan
hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan alam dan
masyarakatnya.[6]Awalnya
keluarga merupakan satu-satunya institusi pendidikan. Seiring dengan
perkembangan zaman, bermunculan lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal
yang melengkapi lembaga pendidikan keluarga.bahkan proses pendidikan di sekolah
semakin lama pengaruhnya menjadi semakin penting dan menggeser peran dari
keluarga.kendati demikian, fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan tetap penting
karena keluarga sebagai peletak dasar pendidikan anak.
2. Fungsi sosialisasi. Fungsi ini
menitikberatkan kepada pembentukan kepribadian anak.[7]
Keluarga merupakan institusi sosial terkecil yang pertama kali dialami oleh
anak. di dalam keluarga, anak mulai mengenal dan bergaul dengan individu di
luar dirinya. Dan melalui keluarga, anak dipersiapkan agar kelak menjadi
anggota masyarakat yang baik. Keluarga merupakan persekutuan hidup pada
lingkungan masyarakat, tempat dimana ia menjadi diripribadi atau sebagaimana
dalam teori sigmun freud yang menyatakan bahwa “das ueber ich” atau aspek
sosiologis dan nilai-nilai tradisional masyarakat sebagaiman ditafsirkan orang
tua terhadap anaknya.[8]
3. Fungsi biologis. Melalui perkawinan
maka tercipta keluarga. Dan dari keluarga anak-anak dilahirkan. Dengan
demikian, melalui keluarga maka tercipta generasi yanhg tak terputus.
4. Fungsi rekreasi. Rekreasi merupakan
aktivitas atau tempat yang menyenangkan. Keluarga semestinya menjadi suasana
dan tempat yang menyenangkan bagi anggota keluarganya, terutama bagi
anank-anak. Dengan kondisi menyenagkan, anak akan betah dirumah. Sebaliknya,
jika suasana rumah membosankan, maka anak-anak akan mencari tempat rekreasi
yang lain, seperti di kebunbinatang, kebun raya, nighclub, komunitas pengguna
jasa internet dan lain sebagainya. Hal ini menuntut orang untuk lebih kreatif
mengelola keluarga agar fungsi rekreatif keluarga tetap terjaga.
5. Fungsi keagamaan. keluarga merupakan
wahana untuk menumbuhkembangkan rasa keberagamaan anak. karena itu, keluarga
tidak bisa meninggalkan fungsi keagamaan ini meskipun telah bermunculan
institusi agama. Bahkan seharusnya keluarga bekerjasama dengan
institusi-institusi agama dalam mengembangkan rasa keberagamaan anak.
6. Fungsi perlindungan. Dengan fungsi
ini, keluarga memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya. Sekarang
banyak fungsi perlindungan dan perawatan ini diambihalih oleh badan-badan
sosial, seperti tempat perawatan anak-anak cacat tubuh dan mental, panti asuhan
anak yatim piatu, panti jompo, dan sejenisnya. Kendati demikian, fungsi
perlindungan keluarga tetap berbeda disbanding lembaga-lembaga sosial. Fungsi
perlindungan keluarga bersifat asasi dan kodrati.[9]
Tanggung
jawab keluarga
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً (Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka)[10]
Dasar-dasar
tanggung jawab keluarga atau orang tua terhadap pendidikan anaknya meliputi:
a. Adanya motivasi atau dorongan cinta
kasih yang menjiwai hubungan orang tua dan anak. kasih sayang orang tua yng
ikhlas dan murni akan mendorong sikap dan tindakan rela menerima tanggung jawab
untuk mengorbankan hidupnya dalam memberikan pertolongan kepada anaknya.
b. Pemberian motivasi kewajiban moral
sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Adanya tanggung
jawab moral ini meliputi nilai-nilai agama atau nilai-nilai spiritual. Menurut
para ahli,bahwa penanaman sikap beragama sangat baik pada masa anak-anak.
c. Tanggung jawab sosial adalah bagian
dari keluarga yang pada gilirannya akan menjadi tanggung jawab masyarakat,
bangsa dan Negara.
Tangggung jawab sosial itu merupakan
perwujudan kesadaran tanggung jawab kekeluargaan yang dibina oleh darah,
keturunan dan kesatuan keyakianan.
Terjalinnya hubungan antara orang
tua dengan anak berdasarkan rasa kasih sayang yang ikhlash, dan kesediaan
pengorbanan segala-galanya, adalah hanya untuk melindungi dan memberikan
pertolongan kepada anak, dalam membimbing mereka agar pertumbungan dan
perkembangannya menjadi sempurna, sebagaimana yang diharapkan. Begitu juga
diharapkan untuk melatih sikap mandiri dan mampu mengambil keputusan sendiri
serta kehidupannya dalam keadaan stabil.
d. Memelihara dan membesarkan anaknya.
Tanggung jawab ini merupakan
dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukanmakan, minum dan
perwatan agar ia dapat hidup secara berkelanjutan. Disamping itu, ia
bertanggung jawab untuk melindungi dan menjamin kesehatan anaknya, baik secara
jasmaniyah maupun ruhaniyah dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya
lingkungan yang dapat embahayakan diri anak tersebut.
e. Memberikaan pendidikan dengan
berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupan anak
kelak, sehingga bila ia telah dewasa akan mampu mandiri.
Demikianlah beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebagai tanggung jawab orang tua terhadap anaknya, terutama dalam
konteks pendidikan. Kesadaran akan tanggung jawabmendidik dan membina anak
secara terus menrus perlu dikembangkan kepada setiap orang tua, sehingga
pendidikan yang dilakukan tidak lagi berdasarkan kebiasaan yang dilihat oleh
orang tua, tetapi telah didasari oleh teori-teori pendidikan modern, sesuai
dengan perkembangan zaman.[11]
Namun kenyataan yang ada, anak tidak merasakan peran-peran dari keluarga
tersebut yang mengakibatkan anak cenderung nakal, khususnya pada fase remaja.
Asal mula perilaku menyimpang pada
remaja
Awal
penyimpangan perilaku anak remaja bermacam-macam. Misalnya anak amerika yang
namanya frog. Seperti halnya anak-anak amerika lainnya, Frog (kasus 1) adalah
anak yang matearilitas. Mereka mendambakan kemewahan, baju-baju yang sedang in,
mobil-mobil keluaran tahun mutakhir, makanan dan barang-barang yang diiklanlan
di TV dan semua hal yang hanya dapat dibeli dengan uang. Tetapi frog dan
anak-anak lain yang senasib dengannya, datang dari keluarga yang tidak mampu.
Sejak lahir mereka sudah tidak mengenal ayahnya, sementara mereka harus
menyaksikan ibunya bekerja keras setiap hari untuk m,endapatkan upah beberapa
dollar, atau harus antri di kantor sosial untuk meminta tunjangan sosial. Frog
sendiri tidak bersekolah. Angka pengangguran dikalangan remaja kulit hitam di
amerika serikat mencapai 37%. Tidak ada yang dapat dilakukan frog karena ia
hanya pekrja kasar. Penghasilannya sangat tidak memadai. Frog ingin menikmati
kemewahan, disamping ia ingin menyenangkan ibunya dengan membelikan
barang-barang keperluannya. Inilah yang membuat Frog terjerumus ke dalam
perdangangan obat bius.
Cara
menerangkan asal mula kenakalan remaja seperti tersebut oleh ensen digolongkan
ke dalam teori sosiogenik, yaitu teori-teori yang mencoba mencari sumber
penyebab kenakalan remaja pada faktor lingkungan kelluarga dan masyarakat.
Berbagai
teori yang mencoba menelaskan penyebab kenakalan remaja, dapat digolongkan
sebagai berikut:
1. Rational choice: Teori ini
mengutamakan faktor individu daripada faktor lingkungan.kenakalan yang dilakukannya
adalah atas pilihan, interes, motivasi dan kemauannya sendiri.
2. Social disorganizaziion: Kaum
positivis pada ummnya lebih mengutamakan faktor budaya. Yang menyebabkan
kenakalan remaja adalah berkurangnya atau menghilangnya pranata-pranata
masyarakat yang selama ini menjga keseimbangan atau harmuni dalam masyarakat.
3. Strain: Teori ini dikemukakan oleh merton yang
sudah diuraikan di bab terdahulu. Intinya adalah bahwa tekanan yang besar dalam
masyarakat,
4. Differential association: menurut
teori ini, kenakalan remaja adalah akibat salah pergaulan.
5. Labeling: ada pendapat yang
menyatakan bahwa anak nakal selalu dianggap atau dicap (diberi label) nakal.
6. Male phenomenon: teori ini percaya
bahwa anak laki-laki lebih nakal dari pada perempuan. Alasannya karena
kenakalan memang adalah sifat Laki-laki atau karena budaya maskulinitas
menyatakan bahwa wajar kalau laki-laki nakal.[12]
Pencegahan
perilaku menyimpang pada remaja
Dalam menghadapi remaja ada beberapa
hal yang harus selalu diingat, yaitu bahwa remaja adalah jiwa yang penuh
gejolak (strum und drang) dan bahwa lingkungan sosial remaja juga
ditandai dengan perubahan sosial yang cepat (khususnya di kota-kota besar dan
daerah-daerah yang terjangkau sarana dan prasarana komunikasi dan perhubungan)
yang mengakibatkan kesimpangsiuran norma (keadaan anomie) kondisi internal dan eksternal yang sama-sama bergejolak
inilah yang menyebabkan masa remaja memang lebih rawan daripada tahap-tahap
lain dalam perkembangan jiwa manusia.
Untuk mengurangi benturan antar
gejolak itu dan untuk memberi kesempatan agar remaja dapat mengembangkan
dirinya secara lebih optimal, perlu diciptakan kondisi lingkungan terdekat yang
stabil mungkin, khususnya lingkungan keluarga.keadaan keluarga yang ditandai
dengan hubungan suami-istri yang harmonis akan lebih menjamin remaja yang bisa
melewati masa transisinya dengan mulus daripada jika hubungan suami-istri
terganggu. Kondisi di rumah tangga dengan adanya orang tua dan saudara-saudara
akan lebih menjamin kesejahteraan jiwa remaja daripada asrama atau lembaga
pemasyarakatan anak. Karena itu tindakan pencegahan yang paling utama adalah
berusaha menjaga keutuhan keharmonisan keluarga sebaik-baiknya. Kalau terjadi
maalah dengan suami-istri (ada yang meninggal atau penceraian) lebih baik anak
dipindahkan ke sanak keluarga lain atau kalau perlu dipindahkan ke keluarga
yang tidak ada hubungan darah (misalnya tidak ada sanak keluarga atau harus
kos) perlu dicarikan hubungan anatar anggota keluarganya cukup harmonis. Baru
sebagai jalan terakhir, kalau tidak ada jalan lain yang lebih baik, bisa
dianjurkan asrama atau lembaga penhasuhan anak lainnya, seperti panti asuhan da
sebagainya. Akan tetapi, jika ingin perkembangan jiwa akan anak yang seoptimal
mungkin, perlu diusahakan agar keadaan di asrama aatau lemabaga itu semirip
mungkin dengan keadaan keluarga biasa[13]
Penanganan tergadap perilaku
menyimpang remaja
1. Kepercayaan: remaja itu harus
percaya kepada orang yang mau membantunya (orang tua, guru, psikolog, ulama dan
sebagainya), ia harus yakin bahwa penolong ini memang benar adanya. Untuk
memenuhi ketentuan pertama ini,sering kali tenaga profesional
(psikolog.konselor)lebih efektif dari pada orang tua atau guru sendiri karena
remaja yang bersangkutan sudah terlanjur mempunyai penilaian tertentu kepada orang
tua atau gurunya sehingga apapun yang di lakukan orang tua atau guru tidak akan
di percayainya lagi.
2. Kemurnian hati: Remaja harus merasa
bahwa penolong itu sungguh-sungguh mau membantunya tanpa syarat.ia tidak suka kalau
orang tua, misalnya mengatakan :”bener deh”, mama sayang sama kamu dan mama
bantu kamu, tetapi kamu juga meski
ngerti dong.pelajaranmu itu kan penting. pelajaranmu dulu utamakan, nanti yang
lainnya mama bantu deh.inikan buat kepentinganmu sendiri”. Buat remaja, kalau
membantu, bantu saja. Tidak perlu ditamabahi “tetapi-tetapi”. Karena itulah,
remaja lebih sering minta nasehat teman-temannya sendiri walaupun teman-teman
itu tidak bisa memberi nasehat atau mencarikan jalan keluar yang baik. Apalagi
persoalannya berat dan gawat etatp yang jelas teman-teman itu sering murni mau
membantu. Yang juga sering dijadikan sasaran untuk meminta bantuan adalah
rubri-rubrik konsultasi di berbagai majalah atau radio. Setidaknya remaja yakin
bahwa pengasuh rubrik-rubrik semacam itu sungguh-sungguh mau membantu saja
tanpa pamrih walaupun ia juga tahu bahwa jawaban mereka sering tidak tuntas
karena terbatasnya ruangan atau waktu dan terbatasnya informasi yang diberikan
oleh penanya.
3. Kemampuan mengerti dan menghayati (empati) perasaan remaja. Dalamposisi yang
berbeda antara anak dan orang dewasa (perbedaan usia, perbedaan status,
perbedaan cara berfikir dan sebagainya) sulit bagi orang biasa (khususnya orang
tua) untuk berempati pada remaja karena setiap orang (khususnya yang tidak
terlatih) akan cenderung untuk melihat segala persoalan dari sudut pandangnya
sendiri itu. Di pihak remajanya sendiri ada kecenderungan sulit untuk menerima
uluran tangan orang dewasa karena ia tidak ada empati terkandung di dalam
uluran tangan itu.
4. Kejujuran. Remaja mengharapkan penolongnya
menyampaikan apa adanya saja, termasuk hal-hal yang kurang menyenangkan. Apa
yang salah dikatakan salah, apa yang dikatakan benar dikatakan benar. Yang
tidak bisa di terimanya jika hal-hal yang pada disalahkan tetapi pada orang
lain atau pada orang tuanya sendiri dianggap benar. Kebiasaan orang tua dedan
orang dewasa lainnya untuk membohongi remaja
(walaupun dalam rangka menolongnya) lama kelamaan akan meruntuhkan
ketentuan pertama dan utama dalam rangka membantu remaja, yaitu kepercayaan
remaja itu sendiri terhadap penolongnya.
5. Mengutamakan persepsi remaja
sendiri. Sebagaimana sudah dikatakan diatas, sebagai halnya dengan semua orang
lainnya, remaja akan memandang segala sesutu dari sudutnya sendiri. Terlepas
dari kenyataan atau pandangan orang lain yang ada, bagi remaja pandangannya
sendiri yang merupakan kenyataan dan ia bereaksi terhadap itu. Maka, kalau
misalnya ia memandang guru bahasa inggrisnya jahat maka jahatlah guru itu dan
remaja itu pun akan membenci guru itu walaupun nmisalnya semua orang mengatakan
bahwa guru itu baik. Kemampuan untuk memahami pandangan remaja, berikut seluruh
perasaan yang ada dibalik pandangan itu, merupakan modal untuk membangun empati
terhadap remaja.[14]
Pola interaksi remaja-orang tua
Sesuai dengan tahap perkembangannya,
interaksi remaja dengan orang tua memiliki kekhasan tersendiri. Jersild, brook,
dan brook mengatakan bahwa inetraksi antara remaja dengan orang tua dapat
digambarkan sebagai drama tiga tindakan (three-act-drama).
Drama tindakan pertama (the first
act drama), interaksi remaja dengan orang tua berlangsung sebagaimana yang
terjadi pada inetraksi antara masa anak-anak dengan orang tua. Mereka memiliki
ketergantungan kepada orang tua dan masih sangat dipengaruhi oleh orang tua.
Namun, remaja mulai semakin menyadari keberadaan dirinya sebagai pribadi
daripada masa-masa sebelumnya.
Drama tindakan kedua (the second act
drama), disebut dengan istilah “peruangan untuk emansipasi”. Pada masa ini,
remaja juga memiliki perjuangan yang kuat untuk membebaskan dirinya dari
ketergantungan dengan orang tuanya sebagaimana pada masa anak-anak untuk
mencapai status dewasa. Dengan demikian, ketika berinteraksi dengan orang tu,
remaja mulai menunggalkan kemanjaan dirinya dengan orang tua dan semakin
bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Akibatnya, mereka seringkali mengalami
pergolakan dan konflik ketika berinteraksi dengan orang tua.
Drama tindakan ketiga (the third act
drama), remaja berusaha menempatkan dirinya berteman dengan orang dewasa dan
berinteraksi secara lancer dengan mereka. Namaun, usaha remaja ini seringkali
masih memperoleh hambatan yang disebabkan oleh pengaruh dari orang tua yang
sebenarnya masih belum bisa melepas anak remajanya secara penuh. Akibatnya,
remaja seringkali menentang gagasan-gagasan dan sikap dari orang tua.
Dalam konteks inetraksi remaja dan
orang tua, Fontana menambahkan adanya aspek objektif dan subjektif dalam
interaksi antara remaja dan orang tua.
Aspek objektif adalah keadaan nyata dari peristiwa yang terjadi pada
saat interaksi antara remaja dan orang tua berlangsung. Sedangkan aspek
subjektif adalah keadaan nyata yang dipersepsi oleh remaja pada saat interaksi
berlangsung. Fontana mengatakan bahwa tidak jarang teradi remaja cenderung
menggunakan aspek subjektif ketika berinteraksi dengan orang tuanya. Misalnya,
orang tua yang bertindak agak keras terhadap remaja karena merasa khawatir dan
cemas terhadap anak remajanya justru dipersepsi oleh remaja sebagai
memarahinya. Padahal, sesungguhnya orang tua bermaksud untuk melindunginya.
Atas dasar aspek subjektif yang sering digunakan oleh remaja dengan
berinteraksi dengan orang tuanya, sebagaiman dikatakan Fontana maka pemahaman
terhadap inetraksi remaja perlu memperhatikan bagaimana persepsi remaa tentang
interaksinya degan orang lain, dan bukan semata-mata interaksi nyata (real
interaction).
Interaksi yang terjadi antarindividu
dalam lingkungan keluarga akan tampil dalam kualitas yang berbeda-beda.
Kualitas mengacu pada derajat relative kebaikan ayau keunggulan suatu hal,
dalam hal ini adalah interaksi antarindividu. Suatu interaksi dikatakan berkualitas jika mampu memberikan
kesempatan kepada individu untuk mengembangkan diri dengan segala kemungkinan
yang dimilikinya. Jadi, yang dimaksud dengan interaksi remaja-orang tua adalah
hubungan timbal balik secara aktif antara remaja dengan orang tuanya yang
terwuud dalam kualitas hubungan yang memungkinkan remaja untuk mengembangkan
potensi dirinya.[15]
PENUTUP
Kesimpulaan
Karakteristik nilai, moral, dan
sikap remaja
Karakteristik
yang menonjol dalam perkembanagan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan
tingkat perkembangan kognisi yang mencapai tahapan berfikir operasional formal
Pola interaksi remaja-orang tua
Jersild, brook, dan brook mengatakan
bahwa inetraksi antara remaja dengan orang tua dapat digambarkan sebagai drama
tiga tindakan (three-act-drama).
kedekatan remaja dengan
orang tua
Remaja yang bermasalah di sekolah pada
umumnya adalah remaja yang berasal dari keluarga yang bermasalah.masalah di
dalam keluarga tersebut dapat berupa relasi ayah ibu yang bermasalah dan sering
mengalami konflik,perilaku orang tua yang bermasalah
Area konflik remaja dengan
orang tua
Masalah
yang menjadi pemicu konflik antara remaja dan orang tua mencakup tujuh
area,yaitu terlambat pulang baik dari sekolah maupun dari bermain;penampilan
terutama menyangkut cara berpakain dan modelnya ,serta gaya
rambut;karakteristik teman sepergaulan ;prestasi belajar;keterlibatan dalam
tugas pekerjaan rumah;penggunaan telepon,terutama ponsel;dan keterlibatan dalam
hubungan romantis atau pacaran.
Pencegahan
perilaku menyimpang pada remaja
Kepercayaan,
Kemurnian hati, Kemampuan mengerti dan menghayati (empati) perasaan remaja, kejujuran, Mengutamakan persepsi remaja
sendiri.
Fungsi
atau peranan keluarga
Fungsi pendidikan, fungsi
sosialisasi, Fungsi biologis, Fungsi rekreasi,
Fungsi keagamaan, Fungsi perlindungan.
Tanggungjawab
keluarga
Adanya motivasi atau dorongan cinta
kasih yang menjiwai hubungan orang tua dan anak, Pemberian motivasi kewajiban
moral sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya, Tanggung
jawab sosial, Memelihara dan membesarkan anaknya, Memberikaan pendidikan dengan
berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupan anak
kelak, sehingga bila ia telah dewasa akan mampu mandiri.
Asal mula perilaku menyimpang pada remaja
Asal mula perilaku penyimpangan
remaja dapat diketahui dengan berbagai teori, yaitu: Rational choice, Social
disorganizaziion, Strain, Differential association, Labeling, Male phenomenon.
Daftar
pustaka
Ali, Muhammad. Psikologi Remaja:
Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004
Dalyono.
Psikologi Pendidikan. Jakarta: Asdi Mahasatya, 1997
Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Karim
Dan Terjemahannya. Semarang: PT.karya toha putra,1996
Dewantara, Ki Hajar. Masalah Kebudayaan: Kenang-Kenangan Promosi
Doctor Homoris Causa. Yogyakarta, 1967
Hasbullah,
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2013
Kosim,
Muhammad. Pengantar Ilmu Pendidikan. Madura:
Pena Salsabila, 2013
Lesatri,Sri, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai Dan Penanganan Konflik Dalam Keluarga. Jakarta: prenada
media group, 2012
Mudjiono, dkk. Fungsi Keluarga Dalam
Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, 1996
Padil, Muhammad Dan Triyo Supriyanto. Sosiologi
Pendidikan. Yogyakarta: UIN-Maliki Pers, 2010
Suryabrata, Sumardi. Psikologi
pendidikan, cet.V. Jakarta: Rajawali
Pers, 2004
Sarwono,
Sarlito W. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers, 2013
[1] Sri Lesatri, Psikologi Keluarga:
Penanaman Nilai Dan Penanganan Konflik
Dalam Keluarga (Jakarta: prenada media group,2012), hlm. 178-183
[2] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Cet.XI (Jakarta: Rineka
Cipta,2013), hlm.38
[3] Dalyono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Asdi Mahasatya, 1997),
hlm.59
[4] Mudjiono, dkk. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber
Daya Manusia (Yogyakarta: departemen pendidikan dan kebudayaan,1996), Hlm.9
[5] Ibid. hlm. 5
[6] Ki Hajar Dewantara, masalah kebudayaan: kenang-kenangan promosi
doctor homoris causa (Yogyakarta,1967), Hlm. 42
[7] Muhammad Padil Dan Triyo Supriyanto, Sosiologi pendidikan (Yogyakarta:
UIN-Maliki Pers,2010), hlm. 123
[8] Sumardi suryabrata, Psikologi
pendidikan, cet.V (Jakarta: Rajawali
Pers,2004), hlm. 103
[9] Muhammad Kosim,Pengantar Ilmu Pendidikan (Madura: Pena Salsabila,2013), hlm. 109
[10] Departemen agama RI, Al-Quran Al-Karim Dan Terjemahannya
(Semarang: PT.karya Toha putra,1996),hlm. 820
[11] Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2001), Hlm.44- 46
[12] Sarlito W. Sarwono. Psikologi Remaja (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 254-256
[13] Sarlito W. Sarwono. Psikologi Remaja (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 280-281
[14] Ibid. Hlm. 284-287
[15] Muhammad Ali. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), hlm. 88-89