Saturday, 3 December 2016

POSISI KELUARGA MENGHADAPI PERILAKU ANAK REMAJA


POSISI KELUARGA MENGHADAPI PERILAKU ANAK REMAJA


Abstrak

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً  (Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka)[1]
Arus globalisasi dan abad informasi membawa perubahan terhadap fungsi dan peranan keluarga, disatu sisi keluarga yang orang tua melandasi pendidikan anaknya dengan basis pendidikan agama, nilai-nilai dan norma yang kuat tidak akan terpengaruh oleh arus globalisasi. Di sisi lain orang tua yang tidak melandasi anaknya dengan itu, yang akan menimbulkan masalah bagi anak seperti kenalan remaja. Sehingga mudah termakan oleh arus deras globalisasi. Khususnya k
Kata kunci : sosiologi keluarga, psikologi anak, kenakalan remaja

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran(intelect) dan jasmani anak-anak supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan alam dam masyarakatnya.[2]
Dari pengertian pendidikan tadi apabila dihubungkan dengan pendidikan keluarga maka orang tua baik bapak atau ibu dituntut untuk bisa mengubah atau membawa perilaku anak pada perilaku yang akademis, baik itu berupa akhlak atau budi pekerti, baik itu secara intelektual dan lain sebagainya. Apalagi jika dikaitkan dengan anak remaja yang sangatlah minim pemahamannya mengenai pendidikan, khususnya pendidikan moral atau akhlak. Mereka hanya condong pada intelektualnya saja tanpa memerdulikan emosionalnya. Akibatnya para remaja mengalami kenakalan yang berdampak buruk terhadap dirinya maupun terhadap orang-orang yang ada disekitarnya. Untuk menanggulangi masalah seperti itu, maka dibutuhkan peranan orang tua sebagai motivator, inspirator, dan innovator terhadap perkembangan pendidikan anak. khususnya anak remaja.
Fungsi atau peranan keluarga
Lingkunan keluarga merupakan linkungan pendidikan yang pertama karena si dalam keluarga inilah anak pertama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga. Sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak termasuk peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan adalah dalam keluarga.[3]
Faktor orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam belajar anak karena tinggi rendahnya pendidikan orang tua, besar kecil penghasilan, cukup atau kurang perhatian dan bimbingan orang tua, akrab tidaknya hubungan otang tua dengan anak-anak, tenang atau tidaknya situasi di dalam rumah, semua itu turut mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak.[4]
Sebagai sistem social terkecil, keluarga memiliki pengaruh luar biasa dalam hal pembentukan karakter suatu individu. “keluarga merupakan produsen dan konsumen sekaligus dan harus mempersiapkandan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari seperti san dan pangan.  Setiap keluarga dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka dapat hidup lebih senang dan tenang.[5] Keluarga memiliki definisi tersendiri bagi orang jawa. “bagi oaring jawa, keluarga merupakan sarung keamanan dan sumber perlindungan.[6]
Keluarga menjalankan peranannya sebagai suatu sistem sosial yang dapat membentuk karakter serta moral seorang anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak. Segala sesuatu berkembang berawal dari keluarga, kemampuan untuk bersosialisasi , mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku yang menyimpang. Keluarga merupakan paying kehidupan bagi seorang anak dan merupakan tempat ternyaman bagi seorang anak.
Dalam keluarga, anak hidup berkumpul dengan anggota keluarga lainnya dalam suasana pergaulan yang penuh dengan kasih sayang serta suka maupun duka. Sebagai satuan sosial yang dihuni oleh anggota yang memiliki ikatan darah, lembaga keluarga memiliki banyak fungsi bagi anggota keluarganya, khususnya bagi anak. Yaitu; (1) fungsi pendidikan, (2) fungsi sosialisasi, (3) fungsi keagamaan, (4) fungsi rekreasi, (5) fungsi perlindungan, dan (6) fungsi biologis.
1.      Fungsi pendidikan. Awalnya keluarga merupakan satu-satunya institusi pendidikan. Seiring dengan perkembangan zaman, bermunculan lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal yang melengkapi lembaga pendidikan keluarga.bahkan proses pendidikan di sekolah semakin lama pengaruhnya menjadi semakin penting dan menggeser peran dari keluarga.kendati demikian, fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan tetap penting karena keluarga sebagai peletak dasar pendidikan anak.
2.      Fungsi sosialisasi. Fungsi ini menitikberatkan kepada pembentukan kepribadian anak.[7] Keluarga merupakan institusi sosial terkecil yang pertama kali dialami oleh anak. di dalam keluarga, anak mulai mengenal dan bergaul dengan individu di luar dirinya. Dan melalui keluarga, anak dipersiapkan agar kelak menjadi anggota masyarakat yang baik. Keluarga merupakan persekutuan hidup pada lingkungan masyarakat, tempat dimana ia menjadi diripribadi atau sebagaimana dalam teori sigmun freud yang menyatakan bahwa “das ueber ich” atau aspek sosiologis dan nilai-nilai tradisional masyarakat sebagaiman ditafsirkan orang tua terhadap anaknya.[8]
3.      Fungsi biologis. Melalui perkawinan maka tercipta keluarga. Dan dari keluarga anak-anak dilahirkan. Dengan demikian, melalui keluarga maka tercipta generasi yanhg tak terputus.
4.      Fungsi rekreasi. Rekreasi merupakan aktivitas atau tempat yang menyenangkan. Keluarga semestinya menjadi suasana dan tempat yang menyenangkan bagi anggota keluarganya, terutama bagi anank-anak. Dengan kondisi menyenagkan, anak akan betah dirumah. Sebaliknya, jika suasana rumah membosankan, maka anak-anak akan mencari tempat rekreasi yang lain, seperti di kebunbinatang, kebun raya, nighclub, komunitas pengguna jasa internet dan lain sebagainya. Hal ini menuntut orang untuk lebih kreatif mengelola keluarga agar fungsi rekreatif keluarga tetap terjaga.
5.      Fungsi keagamaan.keluarga merupakan wahana menumbuhkembangkan rasa keberagamaan anak. karena itu, keluarga tidak bisa meninggalkan fungsi keagamaan ini meskipun telah bermunculan institusi agama. Bahkan seharusnya keluarga bekerjasama dengan institusi-institusi agama dalam mengembangkan rasa keberagamaan anak.
6.      Fungsi perlindungan. Dengan fungsi ini, keluarga memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya. Sekarang banyak fungsi perlindungan dan perawatan ini diambihalih oleh badan-badan sosial, seperti tempat perawatan anak-anak cacat tubuh dan mental, panti asuhan anak yatim piatu, panti jompo, dan sejenisnya. Kendati demikian, fungsi perlindungan keluarga tetap berbeda disbanding lembaga-lembaga sosial. Fungsi perlindungan keluarga bersifat asasi dan kodrati.[9]
Tanggung jawab keluarga
Dasar-dasar tanggung jawab keluarga atau orang tua terhadap pendidikan anaknya meliputi:
a.       Adanya motivasi atau dorongan cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua dan anak. kasih sayang orang tua yng ikhlas dan murni akan mendorong sikap dan tindakan rela menerima tanggung jawab untuk mengorbankan hidupnya dalam memberikan pertolongan kepada anaknya.
b.      Pemberian motivasi kewajiban moral sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Adanya tanggung jawab moral ini meliputi nilai-nilai agama atau nilai-nilai spiritual. Menurut para ahli,bahwa penanaman sikap beragama sangat baik pada masa anak-anak.
c.       Tanggung jawab sosial adalah bagian dari keluarga yang pada gilirannya akan menjadi tanggung jawab masyarakat, bangsa dan Negara.
Tangggung jawab sosial itu merupakan perwujudan kesadaran tanggung jawab kekeluargaan yang dibina oleh darah, keturunan dan kesatuan keyakianan.
Terjalinnya hubungan antara orang tua dengan anak berdasarkan rasa kasih sayang yang ikhlash, dan kesediaan pengorbanan segala-galanya, adalah hanya untuk melindungi dan memberikan pertolongan kepada anak, dalam membimbing mereka agar pertumbungan dan perkembangannya menjadi sempurna, sebagaimana yang diharapkan. Begitu juga diharapkan untuk melatih sikap mandiri dan mampu mengambil keputusan sendiri serta kehidupannya dalam keadaan stabil.
d.      Memelihara dan membesarkan anaknya.
Tanggung jawab ini merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukanmakan, minum dan perwatan agar ia dapat hidup secara berkelanjutan. Disamping itu, ia bertanggung jawab untuk melindungi dan menjamin kesehatan anaknya, baik secara jasmaniyah maupun ruhaniyah dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat embahayakan diri anak tersebut.
e.       Memberikaan pendidikan dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupan anak kelak, sehingga bila ia telah dewasa akan mampu mandiri.
Demikianlah beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai tanggung jawab orang tua terhadap anaknya, terutama dalam konteks pendidikan. Kesadaran akan tanggung jawabmendidik dan membina anak secara terus menrus perlu dikembangkan kepada setiap orang tua, sehingga pendidikan yang dilakukan tidak lagi berdasarkan kebiasaan yang dilihat oleh orang tua, tetapi telah didasari oleh teori-teori pendidikan modern, sesuai dengan perkembangan zaman.[10] Namun kenyataan yang ada, anak tidak merasakan peran-peran dari keluarga tersebut yang mengakibatkan anak cenderung nakal, khususnya pada fase remaja.
Pola interaksi remaja-orang tua
Sesuai dengan tahap perkembangannya, interaksi remaja dengan orang tua memiliki kekhasan tersendiri. Jersild, brook, dan brook mengatakan bahwa inetraksi antara remaja dengan orang tua dapat digambarkan sebagai drama tiga tindakan (three-act-drama).
Drama tindaan pertama (the first act drama), interaksi remaja dengan orang tua berlangsung sebagaimana yang terjadi pada inetraksi antara masa anak-anak dengan orang tua. Mereka memiliki ketergantungan kepada orang tua dan masih sangat dipengaruhi oleh orang tua. Namun, remaja mulai semakin menyadari keberadaan dirinya sebagai pribadi daripada masa-masa sebelumnya.
Drama tindakan kedua (the second act drama), disebut dengan istilah “peruangan untuk emansipasi”. Pada masa ini, remaja juga memiliki perjuangan yang kuat untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan dengan orang tuanya sebagaimana pada masa anak-anak untuk mencapai status dewasa. Dengan demikian, ketika berinteraksi dengan orang tu, remaja mulai menunggalkan kemanjaan dirinya dengan orang tua dan semakin bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Akibatnya, mereka seringkali mengalami pergolakan dan konflik ketika berinteraksi dengan orang tua.
Drama tindaka krtiga (the third act drama), remaja berusaha menempatkan dirinya berteman dengan orang dewasa dan berinteraksi secara lancer dengan mereka. Namaun, usaha remaja ini seringkali masih memperoleh hambatan yang disebabkan oleh pengaruh dari orang tua yang sebenarnya masih belum bisa melepas anak remajanya secara penuh. Akibatnya, remaja seringkali menentang gagasan-gagasan dan sikap dari orang tua.
Dalam konteks inetraksi remaja dan orang tua, Fontana menambahkan adanya aspek objektif dan subjektif dalam interaksi antara remaja dan orang tua.  Aspek objektif adalah keadaan nyata dari peristiwa yang terjadi pada saat interaksi antara remaja dan orang tua berlangsung. Sedangkan aspek subjektif adalah keadaan nyata yang dipersepsi oleh remaja pada saat interaksi berlangsung. Fontana mengatakan bahwa tidak jarang teradi remaja cenderung menggunakan aspek subjektif ketika berinteraksi dengan orang tuanya. Misalnya, orang tua yang bertindak agak keras terhadap remaja karena merasa khawatir dan cemas terhadap anak remajanya justru dipersepsi oleh remaja sebagai memarahinya. Padahal, sesungguhnya orang tua bermaksud untuk melindunginya. Atas dasar aspek subjektif yang sering digunakan oleh remaja dengan berinteraksi dengan orang tuanya, sebagaiman dikatakan Fontana maka pemahaman terhadap inetraksi remaja perlu memperhatikan bagaimana persepsi remaa tentang interaksinya degan orang lain, dan bukan semata-mata interaksi nyata (real interaction).
Interaksi yang terjadi antarindividu dalam lingkungan keluarga akan tampil dalam kualitas yang berbeda-beda. Kualitas mengacu pada derajat relative kebaikan ayau keunggulan suatu hal, dalam hal ini adalah interaksi antarindividu. Suatu interaksi  dikatakan berkualitas jika mampu memberikan kesempatan kepada individu untuk mengembangkan diri dengan segala kemungkinan yang dimilikinya.
Jadi, yang dimaksud dengan interaksi remaja-orang tua adalah hubungan timbale balik secara aktif antara remaja dengan orang tuanya yang terwuud dalam kualitas hubungan yang memungkinkan remaja untuk mengembangkan potensi dirinya.[11]
Karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja
Karena masa remaja    merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari alannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang. Pembentuk nilai-nilai baru dilakukan dengan dentifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkan sendiri.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembanagan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesismaka pemikiran remaa terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menadi dasar hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggungjawabkan secara pribadi. Perkembangan pemikiran moral remaja yang demikian, jika meminjam teori berkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvesional. Pada akhir bmasa remaja seorang akan memasuki tahap perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap pascakonvensional ketika orisinalitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada pada pendapat atau pranata yang bersifat konvensional.
Tingkat perkembangan fisik dan psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup mencolokdan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya. Apalagi kalau orang tua dan orang dewasa berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang ditunukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai unuk kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang lebih matang dan mandiri.
Asal mula perilaku menyimpang pada remaja
Awal penyimpangan perilaku anak remaja bermacam-macam. Misalnya anak amerika yang namanya frog. Seperti halnya anak-anak amerika lainnya, Frog (kasus 1) adalah anak yang matearilitas. Mereka mendambakan kemewahan, baju-baju yang sedang in, mobil-mobil keluaran tahun mutakhir, makanan dan barang-barang yang diiklanlan di TV dan semua hal yang hanya dapat dibeli dengan uang. Tetapi frog dan anak-anak lain yang senasib dengannya, datang dari keluarga yang tidak mampu. Sejak lahir mereka sudah tidak mengenal ayahnya, sementara mereka harus menyaksikan ibunya bekerja keras setiap hari untuk m,endapatkan upah beberapa dollar, atau harus antri di kantor sosial untuk meminta tunjangan sosial. Frog sendiri tidak bersekolah. Angka pengangguran dikalangan remaja kulit hitam di amerika serikat mencapai 37%. Tidak ada yang dapat dilakukan frog karena ia hanya pekrja kasar. Penghasilannya sangat tidak memadai. Frog ingin menikmati kemewahan, disamping ia ingin menyenangkan ibunya dengan membelikan barang-barang keperluannya. Inilah yang membuat Frog terjerumus ke dalam perdangangan obat bius.
Cara menerangkan asal mula kenakalan remaja seperti tersebut oleh ensen digolongkan ke dalam teori sosiogenik, yaitu teori-teori yang mencoba mencari sumber penyebabkenakalan remaja pada faktor lingkungan kelluarga dan masyarakat. Termasuk dalam teori sosiogenik ini antara lain adalah teori broken home dari Mc. Cord, dkk dan teori “penyalahgunaan anak” dari Shanok. Tetapi, benarkah asal mula kenakalan remaja semata-mata berasal dari faktor lingkungan sosial saja?
Menurut ensen : tidak. Dalam kenyataan, banyak sekali faktor yang menyebabkan kenakalan remaja maupun kelainan perilaku remaja pada umumnya. Berbagai teori yang mencoba menelaskan penyebab kenakalan remaja, dapat digolongkan sebagai berikut:
1.      Rational choice: Teori ini mengutamakan faktor individu daripada faktor lingkungan.kenakalan yang dilakukannya adalah atas pilihan, interes, motivasi dan kemauannya sendiri. Di Indonesia banyak yang percaya pada teori ini, misalnya kenakalan remaja dianggap sebagai kurang iman sehingga anak dikirim ke pesantren kilat atau dimasukkan ke sekolah agama. Yang lain menganggap remaja yang nakal kurang disiplin sehingga diberi latihan kemiliteran.
2.      Social disorganizaziion: Kaum positivis pada ummnya lebih mengutamakan faktor budaya. Yang menyebabkan kenakalan remaja adalah berkurangnya atau menghilangnya pranata-pranata masyarakat yang selama ini menjga keseimbangan atau harmuni dalam masyarakat., orang tua yang sibuk dan guru yang kelebihan beban merupakan penyebab dari berkurangnya fungsi keluarga dan sekolah sebagai pranata control.
3.      Strain: Teori ini dikemukakan oleh merton yang sudah diuraikan di bab terdahulu. Intinya adalah bahwa tekanan yang besar dalam masyarakat, misalnya keiskinan, menyebabkan sebagian dari anggota masyarakat yang memilih alan rebellion melakukan kehahatan atau kenaklan remaja.
4.      Differential association: menurut teori ini, kenakalan remaja adalah akibat salah pergaulan. Anak-anak nakal karena bergaulnya dengan anak-anak yang nakal juga. Faham ini banyak dianut orang tua di Indonesia, yang sering kali melarang anak-anaknya untuk bergaul dengan temen-teman yang dianggap nakal, dan meneyuruh anak-anaknya untuk berkawan dengan teman-teman yang pandai dan rain belajar.
5.      Labeling: ada pendapat yang menyatakan bahwa anak nakal selalu dianggap atau dicap (diberi label) nakal. Di Indonesia, banyak orang tua (khususnya ibu-ibu) yang ingin berbasa-basi dengan tamunya, sehingga ketika aaknya muncul di ruangan tamu, ia mengatakan pada tamunya, “iniloh, mbakyu, anak sulung saya. Badannya saja yang tinggi, tetapi nakalnya bukan main”. Kalau terlalu sering anak diberi label seperti itu, maka ia akan jadi betul-betul nakal.
6.      Male phenomenon: teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal dari pada perempuan. Alasannya karena kenakalan memang adalah sifat Laki-laki atau karena budaya maskulinitas menyatakan bahwa wajar kalau laki-laki nakal.[12]

Daftar Pustaka
Ali, Muhammad. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004
Sarwono, Sarlito W. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Dalyono. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Asdi Mahasatya, 1997
Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Karim Dan Terjemahannya. Semarang: PT.karya toha putra,1996
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2013
Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan: Kenang-Kenangan Promosi Doctor Homoris Causa. Yogyakarta, 1967
Kosim, Muhammad. Pengantar Ilmu Pendidikan. Madura: Pena Salsabila, 2013
Mudjiono, dkk. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: departemen pendidikan dan kebudayaan, 1996
Sumardi Suryabrata. Psikologi pendidikan, cet.V.  Jakarta: Rajawali Pers, 2004
Padil, Muhammad dan triyo supriyanto. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UIN-Maliki Pers, 2010




[1] Departemen agama RI, Al-Quran Al-Karim Dan Terjemahannya (Semarang: PT.karya Toha putra,1996),hlm.
[2] Ki Hajar Dewantara, masalah kebudayaan: kenang-kenangan promosi doctor homoris causa (Yogyakarta,1967), Hlm. 42
[3] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Cet.XI (Jakarta: Rineka Cipta,2013), hlm.38
[4] Dalyono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Asdi Mahasatya, 1997), hlm.59
[5] Mudjiono, dkk. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: departemen pendidikan dan kebudayaan,1996), Hlm.9
[6] Ibid. hlm. 5
[7] Muhammad Padil Dan Triyo Supriyanto, Sosiologi pendidikan (Yogyakarta: UIN-Maliki Pers,2010), hlm. 123
[8] Sumardi suryabrata,  Psikologi pendidikan, cet.V  (Jakarta: Rajawali Pers,2004), hlm. 103
[9] Kosim, Muhammad. Pengantar Ilmu Pendidikan  (Madura: Pena Salsabila,2013), hlm. 109
[10] Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001), Hlm.44- 46
[11] Muhammad Ali. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik  (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004), hlm. 88-89
[12] Sarlito W. Sarwono. Psikologi Remaja  (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 254-256