POSISI KELUARGA MENGHADAPI PERILAKU ANAK REMAJA
Abstrak
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَاراً (Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka)[1]
Arus globalisasi dan abad informasi
membawa perubahan terhadap fungsi dan peranan keluarga, disatu sisi keluarga
yang orang tua melandasi pendidikan anaknya dengan basis pendidikan agama,
nilai-nilai dan norma yang kuat tidak akan terpengaruh oleh arus globalisasi.
Di sisi lain orang tua yang tidak melandasi anaknya dengan itu, yang akan
menimbulkan masalah bagi anak seperti kenalan remaja. Sehingga mudah termakan
oleh arus deras globalisasi. Khususnya k
Kata kunci : sosiologi keluarga,
psikologi anak, kenakalan remaja
PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin),
pikiran(intelect) dan jasmani anak-anak supaya dapat memajukan kesempurnaan
hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan alam dam masyarakatnya.[2]
Dari
pengertian pendidikan tadi apabila dihubungkan dengan pendidikan keluarga maka
orang tua baik bapak atau ibu dituntut untuk bisa mengubah atau membawa
perilaku anak pada perilaku yang akademis, baik itu berupa akhlak atau budi
pekerti, baik itu secara intelektual dan lain sebagainya. Apalagi jika
dikaitkan dengan anak remaja yang sangatlah minim pemahamannya mengenai
pendidikan, khususnya pendidikan moral atau akhlak. Mereka hanya condong pada
intelektualnya saja tanpa memerdulikan emosionalnya. Akibatnya para remaja
mengalami kenakalan yang berdampak buruk terhadap dirinya maupun terhadap
orang-orang yang ada disekitarnya. Untuk menanggulangi masalah seperti itu,
maka dibutuhkan peranan orang tua sebagai motivator, inspirator, dan innovator
terhadap perkembangan pendidikan anak. khususnya anak remaja.
Fungsi atau peranan keluarga
Lingkunan keluarga merupakan
linkungan pendidikan yang pertama karena si dalam keluarga inilah anak pertama
mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan lingkungan yang utama, karena
sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga. Sehingga
pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak termasuk peletak dasar bagi
pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan adalah dalam keluarga.[3]
Faktor orang tua sangat besar
pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam belajar anak karena tinggi rendahnya
pendidikan orang tua, besar kecil penghasilan, cukup atau kurang perhatian dan
bimbingan orang tua, akrab tidaknya hubungan otang tua dengan anak-anak, tenang
atau tidaknya situasi di dalam rumah, semua itu turut mempengaruhi pencapaian
hasil belajar anak.[4]
Sebagai sistem social terkecil,
keluarga memiliki pengaruh luar biasa dalam hal pembentukan karakter suatu
individu. “keluarga merupakan produsen dan konsumen sekaligus dan harus
mempersiapkandan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari seperti san dan
pangan. Setiap keluarga dibutuhkan dan
saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka dapat hidup lebih senang dan
tenang.[5]
Keluarga memiliki definisi tersendiri bagi orang jawa. “bagi oaring jawa,
keluarga merupakan sarung keamanan dan sumber perlindungan.[6]
Keluarga menjalankan peranannya
sebagai suatu sistem sosial yang dapat membentuk karakter serta moral seorang
anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan
anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat
ternyaman bagi anak. Segala sesuatu berkembang berawal dari keluarga, kemampuan
untuk bersosialisasi , mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku
yang menyimpang. Keluarga merupakan paying kehidupan bagi seorang anak dan
merupakan tempat ternyaman bagi seorang anak.
Dalam keluarga, anak hidup
berkumpul dengan anggota keluarga lainnya dalam suasana pergaulan yang penuh
dengan kasih sayang serta suka maupun duka. Sebagai satuan sosial yang dihuni
oleh anggota yang memiliki ikatan darah, lembaga keluarga memiliki banyak
fungsi bagi anggota keluarganya, khususnya bagi anak. Yaitu; (1) fungsi
pendidikan, (2) fungsi sosialisasi, (3) fungsi keagamaan, (4) fungsi rekreasi,
(5) fungsi perlindungan, dan (6) fungsi biologis.
1. Fungsi
pendidikan. Awalnya keluarga merupakan satu-satunya institusi pendidikan.
Seiring dengan perkembangan zaman, bermunculan lembaga-lembaga pendidikan
formal dan nonformal yang melengkapi lembaga pendidikan keluarga.bahkan proses
pendidikan di sekolah semakin lama pengaruhnya menjadi semakin penting dan
menggeser peran dari keluarga.kendati demikian, fungsi keluarga sebagai lembaga
pendidikan tetap penting karena keluarga sebagai peletak dasar pendidikan anak.
2. Fungsi
sosialisasi. Fungsi ini menitikberatkan kepada pembentukan kepribadian anak.[7]
Keluarga merupakan institusi sosial terkecil yang pertama kali dialami oleh
anak. di dalam keluarga, anak mulai mengenal dan bergaul dengan individu di
luar dirinya. Dan melalui keluarga, anak dipersiapkan agar kelak menjadi
anggota masyarakat yang baik. Keluarga merupakan persekutuan hidup pada
lingkungan masyarakat, tempat dimana ia menjadi diripribadi atau sebagaimana
dalam teori sigmun freud yang menyatakan bahwa “das ueber ich” atau aspek
sosiologis dan nilai-nilai tradisional masyarakat sebagaiman ditafsirkan orang
tua terhadap anaknya.[8]
3. Fungsi
biologis. Melalui perkawinan maka tercipta keluarga. Dan dari keluarga
anak-anak dilahirkan. Dengan demikian, melalui keluarga maka tercipta generasi
yanhg tak terputus.
4. Fungsi
rekreasi. Rekreasi merupakan aktivitas atau tempat yang menyenangkan. Keluarga
semestinya menjadi suasana dan tempat yang menyenangkan bagi anggota
keluarganya, terutama bagi anank-anak. Dengan kondisi menyenagkan, anak akan
betah dirumah. Sebaliknya, jika suasana rumah membosankan, maka anak-anak akan
mencari tempat rekreasi yang lain, seperti di kebunbinatang, kebun raya,
nighclub, komunitas pengguna jasa internet dan lain sebagainya. Hal ini
menuntut orang untuk lebih kreatif mengelola keluarga agar fungsi rekreatif
keluarga tetap terjaga.
5. Fungsi
keagamaan.keluarga merupakan wahana menumbuhkembangkan rasa keberagamaan anak.
karena itu, keluarga tidak bisa meninggalkan fungsi keagamaan ini meskipun
telah bermunculan institusi agama. Bahkan seharusnya keluarga bekerjasama
dengan institusi-institusi agama dalam mengembangkan rasa keberagamaan anak.
6. Fungsi
perlindungan. Dengan fungsi ini, keluarga memberikan perlindungan kepada
anggota-anggotanya. Sekarang banyak fungsi perlindungan dan perawatan ini
diambihalih oleh badan-badan sosial, seperti tempat perawatan anak-anak cacat
tubuh dan mental, panti asuhan anak yatim piatu, panti jompo, dan sejenisnya.
Kendati demikian, fungsi perlindungan keluarga tetap berbeda disbanding
lembaga-lembaga sosial. Fungsi perlindungan keluarga bersifat asasi dan
kodrati.[9]
Tanggung jawab keluarga
Dasar-dasar tanggung jawab keluarga
atau orang tua terhadap pendidikan anaknya meliputi:
a. Adanya
motivasi atau dorongan cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua dan anak.
kasih sayang orang tua yng ikhlas dan murni akan mendorong sikap dan tindakan
rela menerima tanggung jawab untuk mengorbankan hidupnya dalam memberikan
pertolongan kepada anaknya.
b. Pemberian
motivasi kewajiban moral sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap
keturunannya. Adanya tanggung jawab moral ini meliputi nilai-nilai agama atau
nilai-nilai spiritual. Menurut para ahli,bahwa penanaman sikap beragama sangat
baik pada masa anak-anak.
c. Tanggung
jawab sosial adalah bagian dari keluarga yang pada gilirannya akan menjadi
tanggung jawab masyarakat, bangsa dan Negara.
Tangggung jawab sosial
itu merupakan perwujudan kesadaran tanggung jawab kekeluargaan yang dibina oleh
darah, keturunan dan kesatuan keyakianan.
Terjalinnya hubungan
antara orang tua dengan anak berdasarkan rasa kasih sayang yang ikhlash, dan
kesediaan pengorbanan segala-galanya, adalah hanya untuk melindungi dan memberikan
pertolongan kepada anak, dalam membimbing mereka agar pertumbungan dan
perkembangannya menjadi sempurna, sebagaimana yang diharapkan. Begitu juga
diharapkan untuk melatih sikap mandiri dan mampu mengambil keputusan sendiri
serta kehidupannya dalam keadaan stabil.
d. Memelihara
dan membesarkan anaknya.
Tanggung jawab ini
merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukanmakan, minum
dan perwatan agar ia dapat hidup secara berkelanjutan. Disamping itu, ia
bertanggung jawab untuk melindungi dan menjamin kesehatan anaknya, baik secara
jasmaniyah maupun ruhaniyah dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya
lingkungan yang dapat embahayakan diri anak tersebut.
e. Memberikaan
pendidikan dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi
kehidupan anak kelak, sehingga bila ia telah dewasa akan mampu mandiri.
Demikianlah beberapa
hal yang perlu diperhatikan sebagai tanggung jawab orang tua terhadap anaknya,
terutama dalam konteks pendidikan. Kesadaran akan tanggung jawabmendidik dan
membina anak secara terus menrus perlu dikembangkan kepada setiap orang tua,
sehingga pendidikan yang dilakukan tidak lagi berdasarkan kebiasaan yang
dilihat oleh orang tua, tetapi telah didasari oleh teori-teori pendidikan
modern, sesuai dengan perkembangan zaman.[10]
Namun kenyataan yang ada, anak tidak merasakan peran-peran dari keluarga
tersebut yang mengakibatkan anak cenderung nakal, khususnya pada fase remaja.
Pola interaksi
remaja-orang tua
Sesuai dengan tahap
perkembangannya, interaksi remaja dengan orang tua memiliki kekhasan
tersendiri. Jersild, brook, dan brook mengatakan bahwa inetraksi antara remaja
dengan orang tua dapat digambarkan sebagai drama tiga tindakan
(three-act-drama).
Drama tindaan pertama
(the first act drama), interaksi remaja dengan orang tua berlangsung
sebagaimana yang terjadi pada inetraksi antara masa anak-anak dengan orang tua.
Mereka memiliki ketergantungan kepada orang tua dan masih sangat dipengaruhi
oleh orang tua. Namun, remaja mulai semakin menyadari keberadaan dirinya
sebagai pribadi daripada masa-masa sebelumnya.
Drama tindakan kedua
(the second act drama), disebut dengan istilah “peruangan untuk emansipasi”.
Pada masa ini, remaja juga memiliki perjuangan yang kuat untuk membebaskan dirinya
dari ketergantungan dengan orang tuanya sebagaimana pada masa anak-anak untuk
mencapai status dewasa. Dengan demikian, ketika berinteraksi dengan orang tu,
remaja mulai menunggalkan kemanjaan dirinya dengan orang tua dan semakin
bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Akibatnya, mereka seringkali mengalami
pergolakan dan konflik ketika berinteraksi dengan orang tua.
Drama tindaka krtiga
(the third act drama), remaja berusaha menempatkan dirinya berteman dengan
orang dewasa dan berinteraksi secara lancer dengan mereka. Namaun, usaha remaja
ini seringkali masih memperoleh hambatan yang disebabkan oleh pengaruh dari
orang tua yang sebenarnya masih belum bisa melepas anak remajanya secara penuh.
Akibatnya, remaja seringkali menentang gagasan-gagasan dan sikap dari orang
tua.
Dalam konteks inetraksi
remaja dan orang tua, Fontana menambahkan adanya aspek objektif dan subjektif
dalam interaksi antara remaja dan orang tua.
Aspek objektif adalah keadaan nyata dari peristiwa yang terjadi pada
saat interaksi antara remaja dan orang tua berlangsung. Sedangkan aspek
subjektif adalah keadaan nyata yang dipersepsi oleh remaja pada saat interaksi
berlangsung. Fontana mengatakan bahwa tidak jarang teradi remaja cenderung
menggunakan aspek subjektif ketika berinteraksi dengan orang tuanya. Misalnya,
orang tua yang bertindak agak keras terhadap remaja karena merasa khawatir dan
cemas terhadap anak remajanya justru dipersepsi oleh remaja sebagai
memarahinya. Padahal, sesungguhnya orang tua bermaksud untuk melindunginya. Atas
dasar aspek subjektif yang sering digunakan oleh remaja dengan berinteraksi
dengan orang tuanya, sebagaiman dikatakan Fontana maka pemahaman terhadap
inetraksi remaja perlu memperhatikan bagaimana persepsi remaa tentang
interaksinya degan orang lain, dan bukan semata-mata interaksi nyata (real
interaction).
Interaksi yang terjadi
antarindividu dalam lingkungan keluarga akan tampil dalam kualitas yang
berbeda-beda. Kualitas mengacu pada derajat relative kebaikan ayau keunggulan
suatu hal, dalam hal ini adalah interaksi antarindividu. Suatu interaksi dikatakan berkualitas jika mampu memberikan
kesempatan kepada individu untuk mengembangkan diri dengan segala kemungkinan
yang dimilikinya.
Jadi, yang dimaksud
dengan interaksi remaja-orang tua adalah hubungan timbale balik secara aktif
antara remaja dengan orang tuanya yang terwuud dalam kualitas hubungan yang
memungkinkan remaja untuk mengembangkan potensi dirinya.[11]
Karakteristik nilai,
moral, dan sikap remaja
Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan
berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya
maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan
nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan
nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan
mengembangkan nilai-nilai yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan,
atau petunjuk dalam mencari alannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri
menuju kepribadian yang semakin matang. Pembentuk nilai-nilai baru dilakukan
dengan dentifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa
saja berusaha mengembangkan sendiri.
Karakteristik yang
menonjol dalam perkembanagan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat
perkembangan kognisi yang mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu
mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat
hipotesismaka pemikiran remaa terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya
terikat pada waktu, tempat, dan dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang
menadi dasar hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan
mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang
ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu
mempertanggungjawabkan secara pribadi. Perkembangan pemikiran moral remaja yang
demikian, jika meminjam teori berkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah
mencapai tahap konvesional. Pada akhir bmasa remaja seorang akan memasuki tahap
perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap pascakonvensional ketika
orisinalitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja
berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada pada
pendapat atau pranata yang bersifat konvensional.
Tingkat perkembangan
fisik dan psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan sikap dan
perilakunya. Perubahan sikap yang cukup mencolokdan ditempatkan sebagai salah
satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua
dan orang dewasa lainnya. Apalagi kalau orang tua dan orang dewasa berusaha
memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata
adat kebiasaan yang ditunukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang
terjadi sebagai unuk kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang
dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat
sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang lebih matang
dan mandiri.
Asal mula perilaku menyimpang pada
remaja
Awal
penyimpangan perilaku anak remaja bermacam-macam. Misalnya anak amerika yang
namanya frog. Seperti halnya anak-anak amerika lainnya, Frog (kasus 1) adalah
anak yang matearilitas. Mereka mendambakan kemewahan, baju-baju yang sedang in,
mobil-mobil keluaran tahun mutakhir, makanan dan barang-barang yang diiklanlan
di TV dan semua hal yang hanya dapat dibeli dengan uang. Tetapi frog dan
anak-anak lain yang senasib dengannya, datang dari keluarga yang tidak mampu.
Sejak lahir mereka sudah tidak mengenal ayahnya, sementara mereka harus
menyaksikan ibunya bekerja keras setiap hari untuk m,endapatkan upah beberapa
dollar, atau harus antri di kantor sosial untuk meminta tunjangan sosial. Frog
sendiri tidak bersekolah. Angka pengangguran dikalangan remaja kulit hitam di
amerika serikat mencapai 37%. Tidak ada yang dapat dilakukan frog karena ia
hanya pekrja kasar. Penghasilannya sangat tidak memadai. Frog ingin menikmati
kemewahan, disamping ia ingin menyenangkan ibunya dengan membelikan
barang-barang keperluannya. Inilah yang membuat Frog terjerumus ke dalam
perdangangan obat bius.
Cara
menerangkan asal mula kenakalan remaja seperti tersebut oleh ensen digolongkan
ke dalam teori sosiogenik, yaitu teori-teori yang mencoba mencari sumber
penyebabkenakalan remaja pada faktor lingkungan kelluarga dan masyarakat.
Termasuk dalam teori sosiogenik ini antara lain adalah teori broken home dari
Mc. Cord, dkk dan teori “penyalahgunaan anak” dari Shanok. Tetapi, benarkah
asal mula kenakalan remaja semata-mata berasal dari faktor lingkungan sosial
saja?
Menurut ensen : tidak.
Dalam kenyataan, banyak sekali faktor yang menyebabkan kenakalan remaja maupun
kelainan perilaku remaja pada umumnya. Berbagai teori yang mencoba menelaskan
penyebab kenakalan remaja, dapat digolongkan sebagai berikut:
1.
Rational choice: Teori ini mengutamakan
faktor individu daripada faktor lingkungan.kenakalan yang dilakukannya adalah
atas pilihan, interes, motivasi dan kemauannya sendiri. Di Indonesia banyak
yang percaya pada teori ini, misalnya kenakalan remaja dianggap sebagai kurang
iman sehingga anak dikirim ke pesantren kilat atau dimasukkan ke sekolah agama.
Yang lain menganggap remaja yang nakal kurang disiplin sehingga diberi latihan
kemiliteran.
2.
Social disorganizaziion: Kaum positivis
pada ummnya lebih mengutamakan faktor budaya. Yang menyebabkan kenakalan remaja
adalah berkurangnya atau menghilangnya pranata-pranata masyarakat yang selama
ini menjga keseimbangan atau harmuni dalam masyarakat., orang tua yang sibuk
dan guru yang kelebihan beban merupakan penyebab dari berkurangnya fungsi
keluarga dan sekolah sebagai pranata control.
3.
Strain: Teori ini dikemukakan oleh
merton yang sudah diuraikan di bab terdahulu. Intinya adalah bahwa tekanan yang
besar dalam masyarakat, misalnya keiskinan, menyebabkan sebagian dari anggota
masyarakat yang memilih alan rebellion melakukan kehahatan atau kenaklan
remaja.
4.
Differential association: menurut teori
ini, kenakalan remaja adalah akibat salah pergaulan. Anak-anak nakal karena
bergaulnya dengan anak-anak yang nakal juga. Faham ini banyak dianut orang tua
di Indonesia, yang sering kali melarang anak-anaknya untuk bergaul dengan
temen-teman yang dianggap nakal, dan meneyuruh anak-anaknya untuk berkawan
dengan teman-teman yang pandai dan rain belajar.
5.
Labeling: ada pendapat yang menyatakan
bahwa anak nakal selalu dianggap atau dicap (diberi label) nakal. Di Indonesia,
banyak orang tua (khususnya ibu-ibu) yang ingin berbasa-basi dengan tamunya,
sehingga ketika aaknya muncul di ruangan tamu, ia mengatakan pada tamunya,
“iniloh, mbakyu, anak sulung saya. Badannya saja yang tinggi, tetapi nakalnya
bukan main”. Kalau terlalu sering anak diberi label seperti itu, maka ia akan
jadi betul-betul nakal.
6.
Male phenomenon: teori ini percaya bahwa
anak laki-laki lebih nakal dari pada perempuan. Alasannya karena kenakalan
memang adalah sifat Laki-laki atau karena budaya maskulinitas menyatakan bahwa
wajar kalau laki-laki nakal.[12]
Daftar Pustaka
Ali, Muhammad. Psikologi
Remaja: Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004
Sarwono, Sarlito
W. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Dalyono.
Psikologi Pendidikan. Jakarta: Asdi Mahasatya, 1997
Departemen Agama RI, Al-Quran
Al-Karim Dan Terjemahannya. Semarang: PT.karya toha putra,1996
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2013
Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan:
Kenang-Kenangan Promosi Doctor Homoris Causa. Yogyakarta, 1967
Kosim, Muhammad. Pengantar Ilmu Pendidikan. Madura:
Pena Salsabila, 2013
Mudjiono, dkk. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan
Kualitas Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: departemen pendidikan dan
kebudayaan, 1996
Sumardi Suryabrata. Psikologi
pendidikan, cet.V. Jakarta: Rajawali
Pers, 2004
Padil, Muhammad dan triyo supriyanto.
Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UIN-Maliki Pers, 2010
[1]
Departemen agama RI, Al-Quran Al-Karim Dan Terjemahannya (Semarang:
PT.karya Toha putra,1996),hlm.
[2] Ki
Hajar Dewantara, masalah kebudayaan: kenang-kenangan promosi doctor homoris
causa (Yogyakarta,1967), Hlm. 42
[3]
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Cet.XI (Jakarta: Rineka Cipta,2013),
hlm.38
[4] Dalyono,
Psikologi Pendidikan (Jakarta: Asdi Mahasatya, 1997), hlm.59
[5]
Mudjiono, dkk. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber
Daya Manusia (Yogyakarta: departemen pendidikan dan kebudayaan,1996), Hlm.9
[6] Ibid.
hlm. 5
[7]
Muhammad Padil Dan Triyo Supriyanto, Sosiologi pendidikan (Yogyakarta:
UIN-Maliki Pers,2010), hlm. 123
[8]
Sumardi suryabrata, Psikologi
pendidikan, cet.V (Jakarta: Rajawali
Pers,2004), hlm. 103
[9]
Kosim, Muhammad. Pengantar Ilmu Pendidikan (Madura: Pena Salsabila,2013), hlm. 109
[10]
Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001),
Hlm.44- 46
[11]
Muhammad Ali. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004), hlm. 88-89
[12]
Sarlito W. Sarwono. Psikologi Remaja (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 254-256