Tuesday, 17 January 2017

Program pendidikan inklusif Artikel





PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF

Abstrak :   Pendidikan yang merupakan solusi dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah hak semua manusia. Tak terkecuali mereka para penyandang difable (differently able) juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan inklusif merupakan sebuah terobosan baru yang inovatif bagi mereka para penyandang difabel. Program ini merupakan tindak lanjut dari program pendidikan luar biasa yang dinilai kurang dalam mengakomodir kebutuhan para difabel. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemangku kebijakan mencetuskan suatu model pendidikan yang mendidik para siswa difabel bersama siswa normal dalam sekolah, yaitu pendidikan inklusif. Semua ini dilaksanakan dalam rangka meraih cita-cita pendidikan nasional yang merata. Akan tetapi, dalam implementasinya masih terdapat beberapa problem yang memerlukan pemikiran pihak terkait sehingga pemerataan pendidikan dapat sepenuhnya berjalan.

Katakunci: pendidikan, inklusif

Pendahuluan
Pendidikan merupakan solusi utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam rangka menjawab tantangan zaman. Hak atas pendidikan ini termasuk hak asasi yang dimiliki setiap manusia tanpa terkecuali, termasuk para penyandang difable (differently able) atau kelompok manusia yang memiliki kemampuan berbeda atau biasa disebut dengan kelompok berkebutuhan khusus.
Istilah difabel (difable) adalah sebuah sebutan dan istilah yang sangat humanis. Istilah ini digunakan sebagai pengganti dari istilah ”disable” yang berarti “orang cacat” yang dinilai mengandung  stereotype negative. Hanya Indonesia yang menggunakan istilah difabel ini, atau disebut dengan “orang yang berkemampuan berbeda”.[1]
Disamping itu, berdasarkan data statistik Depdiknas (Direktorat Pendidikan Luar Biasa/PLB, 2002), pada umumnya lokasi SLB berada di ibu kota kabupaten atau kotamadya.[2]Padahal anak-anak penyandang difabel tersebar dimana-mana, tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya, penyandang difabel di kecamatan atau pedesaan yang kurang mampu secara finansial terpaksa tidak bersekolah karena lokasi SLB yang jauh dari rumahnya. Sementara jika akan sekolah di sekolah umum, maka pihak sekolah tidak bersedia menerima dengan alasan tidak bisa melayaninya.
Sampai saat ini belum ada angka pasti tentang jumlah anak penyandang difabel di Indonesia. Namun, yang pasti jumlah mereka yang belum memperoleh hak pendidikan masih sangat banyak. Menurut data resmi Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan bahwa penyandang difabel yang sudah mengikuti pendidikan formal baru 24,7% atau 78.689 anak dari populasi anak cacat di Indonesia yang berjumlah sekitar 318.000 anak.[3]Ini artinya masih terdapat sebanyak 65,3% anak difabel yang masih terabaikan hak pendidikannya. Kondisi tersebut tentu sangat memprihatinkan, mengingat bahwa pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling fundamental.
Bertitik tolak dari beberapa alasan tersebut, untuk memenuhi hak pendidikan warga negara dengan tanpa adanya diskriminasi, maka pemerintah memandang perlu mengadakan terobosan baru dalam rangka pemerataan pendidikan, diantaranya dengan membuka pendidikan inklusif. 
Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan dalam arti luas adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan baik yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah sepanjang hayat, dengan tujuan agar peserta didik dapat memainkan peranannya di berbagai lingkungan hidupnya secara tepat di masa yang akan datang.
“Inklusi” sendiri mempunyai arti terbuka. Jadi, pendidikan inklusi (inklusif) adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk merangkul semua kalangan dalam kalangan dalam pendidikan. Pendidikan inklusi merupakan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.[4]
Kebanyakan orang mempunyai asumsi bahwa pendidikan inklusif adalah sebagai versi lain dari pendidikan khusus/PLB (spesial education). Padahal bila dicermati konsep pendidikan inklusif sangat berbeda dengan konsep yang mendasari pendidikan khusus. Konsep pendidikan inklusif merupakan sebuah konsep pendidikan yang merepresentatikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak penyandang difabel untuk memperoleh haknya sebagai warga negara, yakni hak memperoleh pendidikan.
Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi yang mencerminkan sebuah pendidikan universal dengan menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan yang aktual dari anak dan masyarakat. Dengan kata lain pendidikan inklusif menjamin akses dan kualitas anak sesuai dengan tingkat kemampuannya serta menjamin kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan baik.
J Smith David sebagaimana dikutip Rahbini menyatakan bahwa gagasan tentang pendidikan inklusif di dunia internasional dicetuskan dalam Konferensi Dunia yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 1994 di Salamanca Spanyol. Dalam konferensi ini dinyatakan sebuah komitmen tentang pendidikan untuk semua. Komitmen ini menegaskan tentang pentingnya memberikan pendidikan pada anak, remaja, dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan di dalam sistem pendidikan reguler dan menyetujui kerangka aksi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.[5]
Dalam konteks Indonesia, pendidikan inklusif merupakan suatu alternatif pilihan, inovasi, dan terobosan baru di samping pendidikan luar biasa yang telah lama namun eksistensi Sekolah Luar Biasa yang seharusnya mampu berperan sebagai pusat sumber pendukung inklusi, belum diberdayakan secara maksimal. Akibatnya, anak-anak penyandang difabel kurang mendapat perhatian penuh atau bahkan terabaikan di lingkungan sekolah mereka.
Dasar Hukum Pendidikan Inklusif
Dalam konteks internasional, diawali oleh konferensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial pada tahun 1965 pasal 5 telah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak atas pendidikan bagi setiap manusia. Kemudian dilanjutkan pada kesepakatan PBB yang menentang diskriminasi dalam pendidikan pada tanggal 14 Desember 1960 yang menyatakan persamaan kesempatan pendidikan, menghormati keragaman sistem pendidikan nasional dan mewajibkan negara-negara untuk melarang segala bentuk diskriminasi dalam pendidikan serta meningkatkan persamaan kesempatan (equal apportunity)dan perlakuan yang sama dalam hal pendidikan bagi semua orang tanpa membedakan ras, difabel, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, latar belakang kebangsaan atau sosial, dan kondisi ekonomi.[6]
UNESCO mencanangkan sebuah kebijakan yang dikenal dengan Education For All (EFA) sejak tahun 1990.[7]Kebijakan tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam bidang pendidikan.
Hal tersebut menunjukkan betapa besar kepedulian dunia terhadap pendidikan. Pemerataan pendidikan juga sesuatu yang tidak boleh dinafikan dalam hal ini, bagi semua orang dari semua kalangan termasuk para penyandang difabel.
Akan tetapi, jauh sebelum itu sebenarnya Islam  telah menepis adanya diskriminasi bagi umatnya di segala aspek. Firman Allah yang menjelaskan hal tersebut diantaranya adalah Q.S. Al-Hujurat ayat 13, yaitu:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengetahui”[8]
Ayat tersebut memberikan perintah kepada kita agar saling ta’aruf, yaitu saling mengenal dengan siapapun. Tidak memandang latar belakang sosial, ekonomi, ras, suku, bangsa, dan bahkan agama. Inilah konsep Islam yang begitu universal dan humanis. Islam memandang semua manusia di hadapan Allah SWT adalah sama. Hanya tingkat ketakwaannyalah yang menyebabkan manusia mulia di hadapan Allah.
Di Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat (1) mengamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.  Amanat undang-undang tersebut dipertegas lagi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa pendidikan bahwa pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan ayau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan dasar dan menengah.[9] Selain itu, Permendiknas No. 70 tahun 2009 berisi tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau Bakat istimewa.[10] Kebijakan tersebut memberi warna baru bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan yang telah menjadi haknya. Dan dengan kebijakan tersebut tidak ada alasan bagi sekolah reguler untuk menolak anak penyandang difabel.
Harapannya, dengan adanya pendidikan inklusif ini anak-anak penyandang difabel dapat dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Tujuannya agar tidak ada kesenjangan diantara mereka dengan anak-anak yang normal. Selain itu, anak-anak penyandang difabel diharapkan dapat memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya.
Jenis-jenis Pendidikan Inklusif
Konsep anak penyandang difabel dapat dikategorikan dalam 2 kelompok besar, yaitu penyandang difabel yang bersifat sementara (temporal) dan anak penyandang difabel yang bersifat menetap (permanen).[11]
Penyandang difabel yang bersifat temporal adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, misalnya anak yang mengalami gangguan emosi karena frustasi dan ketakutan akibat mendapat perlakuan kasar atau tindak asusila sehingga merasa trauma dan memungkinkan ia tidak dapat belajar dengan tenang. Tipe ini masih bisa dilakukan penyembuhan dengan dilakukan terapi tertentu beserta support dari orang tua dan orang terdekatnya.
Sedangkan penyandang difabel yang bersifat permanen adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan perkembangan karena suatu kekurangan atau bawaan sejak lahir. Misalnya seperti anak tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, lamban belajar, anak yang mengalami kesulitan belajar karena mengalami gangguan komunikasi, dan tunalaras atau gangguan emosi dan perilaku.[12]
Jenis pendidikan inklusif bagi penyandang difabel menurut Ashman ada 6, yaitu:
1.        Kelas Reguler (Inklusi Penuh)
       Anak penyandang difabel belajar bersama anak non difabel sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2.        Kelas Reguler dengan cluster
Anak penyandang difabel belajar bersama anak non difabel di kelas reguler dalam kelompok khusus
3.        Kelas Reguler dengan pull out
Anak penyandang difabel belajar bersama anak non-difabel dikelas reguler, namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruangan lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus
4.        Kelas Reguler dengan cluster dan pull out
Anak penyandang difabel belajar bersama anak non-difabel di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan pada waktu tertentu ditarik ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus
5.        Kelas Khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak penyandang difabel di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dlam bidang mata pelajaran tertentu dapat belajar bersama anak non-difabel di kelas reguler
6.        Kelas Khusus Penuh
Anak penyandang difabel belajar di kelas khusus pada sekolah reguler.[13]
Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajaran (inklusif penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan alasan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak difabel dengan gradasi kelainan yang berat, bisa jadi akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusif lokasi). Kemudian, bagi anak defabel dengan gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan untuk bersekolah di sekolah reguler, dapat di salurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Setiap sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat memilih jenis dan model mana yang lebih tepat untuk diterapkan, dengan beberapa pertimbangan berikut:
a)        Jumlah anak yang akan dilayani
Menurut peraturan yang berlaku, di sekolah umum setiap kelas maksimal 40 orang siswa. Sedangkan di SLB setiap kelas maksimal 10 orang siswa. Bila jumlah anak difabel yang akan mengikuti pendidikan inklusif cukup banyak(10 orang), maka bentuk yang paling efektif dan efisien adalah kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian. Sedangkan jika jumlahnya relatif sedikit (kurang dari 5 orang), dapat dipilih untuk penempatan kelas reguler penuh, kelas reguler dengan cluster, kelas reguler denganull out, atau kelas reguler dengan cluster dan pull out.
b)        Jenis kelainan masing-masing anak
Anak tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunalaras memiliki inteligensi yang relatif normal, sedangkan anak tunagrahita inteligensinya relatif rendah (di bawah normal).
Jika yanng akan mengikuti pendidikan inklusif terdiri dari berbagai jenis difabel yang tergolong inteligensinya relatif normal, maka dapat dipilih bentuk penempatan kelas reguler penuh, kelas reguler dengan cluster, kelas reguler denganull out, atau kelas reguler dengan cluster dan pull out.
Hal yang harus diperhatikan adalah pada tahap perintisan kelas sebaiknya hanya menampung satu jenis kelainan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengelolaan kelas.
Sementara jika yang akan mengikuti pendidikan inklusif adalah anak difabel yang inteligensinya di bawah normal (tunagrahita), maka dapat dipilih bentuk penempatan kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian atau kelas khusus penuh
c)        Gradasi (tingkat) kelainan anak
Gradasi kelainan anak difabel terdiri atas kelainan ringan, sedang, dan berat. Misalnya pada anak tunanetra, kelainan ringan dapat berupa low vision(penglihatan lemah), kelainan sedang dapat membedakan ruang gelap dan terang, dan kelainan berat yakni buta total.
Bagi anak difabel dengan gradasi kelainannya ringan dapat dipilih bentuk penempatan kelas reguler penuh, kelas reguler dengan cluster, kelas reguler denganull out, atau kelas reguler dengan cluster dan pull out. Sedangkan bagi anak difabel yang gradasi kelainnya berat, maka dapat dipilih penempatan kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian atau kelas khusus penuh. Sementara anak dengan gradasi kelainan sedang dapat dipilih kelas diantara kedua kelompok tersebut.

d)       Ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan
Pada setiap sekolah yang akan menyelenggarakan pendidikan inklusif hendaknya disediakan guru pendidikan khusus (mempunyai kualifikasi akademik sarjana PLB). Bila mampu, di setiap sekolah diangkat 1 orang guru pendidikan khusus, dan nila kurang mampu, di setiap 3 sekolah dapat diangkat 1 orang guru pendidikan khusus. Dan jika tidak mampu, maka dapat menggunakan guru SLB yang ditugaskan sebagai konsultan di beberapa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
e)        Ketersediaan sarana dan prasarana
Bagi sekolah-sekolah umum yang umum yang sarana dan prasarananya kurang memadai, maka lebih baik memilih penempatan kelas reguler, sedangkan bagi yang sarana dan prasarananya memadai, dapat memilih dalam bentuk apapun.[14]
Problematika Pendidikan Inklusif
Dalam implementasi kebijakan pendididkan inklusif mengalami banyak problem yang menurut sebuah penelitian[15]diantaranya adalah:
1.        Komunikasi
Komunikasi dalam organisassi merupalan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menghambat hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Disamping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Seperti halnya implementor dari dinas pendidikan dalam satu semester hanya memberikan sosialisasi tentang pelaksanaan kebijakan inklusif di salah satu sekolah yang melaksanakan program pendidikan inklusif hanya dua kali dalm satu semester. Ini menunjukkan bahwa frekuensi sosialisasinya relatif sedikit. Padahal sosialisasi ini sangat penting bagi sekolah, karena dalam proses pembelajaran yang ada di sekolah inklusif cara penanganannya sangat unik. Keunikan ini dikarenakan siswa yang ada di sekolah tersebut mempunyai karakteristik yang beragam, baik sikap, daya berfikir dan perilaku siswa.
Berdasarkan hasil penelitian, komunikasi berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pelaksanaan proses pembelajaran yang ada di sekolah, realitanya sosialisasi olehh para imlpementor aparat dinas pendidikan sering terlambat, dan kurang dipahami oleh para guru maupun tenaga kependidikan, dan cara penyampaiannya kurang jelas. Padahal guru merupakan ujung tombak dalam pelayanan pendidikan, kalau guru kurang memahami apa yang disampaikan oleh para implementor, maka dalam melaksanakan proses pembelajaran terhadap anak difabel kurang tepat sasaran.
2.        Sumber Daya Manusia
Komponen sumber daya manusia dalam hal ini meliputi staf, keahlian dari pelaksana informasi yang relevan cukup untuk mengimplementasikan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan sebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas yang pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan progranm sperti dana dan sarana prasarana. Suber daya manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berkibat tidak dapat dilkasanaknnya program secara smpurna, karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Di sebagian sekolah yang menganut sistem pendidikan inklusif terlihat aspek sumber daya manusia para guru belum memiliki kemampuan berkiprah dalam pendidikan inklusif. Untuk itu perlu adanya mamanjemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Untuk mendukung implememntasi kebijakan inkluusif hendaknya sekolah mengirim para guru untuk mengikuti pelatihan, dan seminar-seminar atau workshop.
3.        Disposisi
Keberhasilan pendidikan inklusif tidak terlepas dari elemen-elemen dasar yang memungkinkan pendidkan inklusif dapat diimplementasikan. Elemen-elemen dasar tersebut antara lain: siswa kepala sekolah, guru yang positif terhadap  keanekaragaman siswa. Elemen yang terpenting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru terhadap siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru tidak hanya berpengaruh pada setting kelas, akan tetapi juga dalam pemilihan strategi pembelajaran, perilaku sosial. Yang dimaksud dengan perilaku sosial adalah adanya guru yang melakukan bantuan atau pertolongan kepada siswa tanpa pamrih, dan juga memnberikan dorongan pada siswa untuk lebih meningkatkan dalam belajar agar dapat meningkatkan prestasi akademik dan sosial.
4.        Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting disamping faktor lainnya. Salah satu aspek yang paling mendasar dalam struktur birokrasi ini adalah adanya Standart Operating Procedure (SOP) yang memberikan arah pada pelaksana dalam hal pemanfaatan waktu, tindakan-tindakan yang dilakukan termasuk tindakan para pejabat. SOP juga memberikan ruang pada pelaksana dalam suatu organisasi bila terjadi mutasi atau perpindahan pegawai ke posisi lain. SOP memberikan pijakan yang jelas pada pegawai tentanng bagaimana cara mengerjakan sesuatu, kepada siapa dan apa isi yang dituntut dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, untuk implementasi kebijakan pendidikan inklusif diperlukan adanya SOP.
Demikianlah paparan mengenai sebagian problem yang ada di lapangan terkait dengan program pendidikan inklusif. Dan tentunya, masih banyak problem-problem yang lain yang memerlukan perhatian khusus guna terlaksananya cita-cita pendidikan nasional yang merata.
Penutup
Pendidikan inklusif sebagai sebuah program pendidikan yang mengakomodir anak penyandang difabel memperoleh pendidikan bersama dengan anak normal merupakan inovasi baru pemerintah dalam rangka pemerataan pendidikan nasional.
Di Indonesia, pendidikan inklusif dilaksanakan dengan bermacam-macam jenis, yaitu: Kelas Reguler (Inklusi Penuh), reguler dengan cluster, kelas reguler dengan pull out, kelas reeguler dengan cluster dan pull out, kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, dan kelas khusus penuh.
Adapun pemilihan kelas tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: Jumlah anak yang akan dilayani, jenis kelainan masing-masing anak, gradasi (tingkat) kelainan anak, ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, dan ketersediaan sarana dan prasarana.
Daftar Pustaka
Amin, Choirul. “Implementasi Model Pembelajaran Nongradasi Pada Sekolah Inklusi, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, II/16, Agustus, 2010.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1996.
Eko Riyadi & Supriyanto (ed), Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Era Otonomi Daerah: Analisis Situasi di Tiga Daerah. Yogyakarta: PUSHAM UII.
Herry Widyastono, “Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkelainan”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 046/10, Januari 2004.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, 046 /10 Januari 2004.
Ilahi, Mohammad Takdir. Pendidikan Inklusif  ; Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-RuZ Media, 2013.
Prastiyono, “Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif (Studi Kasus di Sekolah Galuh Handayani Surabaya), DIA; Jurnal Administrasi Publik, 1/11,  Juni 2013.
Rahbini, “Pendidikan Inklusif; Sebuah Konstruksi Pendidikan Anti Diskriminasi Bagi Difable”, Jurnal Kependidikan Islam Program Studi Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1/2, 2 012
Wrastari, Syafrida Elisa & Aryani Tri. ‘Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau Dari Faktor Pembentuk Sikap”, Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Universitas Airlangga Surabaya, 01/2, April 2013.




[1] Rahbini, “Pendidikan Inklusif; Sebuah Konstruksi Pendidikan Anti Diskriminasi Bagi Difable”, Jurnal Kependidikan Islam Program Studi Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1/2, 2 012
[2] Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, 046 /10 Januari 2004.
[3] Prastiyono, “Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif (Studi Kasus di Sekolah Galuh Handayani Surabaya), DIA; Jurnal Administrasi Publik, 1/11,  Juni 2013, 119.
[4] Ibid., 118.
[5] Rahbini,Pendidikan Inklusif; Sebuah Konstruksi Pendidikan Anti Diskriminasi Bagi Difable, 34.
[6] Eko Riyadi & Supriyanto (ed), Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Era Otonomi Daerah: Analisis Situasi di Tiga Daerah (Yogyakarta: PUSHAM UII, tt), 32.
[7] Choirul Amin, “Implementasi Model Pembelajaran Nongradasi Pada Sekolah Inklusi, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, II/16, Agustus, 2010, 162.
[8] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1996), 345.
[9] Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif  ; Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-RuZ Media, 2013), 69.
[10] Prastiyono, Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif118.
[11] Mohammad Takdir Ilahi, ibid.,
[12] Ibid., 140.
[13] Syafrida Elisa & Aryani Tri Wrastari, ‘Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau Dari Faktor Pembentuk Sikap”, Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Universitas Airlangga Surabaya, 01/2, April 2013, 54.
[14] Herry Widyastono, “Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkelainan”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 046/10, Januari 2004, 64.
[15] Penelitian ini dilakukan oleh Prastiyono, Alumni program magister Administrasi Untag Surabaya di Sekolah Galuh Handayani Surabaya dimana sekolah tersebut menerapkan program pendidikan inklusif. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2013.