KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga
saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan saya semoga makalah ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya
dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih
baik.
Makalah ini saya akui masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu
saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Hukum islam
merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam keadaan
konteks tertentu dari as-syariah al
islamy.Istilah ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan
Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak
ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian dalam
penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum
dimaksud adalah hukum islam.Sebab,kajiannya dalam perspektif hukum islam,maka
yang dimaksudkan pula adalah hukum
syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum islam sering
dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh islam.Apabila syari’at
islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti syari’at islam yang
dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain penyebutan hukum islam
selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara,baik yang sudah
terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy
mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk
menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di
Indonesia,istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan
islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah
laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat
untuk seluruh anggotanya.Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata
islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang
yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat
bagi semua pemeluk agama islam.
II.2 Rumusan masalah
- Bagaimana pengertian tentang
Sumber Hukum Islam?
- Bidang kajian apa sajakah yang
erat kaitannya dengan Sumber Hukum Islam?
- Bagaimana
pengertian tentang Ahkam al-Khamsah?
II.3 Tujuan
- Untuk mengetahui tentang
pengertian Sumber Hukum Islam
- Untuk mengetahui bidang kajian
apa saja yang berkaitan dengan Sumber Hukum Islam
- Untuk mengetahui pengertian
Ahkam al-Khamsah
BAB II
PEMBAHASAN
A.Sumber Hukum Islam
II.1 Pengertian Sumber Hukum Islam
Pengertian
sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila
dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.Sumber Hukum Islam ialah
segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam
yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar
pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum
islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian
yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab,
istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
II.2 Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam.
Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu
105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[347],
Definisi
tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama’,akan tetapi dari
beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur pokok,yaitu :
1. Bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafazt
yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada
Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya
sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
2.
Bahwa Al-Qur’an
itu adalah berbahasa Arab
3.
Bahwa Al-Qur’an
ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4.
Bahwa Al-Qur’an
itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
beberapa cara dan keadaan,antara lain, yaitu :
1.
Malaikat
memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
2.
Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki yang
mengucapkan kata-katanya
3. Wahyu datang seperti gemirincing
lonceng
4. Malaikat menampakkan diri kepada
Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana rupanya yang asli
Ayat-ayat yang diturunkan tadi
dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1. Ayat-ayat Makkiyah
2. Ayat-ayat Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan
untuk membentuk sesuatu hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Ushul Fiqih.Pengertian bahasa arab “Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar
pikiran,dan secara ibarat (tamsil) adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip
tentang ilmu fiqih.Pada umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan Qiyas.
II.3 Sunnah Nabi/Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang
suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau
disebut pula sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari sunnah
Rasulullah.Pengertian sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:
- Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah
qauliyah
- Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
- Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah
taqririyah
Pada prinsipnya
fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum yang ada dalam
Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an,sebagai
penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah dapat juga
membentuk hukum sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan dalam
Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-unsur
sanad (keseimbangan antar perawi),matan
(isi materi) dan rowi (periwayat).
Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi
kedalam tiga kelompok yaitu :
- Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak
perawi
- Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau
lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawattir
- Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi
saja.
Pembagian hadist dapat pula dilakukan
melalui pembagian berdasarkan rawinya dan berdasarkan sifat perawinya.
1.
Matan, teks
atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat yang tertentu.
2.
Sanad, bagian
yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau tidaknya sesuatu
hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang sambung-bersambung
menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari orang yang
memberikannya sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut rawi.
Ditinjau dari
sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist dapat di golongkan ke dalam empat
tingakatan yaitu:
·
Hadist mutawir,
hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai pada Nabi
Muhammad SAW.
·
Hadist masyur,
hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tersebar luas. Dari nabi
hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.
·
Hadist ahad,
hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada nabi
muhammad.
·
Hadist mursal,
hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga tidak
sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Sunan berkedudukan sebagai
dalil hukum islam. Hal ini didasarkan kepada nash Al-quran yaitu: Apa saja
nikmat yang kamu peroleh adalah dari allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul
kepada segenap manusia. Dan cukuplah allah menjadi saksi.(QS.annisa’:79)
Surat Al-Arab
ayat 158 sebagai berikut :
158.katakanlah
: “ hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan allah kepadamu semua yaitu allah
yang mempunyai kerjaan langit dan bumi, tidak ada tuhan selain dia. Yang
menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada allah dan rasulnya,
nabi ysng ummi yang beriman kepada allah dan kepada kalimat-kalimatnya
(kitab-kitabnya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk,” (QS.
Al-a’rab : 158)
Di dalamnya
memahami hadist terdapat dari kutub yang harus diperhatikan, yaitu:
- Hadist
shahih
- Hadist
dhaif
Ciri-ciri hadist yang shahih itu ialah yang kata-
katanya bebas dari bahasa yang rendah (tidak pantas) serta maksudnya tidak
bertetangga dengan ayat atau kabar (hadis) yang mutawir atau ijma’(yang
gamblang), dan yang meriwayatkannya orang-orang yang pantas dipercaya.
Adapun
ciri-ciri hadist dhaif sebagaimana diungkapkan K.H.E abdurrohman ialah bertentangan dengan nash al-quran
sunnah yang mutawir, atau bertentangan dengan putusan akal yang gamblang.
Didalam ilmu hadist dikenal adanya
ulama hadist yang masykur. Keenam ulama tersebut, ialah :
- Al-Bukhari
(194 - 256 H/810 - 870 M)
- Muslim
(204 - 261 H/817 - 875 M)
- Abu Daud
(202 - 275 /817 - 889 M)
- An-Nasai
(225 - 303 H/839 - 915 M)
- At-Turmudzi
(209 - 272 / 824 - 892 M)
- Ibnu Majah
9207 - 273 / 824 - 887 M)
II.4 Al-Ijma’
Ijma’ menurut
hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau
sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau
ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Ijma
merupakan salah satu upaya istihad umat islam setalah qiyas.
Kata ijma’
berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai
dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal yang tak teratur,oleh sebab itu
berarti menetapkan memutuskan suatu perkara,dan berarti pula istilah ulama
fiqih (fuqaha). Ijma berati kesepakatan pendapat di antara mujtahid, atau
persetujuan pendapat di antara ulama fiqih dari abad tertentu mengenai masalah
hukum.
Apabila di kaji
lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka terdapat
dua macam ijma’ yaitu :
- Ijma’
shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli
ijtihad atau mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing
secara tegas dan jelas.
- Ijma’
sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau
sejumlah mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.
Apabila
ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka ijma’ dapat
digolongkan menjadi :
- Ijma’
qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang
suatu hal)
- Ijma’
dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang
tidak pasti.
Pada hakikatnya
ijma’ harus memiliki sandaran, danya keharusan tersebut memiliki beberapa
aturan yaitu :
Pertama: bahwa bila
ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’ tidak akan sampai kepada
kebenaran.
Kedua: bahwa para
sahabat keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi, sebagaimana diketahui,
nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat
tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat maupun lemah adalah salah.kalau
mereka sepakat berbuat begitu berati mereka sepakat berbuat suatu kesalahan
yang demikian tidak mungkin terjadi.
Keempat: bahwa
pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat diketahui kaitannya
dengan hukum syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada syara’ tidak wajib
diikuti
II.5 Al-Ijtihad
Mencurahkan seluruh potensi pikiran untuk mengambil suatu
hukum dari dalil-dalil syara’
( Al-quran dan sunnah).Menurut definisi bahasa
arab ijtihad ialah mencurahkan
segala kemampuan di dalam mendapatkan hukum syara’ dengan cara istimbat dari
Al-Quran dan hadist.Mujtahid adalah seseorang yang melakukan ijtihad.
Para mujtahid pada zaman sahabat hingga zaman tabi’in mengambil hukum-hukum
suatu masalah langsung dari Al-Quran dan hadist muhammad SAW.
Mujtahid dapat
dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi:
1.
Mujtahid yang
bekemampuan berijtihad seluruh amsalah hukum islam dan hasilnya diikuti oleh
orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Mereka berusaha sendiri, tanpa
memungut pendapat orang lain.
2.
Mujtahid
filmadzhab atau mujtahid yang di dalam berijtihad mengikuti pendapat salah satu
madzhab dengan beberapa perbedaan. Misalnya abu yusuf yang mengikuti pendapat
madzhab manafi.
3.
Mujtahid fil
masail atau mujtahid yang hanya membidangi dalam masalah-masalah tertentu. Ciri
mujtahid kelas ini yaitu:
a.
Dalam
berijtihad mengikuti pendapat imam madzhab tertentu.
b.
Lapangan
ijtihadnya terbatas pada soal-soal tertentu dan menyangkut hal-hal yang cabang
saja.
4.
Mujtahid yang
mengikatnya diri muqoyyad ciri-ciri mujtahid yang termasuk dalam kelas
muqoyyad:
a.
Mengikuti
pendapat-pendapat ulama’ salaf
b.
Mengetahui
sumber-sumber hukum dan masalahnya
c.
Mampu memilih
pendapat yang di anggap lebih baik dan benar.
II.6 Al-Qiyas
Qiyas ialah
menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian
yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam
illat hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan hukum islam kita jumpai qiyas
sebagai sumber hukum yang keempat. Arti perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah
menurut bahasa ukuran, timbangan. Persamaan (analogy) dan menurut istilah ali
ushul fiqih mencari sebanyak mungkin
persamaan antara dua peristiwa dengan mempergunakan cara deduksi
(analogical deduction). Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu
garis hukum yang baru dari garis hukum yang lama dengan maksud memakaiakan
garis hukum yang baru itu kepada suatu keadaan, karena garis hukum yang baru
itu ada persamaanya dari garis hukum yang lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan
dalam hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :
“ hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah : ayat 90)
Menurut
ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan da dampak negatifnya akan
menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan. Dengan demikian sifat memabukkan dimiliki sebagai
sebab bagi ketentuan hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap minuman
yang memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam.
Qiyas sebagai
salah satu hukum islam yang tdak dapat dikesampingkan keberadaannya di dalam
menetapkan beberpa ketentuan hukum islam memiliki 4 hukum yaitu:
1.
Sesuatu yang
hukumnya tidak terdapat dalam nash atau hukum islam.
2.
Sesuatu yang
hukumnya tidak terdapat dalam nash (far’u : cabang)
3.
Hukm syara’
yang terdapat dalam nash berdasar unsur pokok.
4.
Illat, yaitu
sebab
II.7 Al-istikhsan
Al-istikhsan
adlah meninggalkan hukum yang diperoleh melalui qiyas yang jelas (jali) untuk
menjalankan hukum yang tidak jelas (khafi) karena adanya dalil syara’ atau
logika yang membenarkan atau meneruskan meninggalkannya. Pada prinsipnya adalah
meninggalkan hukum yang bersifat umum untuk melaksanakan istisna oleh karena aa
atau terdapat dalil tertentu. Perbedaan pendapat tentang istihsan pada
penggunaanya sebagai dalil sebenarnya prbedaan dalam memberi arti kepada
istihsan itu dari banyak istilah yang dikemukakan tntang istihsan maka yang
paling tepat dan sesuai dengan maksud penolakan imam syafi’i menurut yang
sering di nukilkan itu adalah “ sesuatu cara yang cenderung dan senang perasaan
manusia melakukannya sedangkan pihak lain menganganggapnya baik” atau “
petunjuk atau dalil yang muncul pada diri seseorang mujtahid sedangkan dia
tidak mampu melahirkannya. “
Disamping itu
ditegaskan pula bahwa imam syafi’i berpendapat bila seseorang dibenarkan
menggunakan istihsan ia akan berpendapat orang lain pun bebas menggunakan
istihsan, tentu akan dapat menimbulkan beberapa putusan yang benar atau
beberapa fatwa dalm kasus yang sama. Oleh karena itu imam syafi’i menetapkan
tidak boleh memutuskan berdasrkan istihsan. Yang dibenarkan hanya menggunakan
ijtihad dengan qiyas, bila dalam suatu kejadian tidak ditemukan nash dalam
bentuk al-quran maupun al-sunnah.
Dalam istihsan
pada suatu peristiwa terdapat dalil untuk dipilih. Untuk itu seorang mujtahid
salh satu dalil yang jelas atau kuat untuk menjalankan dalil yang tidak jelas
disebabkan adanya sesuatu hal. Istihsan berbeda dengan qiyas sebab dalamqiyas
tentang sesuatu belum ada baik berupa nash atau ijma’ karena adanya hukum, maka
peristiwa atau hal dipersamakn dengan peristiwa yang sudah ada hukumnya. Karena
adanya persamaan illat sedangkan dalam istihsan hukumnya sudah ada bahkan ada
dua hukum yang harus dipilih.
Dalam istihsan
ada dua aspek penting yaitu:
- Aspek yang
ditinggalkan dan dalil yang dipakai
- Aspek
dalil yang dijadikan landasan dasar istihsan.
Meninggalkan
dalil yang umum dan menggunakan dalil yang khusus karena adanya darurat.
Contoh : kasus
seperti tersebut dalam (QS. Al-Maidah : 38) tentang pengecualian potong tangan
bagi pencuri karena keadaan yang tidak memungkinkan seerti dalam keadaan atau
musim kelaparan. Hal ini pernah diperatekkan umar bin khatab yang berati
menyalahi dari kandungan surat Al-Maidah ayat : 38 yaitu :
38.”
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan kedua saya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
allah. Dan allah maha perkasa lagi maha bijaksana (QS. Al-Maidah : 38).
II.8 Al-Maslahah Mursalah
Maslahah
mursalah atau lengkapnya “ al-masalihul mursalah berarti kemaslahatan yang dilepaskan.
Maslahah mursaah adalah kebaikan atau kemaslahatan yang tidak
disinggung-singgung syara’ mengenai hukumnya, baik di dalam mengerjakan atau
meninggalkannya akan tetapi dikerjakannya, akan tetapi dikerjakan akan membawa
manfaat dan menjauhkan kemudhoratannya, bahkan kemudhorotan tersebut dapat
hilang sama sekali.
Syarat maslahat
mursalah yaitu :
- Hanya
berlaku dalam bidang muamalah jadi tidak berlaku dibidang aqidah dan
ibadah.
- Tidak
bertentangn dengan maksud hukum islam atau salah satu dalilnya yang sudah
dikenal ( dalam hal ini Al-Quran dan hadist nabi)
- Ditetapkan
karena kepentingan yang jelas dan sangat diperlukanmasyarakat yang luas.
Menurut A.
Hanafi di dalam pengantar dan sejarah hukum islam ditegaskan bahwa:
“maslahat mursalah ialah
pembinaan (penetapan hukum berdasarkan maslahat (kebikan,kepentingan) yang
tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan secara umum atau secara
khusus.”
Oleh karena itu
maka maslahat tersebut di namai “ mursal” artinya terlepas dengan tidak
terbatas. Akan tetapi jika sesuatu maslahat telah ada ketentuan dari syara’
yang menujuk kepadanya secara khusus, seperti penulisan Qur’an karena
dikhawatirkan akan tersia-sia atau seperti membrantas buta huruf (mengajarkan
menulis dan membaca), atau ada nash umum yang menunjukkan macamnya maslahat
yang harus dipertimbangkan, seperti wajibnyamencari dan menyiarkan ilmu
pengetahuan pada umumnya, atau seperti amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka
maslahat-masahat trsebut tidak lagi disebut maslahat mursalah, dan penetapan
hulkumannya didasarkan atas nash bukan didasrkan atas aturan maslaht mursalah.
II.9 Al-‘Urf
“urf diakui
keberadaannya di dalamenentukan hukum, terutama dalam menghadpi lafal-lafal
yang bersifat umum. Untuk maksud tersebut, mujtahid harus berusaha
mendapatkannya. Billa tidak mungkin mendapatkannya daklam al-quran dan sunnah
dapat di tempat cara lain diluar dua dalil tersebut,diantara ‘urf atau adat.
Kebanyakan ulama menggunakan dalil ‘urf atau adat sebagai dalil takhsin. Karena
fungsi dari takhsis itu adalah menjelaskan, maka ini berarti bahwa nash (teks)
yang umum dalam al-quran atau sunnah
dapat dijelaskan atau dipahami menurut pemahaman ‘urf atau adat. Sehingga tidak
perlu heran jika banyak ayat-ayat yang maksudnya umum berlaku universal di
pahami.
Sedangkan madzhab
hanafi meletakkan ‘urf sebagai salah satu hukum madzhabnya. Yang disimpulkan
oleh abdullah siddik yang menegaskan bahwa:
- Qur’an
- Sunnah
rasul atau hadist. Hadist yang diterima adalah hadit mutawir dan hadist
masyhur. Hadist ahad(sanad tunggal) di tolak,mereka lebih abik
mendahulukan qiyas daripada menggunakan hadist ahad.
- Fatwa-fatwa
para sahabat didahulukan dari qiyas
- Qiyas
- Istihsan
(menjalankan keputusan pribadi, yang tidak didasarkan pada qiyas, tetapi
didasarkan kepada kepentingan umum atau kepentingan keadilan. Contoh
maslah musyatarakah dalm hukum waris (fara’id) tidak memberikan pusaka
kepada para saudara lelaki sekandung dengan jalan berserikat dengan para
saudara lelaki seibu adalh atas dasar qiyas. Sedangkan memberi pusaka
kepada para saudara lelaki dengan jalan menerima faraidh sudara-saudara
lelaki seibu yang sepertiga itu apabila dhu-faraid menghabisi harta
peninggalan, hingga tak ada yang tinggal untuk saudara lelaki saudara
sekandung sebagainashabah adalah atas dasr istihsan.
- Adat yang
telah berlaku di dalam masyarakat, apabila tidak bertentangan dengan Quran
dan sunnah rasulnya.
II.10 Al-istihab
Istilah istihab
memiliki arti tersendiri, sedangkan dalam ilmu ushul sendiri, menetapkan hukum
sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang
merubahnya. Pada dasarnya istihab adalah menjadikan hukum tentang sesuatu hal
yang telah ada sejak semula tetap berlaku sampai adanya peristiwa berikutnya,
kecuali ada dalil yang mengubah hukum itu.
Istihab
merupakan salah satu cara dari istidlal,istihab dapat dibagi ke dalam dua jenis
yaitu:
- Istihab
kepada hukum akal dalam predikat”boleh” istihab ini berdasarkan atas
prinsip bahwa asal sesuatu itu boleh. Karena itu kalau tidak ada dalil
pelarangan atau suruhan, maka sesuatu itu di hukumi boleh atau mubah.
- Istihab
kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada sesuatu dalil
yang merubahnya.
B.
Al-ahkam al-khamsah
Istilah Ahkam berasal dari bahasa
Arab yang merupakan jamak dari kata hukum Khamsah artinya lima. Adapun
arti ‘’al-hukmu’’ adalah menetapkan suatu hal atau perkara terhadap suatu hal
atau perkara. Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima ketentuan. Pada
dasarnya ‘’ahkamul khamsah erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Oleh karena
itu, gabungan kedua kata dimaksud (Al-ahkam Al-khamsah) atau biasa juga disebut
hukum taklifi. Hukum taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf
atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam
bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk larangan. Hukum taklifi di maksud,
mencakup lima macam kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan
tingkah laku manusia dalam hukum islam yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib,
dan haram. Lain halnya hukum wadh’I yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat,
halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum. Al-ahkam
al-khamsahakan dijelaskan sebagai berikut:
1. Jaiz atau mubah
Jaiz atau mubah adalah sesuatu
perbuatan yang dibolehkan untuk memilih oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada
manusia mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakan atau meninggalkan (sesuatu
yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan kalau ditinggalkan tidak dapat
pahala dan tidak berdosa ). Hal ini dalam pembahasan asas hukum Islam (ushul
fiqh) disebut hukum takhyiri. Ketentuan mubah biasanya dinyatakan dalam tiga
bentuk, yaitu meniadakan dosa bagi sesuatu perbuatan, pengungkapan halal bagi
suatu perbuatan dan tidak ada pernyataan bagi sesuatu perbuatan.
Contohnya:melakukan gerak badan di
pagi hari, seorang laki-laki boleh menikahi dua orang,tiga dan empat orang
perempuan sebagai istrinya selama ia mampu berbuat adil.
2. Sunnah (mandub)
Sunnah (mandub) adalah sesuatu
perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada manusia mukallaf
(aqil-baligh). Namun bentuk anjuran itu diimbangi dengan pahala kepada orang
mukallaf yang mengerjakannya dan tidak mendapat dosa bagi yang meninggalkannya.
Sunnah (mandub) ini terbagi menjadi
tiga yaitu: sunnah muakkad, sunnah zaidah, dan sunnah fadhilah. Ketiga bentuk
sunnah dimaksud akan diuraikan sebagai berikut
·
Sunnah muakkad yaitu suatu ketentuan
hukum islam yang tidak mengikat tetapi penting. Karena Rasulullah saw. senantiasa
melakukannya, dan hampir tidak pernah meninggalkannya atau dengan ketentuan
kalau perintah sunnah itu dikerjakan, ia dapat pahala sebaliknya kalau tidak dikerjakan tidak
berdosa.
Contohnya: azan sebelum salat,
member sedekah, salat jamaah untuk salat fardhu, dan dua salat hari raya yakni
idhul fitri dan idhul Adha.
·
Sunnah zaidah yaitu ketentuan hukum
islam yang tidak mengikat dan tidak sepenting sunnah muakkad. Sebab, Nabi
Muhammad biasa melakukannya dan sering juga meninggalkannya.
Contohnya: puasa senin dan kamis,
bersedekah kepada fakir miskin.
·
Sunnah fadhilah yaitu ketentuan
hukum yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad dari segi kebiasaan-kebiasaan
budayanya.
Contohnya: tata
cara makan, minum, dan tidur dan sebagainya.
3. Makruh
Makruh (tercela) adalah sesuatu
perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada manusia mukallaf
(aqil-baliqh). Namun bentuk larangan itu tidak sampai kepada yang haram.
Contohnya: masuk rumah orang dengan
tidak mengucapkan salam, ketika melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan
memperlambat berbuka puasa.
4. Haram
Haram adalah larangan keras dengan
pengertian kalau dikerjakan akan berdosa atau dikenakan hukuman dan jika
ditinggalkan akan mendapat pahala
Contohnya: berzina, minum yang
memabukkan, mencari, menipu dan sebagainya.
5. Wajib
Wajib menurut hukum islam adalah
sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia mukallaf (aqil-baligh)
untuk mengerjakannya, mesti dikerjakannya ia mendapat pahala, sebaliknya bila
ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan hukuman.
Contohnya: melaksanakan salat 5
waktu yang telah diperintahkan oleh Allah, puasa di bulan ramadhan dll.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan
pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi
Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih
sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan
Hadist. Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan
dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun,
maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
Ahkamul khamsah artinya
ketentuan atau lima ketentuan. Pada dasarnya ‘’ahkamul khamsah erat kaitannya
dengan perbuatan manusia. Oleh karena itu, gabungan kedua kata dimaksud
(Al-ahkam Al-khamsah) atau biasa juga disebut hukum taklifi. Hukum taklifi
adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang
oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban,
maupun dalam bentuk larangan. Hukum taklifi di maksud, mencakup lima macam
kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia
dalam hukum islam yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib, dan haram.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Zainuddin,
2006, Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Sudarsono,
http://abang-sahar.blogspot.com/2012/11/makalah-sumber-hukum-islam.html