A. SEBELUM KEMERDEKAAN
1. Birokrasi Keagamaan
Oleh karena
penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para pedagang,
pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan-pelabuhan penting di
Sumatera, Jawa, dan pulau lainnya. Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama berdiri
juga di daerah pesisir. Demikian halnya dengan kerajaan Samudra Pasai, Aceh,
Demak, Banten dan Cirebon, Ternate, dan Tidore. Dari sana kemudian, Islam
menyebar ke daerah-daerah sekitar. Begitu pula yang terjadi di Sulawesi dan
Kalimantan. Menjelang akhir abad ke-17, pengaruh Islam sudah hampir merata di
berbagai wilayah penting di Nusantara.
Di samping
merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, ibu kota kerajaan juga merupakan
tempat berkumpul para ulama dan mubalig Islam. Ibn Batuthah menceritakan,
sultan kerajaan Samudera Pasai, Sultan Al-Malik Al-Zahir, dikelilingi oleh
ulama dan muballig Islam, dan raja sendiri sangat menggemari diskusi mengenai
masalah-masalah keagamaan.' Raja-raja Aceh mengangkat para ulama menjadi
penasihat dan pejabat di bidang keagamaan. Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M )
mengangkat Syaikh Syamsuddin Al-Sumatrani menjadi mufti (qadhi Malikul Adil)
kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) mengangkat syaikh Nuruddin Al-Raniri
menjadi mufti kerajaan dan Sultanah Saefatuddin Syah mengangkat Syaikh Abdur
Rauf Sinkel.
Kedudukan ulama
sebagai penasihat raja, terutama dalam bidang keagamaan juga terdapat di
kerajaan-kerajaan Islam lainya. Di Demak, penasihat Raden Fatah, raja pertama
Demak, adalah para wali, terutama Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga. Sunan Gunung
Jati (Syarif Hidayatullah) bahkan di samping berperan sebagai guru agama dan
mubalig, juga langsung berperan sebagai kepala pemerintahan. Di Ternate, Sultan
dibantu oleh sebuah badan penasihat atau lembaga adat.Pada umumnya,badan ini
beranggotakan sekelompok ulama, yang selain menjadi penasihat badan peradilan,
juga memberi nasihat kepada raja kalau ia melanggar peraturan.
Di samping sebagai
penasihat raja, para ulama juga duduk dalam jabatanjabatan keagamaan yang
tingkat dan namanya berbeda-beda, antara satu daerah dengan daerah lainnya,
pada umumnya disebut gadhi, meski dengan dialek yang berbeda. Tetapi, penerapan
hukum Islam di satu kerajaan lebih jelas dibandingkan dengan kerajaan lain.
Yang terkuat di antaranya adalah Aceh dan Banten.
2. Ulama dan Ilmu-ilmu Keagamaan
Penyebaran dan
pertumbuhan kebudayaan Islam diIndonesia terutama terletak di pundak para
ulama. Paling tidak, ada dua cara yang dilakukannya Pertama, membentuk
kader-kader ulama' yang akan bertugas
sebagai muballig daerah-daerah yang lebih luas Cara ini dilakukan di dalam
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren di Jawa, dayal
di Aceh, dan suara di Minangkabau. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar dan
dibaca di berbagai tempat yang jauh karya-karya tersebut mencerminkan
perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu. Pada
abad ke-16 dan 17, banyak sekali bermunculan tulisan-tulisan para cendekiawan
Islam di Indonesia. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyatakan, abad abad itu
menyaksikan suatu kesuburan dalam penulisan sastra filsafat, metafisika, dan
teologi rasional yang tidak terdapat tolok bandingnya di mana-mana di zaman apa
pun di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa, ketika tradisi
pemikiran Islam mulai terbentuk di kepulauan Indonesia ini, di pusat dunia Islam,
bidang pemikiran itu telah mapan. Bahkan di sana dikenal dengan masa kebekuan,
masa kemunduran pemikiran dalam bidang agama karena digalakkannya taklid. Dunia
pemikiran yang berkembang di Indonesia, bagaimanapun, mempunyai akar pada tradisi
pemikiran yang telah berkembang di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.
Ilmuwan
Muslim terkenal pertamadi Indonesiaadalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi
terkemuka yang berasal dari Fansur (Barus), Sumatera Utara. Karyanya yang
terkenal berjudul Asrärul-'Arifin fi Bayan ila Sulik wa al-Tauhid, suatu uraian
singkat tentang sifat-sifat dan inti ilmu kalam menurut teologi Islam. Karyanya
yang bersifat mistik (tasawuf adalah Syair Perahu. Karya-karyanya yang lain, di
antaranya adalah Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi dan Syarabal
Asyikin. Pemikiran tasawufnya dipengaruhi oleh paham wahdat al wujud Ibn Arabi dan
juga pemikiran tasauf Al-Hallaj. Paham yang dikembangkan Hamzah Fansuri ini di
Aceh dikenal dengan sebutan wujudiyah atau martabat tujuh. Menurutnya, yang
disebut wujud itu hanya satu, meskipun kelihatannya banyak. Wujud yang satu itu
mempunyai dua dimensi, dimensi batin (isi) an dimensi lahir (kulit) Semua benda
yang tampak itu merupakan manifestasi dari dimensi batin, yaitu wujud yang
hakiki, yang tiada lain adalah Allah, wujud yang hakiki itu mempunyai tujuh
martabat, yaitu (a) Ahadiyah, hakikat sejati Allah, (b) wahdah, hakikat
Muhammad, wahidiyah, hakikat Adam, (d) alam arwah, hakikat nyawa, (e) alam
mitsal, hakikat segala bentuk, alam ajsän hakikat tubuh, dan (g) alam insan,
hakikat manusia. Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu ahadiah, itulah
Allah.
Syamsuddin
Al-Sumatrani, seperti disebut di muka, adalah muridnya. Syamsuddin mengarang
buku berjudul Mir'atul Mu'minin (Cermin Orang Beriman) pada tahun 1601 M. Buku
itu berisi tanya jawab tentang ilmu kalam.
Ulama aceh lainnya
yang banyak menulis buku adalah Nuruddin Al-Raniri. Ia berasal dari India,
keturunan Arab Quraisy Hadramaut. Dia tiba di Aceh pada tahun 1637 M. Al-Raniri
dikenal sebagai orang yang sangagiat membela ajaran ahlussunnah waljamaah.
Menurut catatan Ahmad Daudi, karyanya yang sudah diketahui dengan pasti
berjumlah 29 buah, yang meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu
fiqih, hadis, akidah, sejarah, tasawuf, dan sekte-sekte agama." Di antara
karyakaryanya itu adalah al-Shirdrh, al-Mustaqim berisi uraian tentang hukum,
Bustän al-Salathin, berisi sejarah dan tuntunan bagi para penguasa dan raja,
dan Asrar al-Insan fi Ma'rifati al-Riuh wa al Rahman yang merupakan karya dalam
ilmu kalam, Tibyan fi Ma'rifat al-Adyan berisi perdebatannya dengan kaum
wujiadiyah, dan al-Lama ah fi Takfir man Qala bi Khalq al-Qur'an yang juga merupakan
bantahan terhadap pendapat Hamzah Fansuri bahwa Alqur'an itu makhluk.
Karya-karya Al-Raniri mencerminkan pemikirannya
yang tidak sejalan dengan pemikiran Hamzah Fansuri yang menganut faham
wujüdiyah. Dia berusaha melenyapkan pemikiran Hamzah Fansuri tersebut. Dalam
dunia tasawuf,paham Al-Raniri biasanya dianggap moderat, bahkan dalam banyak
hal lebih cocok dengan ilmu kalam daripada dengan tasawuf sendiri.
Penulis lainnya
yang juga berasal dari Kerajaan Aceh adalah Abdurrauf singkel yang mendalami
ilmu pengetahuan Islam di Mekah dan Madinah. Dia menghidupkan kembali ajaran
tasawuf yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui tarekat
Syattariah yang diajarkannya, walaupun dengan ungkapan dan metafor yang
berbeda.
Kitab-kitab suluk
di Jawa, sebagaimana karya-karya Hamzah Fansuri di Aceh, bersifat mistik yang
terambil dari tradisi mistik (tasawuf) Islam. Paham sufisme di Jawa memang
diserap dari kesusastraan Melayu karya-karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani,
Abdurrauf Singkel, dan juga Nuruddin Al-Raniri. Pemikiran Islam pada abad ke-16
dan 17 M di Indonesia memang banyak sekali diwarnai oleh pemikiran tasawuf.
Selain melalui karya-karya ulama Aceh itu, paham wujudiyah tersebar ke Jawa melalui
penyebaran tarekat Syattariah murid-murid Abdurrauf singkel. Di antaranya
adalah Abdul Muhyi pengarang kitab Martabat Kang Pitutu (Martabat yang Tujuh),
seorang wali yang dikeramatkan di daerah Priangan dan dari daerah ini tarekat
Syattariah menyebarkan ke Cirebon yang menjadi pusat kesultanan. walaupun
sebenarnya di Jawa sudah muncul karya mistik yang mempunyai paham hampir sama,
terbukti dengan ditemukannya karyasunan Bonang, Suluk Wujil, tetapi diduga
tersebarnya karya-karya sastra dalam bentuk serat suluk yang isinya mengandung ajaran
tasawuf wujudiyah atau martabat tujuh adalah setelah karya Abdul Muhyi
tersebut. Dari pengaruh Cirebon inilah kemudian pujangga-pujangga Surakarta
menggubah karya-karya serat suluk yang kaya akan ajaran etika dan tasawuf,
seperti Ronggowarsito dengan karyanya Wirid Hidayat Jati.
Di Sulawesi,
pemikiran tasawuf yang sama juga yang lama berkembang terutama melalui Yusuf
Makassar (1626-1699) yang lama belajar di Timur Tengah. Menurut Tujimah,
karya-karyanya kebanyakan dalam bidang tasawuf itu diperkirakan berjumlah 20 buah
dan sekarang masih dalam bentuk naskah yang belum diterbitkan.
Pada abad ke-19 M,
pemikiran tasawuf mulai bergeser ke pemikiran fiqih seperti tergambar dalam
karya-karya ulama pada masa itu. Di antara ulama-ulama yang produktif menulis
adalah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812) yang menulis kitab Sabilul
Muhtadin, sebuah kitab fiqih, dan kitab Perukunan Melayu: Haji Ahmad Ripangi
(1786-1875) dari Kalisasak yang menulis banyak buku, diantaranya adalah Husnul
Mathalib, Asnal Maqashid, Jam'ul Masa il. Abyánul Hawai ij, dan Ri'ayatul Himmah,
yang umumnya membahas ushuluddin, fiqih, dan tasawuf, Syaikh Nawawi Banten,
menulis tidak kurang dari 26 buah buku, yang terkenal di antaranya adalah
Al-Tafsir Al-Munirls dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (860-1916) yang juga sangat
produktif menulis: salah satu tulisannya yang terkenal adalah Izharul Zaghlil
Kadzibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin yang berisi tantangan terhadap ajaran
tarekat.
3. Arsitek Bangunan
Oleh karena
perbedaan latar belakang budaya, arsitektur bangunan-bangunan Islam di
Indonesia berbeda dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Hasil-hasil seni
bangunan pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain
masjid masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kase puhan di Cirebon, Mesjid
Agung Banten, Baiturrahman di Aceh dan di daerah-daerah lain. Masjid-masjid itu
menunjukkan keisti mewaan dalam denahnya yang berbentuk persegi empat atau
bujur sangkar dengan bagian kaki yang tinggi serta pejal, atapnya bertumpang
dua, tiga, lima atau lebih, dikelilingi parit atau kolam air di bagian depan
atau sampingnya yang berserambi. Bagan bagan lain, seperti mihrab dengan
lengkung pola kalamakara mimbar yang mengingatkan akan ukiran-ukiran pola
teratai, mastaka atau memolo, menunjukkan seni-seni bangunan tradisionalyang
telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam.
Beberapa mesjid
kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru
pada zaman IndonesiaHindu. Ukiran-ukiran pada mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara,
mihrab, bentuk beberapa mastaka atau memolomenunjukkan hubungan yang erat
perlambang meru, kekayon gunungan atau gunung tempat dewa-dewa yang dikenal dalam
cerita keagamaan Hindu. Beberapa ukiran pada masjid kuno di Mantingan, Sendang
Duwur, menunjukkan pola yang diambil dari dunia tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
diberi corak tertentu dan mengingatkan kepada pola-pola ukiran yang sudah
dikenal pada Candi Prambanan dan beberapa candi lainnya.
Selain dari itu,
pada pintu gerbang, baik di keraton-keraton maupun di makam orang-orang yang
dianggap keramat yang berbentuk candi-bentar, kori agung, jelas menunjukkan
corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula, nisan nisan
kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon, dan Banten
menunjukkan unsur-unsur seni ukir dan perlambang pra-Islam. Di Sulawesi,
Kalimantan, dan Sumatera terdapat beberapa nisan kubur yang lebih menunjukkan
unsur seni Indonesia pra-Hindu dan pra-Islam.
B. SETELAH KEMERDEKAAN
1. Departemen Agama
Sebagaimana telah disebutkan,
sejak awal kebangkitan nasinal, posisi agama sudah mulai dibicarakan dengan
politik atau negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang
bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, negara Indonesia
merdeka hendaknya merupakan sebuah negara "sekuler”,negara yang dengan
jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di negara
Turki dan Mustafa Kamal. Golongan lainnya berpendapat, negara Indonesia merdeka
adalah "negara Islam". Kedua pendapat itu terlihat misalnya, sebelum
kemerdekaan, dalam polemik antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan
M. Natsir di akhir tahun 1930-an dan awal 1940-an; diskusi dan perdebatan di dalam
sidang-sidang BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta. Setelah kemerdekaan,
persoalan itu juga terangkat kembali di dalam sidang-sidang konstituante hasil
pemilihan umum 1955 M yang berakhir dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1959, yaitu kembali kepada UUD 1945.
Meskipun persoalan itu belum
selesai dipecahkan, tampak nya para pemimpin bangsa Indonesia sudah bergerak
jauh ke dapan, memikirkan alternatif jalan tengah" dari dua pendapat
tersebut. Mereka menganjurkan suatu negara yang mempunyai dasar keagamaan secara
umum dan pemerintah mengakui nilai ke agamaan yang positif, karena itu akan
memajukan kegiatan ke agamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama
didirikan.
Departemen Agama (dulu namanya
Kementerian Agama) didirikan pada masa Kabinet Syahrir yang mengambil keputusan
tanggal 3 Januari 1946 untuk memberikan sebuah konsesi kepada kaum Muslimin.
Menteri agama pertama adalah M. Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret
1946. Usaha untuk mendirikan itu mulanya mendapat halangan dari para perumus
UUD 1945, ketika PPKI mengadakan rapat tanggal 19 Agustus 1945. Akan tetapi,
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),pada tanggal 11 November 1945
mengusulkan pendiriannya. Usul itu diprakarsai oleh K.H Abudardiri, K.H.Saleh
Saleh Su’aidi,dan M. Sukoso Wirojosaputro,kesemuanya adalah anggota KNIP dari
daerah Banyumas. Usul itu mendapatkan dukungan dukungan dari M.Natsir,Dr.Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan
M.Karto sudarmo (semuanya anggota KNIP) dan disetujui oleh badan legislatif
tersebut. Dapat dikatakan,bahwa berdirinya Departemen Agama merupakan
penyesuaian pihak pemerintah kala itu dengan keinginan mayoritas Muslim.
Sebelum terbentuknya kementerian
ini, ada pembahasan mengenai apakah kementerian ini akan dinamakan Kementerian
Agama Islam ataukah Kementerian Agama Islam atau kementrian Agama yang
pertama-tama mempunyai tiga seksi dan kemudian empat seksi, masing-masing untuk
kaum muslimin, umat Protestan, umat Katolik Roma, dan umat Hindu-Budha (dulu
disebut agama Hindu Bali). Karena ia tidak mengatur hanya satu Agama,tetapi
lima agama yang di akui di Indonesia ,maka,pemimpin politik Indonesia
mengatakan, bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan juga negara
agama. Dasar pertama dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dianggap
memadai untuk membenarkan adanya Departemen Agama ini.
Walaupun pada awalnya, bahkan
sampai akhir-akhir ini,banyak komentar yang saling bertentangan tentang
kementerian ini, B.J.Borlan berpendapat, secara bertahap makna positif ini dari
kementerian ini akan tampil kemuka.Makna positif ini meliputi seperti berikut:
(1) bahwa kementerian itu mena-warkan kemungkinan agama, khususnya agama Islam,
untuk berperan seefektif mungkin dalam negara dan masyarakat, dan (2) dalam
sebuah negeri yang sangat bercorak Muslim, kementerian ini merupakan suatu
jalan tengah antara negara sekular dan negara islam. Bahkan menurutnya, dalam
tahun-tahun berikutnya banyak orang Islam dan orang bukan Islam saling
mendekati menuju arah penilaian yang bersifat positif. Yang jelas, penduduk
yang beragama Islam memerlukan adanya suatu badan pusat yang akan memper
hatikan kepentingan umat Islam itu.
Masa
Demokrasi Terpimpin yang menimbulkan banyak kekacauan dan ketegangan politik
serta keruntuhan ekonomi, bagi umat Islam, merupakan tahun-tahun kekecewaan dan
frustrasi Akan tetapi, masa yang dipandang buruk itu juga membawa hikmah
sendiri bagi mereka. Sampai tahap tertentu, perhatian telah
dialihkan dari kehidupan politik
kepada masalah-masalah pen-didikan, pengajaran agama, dakwah Islam, latihan
kepemimpinan dan penulisan bahan bacaan. Dalam hal ini, Kementerian agama mulai
memainkan suatu peranan penting.
Dalam
jangka waktu beberapa tahun di awal berdirinya kementerian ini, telah
dikeluarkan berbagai peraturan yang menentukan tugas serta ruang lingkup
kementerian agama. Meskipun ruang lingkupnya tetap sama, rumusannya sudah
beberapa kali berubah. Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada
tahun 1967 adalah sebagai berikut:
1. Mengurus serta mengatur pendidikan
agama di sekolah sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan agama
2. Mengikuti dan memperhatikan hal
yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan
3. Memberi penerangan dan penyuluhan
agama
4. Mengurus dan mengatur peradilan
agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama
5. Mengurus dan memperkembangkan
IAIN,perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi
pendidikan agama pada perguruan-perguruantinggi
6. Mengatur, mengurus, dan mengawasi
penyelenggaraan ibadah haji
Sesuai
dengan perkembangan departemen ini, strukturnya
berkembang, yang semula hanya terdiri dari empat seksi, sekarang tediri
dari lima direktorat jenderal, yaitu: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Urusan Haji,Direktorat Jenderal pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Protestan, dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masya-rakat Hindu
Budha. Menteri agama juga dibantu oleh lembaga Inspektorat Jenderal,
Sekretariat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama serta
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Pegawai.
2. Pendidikan
Sebagaimana telah disebutkan,
salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah
menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa bentuk sejak zaman penjajahan
Belanda. Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah
pesantren yang tersebar di berbagai pelosok. Tidak ada hubungan antara satu
dengan yang lain. Lembaga ini dipimpin oleh seorang ulama atau kiai. Untuk
tingkat lanjutan tidak ada kurikulum yang jelas pada lembaga ini. Kemajuan se
orang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan dan ketekunan
masing-masing
Dengan
berkembangnya pemikiran pembaharuan dalam Islam di awal abad ke-20, persoalan
administrasi dan organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian beberapa
kalangan atau organisasi.kurikulum mulai jelas. Belajar untuk memahami dan
bukan sekadar menghapal, ditekankan, dan pengertian ditumbuhkan itulah yang
dinamakan dengan madrasah. pada umumnya, madrasah ini dibagi menjadi dua
jenjang, yaitu tingkat dasar yang dinamakan dengan madrasah ibtidaiyah selama
5-7 tahun dan tingkat lanjutan yang dinamakan madrasah tsanawiyah selama 3-5 tahun
23 Di sekolah-sekolah menengah yang berbahasa Belanda seperti MULO dan AMS pada
tahun 1930-an diajarkan juga pelajaran agama. Hal yang sama juga berlaku pada
zaman pendudukan Jepang bahkan lebih teratur.
Setelah Indonesia merdeka,
terutama setelah berdirinnya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam
mulai ndapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam
bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini
juga mendesak pemerintah agarmemberikan bantuan kepada madrasah. Departemen
Agama dengan segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan
pendidikan agama Islamdan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan
mengawasi pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan
latihan 90 guru agama, 45 orang di antaranya kemudian diangkat sebagai guru
agama. Pada tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo.
Haji Mahmud Yunus, seorang lulusan
Kairo yang di zaman Belanda memimpin Sekolah Normal Islam di Padang, menyusun rencana
pembangunan pendidikan Islam. Ketika itu, ia mengepalai seksi Islam dari Kantor
Agama Provinsi. Dalam rencananya Ibtidaiyah selama 6 tahun, Tsanawiyah Pertama
4 tahun, dan Tsanawiyah Atas 4 tahun. Gagasannya ini dilaksanakan di Lampung
(waktu itu keresidenan) tahun 1948. Sementara itu, Aceh menyelenggarakan
rencananya sendiri. Banyak sekolah-sekolah swasta di daerah ini dijadikan
negeri, sekurang-kurangnya memperoleh subsidi dari pemerintah. Mahmud Yunus
juga menyarakan agar pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah umum yang
disetujui oleh konperensi pendidikan se-Sumatera di Padang Panjang, 2 10 Maret
1947.Akan tetapi, semua yang sudah dirintis itu, mengalami kemandegan karena
terjadinya aksi militer Belanda kedua. Setelah revolusi selesai, usaha untuk
mengkoordinasi sekolah-sekolah agama dimulai kembali, bukan saja untuk Jawa dan
Sumatera melainkan seluruh Indonesia. Setelah itu, banyak lembaga pendidikan
agama yang didirikan, seperti Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (4
tahun), Aliyah (3 tahun), Sekolah Guru Agama Islam (5 tahun bagi lulusan
Sekolah Dasar baik umum maupun agama, 2 tahun bagi lulusan SMP atau
Tsanawiyah),Sekolah Guru, dan Hakim Agama Islam/SGHA (4 tahun bagi lulusan SMP
atau Tsanawiyah). Dua sekolah yang terakhir mengalami perubahan pada tahun
1953. PGA menjadi 6 tahun, 4 tahun bagian pertama dan 2 tahun bagian atas.
Sedangkan, SGHA dihapuskan tahun 1954 dan digantikan dengan Pendidikan Hakim Islam
Negeri/PHIN (4 tahun bagi lulusan PGA 4 tahun).
Demikianlah, beberapa sekolah agama Islam yang direncana kan dan
didirikan oleh Departermen Agama. Sementara itu perguruan Islam swasta dalam
bentuk lain masih saja berjalan Bentuk-bentuk lembaga pendidikan Islam swasta
itu adalah sebagai berikut 27 Pertama, pesantren Indonesia klasik, seperti
telahdisebutkan. Kedua, madrasah diniyah (sekolah agama), yaitu Sekolah-sekolah
yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7
sampai 20 tahun. Pelajaran berlangsung di dalam kelas, kira-kira 10 jam
seminggu, di waktu Sore pada sekolah dasar dan sekolah menengah. Ketiga,
madrasa madrasah swasta, biasanya mata pelajaran dan sistem pengajaran nya sama
dengan madrasah negeri.
Departemen Agama menganjurkan agar
pesantren tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara
klasikal memakai kurikulum yang tetap, dan memasukkan mata pelajaran rasah
tersebut umum di samping agama, sehingga murid di madrasah tersebut mendapat
pendidikan umum yang sama dengan murid di sekolah umum. Dalam rangka ini
Departemen Agama hanya memberikan bantuan kepada madrasah yang juga
memperhatikan pendidikan umum .persoalan mutu
keluaran sekolah-sekolah agama ini masih sering mendapat sorotan,
terutama kemampuan berbahasa Arab. Untuk itu, Departemen Agama mendirikan
beberapa Madrsah Aliyah Program Khusus yang diharapkan dapat menjadi contoh
bagi Madrasah-madrasah Aliyah yang lain.
Berkenaan
dengan perguruan tinggi Islam, kaum Muslimin di ndonesia sejak awal sudah
berpikir untuk membangunnya Mahmud Yunus membuka Islamic College pertama
tanggal 9 Desember 1940 di Padang, yang terdiri dari Fakultas Syariah dan
Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Tujuannya adalah, untuk mendidik ulama.
Universitas
Islam Indonesia (UII) adalah perguruan tinggi Islam pertama yang memiliki
fakultas-fakultas non-agama. Dengan demikian, ia dapat memberi contoh tentang
perkembangan universitas-universitas Islam di Indonesia. 29 Ia bermula di awal
tahun 1945, di saat Masyumi memutuskan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta. Sebuah panitia persiapan di bawah pimpinan Mohammad Hatta, wakil
presiden RI pertama mengerjakan rencana pelaksanaannya. Pada mulanya, lembaga
ini diidirikan untuk melatih ulama-ulama yang berpendidikan baik,yaitu orang
yang telah mempelajari Islam secara luas dan mendalam dan memperoleh standar
pengetahuan umum yang memadai seperti dituntut oleh masyarakat. Studi di
lembaga ini pada mulanya berlangsung selama dua tahun sampai mencapai gelar
sarjana muda ditambah dua tahun lagi untuk memperoleh gelar sarjana. Kuri
Kulumnya terutama di dari Fakultas Teologi (tingkat tinggi) dari Universitas
Al-Azhar di Kairo, yang dirancang tahun 1936.
Dengan
bantuan dari pemerintah pendudukan Jepang, lembaga ini dibuka tanggal 8 Juli
1945 di Jakarta. Tidak lama setelah itu,lembaga ini ditutup karena
gedung-gedung dikuasai oleh pasukan sekutu dan dibuka kembali tanggal 10 April
1946 di Yogyakarta Mula-mula, ada dua jenis kursus yang dibuka, yaitu ilmu
agama dan ilmu masyarakat. Pada bulan November 1947, lembaga ini diubah menjadi
universitas dengan empat fakultas, yaitu Syariah Hukum, Pendidikan, dan Ekonomi
(kemudian ditambahkan Fakultas Teknik). Pada tanggal 22 Januari 1950 sejumlah
pemimpin Islam mendirikan sebuah universitas Islam di Solo dan 20 Februari 1951
kedua universitas Islam di Yogyakarta dan Solo itu disatukan dengan nama
Universitas Islam Indonesia (UII) yang sejak itu mempunyai cabang di dua kota
tersebut. Setelah itu, mulai banyak muncul perguruan tinggi dan universitas
Islam.
Perguruan
tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas fakultas keagamaan mulai
mendapat perhatian kementrian Agama pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus
1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah dan
pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan
nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah pengawasan
Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu
Agama (ADIA) Akademi ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat
yang berdinas dalam pemerintahan (misalnya, dalam Ke menterian Agama) dan untuk
pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan menjadi
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga di bawah Kementerian Agama.
IAIN
ini bermula dengan dua fakultas di Yogyakarta dan dua di Jakarta, tetapi segera
berkembang, sehingga masing-masing mempunyai empat fakultas ushuluddin yang
menekankan segi segi ilmu agama Islam yang bersifat spekulatif, seperti
filsafat tasawuf, perbandingan agama, dan dakwah; syariah yang menekankan
aspek-aspek praktis dari agama, yurisprudensi, tafsir pengetahuan hadis, dan
sebagainya; tarbiyah (pendidikan), yaitu latihan untuk guru agama, Adab atau
ilmu kemanusiaan untuk spesialisasi sejarah Islam serta bahasa Arab secara
khusus. Pada masa selanjutnya, lahir satu fakultas baru, yaitu Fakultas Dakwah IAIN
ini terus berkembang pesat. Pada tahun 1992 ada 14 buah IAIN di dengan fakultas
lebih dari seratus juga bermula dari Jakarta dan Yogyakarta, pada awal tahun l980
an, dibuka Program Pascasarjana IAIN dan beberapa tahun kemu dian IAIN Alauddin
Ujung Pandang dan IAIN Syiah Kuala, Aceh juga membuka program yang sama. Sampai
tahun 1992, Program Pascasarjana IAIN Jakarta sudah mengeluarkan puluhan orang
doktor.
Departemen
Agama juga menangani persoalan pendidikan agama pada sekolah-sekolah
"umum" negeri. Berkenaan dengan itu, disebutkan bahwa pada tahun 1948
partai Masyumi mendesak agar pengajaran agama diwajibkan dalam sekolah-sekolah
negeri tersebut. Hal itu kemudian tertuang dalam Peraturan Pemerintah no. 4
tahun 1950 tentang pendidikan, pasal 20, sebagai berikut: (1) Pengajaran agama
diberikan pada semua sekolah negeri. Pada orang tua yang berkeberatan dapat
memutuskan apakah anak-anak mereka akan mengikutinya atau tidak. (2) Cara
memberikan pengajaran agama yang diadakan dalam sekolah-sekolah negeri akan
dijelaskan dalam peraturan Kementerian Pendidikan bersama dengan Kementerian
Agama. Dalam suatu peraturan lanjutan tanggal 16 Juli 1951, pengajaran agama
ini ditetapkan dua jam seminggu, yang dimulai dari kelas empat Sekolah Dasar
dan berlanjut sampai Sekolah Menengah. Akan tetapi, jika dalam suatu kelas
terdapat kurang dari 10 orang anak yang mempunyai agama yang sama, maka tidak
akan diberikan pengajaran agama tersebut. Dalam Sidang MPRS bulan Juni-Juli
1966, syarat tentang "keberatan orang tua" dicoret, sehingga
pengajaran agama merupakan keharusan bagi seluruh siswa, dengan menyatakan
secara sederhana bahwa "pengajaran agama merupakan mata pelajaran di
sekolah, bagi murid sekolah dasar sampai dengan universitas negeri.
3. Hukum Islam
salah
satu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen
Agama adalah hukum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi
dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat pun
terbatas pada masalah nikah, cerai, dan rujuk; hukum waris (faraidh), wakaf,
hibah, dan baitul mal.
Keberadaan
lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa
kolonial Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, pengadilanagamatidak mengalami
perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah, tetapi
administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam tampak ketat
dan kaku, karena hanya berpegang pada mazhab Syafi'i. Sementara itu, belum ada
kitab undang-undang yang seragam yang dapatdijadikan pegangan para hakimdan
Pengadilan Agama didominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah sekolah
Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syariah di
perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan.
Baru
pada tahun 1974, hukum perkawinan diundangkan setelah Dewan Perwakilan Rakyat
menyetujui pada bulan Desember 1973. Sebenarnya, usaha untuk mengundangkan
peraturan perkawinan secara nasional sudah dimulai sejak tahun 1950 dengan
terbentuknya suatu panitia khusus yang diketuai oleh bekas gubernur Sumatera,
Teuku Mohammad Hasan. Baru pada tahun 1958, hasil kerja panitia ini dibicarakan
dalam Dewan Perwakilan Rakyat, bersama-sama dengan suatu usul rancangan undang-undang
yang dimajukan oleh kalangan nasionalis. Akan tetapi, kedua rancangan itu
dikesampingkan, karena terjadi kemacetan dalam perdebatan di parlemen.
Rancangan Undang-Undang yang sama kemudian disusun kembali tahun 1967 dan 1968.
Kedua rancangan ini dibicarakan dalam sidang DPR tahun 1973,tetapi mengalami
hal yang sama, karena wakil dari golongan Katolik menolak rancangan itu.
Akibatnya, pemerintah menarik kembali kedua rancangan tersebut dan mengusulkan
RUU yang baru pada tanggal 31 Juli 1973. Ketika rancangan ini disidangkan,pihak
Islam merasa keberatan dan beberapa ratus pelajar Islammelakukan protes di
ruang DPR, karena banyak butir-butir RUU yang dianggap bertentangan dengan
ajaran Islam. Di luar siding DPR masalah protes itu dapat diselesaikan dengan
mengubah RUU tersebut, sehingga seluruhnya sesuai dengan tuntutan kalangan
Islam. Yang terakhir inilah yang diundangkan pada bulan Januari 1974 itu.
Pelaksanaan hukum Islam di
Indonesia, meskipun demikian,tetap saja masih sulit dilakukan, karena belum ada
kompilasi apalagi kodifikasi hukum Islam yang dapat dijadikan pegangan. Peraturan-peraturan
hukum Islam yang dijadikan hukum terapan pada Badan Peradilan Agama masih
terpencar di dalam berbagai kitab fiqih klasik yang jumlahnya sangat banyak.
Oleh karena itulah, dalam Repelita IV Bab Hukum ditentukan bahwa Badan Peradilan
Agama harus disempurnakan dalam PelitIV. Untuk itu, pada tanggal 21 Maret 1984
diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Agama yang menetapkan terbentuknya sebuah panitia dengan tugas
menangani pelaksanaan kompilasi 33 Dari panitia ini diha rapkan dihasilkan
Kitab Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan yang benar-benar
sesuai dengan ajaran Islam dan dapat mengatur masyarakat Islam dengan adil.
Cara kerja panitia ini diatur melalui empat jalur: (1) Jalur pengkajian kitab-kitab
fiqih lama. (2) alur ulama, khususnya Ulama fiqi Jalur yurisprudensi, (4) Jalur
studi perbandingan dengan negara negara lain. Dalam hal ini kompilasi hukum
Islam diharapkan dapat memenuhi asas manfaat dan keadilan4 yang berimbang, mengatasi
berbagai masalah khilafiah sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan pada
akhirnya mampu berperan aktif dalam pembinaan hukum nasional. Panitia kompilasi itu telah menghasilkan
tiga buku hukum,masing-masing tentang hukum perkawinan (Buku 1), Hukum Kewarisan
(Buku II), dan Hukum Perwakafan (Buku III).Ketiga buku tersebut dilokakaryakan
pada bulan Februari 1988 dan mendapat dukungan yang luas.
Kemantapan
posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional semakin meningkat setelah Undang
Undang Peradilan Agama ditetapkan tahun 1989. Undang Undang Peradilan Agama ini
merupakan kelengkapan dari UU No. 14/1970 tentang ketentuan ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) UU no. 14/1970 disebutkan:
"kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (a)
Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata
Usaha Negara. Sebagai suatu undang-undang pokok, Undang-undang No. 14/1970
memerlukan undang-undang lain untuk mengatur empat lingkungan peradilan yang
diundangkan dalam UU itu, antara lain UU tentang Peradilan Agama.
Berkenaan
dengan itu, Ismail Suny mengatakan bahwa selama Orde Baru ada tiga undang-undang
yang merupakan tonggak Anggak penting bagi umat Islam, yaitu UU no. 14/1970,
74, dan UU no. 7/1989. Dengan tiga undang-undang tersebut, berlakulah hukum
Islam dalam tata Hukum Nasional di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, dan sedekah.
4. Haji
Indonesia
termasuk negeri yang banyak mengirim jamaah Haji. Di masa penjajahan tahun
kemuncak tahun 1926/1927 ketikaka sekitar 52.000 orang pergi ke Makkah.
Sungguhpun angka itu baru pada tahun-tahun terakhir terlewati,tetapi umumnya dalam
keadaan biasa jumlah jamaah meningkat cepat,karena memang keinginan menunaikan
ibadah haji semakin kuat. Angka tertinggi sampai tahun 1992 tercapai padatahun
1992, yaitu sekitar 107.000 orang jamaah haji Indonesia diberangkatkan.
Sejak
awal tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah, termasuk menteri,
yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah suci. Bahkan, dari kalangan merekalah
amir al-haij (pemimpin jamaah haji) Indonesia ditunjuk.
Semenjak
zaman penjajahan Belanda, umat Islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk
dipergunakan dalam penyelenggaraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham
diedarkan tetapi, selamazaman jajahan, keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia
merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1950, sebuah yayasan, yaitu Yayasan Perjalanan
Haji Indonesia, didirikan diJakarta. Pemerintah memberikan kuasa kepada Yayasan
itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank Haji Indonesia
dan sebuah perusahaan kapal, Pelayaran Muslimin Indonesia (MUSI didirikan.
Tetapi sepuluh tahun kemudian, perusahaan MUSI ini masih saja bertindak sebagai
agen dalam mencarter kapal dari perusahaan asing; MUSI tidak mempunyai kapal
sendiri. Cara ini ditempuh sampai tahun 1962,ketika MUSIdibekukan oleh
pemerintah, mungkin sekali karena pertimbangan politik. Setahun sebelumnya,
pada tahun 1961, Petugas Haji Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan
kemudahan-kemudahan naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota PHI adalah
anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.
Dalam
tahun 1961 itu juga, suatu perusahaan pelayaran baru Perseroan Terbatas
"Arafat" didirikan, dengan modal yang berasal dari para jemaah haji
atau calon jemaah itu sendiri. Selanjutnya, pada tahun 1964, panitia perbaikan
haji diganti dengan badan baru Dewan Urusan Haji. Dewan ini mengajak PHI untuk
kembali mengurus jamaah haji, tetapi campur tangan pemerintah di dalam nya
semakin besar, karena tanggung jawab penyelenggaraan haji terletak pada
pemerintah setempat. Namun semua usaha yang dilakukan itu tidak ada yang
berhasil baik. Setelah Soekarno jatuh tahun 1966, organisasi-organisasi swasta
mulai lagi melakukan kegiatannya menyelenggarakan perjalanan haji. Banyak umat Islam
yang menjadi korban dari kegiatan ini para jamaah ada yang tidak dapat
berangkat atau dibiarkan tanpa layanan dalam perjalanan. ini merupakan salah
satu sebab mengapa pemerintah kemu dian pada tahun 1970 memegang monopoli
perjalanan haji
Di antara alasan mengapa pemerintah melakukan
monopoli dalam perjalanan penyelenggaraan haji adalah sebagai berikut. Pertama,
pemerintah merasa bertanggung jawab atas penyeleng garaan perjalanan haji agar
masyarakat merasa tenteram dan terjamin. Kedua, kemungkinan faktor laba juga
menjadi perhatian pemerintah. Kalau pun hal ini tidak dimaksudkan untuk
dikejar, tetapi sekurang-kurangnya uang masuk secara ekstra dapat juga dicatat.
Uang ini, karena tiap jamaah dibebankan tambahan biaya untuk berbagai dana,
mempermudah usaha pemerintah member kan bantuan kepada berbagai proyek yang
bermanfaat untuk umat Islam, seperti penyelesaian pembangunan masjid Istiqlal
di Jakarta dan pengembangan berbagai lembaga pendidikan seperti pesantren dan
madrasah. Dengan cara ini, pemerintah dapat menumbuhkan kepercayaan di kalangan
masyarakat Islam kepada dirinya
Untuk
meningkatkan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan Tim Pembimbing Haji
Indonesia (TPHD, Tim Pembimbing Haji daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji
Indonesia (TKHI), dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Di samping itu,
pemerintah masih merasa perlu untuk mengangkat Tim Pembimbing Ibadah Haji
(TPIH). Sesuai dengan aspirasi sebagian masyarakat, sejak awal tahun 1980-an,
dikenal adanya Ongkos Naik Haji (ONH) Plus, yang tentu berbeda dengan ONH biasa
dalam hal pelayanan Karena "kelebihan" pelayanan itu, maka biayanya
juga lebih mahal dari ONH biasa. Kelebihan biaya itu bertingkat tingkat sesuai
dengan fasilitas yang akan diterima oleh calon haji nanti Fasilitas itu di
antaranya, seperti tidur di hotel mewah, makan lezat dan terjamin, kendaraan
antar jempur selama berada di tanah cuci ber-AC dan tidak terlalu lama menunggu
di Arab Saudi.40 Pelak sanaan haji dengan ONH Plus itu diserahkan pemerintah
kepada beberapa biro perjalanan yang resmi ditunjuk. Perbedaan pelayan an
antara jamaah haji ONH biasa dengan ONH Plus, sebenarnya baru dirasakan setelah
mereka sampai di Arab Saudi, karena sebelum itu, mereka berangkat dari tempat
dan dengan kendaraan yang sama. Pelayanan yang mungkin berbeda sebelum keberangkatan
adalah ketika para jamaah haji menerima bimbingan manasik haji.
5. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Di
samping Departemen Agama cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan
administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu program pemerintah,
apalagi yang berkenaan dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong
oleh ulama. Karena itu, kerja sama antara pemerintah dan ulama perlu terjalin
dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan
Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan
untuk menjamin keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1958,
diketuai oleh seorang panglima militer. Setelah keamanan sudah pulih dari
pemberontakan DI-TIItahun 1961,Majelis Ulama ini bergerak dalam
kegiatan-kegiatan di luar persoalan keamanan seperti dakwah dan pendidikan.
Majelis-majelis
Ulama di provinsi lain didirikan jauh kemudian, yaitu setelah majelis pusat
berdiri pada bulan Oktober 1962 sesuai dengan keinginan dan instruksi
pemerintah pusat. Di samping untuk tujuan pembinaan mental, rohani, dan agama masyarakat,oleh
pemerintah waktu itu majelis ini dimaksudkan juga untuk ikut ambil bagian dalam
"penyelenggaraan revolusi dan pembangunan semesta berencana" dalam
rangka Demokrasi Terpimpin. Akan tetapi, setelah Soekarno jatuh sebagai akibat
peristiwa Gestapu, baru kegiatan-kegiatan Majelis UlamaDaerah meningkat, terutama
di Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan semua daerah yang
terkenal kuat Islamnya. Meskipun demikian, majelis ini secara nasional tidak
mempunyai kendali dan cara kerja yang sama antara satu daerah dengan daerah
lain karena majelis pusat praktis tidak berfungsi lagi.
Pada tanggal 8 September 1969, di
Jakarta didirikan Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) yang merupakan badan
setengah resmi. Tokoh-tokoh pemerintah, organisasi Islam, serta ilmuwan turut
serta dalam badan ini. Organisasi yang diketuai oleh Letnan Jenderal Sudirman
ini bermaksud meningkatkan kegiatan yang berhubungan dengan dakwah serta
bertindak sebagai konsultan dan perantara antara berbagai organisasi yang sudah
ada. Pada tanggal 26-29 November 1974, PTDI menyelenggarakan Lokakarya Mubalig
se-Indonesia. Salah satu konsensus yang dicapai dalam lokakarya ini adalah
perlu adanya sebuah majelis ulama sebagai wahana untuk membina partisipasi umat
Islam dalam pembangunan. Konsensus itu ternyata mendapat dukungan dariPresiden
Dalam kesempatan menutup secara resmi Lokakarya itu, Presiden Soeharto
menyampaikan amanatnya yang antara lain mengharapkan berdirinya Majelis Ulama
Indonesia." Dalam tahun
1975, usaha-usaha dimulai untuk mendirikan majelis ulama yang baru.
Majelis-majelis ulama di tiap ibu kota provinsi dibentuk atau bagi yang masih
aktif diteruskan dalamgka pembentukan majelis ulama yang baru.
Sementara
itu, di Jakarta dibentuk panitia Musyawara Nasional I Majelis Ulama seluruh
Indonesia. Musyawarah ini sendiri dilangsungkan pada tanggal 21-27 Juni 1975,
dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Ulama propinsi. Ketika itulah majelis ulang yang
baru dinyatakan berdiri dengan nama Majelis Ulama Indonesiasia. Piagam
Berdirinya ditandatangani oleh 26 orang ketua-ketua Majelis Ulama Daerah
Tingkat I, 10 orang ulama unsur organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama
Dinas Rohani Islam AD, AU AL dan POLRI, dan 13 orang ulama yang diundang
secaraperorangan
Dalam
Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disahkan dalam kongres tersebut,
disebutkan bahwa, Majelis Ulama Indonesia berfungsi:
1. Memberi fatwa dan nasihat mengenai
masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya
sebagai amar ma'ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2. Mempererat ukhuwah islamiyah dan
memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antarumat beragama dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa
3. Mewakili umat Islam dalam
konsultasi antarumat beragama.
4. Penghubung antara ulama dan umara
(pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat
guna menyukseskan pembangunan nasional.
Dalam
periode pertama (1975-1980), jabatan ketua umum Majelis Ulama ini dipegang oleh
Prof. Dr. Hamka yang terpilih kembali untuk masa jabatan 1980-1985. Akan
tetapi, Hamka mengundurkan diri dari jabatan itu pada bulan Mei 1981 karena persoalan
fatwa "Natal Bersama". Majelis Ulama mengeluarkan fatwa tentang
haramnya Natal bersama. Menteri Agama waktu itu Alamsyah Ratu Perwiranegara,
kemudian memerintahkan MUI untuk mencabut peredaran fatwa tersebut. Hamka
kemudian mencabut peredarannya tetapi menegaskan bahwa hukumnya tetap tidak
berubah. Tidak lama setelah itu, ia mengundurkan diri. Dia digantikan oleh K.
H. Syukri Ghozali. Namun, yang disebut terakhir ini meninggal dunia pada
tanggal 20 September 1984 sebelum masa jabatannya berakhir. Dia kemudian
digantikan oleh K. H. E. Z. Muttaqin. Jabatan ketua MUI periode 1985-1990 dan periode
1990-1995 dipegang oleh K.H. Hasan Basri.
Majelis
Ulama telah menerbitkan buku-buku kecil yang berkenaan dengan tuntunan bagi
umat Islam dalam berbagai persoalan kehidupan. Kumpulan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, diterbitkan pada tahun 1984 oleh penerbit Pustaka Panjimas.Majelis
Ulama juga menerbitkan majalah bulanan yang bernama Mimbar Ulama. Di akhir
tahun 1991, Majelis Ulama Indonesia menerbitkan buku Sejarah Umat Islam
Indonesia, yang disunting oleh Taufik Abdullah.