Sunday, 28 May 2017

Contoh Makalah SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN DAN SESUDAH KEMERDEKAAN


A. SEBELUM KEMERDEKAAN
1. Birokrasi Keagamaan
            Oleh karena penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera, Jawa, dan pulau lainnya. Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama berdiri juga di daerah pesisir. Demikian halnya dengan kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate, dan Tidore. Dari sana kemudian, Islam menyebar ke daerah-daerah sekitar. Begitu pula yang terjadi di Sulawesi dan Kalimantan. Menjelang akhir abad ke-17, pengaruh Islam sudah hampir merata di berbagai wilayah penting di Nusantara.
            Di samping merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, ibu kota kerajaan juga merupakan tempat berkumpul para ulama dan mubalig Islam. Ibn Batuthah menceritakan, sultan kerajaan Samudera Pasai, Sultan Al-Malik Al-Zahir, dikelilingi oleh ulama dan muballig Islam, dan raja sendiri sangat menggemari diskusi mengenai masalah-masalah keagamaan.' Raja-raja Aceh mengangkat para ulama menjadi penasihat dan pejabat di bidang keagamaan. Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M ) mengangkat Syaikh Syamsuddin Al-Sumatrani menjadi mufti (qadhi Malikul Adil) kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) mengangkat syaikh Nuruddin Al-Raniri menjadi mufti kerajaan dan Sultanah Saefatuddin Syah mengangkat Syaikh Abdur Rauf Sinkel.
            Kedudukan ulama sebagai penasihat raja, terutama dalam bidang keagamaan juga terdapat di kerajaan-kerajaan Islam lainya. Di Demak, penasihat Raden Fatah, raja pertama Demak, adalah para wali, terutama Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) bahkan di samping berperan sebagai guru agama dan mubalig, juga langsung berperan sebagai kepala pemerintahan. Di Ternate, Sultan dibantu oleh sebuah badan penasihat atau lembaga adat.Pada umumnya,badan ini beranggotakan sekelompok ulama, yang selain menjadi penasihat badan peradilan, juga memberi nasihat kepada raja kalau ia melanggar peraturan.
            Di samping sebagai penasihat raja, para ulama juga duduk dalam jabatanjabatan keagamaan yang tingkat dan namanya berbeda-beda, antara satu daerah dengan daerah lainnya, pada umumnya disebut gadhi, meski dengan dialek yang berbeda. Tetapi, penerapan hukum Islam di satu kerajaan lebih jelas dibandingkan dengan kerajaan lain. Yang terkuat di antaranya adalah Aceh dan Banten.
2. Ulama dan Ilmu-ilmu Keagamaan
            Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam diIndonesia terutama terletak di pundak para ulama. Paling tidak, ada dua cara yang dilakukannya Pertama, membentuk kader-kader ulama' yang  akan bertugas sebagai muballig daerah-daerah yang lebih luas Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren di Jawa, dayal di Aceh, dan suara di Minangkabau. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh karya-karya tersebut mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu. Pada abad ke-16 dan 17, banyak sekali bermunculan tulisan-tulisan para cendekiawan Islam di Indonesia. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyatakan, abad abad itu menyaksikan suatu kesuburan dalam penulisan sastra filsafat, metafisika, dan teologi rasional yang tidak terdapat tolok bandingnya di mana-mana di zaman apa pun di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa, ketika tradisi pemikiran Islam mulai terbentuk di kepulauan Indonesia ini, di pusat dunia Islam, bidang pemikiran itu telah mapan. Bahkan di sana dikenal dengan masa kebekuan, masa kemunduran pemikiran dalam bidang agama karena digalakkannya taklid. Dunia pemikiran yang berkembang di Indonesia, bagaimanapun, mempunyai akar pada tradisi pemikiran yang telah berkembang di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.
                        Ilmuwan Muslim terkenal pertamadi Indonesiaadalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi terkemuka yang berasal dari Fansur (Barus), Sumatera Utara. Karyanya yang terkenal berjudul Asrärul-'Arifin fi Bayan ila Sulik wa al-Tauhid, suatu uraian singkat tentang sifat-sifat dan inti ilmu kalam menurut teologi Islam. Karyanya yang bersifat mistik (tasawuf adalah Syair Perahu. Karya-karyanya yang lain, di antaranya adalah Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi dan Syarabal Asyikin. Pemikiran tasawufnya dipengaruhi oleh paham wahdat al wujud Ibn Arabi dan juga pemikiran tasauf Al-Hallaj. Paham yang dikembangkan Hamzah Fansuri ini di Aceh dikenal dengan sebutan wujudiyah atau martabat tujuh. Menurutnya, yang disebut wujud itu hanya satu, meskipun kelihatannya banyak. Wujud yang satu itu mempunyai dua dimensi, dimensi batin (isi) an dimensi lahir (kulit) Semua benda yang tampak itu merupakan manifestasi dari dimensi batin, yaitu wujud yang hakiki, yang tiada lain adalah Allah, wujud yang hakiki itu mempunyai tujuh martabat, yaitu (a) Ahadiyah, hakikat sejati Allah, (b) wahdah, hakikat Muhammad, wahidiyah, hakikat Adam, (d) alam arwah, hakikat nyawa, (e) alam mitsal, hakikat segala bentuk, alam ajsän hakikat tubuh, dan (g) alam insan, hakikat manusia. Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu ahadiah, itulah Allah.
            Syamsuddin Al-Sumatrani, seperti disebut di muka, adalah muridnya. Syamsuddin mengarang buku berjudul Mir'atul Mu'minin (Cermin Orang Beriman) pada tahun 1601 M. Buku itu berisi tanya jawab tentang ilmu kalam.
            Ulama aceh lainnya yang banyak menulis buku adalah Nuruddin Al-Raniri. Ia berasal dari India, keturunan Arab Quraisy Hadramaut. Dia tiba di Aceh pada tahun 1637 M. Al-Raniri dikenal sebagai orang yang sangagiat membela ajaran ahlussunnah waljamaah. Menurut catatan Ahmad Daudi, karyanya yang sudah diketahui dengan pasti berjumlah 29 buah, yang meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu fiqih, hadis, akidah, sejarah, tasawuf, dan sekte-sekte agama." Di antara karyakaryanya itu adalah al-Shirdrh, al-Mustaqim berisi uraian tentang hukum, Bustän al-Salathin, berisi sejarah dan tuntunan bagi para penguasa dan raja, dan Asrar al-Insan fi Ma'rifati al-Riuh wa al Rahman yang merupakan karya dalam ilmu kalam, Tibyan fi Ma'rifat al-Adyan berisi perdebatannya dengan kaum wujiadiyah, dan al-Lama ah fi Takfir man Qala bi Khalq al-Qur'an yang juga merupakan bantahan terhadap pendapat Hamzah Fansuri bahwa Alqur'an itu makhluk. Karya-karya Al-Raniri  mencerminkan pemikirannya yang tidak sejalan dengan pemikiran Hamzah Fansuri yang menganut faham wujüdiyah. Dia berusaha melenyapkan pemikiran Hamzah Fansuri tersebut. Dalam dunia tasawuf,paham Al-Raniri biasanya dianggap moderat, bahkan dalam banyak hal lebih cocok dengan ilmu kalam daripada dengan tasawuf sendiri.
            Penulis lainnya yang juga berasal dari Kerajaan Aceh adalah Abdurrauf singkel yang mendalami ilmu pengetahuan Islam di Mekah dan Madinah. Dia menghidupkan kembali ajaran tasawuf yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui tarekat Syattariah yang diajarkannya, walaupun dengan ungkapan dan metafor yang berbeda.
            Kitab-kitab suluk di Jawa, sebagaimana karya-karya Hamzah Fansuri di Aceh, bersifat mistik yang terambil dari tradisi mistik (tasawuf) Islam. Paham sufisme di Jawa memang diserap dari kesusastraan Melayu karya-karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Singkel, dan juga Nuruddin Al-Raniri. Pemikiran Islam pada abad ke-16 dan 17 M di Indonesia memang banyak sekali diwarnai oleh pemikiran tasawuf. Selain melalui karya-karya ulama Aceh itu, paham wujudiyah tersebar ke Jawa melalui penyebaran tarekat Syattariah murid-murid Abdurrauf singkel. Di antaranya adalah Abdul Muhyi pengarang kitab Martabat Kang Pitutu (Martabat yang Tujuh), seorang wali yang dikeramatkan di daerah Priangan dan dari daerah ini tarekat Syattariah menyebarkan ke Cirebon yang menjadi pusat kesultanan. walaupun sebenarnya di Jawa sudah muncul karya mistik yang mempunyai paham hampir sama, terbukti dengan ditemukannya karyasunan Bonang, Suluk Wujil, tetapi diduga tersebarnya karya-karya sastra dalam bentuk serat suluk yang isinya mengandung ajaran tasawuf wujudiyah atau martabat tujuh adalah setelah karya Abdul Muhyi tersebut. Dari pengaruh Cirebon inilah kemudian pujangga-pujangga Surakarta menggubah karya-karya serat suluk yang kaya akan ajaran etika dan tasawuf, seperti Ronggowarsito dengan karyanya Wirid Hidayat Jati.
            Di Sulawesi, pemikiran tasawuf yang sama juga yang lama berkembang terutama melalui Yusuf Makassar (1626-1699) yang lama belajar di Timur Tengah. Menurut Tujimah, karya-karyanya kebanyakan dalam bidang tasawuf itu diperkirakan berjumlah 20 buah dan sekarang masih dalam bentuk naskah yang belum diterbitkan.
            Pada abad ke-19 M, pemikiran tasawuf mulai bergeser ke pemikiran fiqih seperti tergambar dalam karya-karya ulama pada masa itu. Di antara ulama-ulama yang produktif menulis adalah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812) yang menulis kitab Sabilul Muhtadin, sebuah kitab fiqih, dan kitab Perukunan Melayu: Haji Ahmad Ripangi (1786-1875) dari Kalisasak yang menulis banyak buku, diantaranya adalah Husnul Mathalib, Asnal Maqashid, Jam'ul Masa il. Abyánul Hawai ij, dan Ri'ayatul Himmah, yang umumnya membahas ushuluddin, fiqih, dan tasawuf, Syaikh Nawawi Banten, menulis tidak kurang dari 26 buah buku, yang terkenal di antaranya adalah Al-Tafsir Al-Munirls dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (860-1916) yang juga sangat produktif menulis: salah satu tulisannya yang terkenal adalah Izharul Zaghlil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin yang berisi tantangan terhadap ajaran tarekat.
3. Arsitek Bangunan
            Oleh karena perbedaan latar belakang budaya, arsitektur bangunan-bangunan Islam di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Hasil-hasil seni bangunan pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kase puhan di Cirebon, Mesjid Agung Banten, Baiturrahman di Aceh dan di daerah-daerah lain. Masjid-masjid itu menunjukkan keisti mewaan dalam denahnya yang berbentuk persegi empat atau bujur sangkar dengan bagian kaki yang tinggi serta pejal, atapnya bertumpang dua, tiga, lima atau lebih, dikelilingi parit atau kolam air di bagian depan atau sampingnya yang berserambi. Bagan bagan lain, seperti mihrab dengan lengkung pola kalamakara mimbar yang mengingatkan akan ukiran-ukiran pola teratai, mastaka atau memolo, menunjukkan seni-seni bangunan tradisionalyang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam.
            Beberapa mesjid kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada zaman IndonesiaHindu. Ukiran-ukiran pada mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara, mihrab, bentuk beberapa mastaka atau memolomenunjukkan hubungan yang erat perlambang meru, kekayon gunungan atau gunung tempat dewa-dewa yang dikenal dalam cerita keagamaan Hindu. Beberapa ukiran pada masjid kuno di Mantingan, Sendang Duwur, menunjukkan pola yang diambil dari dunia tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diberi corak tertentu dan mengingatkan kepada pola-pola ukiran yang sudah dikenal pada Candi Prambanan dan beberapa candi lainnya.
            Selain dari itu, pada pintu gerbang, baik di keraton-keraton maupun di makam orang-orang yang dianggap keramat yang berbentuk candi-bentar, kori agung, jelas menunjukkan corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula, nisan nisan kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon, dan Banten menunjukkan unsur-unsur seni ukir dan perlambang pra-Islam. Di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera terdapat beberapa nisan kubur yang lebih menunjukkan unsur seni Indonesia pra-Hindu dan pra-Islam.














B. SETELAH KEMERDEKAAN
1. Departemen Agama
Sebagaimana telah disebutkan, sejak awal kebangkitan nasinal, posisi agama sudah mulai dibicarakan dengan politik atau negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah negara "sekuler”,negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di negara Turki dan Mustafa Kamal. Golongan lainnya berpendapat, negara Indonesia merdeka adalah "negara Islam". Kedua pendapat itu terlihat misalnya, sebelum kemerdekaan, dalam polemik antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan M. Natsir di akhir tahun 1930-an dan awal 1940-an; diskusi dan perdebatan di dalam sidang-sidang BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta. Setelah kemerdekaan, persoalan itu juga terangkat kembali di dalam sidang-sidang konstituante hasil pemilihan umum 1955 M yang berakhir dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945.
Meskipun persoalan itu belum selesai dipecahkan, tampak nya para pemimpin bangsa Indonesia sudah bergerak jauh ke dapan, memikirkan alternatif jalan tengah" dari dua pendapat tersebut. Mereka menganjurkan suatu negara yang mempunyai dasar keagamaan secara umum dan pemerintah mengakui nilai ke agamaan yang positif, karena itu akan memajukan kegiatan ke agamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama didirikan.
Departemen Agama (dulu namanya Kementerian Agama) didirikan pada masa Kabinet Syahrir yang mengambil keputusan tanggal 3 Januari 1946 untuk memberikan sebuah konsesi kepada kaum Muslimin. Menteri agama pertama adalah M. Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret 1946. Usaha untuk mendirikan itu mulanya mendapat halangan dari para perumus UUD 1945, ketika PPKI mengadakan rapat tanggal 19 Agustus 1945. Akan tetapi, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),pada tanggal 11 November 1945 mengusulkan pendiriannya. Usul itu diprakarsai oleh K.H Abudardiri, K.H.Saleh Saleh Su’aidi,dan M. Sukoso Wirojosaputro,kesemuanya adalah anggota KNIP dari daerah Banyumas. Usul itu mendapatkan dukungan dukungan dari  M.Natsir,Dr.Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M.Karto sudarmo (semuanya anggota KNIP) dan disetujui oleh badan legislatif tersebut. Dapat dikatakan,bahwa berdirinya Departemen Agama merupakan penyesuaian pihak pemerintah kala itu dengan keinginan mayoritas Muslim.
Sebelum terbentuknya kementerian ini, ada pembahasan mengenai apakah kementerian ini akan dinamakan Kementerian Agama Islam ataukah Kementerian Agama Islam atau kementrian Agama yang pertama-tama mempunyai tiga seksi dan kemudian empat seksi, masing-masing untuk kaum muslimin, umat Protestan, umat Katolik Roma, dan umat Hindu-Budha (dulu disebut agama Hindu Bali). Karena ia tidak mengatur hanya satu Agama,tetapi lima agama yang di akui di Indonesia ,maka,pemimpin politik Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan juga negara agama. Dasar pertama dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dianggap memadai untuk membenarkan adanya Departemen Agama ini.
Walaupun pada awalnya, bahkan sampai akhir-akhir ini,banyak komentar yang saling bertentangan tentang kementerian ini, B.J.Borlan berpendapat, secara bertahap makna positif ini dari kementerian ini akan tampil kemuka.Makna positif ini meliputi seperti berikut: (1) bahwa kementerian itu mena-warkan kemungkinan agama, khususnya agama Islam, untuk berperan seefektif mungkin dalam negara dan masyarakat, dan (2) dalam sebuah negeri yang sangat bercorak Muslim, kementerian ini merupakan suatu jalan tengah antara negara sekular dan negara islam. Bahkan menurutnya, dalam tahun-tahun berikutnya banyak orang Islam dan orang bukan Islam saling mendekati menuju arah penilaian yang bersifat positif. Yang jelas, penduduk yang beragama Islam memerlukan adanya suatu badan pusat yang akan memper hatikan kepentingan umat Islam itu.
            Masa Demokrasi Terpimpin yang menimbulkan banyak kekacauan dan ketegangan politik serta keruntuhan ekonomi, bagi umat Islam, merupakan tahun-tahun kekecewaan dan frustrasi Akan tetapi, masa yang dipandang buruk itu juga membawa hikmah sendiri bagi mereka. Sampai tahap tertentu, perhatian telah
dialihkan dari kehidupan politik kepada masalah-masalah pen-didikan, pengajaran agama, dakwah Islam, latihan kepemimpinan dan penulisan bahan bacaan. Dalam hal ini, Kementerian agama mulai memainkan suatu peranan penting.
            Dalam jangka waktu beberapa tahun di awal berdirinya kementerian ini, telah dikeluarkan berbagai peraturan yang menentukan tugas serta ruang lingkup kementerian agama. Meskipun ruang lingkupnya tetap sama, rumusannya sudah beberapa kali berubah. Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 adalah sebagai berikut:
1.      Mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan agama
2.      Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan
3.      Memberi penerangan dan penyuluhan agama
4.      Mengurus dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama
5.      Mengurus dan memperkembangkan IAIN,perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruantinggi
6.      Mengatur, mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji
Sesuai dengan perkembangan departemen ini, strukturnya  berkembang, yang semula hanya terdiri dari empat seksi, sekarang tediri dari lima direktorat jenderal, yaitu: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji,Direktorat Jenderal pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Protestan, dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masya-rakat Hindu Budha. Menteri agama juga dibantu oleh lembaga Inspektorat Jenderal, Sekretariat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama serta Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Pegawai.


2. Pendidikan
Sebagaimana telah disebutkan, salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa bentuk sejak zaman penjajahan Belanda. Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di berbagai pelosok. Tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain. Lembaga ini dipimpin oleh seorang ulama atau kiai. Untuk tingkat lanjutan tidak ada kurikulum yang jelas pada lembaga ini. Kemajuan se orang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan dan ketekunan masing-masing
            Dengan berkembangnya pemikiran pembaharuan dalam Islam di awal abad ke-20, persoalan administrasi dan organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian beberapa kalangan atau organisasi.kurikulum mulai jelas. Belajar untuk memahami dan bukan sekadar menghapal, ditekankan, dan pengertian ditumbuhkan itulah yang dinamakan dengan madrasah. pada umumnya, madrasah ini dibagi menjadi dua jenjang, yaitu tingkat dasar yang dinamakan dengan madrasah ibtidaiyah selama 5-7 tahun dan tingkat lanjutan yang dinamakan madrasah tsanawiyah selama 3-5 tahun 23 Di sekolah-sekolah menengah yang berbahasa Belanda seperti MULO dan AMS pada tahun 1930-an diajarkan juga pelajaran agama. Hal yang sama juga berlaku pada zaman pendudukan Jepang bahkan lebih teratur.
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinnya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai ndapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agarmemberikan bantuan kepada madrasah. Departemen Agama dengan segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islamdan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45 orang di antaranya kemudian diangkat sebagai guru agama. Pada tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo.
Haji Mahmud Yunus, seorang lulusan Kairo yang di zaman Belanda memimpin Sekolah Normal Islam di Padang, menyusun rencana pembangunan pendidikan Islam. Ketika itu, ia mengepalai seksi Islam dari Kantor Agama Provinsi. Dalam rencananya Ibtidaiyah selama 6 tahun, Tsanawiyah Pertama 4 tahun, dan Tsanawiyah Atas 4 tahun. Gagasannya ini dilaksanakan di Lampung (waktu itu keresidenan) tahun 1948. Sementara itu, Aceh menyelenggarakan rencananya sendiri. Banyak sekolah-sekolah swasta di daerah ini dijadikan negeri, sekurang-kurangnya memperoleh subsidi dari pemerintah. Mahmud Yunus juga menyarakan agar pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah umum yang disetujui oleh konperensi pendidikan se-Sumatera di Padang Panjang, 2 10 Maret 1947.Akan tetapi, semua yang sudah dirintis itu, mengalami kemandegan karena terjadinya aksi militer Belanda kedua. Setelah revolusi selesai, usaha untuk mengkoordinasi sekolah-sekolah agama dimulai kembali, bukan saja untuk Jawa dan Sumatera melainkan seluruh Indonesia. Setelah itu, banyak lembaga pendidikan agama yang didirikan, seperti Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (4 tahun), Aliyah (3 tahun), Sekolah Guru Agama Islam (5 tahun bagi lulusan Sekolah Dasar baik umum maupun agama, 2 tahun bagi lulusan SMP atau Tsanawiyah),Sekolah Guru, dan Hakim Agama Islam/SGHA (4 tahun bagi lulusan SMP atau Tsanawiyah). Dua sekolah yang terakhir mengalami perubahan pada tahun 1953. PGA menjadi 6 tahun, 4 tahun bagian pertama dan 2 tahun bagian atas. Sedangkan, SGHA dihapuskan tahun 1954 dan digantikan dengan Pendidikan Hakim Islam Negeri/PHIN (4 tahun bagi lulusan PGA 4 tahun).  Demikianlah, beberapa sekolah agama Islam yang direncana kan dan didirikan oleh Departermen Agama. Sementara itu perguruan Islam swasta dalam bentuk lain masih saja berjalan Bentuk-bentuk lembaga pendidikan Islam swasta itu adalah sebagai berikut 27 Pertama, pesantren Indonesia klasik, seperti telahdisebutkan. Kedua, madrasah diniyah (sekolah agama), yaitu Sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun. Pelajaran berlangsung di dalam kelas, kira-kira 10 jam seminggu, di waktu Sore pada sekolah dasar dan sekolah menengah. Ketiga, madrasa madrasah swasta, biasanya mata pelajaran dan sistem pengajaran nya sama dengan madrasah negeri.
Departemen Agama menganjurkan agar pesantren tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal memakai kurikulum yang tetap, dan memasukkan mata pelajaran rasah tersebut umum di samping agama, sehingga murid di madrasah tersebut mendapat pendidikan umum yang sama dengan murid di sekolah umum. Dalam rangka ini Departemen Agama hanya memberikan bantuan kepada madrasah yang juga memperhatikan pendidikan umum .persoalan mutu  keluaran sekolah-sekolah agama ini masih sering mendapat sorotan, terutama kemampuan berbahasa Arab. Untuk itu, Departemen Agama mendirikan beberapa Madrsah Aliyah Program Khusus yang diharapkan dapat menjadi contoh bagi Madrasah-madrasah Aliyah yang lain.
            Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum Muslimin di ndonesia sejak awal sudah berpikir untuk membangunnya Mahmud Yunus membuka Islamic College pertama tanggal 9 Desember 1940 di Padang, yang terdiri dari Fakultas Syariah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Tujuannya adalah, untuk mendidik ulama.
            Universitas Islam Indonesia (UII) adalah perguruan tinggi Islam pertama yang memiliki fakultas-fakultas non-agama. Dengan demikian, ia dapat memberi contoh tentang perkembangan universitas-universitas Islam di Indonesia. 29 Ia bermula di awal tahun 1945, di saat Masyumi memutuskan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Sebuah panitia persiapan di bawah pimpinan Mohammad Hatta, wakil presiden RI pertama mengerjakan rencana pelaksanaannya. Pada mulanya, lembaga ini diidirikan untuk melatih ulama-ulama yang berpendidikan baik,yaitu orang yang telah mempelajari Islam secara luas dan mendalam dan memperoleh standar pengetahuan umum yang memadai seperti dituntut oleh masyarakat. Studi di lembaga ini pada mulanya berlangsung selama dua tahun sampai mencapai gelar sarjana muda ditambah dua tahun lagi untuk memperoleh gelar sarjana. Kuri Kulumnya terutama di dari Fakultas Teologi (tingkat tinggi) dari Universitas Al-Azhar di Kairo, yang dirancang tahun 1936.
            Dengan bantuan dari pemerintah pendudukan Jepang, lembaga ini dibuka tanggal 8 Juli 1945 di Jakarta. Tidak lama setelah itu,lembaga ini ditutup karena gedung-gedung dikuasai oleh pasukan sekutu dan dibuka kembali tanggal 10 April 1946 di Yogyakarta Mula-mula, ada dua jenis kursus yang dibuka, yaitu ilmu agama dan ilmu masyarakat. Pada bulan November 1947, lembaga ini diubah menjadi universitas dengan empat fakultas, yaitu Syariah Hukum, Pendidikan, dan Ekonomi (kemudian ditambahkan Fakultas Teknik). Pada tanggal 22 Januari 1950 sejumlah pemimpin Islam mendirikan sebuah universitas Islam di Solo dan 20 Februari 1951 kedua universitas Islam di Yogyakarta dan Solo itu disatukan dengan nama Universitas Islam Indonesia (UII) yang sejak itu mempunyai cabang di dua kota tersebut. Setelah itu, mulai banyak muncul perguruan tinggi dan universitas Islam.
            Perguruan tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian kementrian Agama pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah dan pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Akademi ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas dalam pemerintahan (misalnya, dalam Ke menterian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga di bawah Kementerian Agama.
            IAIN ini bermula dengan dua fakultas di Yogyakarta dan dua di Jakarta, tetapi segera berkembang, sehingga masing-masing mempunyai empat fakultas ushuluddin yang menekankan segi segi ilmu agama Islam yang bersifat spekulatif, seperti filsafat tasawuf, perbandingan agama, dan dakwah; syariah yang menekankan aspek-aspek praktis dari agama, yurisprudensi, tafsir pengetahuan hadis, dan sebagainya; tarbiyah (pendidikan), yaitu latihan untuk guru agama, Adab atau ilmu kemanusiaan untuk spesialisasi sejarah Islam serta bahasa Arab secara khusus. Pada masa selanjutnya, lahir satu fakultas baru, yaitu Fakultas Dakwah IAIN ini terus berkembang pesat. Pada tahun 1992 ada 14 buah IAIN di dengan fakultas lebih dari seratus juga bermula dari Jakarta dan Yogyakarta, pada awal tahun l980 an, dibuka Program Pascasarjana IAIN dan beberapa tahun kemu dian IAIN Alauddin Ujung Pandang dan IAIN Syiah Kuala, Aceh juga membuka program yang sama. Sampai tahun 1992, Program Pascasarjana IAIN Jakarta sudah mengeluarkan puluhan orang doktor.
            Departemen Agama juga menangani persoalan pendidikan agama pada sekolah-sekolah "umum" negeri. Berkenaan dengan itu, disebutkan bahwa pada tahun 1948 partai Masyumi mendesak agar pengajaran agama diwajibkan dalam sekolah-sekolah negeri tersebut. Hal itu kemudian tertuang dalam Peraturan Pemerintah no. 4 tahun 1950 tentang pendidikan, pasal 20, sebagai berikut: (1) Pengajaran agama diberikan pada semua sekolah negeri. Pada orang tua yang berkeberatan dapat memutuskan apakah anak-anak mereka akan mengikutinya atau tidak. (2) Cara memberikan pengajaran agama yang diadakan dalam sekolah-sekolah negeri akan dijelaskan dalam peraturan Kementerian Pendidikan bersama dengan Kementerian Agama. Dalam suatu peraturan lanjutan tanggal 16 Juli 1951, pengajaran agama ini ditetapkan dua jam seminggu, yang dimulai dari kelas empat Sekolah Dasar dan berlanjut sampai Sekolah Menengah. Akan tetapi, jika dalam suatu kelas terdapat kurang dari 10 orang anak yang mempunyai agama yang sama, maka tidak akan diberikan pengajaran agama tersebut. Dalam Sidang MPRS bulan Juni-Juli 1966, syarat tentang "keberatan orang tua" dicoret, sehingga pengajaran agama merupakan keharusan bagi seluruh siswa, dengan menyatakan secara sederhana bahwa "pengajaran agama merupakan mata pelajaran di sekolah, bagi murid sekolah dasar sampai dengan universitas negeri.
3. Hukum Islam
            salah satu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah hukum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai, dan rujuk; hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan baitul mal.
            Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa kolonial Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, pengadilanagamatidak mengalami perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah, tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam tampak ketat dan kaku, karena hanya berpegang pada mazhab Syafi'i. Sementara itu, belum ada kitab undang-undang yang seragam yang dapatdijadikan pegangan para hakimdan Pengadilan Agama didominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syariah di perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan.
            Baru pada tahun 1974, hukum perkawinan diundangkan setelah Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pada bulan Desember 1973. Sebenarnya, usaha untuk mengundangkan peraturan perkawinan secara nasional sudah dimulai sejak tahun 1950 dengan terbentuknya suatu panitia khusus yang diketuai oleh bekas gubernur Sumatera, Teuku Mohammad Hasan. Baru pada tahun 1958, hasil kerja panitia ini dibicarakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat, bersama-sama dengan suatu usul rancangan undang-undang yang dimajukan oleh kalangan nasionalis. Akan tetapi, kedua rancangan itu dikesampingkan, karena terjadi kemacetan dalam perdebatan di parlemen. Rancangan Undang-Undang yang sama kemudian disusun kembali tahun 1967 dan 1968. Kedua rancangan ini dibicarakan dalam sidang DPR tahun 1973,tetapi mengalami hal yang sama, karena wakil dari golongan Katolik menolak rancangan itu. Akibatnya, pemerintah menarik kembali kedua rancangan tersebut dan mengusulkan RUU yang baru pada tanggal 31 Juli 1973. Ketika rancangan ini disidangkan,pihak Islam merasa keberatan dan beberapa ratus pelajar Islammelakukan protes di ruang DPR, karena banyak butir-butir RUU yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Di luar siding DPR masalah protes itu dapat diselesaikan dengan mengubah RUU tersebut, sehingga seluruhnya sesuai dengan tuntutan kalangan Islam. Yang terakhir inilah yang diundangkan pada bulan Januari 1974 itu.
Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, meskipun demikian,tetap saja masih sulit dilakukan, karena belum ada kompilasi apalagi kodifikasi hukum Islam yang dapat dijadikan pegangan. Peraturan-peraturan hukum Islam yang dijadikan hukum terapan pada Badan Peradilan Agama masih terpencar di dalam berbagai kitab fiqih klasik yang jumlahnya sangat banyak. Oleh karena itulah, dalam Repelita IV Bab Hukum ditentukan bahwa Badan Peradilan Agama harus disempurnakan dalam PelitIV. Untuk itu, pada tanggal 21 Maret 1984 diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang menetapkan terbentuknya sebuah panitia dengan tugas menangani pelaksanaan kompilasi 33 Dari panitia ini diha rapkan dihasilkan Kitab Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan yang benar-benar sesuai dengan ajaran Islam dan dapat mengatur masyarakat Islam dengan adil. Cara kerja panitia ini diatur melalui empat jalur: (1) Jalur pengkajian kitab-kitab fiqih lama. (2) alur ulama, khususnya Ulama fiqi Jalur yurisprudensi, (4) Jalur studi perbandingan dengan negara negara lain. Dalam hal ini kompilasi hukum Islam diharapkan dapat memenuhi asas manfaat dan keadilan4 yang berimbang, mengatasi berbagai masalah khilafiah sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan pada akhirnya mampu berperan aktif dalam pembinaan hukum nasional.     Panitia kompilasi itu telah menghasilkan tiga buku hukum,masing-masing tentang hukum perkawinan (Buku 1), Hukum Kewarisan (Buku II), dan Hukum Perwakafan (Buku III).Ketiga buku tersebut dilokakaryakan pada bulan Februari 1988 dan mendapat dukungan yang luas.
            Kemantapan posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional semakin meningkat setelah Undang Undang Peradilan Agama ditetapkan tahun 1989. Undang Undang Peradilan Agama ini merupakan kelengkapan dari UU No. 14/1970 tentang ketentuan ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) UU no. 14/1970 disebutkan: "kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagai suatu undang-undang pokok, Undang-undang No. 14/1970 memerlukan undang-undang lain untuk mengatur empat lingkungan peradilan yang diundangkan dalam UU itu, antara lain UU tentang Peradilan Agama.
            Berkenaan dengan itu, Ismail Suny mengatakan bahwa selama Orde Baru ada tiga undang-undang yang merupakan tonggak Anggak penting bagi umat Islam, yaitu UU no. 14/1970, 74, dan UU no. 7/1989. Dengan tiga undang-undang tersebut, berlakulah hukum Islam dalam tata Hukum Nasional di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah.
4. Haji
            Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jamaah Haji. Di masa penjajahan tahun kemuncak tahun 1926/1927 ketikaka sekitar 52.000 orang pergi ke Makkah. Sungguhpun angka itu baru pada tahun-tahun terakhir terlewati,tetapi umumnya dalam keadaan biasa jumlah jamaah meningkat cepat,karena memang keinginan menunaikan ibadah haji semakin kuat. Angka tertinggi sampai tahun 1992 tercapai padatahun 1992, yaitu sekitar 107.000 orang jamaah haji Indonesia diberangkatkan.
            Sejak awal tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah, termasuk menteri, yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah suci. Bahkan, dari kalangan merekalah amir al-haij (pemimpin jamaah haji) Indonesia ditunjuk.
            Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat Islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggaraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan tetapi, selamazaman jajahan, keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1950, sebuah yayasan, yaitu Yayasan Perjalanan Haji Indonesia, didirikan diJakarta. Pemerintah memberikan kuasa kepada Yayasan itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank Haji Indonesia dan sebuah perusahaan kapal, Pelayaran Muslimin Indonesia (MUSI didirikan. Tetapi sepuluh tahun kemudian, perusahaan MUSI ini masih saja bertindak sebagai agen dalam mencarter kapal dari perusahaan asing; MUSI tidak mempunyai kapal sendiri. Cara ini ditempuh sampai tahun 1962,ketika MUSIdibekukan oleh pemerintah, mungkin sekali karena pertimbangan politik. Setahun sebelumnya, pada tahun 1961, Petugas Haji Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan kemudahan-kemudahan naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota PHI adalah anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.
            Dalam tahun 1961 itu juga, suatu perusahaan pelayaran baru Perseroan Terbatas "Arafat" didirikan, dengan modal yang berasal dari para jemaah haji atau calon jemaah itu sendiri. Selanjutnya, pada tahun 1964, panitia perbaikan haji diganti dengan badan baru Dewan Urusan Haji. Dewan ini mengajak PHI untuk kembali mengurus jamaah haji, tetapi campur tangan pemerintah di dalam nya semakin besar, karena tanggung jawab penyelenggaraan haji terletak pada pemerintah setempat. Namun semua usaha yang dilakukan itu tidak ada yang berhasil baik. Setelah Soekarno jatuh tahun 1966, organisasi-organisasi swasta mulai lagi melakukan kegiatannya menyelenggarakan perjalanan haji. Banyak umat Islam yang menjadi korban dari kegiatan ini para jamaah ada yang tidak dapat berangkat atau dibiarkan tanpa layanan dalam perjalanan. ini merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah kemu dian pada tahun 1970 memegang monopoli perjalanan haji
 Di antara alasan mengapa pemerintah melakukan monopoli dalam perjalanan penyelenggaraan haji adalah sebagai berikut. Pertama, pemerintah merasa bertanggung jawab atas penyeleng garaan perjalanan haji agar masyarakat merasa tenteram dan terjamin. Kedua, kemungkinan faktor laba juga menjadi perhatian pemerintah. Kalau pun hal ini tidak dimaksudkan untuk dikejar, tetapi sekurang-kurangnya uang masuk secara ekstra dapat juga dicatat. Uang ini, karena tiap jamaah dibebankan tambahan biaya untuk berbagai dana, mempermudah usaha pemerintah member kan bantuan kepada berbagai proyek yang bermanfaat untuk umat Islam, seperti penyelesaian pembangunan masjid Istiqlal di Jakarta dan pengembangan berbagai lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah. Dengan cara ini, pemerintah dapat menumbuhkan kepercayaan di kalangan masyarakat Islam kepada dirinya
            Untuk meningkatkan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHD, Tim Pembimbing Haji daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI), dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Di samping itu, pemerintah masih merasa perlu untuk mengangkat Tim Pembimbing Ibadah Haji (TPIH). Sesuai dengan aspirasi sebagian masyarakat, sejak awal tahun 1980-an, dikenal adanya Ongkos Naik Haji (ONH) Plus, yang tentu berbeda dengan ONH biasa dalam hal pelayanan Karena "kelebihan" pelayanan itu, maka biayanya juga lebih mahal dari ONH biasa. Kelebihan biaya itu bertingkat tingkat sesuai dengan fasilitas yang akan diterima oleh calon haji nanti Fasilitas itu di antaranya, seperti tidur di hotel mewah, makan lezat dan terjamin, kendaraan antar jempur selama berada di tanah cuci ber-AC dan tidak terlalu lama menunggu di Arab Saudi.40 Pelak sanaan haji dengan ONH Plus itu diserahkan pemerintah kepada beberapa biro perjalanan yang resmi ditunjuk. Perbedaan pelayan an antara jamaah haji ONH biasa dengan ONH Plus, sebenarnya baru dirasakan setelah mereka sampai di Arab Saudi, karena sebelum itu, mereka berangkat dari tempat dan dengan kendaraan yang sama. Pelayanan yang mungkin berbeda sebelum keberangkatan adalah ketika para jamaah haji menerima bimbingan manasik haji.
5. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
            Di samping Departemen Agama cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama. Karena itu, kerja sama antara pemerintah dan ulama perlu terjalin dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjamin keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1958, diketuai oleh seorang panglima militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TIItahun 1961,Majelis Ulama ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan di luar persoalan keamanan seperti dakwah dan pendidikan.
            Majelis-majelis Ulama di provinsi lain didirikan jauh kemudian, yaitu setelah majelis pusat berdiri pada bulan Oktober 1962 sesuai dengan keinginan dan instruksi pemerintah pusat. Di samping untuk tujuan pembinaan mental, rohani, dan agama masyarakat,oleh pemerintah waktu itu majelis ini dimaksudkan juga untuk ikut ambil bagian dalam "penyelenggaraan revolusi dan pembangunan semesta berencana" dalam rangka Demokrasi Terpimpin. Akan tetapi, setelah Soekarno jatuh sebagai akibat peristiwa Gestapu, baru kegiatan-kegiatan Majelis UlamaDaerah meningkat, terutama di Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan semua daerah yang terkenal kuat Islamnya. Meskipun demikian, majelis ini secara nasional tidak mempunyai kendali dan cara kerja yang sama antara satu daerah dengan daerah lain karena majelis pusat praktis tidak berfungsi lagi.    
Pada tanggal 8 September 1969, di Jakarta didirikan Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) yang merupakan badan setengah resmi. Tokoh-tokoh pemerintah, organisasi Islam, serta ilmuwan turut serta dalam badan ini. Organisasi yang diketuai oleh Letnan Jenderal Sudirman ini bermaksud meningkatkan kegiatan yang berhubungan dengan dakwah serta bertindak sebagai konsultan dan perantara antara berbagai organisasi yang sudah ada. Pada tanggal 26-29 November 1974, PTDI menyelenggarakan Lokakarya Mubalig se-Indonesia. Salah satu konsensus yang dicapai dalam lokakarya ini adalah perlu adanya sebuah majelis ulama sebagai wahana untuk membina partisipasi umat Islam dalam pembangunan. Konsensus itu ternyata mendapat dukungan dariPresiden Dalam kesempatan menutup secara resmi Lokakarya itu, Presiden Soeharto menyampaikan amanatnya yang antara lain mengharapkan berdirinya Majelis Ulama Indonesia."            Dalam tahun 1975, usaha-usaha dimulai untuk mendirikan majelis ulama yang baru. Majelis-majelis ulama di tiap ibu kota provinsi dibentuk atau bagi yang masih aktif diteruskan dalamgka pembentukan majelis ulama yang baru.
            Sementara itu, di Jakarta dibentuk panitia Musyawara Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia. Musyawarah ini sendiri dilangsungkan pada tanggal 21-27 Juni 1975, dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Ulama propinsi. Ketika itulah majelis ulang yang baru dinyatakan berdiri dengan nama Majelis Ulama Indonesiasia. Piagam Berdirinya ditandatangani oleh 26 orang ketua-ketua Majelis Ulama Daerah Tingkat I, 10 orang ulama unsur organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama Dinas Rohani Islam AD, AU AL dan POLRI, dan 13 orang ulama yang diundang secaraperorangan
            Dalam Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disahkan dalam kongres tersebut, disebutkan bahwa, Majelis Ulama Indonesia berfungsi:
1.      Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma'ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2.      Mempererat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa
3.      Mewakili umat Islam dalam konsultasi antarumat beragama.
4.      Penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional.
            Dalam periode pertama (1975-1980), jabatan ketua umum Majelis Ulama ini dipegang oleh Prof. Dr. Hamka yang terpilih kembali untuk masa jabatan 1980-1985. Akan tetapi, Hamka mengundurkan diri dari jabatan itu pada bulan Mei 1981 karena persoalan fatwa "Natal Bersama". Majelis Ulama mengeluarkan fatwa tentang haramnya Natal bersama. Menteri Agama waktu itu Alamsyah Ratu Perwiranegara, kemudian memerintahkan MUI untuk mencabut peredaran fatwa tersebut. Hamka kemudian mencabut peredarannya tetapi menegaskan bahwa hukumnya tetap tidak berubah. Tidak lama setelah itu, ia mengundurkan diri. Dia digantikan oleh K. H. Syukri Ghozali. Namun, yang disebut terakhir ini meninggal dunia pada tanggal 20 September 1984 sebelum masa jabatannya berakhir. Dia kemudian digantikan oleh K. H. E. Z. Muttaqin. Jabatan ketua MUI periode 1985-1990 dan periode 1990-1995 dipegang oleh K.H. Hasan Basri.
            Majelis Ulama telah menerbitkan buku-buku kecil yang berkenaan dengan tuntunan bagi umat Islam dalam berbagai persoalan kehidupan. Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, diterbitkan pada tahun 1984 oleh penerbit Pustaka Panjimas.Majelis Ulama juga menerbitkan majalah bulanan yang bernama Mimbar Ulama. Di akhir tahun 1991, Majelis Ulama Indonesia menerbitkan buku Sejarah Umat Islam Indonesia, yang disunting oleh Taufik Abdullah.