HUKUM AKAD (PERJANJIAN) DALAM MUAMALAH DALAM AL-QUR’AN
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Tafsir Ahkam Muamalah
Yang Dibimbing Oleh: Moh. Afandi, S.H.I., M.H.I.
Semester 3/ Kelas D
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
DAFTAR ISI
JUDUL................................................................................................................. i
KATA
PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR
ISI....................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A.
Latar Belakang....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C.
Tujuan Masalah...................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................................... 2
A. Ayat Al-Qur’an
tentang Akad............................................................... 2
B. Makna
Mufradat.................................................................................... 3
C. Pandangan
Intelektual tentang Akad dalam Al-Qur’an ....................... 5
1. Pengertian Akad................................................................................. 6
2. Syarat dan Rukun Akad..................................................................... 6
3. Macam-Macam Akad......................................................................... 7
4. Hukum Akad Di Era Digital..............................................................
9
BAB
III PENUTUP........................................................................................... 10
A. Kesimpulan........................................................................................... 10
B. Saran..................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 11 KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT, atas segala nikmat, karunia, serta hidayah-Nya yang diberikan kepada
kami sehingga kami mampu menyelesaikan tugas yang diamanatkan kepada kami,
untuk membuat makalah tentang Hukum Akad (Perjanjian) Dalam Muamalah Dalam
Al-Qur’an. Terima kasih kepada Bapak Moh. Afandi, S.H.I., M.H.I. dan semua
pihak yang telah mendukung dalam pembuatan makalah ini. Doa dan
dukungan yang mampu memberi kami dorongan semangat dan kekuatan sehingga
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Kami menyadari
bahwa makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan yang semestinya, oleh karena
itu kami menerima segala masukan-masukan guna kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini
dapat bermanfaat khususnya untuk mahasiswa/i STAIN Pamekasan dan umumnya
seluruh masyarakat Indonesia. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
urusan kita. Amin.
Pamekasan,24
November 2017
PenyusunBAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akad ialah suatu
perikatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih berdasarkan ijab dan qabul
dengan adanya ketentuan syar’i. Dalam akad tentu ada syarat dan rukunnya dan
disertai dengan macam-macamnya. Selain itu terdapat esensi dalam berakad yang
berkaitan dengan bentuk-bentuk dan hukum akad tersebut. Akad merupakan
substansi dalam jual beli dan ijab qabul yaitu penandanya. Akad bukan hanya
terdapat dalam jual beli saja tetapi dalam aktivitas muamalah pasti ada perjanjian
antara kedua belah pihak atau lebih.
Hukum akad dalam
jual beli ada yang wajib dan mubah. Jual beli dengan atas dasar suka sama suka
dan kerelaan ini menandakan hal wajib. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi
perselisihan dan mendapatkan kemaslahatan. Sedangkan hukum yang mubah yaitu
dalam bentuk-bentuk akadnya. Maksudnya bisa menggunakan lafal, tulisan, dan
lisan melalui media sosial tanpa harus bertemu langsung. Yang penting tetap ada
unsur kerelaan dalam jual beli yang tidak merugikan terhadap kedua belah pihak
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan Akad dalam jual beli?
2.
Bagaimana hukum
akad dalam jual beli?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui
definisi akad dalam jual beli dari segi bahasa dan istilah.
2.
Untuk memahami
hukum akad dalam jual beli yang sudah ditetaptan dan pada umumnya
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Ayat Al-Qur’an tentang Akad
Dalam
surah An-nisa’ ayat 29 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوالَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا اَنْفُسَقُمْ اِنَّاللهَ كَ نَ بِكُمْ رَحِيْمَا
(٢٩)
Artinya:
“ Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan harta kamu di antara kamu
dengan jalan yang bathil. Tetapi (hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar
kerelaan di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu. Sesungguhnya
Allah terhadap kamu Maha Penyayang”.
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاض,
رواہ ابن حبان و ابن مجاح۔
“Sesungguhnya jual beli
itu harus dilakukan dengan suka rela.” (HR. Ibnu Majah II/737 no. 2185 dan Ibnu
Hibban no. 4967)
Dalam sabdanya yang
lain:
أَلاَ
لاَ تَظْلِمُوا أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ
مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْه (رواہ احمد)ُ
"Ingatlah,
janganlah berbuat zalim. Ingatlah, janganlah berbuat zalim. Sesungguhnya, harta
seorang muslim itu tidak halal untuk diambil kecuali dengan sepenuh kerelaan
hatinya.” (HR. Ahmad, no. 21237; dinilai sahih oleh Al-Albani)
B. Makna Mufradat
Arti
|
Ayat
|
Wahai
|
يَا
أَيُّهَا
|
Orang-Orang Yang
|
الَّذِينَ
|
Beriman
|
آمَنُوا
|
Janganlah Kamu
Memakan
|
لَا
تَأْكُلُوا
|
Harta Kamu
|
أَمْوالَكُمْ
|
Diantara Kamu
|
بَيْنَكُمْ
|
Dengan Cara Bathil
|
بِالْبَاطِلِ
|
Kecuali
|
إلَّا
|
Bahwa
|
أَنْ
|
Menjadi
|
تَكُونَ
|
Perniagaan
|
تِجَارَةً
|
Dari Dasar Suka Sama
Suka
|
عَنْ
تَرَاضٍ
|
Diantara Kamu
|
مِنْكُمْ
|
Dan Janganlah Kamu Membunuh
|
وَلاَ
تَقْتُلُوْا
|
Diri Kamu Sendiri
|
اَنْفُسَقُمْ
|
Sesungguhnya Allah
|
اِنَّاللهَ
|
Dia
|
كَ
نَ
|
Kepada Allah
|
بِكُمْ
|
Maha Penyayang
|
رَحِيْمَا
|
Melalui
ayat ini Allah mengingatkan: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan yakni memperoleh harta yang merupakan sarana kehidupan kamu, di antara
kamu dengan jalan yang bathil, yakni tidak sesuai dengan tuntunan syariat, tetapi
hendaklah kamu peroleh harta itudengan jalan perniagaan yang berdasar kerelaan
di antara kamu, kerelaan yang tidak melanggar ketentuan agama.
Karena
harta benda mempunyai kedudukan di bawah nyawa, bahkan terkadang nyawa
dipertaruhkan untuk memperoleh atau mempertahankannya. Maka pesan ayat ini
selanjutnyaadalah Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri, atau
membunuh orang lain secara tidak hakkarena orang lain adalah sama dengankamu,
dan bila kamu membunuhnya , maka kamu pun terancam dibunuh, karena sesungguhnya
Allah terhadap kamu Maha Penyayang.[1]
Penggunaan
kata makan untuk melarang perolehan harta secara batil, karena kebutuhan pokok
manusia adalah makan. Dan kalau makan yang merupakan kebutuhan pokok itu
terlarang memperolehnya dengan batil, maka tentu lebih terlarang lagi, bila
perolehan dengan batil menyangkut kebutuhan sekunder apalagi tertier. Dapat
ditambahkan di sini bahwa harta pribadi demi pribadi, seharusnya dirasakan dan
di fungsikan sebagai milik bersama, (harta kamu) yang di buktikan dengan fungsi
sosial harta itu. Redaksi ini juga mengandung kerjasama dan tidak saling
merugikan, karena “Bila mitra saya rugi, saya juga akan merugi”. Bukankah harta
tersebut adalah milik bersama? Karena itu dalam berbisnis, harta hendaknya
diilustrasikan berada di tengah. Inilah yang diisyaratkan oleh ayat di atas
dengan kata (بَيْنَكُمْ)
bainakum/di antara kamu bukankah sesuatu yang di tengah ke arahnya, bahkan
kalau dapat, akan ditarik sedekat mungkin posisinya, demikian juga pihak kedua.
Agar yang ditarik tidak putus , atau agar yang menarik tidak terseret, maka
diperlukan kerelaan mengulur masing-masing. Bahkan yang terbaik adalah bila
masing-masing senang dan bahagia, dengan apa yang diperolehnya.
Ayat
di atas menekankan juga keharusan mengindahkan peraturan-peraturan yang
ditetapkan dan tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan (البا طل) al-bathil, yakni
pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati. Dalam
konteks ini, Nabi saw, bersabda, “kaum muslim sesuai dengan (harus menepati)
syarat-syarat yang mereka sepakati, selama tidak menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halam. Selanjutnya ayat di atas menekankan juga keharusan
adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkannya dengan (عن ترا ض
مِنْكُمْ ) ‘an
taradhin minkum. Walaupun kerelaan adalah sesuatu yang
tersembunyi di lubuk hati, tetapi indicator dan tanda-tandanya dapat terlihat.[2]
Ijab dan qabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah
terima, adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum menunjukkan kerelaan.[3]
Hal inilah yang menunjukkan bahwa wajibnya berakad di dasarkan atas kerelaan
atau suka sama suka.
C. Pandangan Intelektual tentang Akad dalam Al-Qur’an
Akad
merupakan substansi dalam jual beli. sedangkan Ijab qabul adalah penandanya.
Untuk dinyatakan berakad tentulah ada ijab dan qabul didalamnya. Hal ini dapat
di bahas lebih lanjut dalam pengertian, syarat dan rukun, Macam-macam akad,
serta hukum akad di era digital.
1.
Pengertian
Akad
Akad menurut pengertian
bahasa berarti sambungan, janji dan mengikat. Menurut Wahbah al-Zuhail. Akad
ialah “ikatan antara dua perkara, ikatan secara nyata maupun ikatan secara
maknawi dari satu segi maupun dua segi. Sedangkan secara istilah bahwa akad
ialah suatu perikatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih berdasarkan ijab
dan qabul dengan adanya ketentuan syar’i.[4]
2.
Syarat
dan Rukun Akad
1.
Syarat Akad
a. Syarat
terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad
secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut maka akad menjadi batal.
b. Syarat
sah
Syarat sah akad adalah
segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjami keabsahan akad. Jika tidak
dipenuhi maka akad tersebut akan rusak.
c. Syarat
memberikan
Dalam pelaksanaan akad,
ada dua syarat yaitu:
· Kepemilikan
Kepemilikan ialah
sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktifitas dengan apa
yang dimilikinya.
· Kekuasaan
Kekuasaan ialah
kemampuan seseorang dalam melakukan penguasaan baik secara dilakukan sendiri
ataupun menjadi wakil.[5]
· Syarat
keharusan (Lujum)
Dasar dalam akad adalah
kepastian. diantaranya syarat luzum dalam jual beli adalah terhindarnya dari
beberapa khiyar jual beli, khiyar syarat dan khiyar aib. Jiaka luzum tampak
maka akad batal atau dikembalikan.[6]
2.
Rukun akad
Ulama
selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memliki empat rukun, yaitu:
a. Orang
yang akad (‘aqid), contoh: penjual dan pembeli.
b. Sesuatu
yang diakadkan (maqud alaih), contoh: harga atau yang dihargakan.
c. Shighat,
yaitu ijab dan qabul.[7]
d. Maudhu’
al ‘aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka
berbeedalah tujuan pokok akad.[8]
3.
Macam
- Macam Akad
1.
‘Aqad Munjiz
yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya kad.
2.
‘Aqad Mu’alaq
ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang
diakadkan setelah adanya pembayaran.
3.
‘Aqad Mudhaf
ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah
ditentukan akad.
Macam-macam
akad beraneka ragam tergantung dari sudut tinjauannya. Karena ada
perbedaan-perbedaan tinjauan, akad akan ditinjau dari segi-segi berikut:[9]
1.
Ada dan tidaknya
qismah pada akad., maka akad terbagi dua bagian:
a. Akad
musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya,
seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
b. Akad
ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan pleh syara’ dan belum
ditetapkan hukum-hukumnya.
2.
Disyari’atkan
dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi dua bagian:
a. Akad
musyara’ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan jual
beli.
b. Akad
mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang
dalam perut induknya.
3.
Sah dan batalnya
akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi menjadi dua:
a.
Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencukupi
persyaratannya, baik syarat yang khusus maupun syarat yang umum.
b. Akad
fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera karena kurang salah satu syarat
syaratnya, baik syarat umum maupun syarat khusus, seperti nikah tanpa wali.
4.
Sifat bendanya,
ditinjau dari sifat ini benda akad terbagi dua:
a. Akad
‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti
jual beli.
b. Akad
ghair ‘ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang.
5.
Berlakunya dan
tidaknya akad, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad
nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad.
b. Akad
mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian persetujuan-persetujuan.[10]
4.
Hukum
Akad Di Era Digital
Di
era digital kecanggihan alat komunikasi semakin melesat seperti handphone
android bisa digunakan bermedia sosial. Yang awalnya hanya bisa sms dan nelfon,
Akan tetapi, seperti sekarang Whatshapp dapat digunakan untuk berkomunikasi
dengan cepat dan lancar. Hal ini juga mempermudah dalam jual beli yang sering
terjadi. Jual beli itu disebut dengan jual beli online. Hukum akad dalam jual
beli online itu sah menurut syara’ sepanjang memenuhi dalam ijab qabul
Maksudnya antar keduanya harus saling suka sama suka dan ada kerelaan. Kedua,
dalam objek akad dapat berwujud apa yang sudah di sepakati antar kedua belah
pihak. Ketiga, Pihak-pihak yang melaksanakan haruslah berakal, sehat, dewasa,
dan cakap hukum. Keempat, tujuan akad dan akibatnya maksudnya dalam jual beli
ini berupaya dapat membantu dalam kebutuhan dan perekonomian seseorang serta
menjauhi kemudharatan dan mendapatkan kemashlatan bersama.
Selain itu hukum dalam bentuk-bentuk
akad seperti dengan penglafalan, tulisan, dan lisan yang di terapkan pada zaman
masa sekarang atau era digital ini yaitu mubah karena Menurut pendapat ulama
hukum Islam lainnya seperti Nawawi, Mutawali, Baghawi, berpendapat bahwa lafaz
ijab dan qabul dengan bentuk kalimat (ucapan) tidak harus dilakukan. Yang
penting dalam jual beli itu sudah cukup kalau dimengerti oleh adat istiadat dan
kebiasaan setempat. Alasannya, setiap daerah mempunyai cara jual beli yang
sudah dipahami sebagai hukum dan berlaku terus menerus. Selain itu tanpa ucapan
pernyataan sebagai ijab dan qabul akan terjadi peristiwa hukum jual beli kalau
sudah ada penyerahan barang masing-masing pihak seperti yang terjadi di tempat
penjualan umum (pasar atau toko). Sedangkan tulisan yang berisi pernyataan dan
penyerahan seperti akte atau saksi-saksi sudah merupakan ijab dan qabul dalam
jual beli. Pendapat ulama ini menunjukkan keluwesan hukum yang dapat
dilaksanakan aturannya sesuai hukum sepetempat seperti yang banyak dilakukan
sekarang di Indonesia.[11]
Akan tetapi akad yang tidak bisa diubah dalam masa zaman apapun yaitu akad
pernikahan. Karena dalam ijab qabulnya wajib saling bertemu ketika berakad.
Sehingga acara ini sangat sacral atau janji pasangan kepada Allah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Akad
menurut pengertian bahasa berarti sambungan, janji dan mengikat. Menurut Wahbah
al-Zuhail. Akad ialah “ikatan antara dua perkara, ikatan secara nyata maupun
ikatan secara maknawi dari satu segi maupun dua segi. Sedangkan secara istilah
bahwa akad ialah suatu perikatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
berdasarkan ijab dan qabul dengan adanya ketentuan syar’i.
2. Hukum
Akad dalam jual beli yaitu wajib dan mubah. Yang dikatakan hukumnya wajib yaitu
dalam jual beli harus ada kerelaan antar kedua belah pihak atau lebih dan ada
rasa suka sama suka dan saling rela dalam hal tersebut. Sedangkan hukumnya
mubah itu dilihat dari bentuk-bentuk akad yang dilakukan. Hal ini meliputi
lafal, tulisan, dan lisan yang dilakukan melalui media sosial yang mana
mempermudah transaksi dalam jual beli tanpa bertemu langsung akad itu dapat
terlaksana dengan baik.
B. Saran
Makalah yang
saya buat ini masih dikatakan tidak sempurna dalam penyusun materi tentang akad
jual beli. Maka dari itu masukan dan nasehat oleh dosen pengampu yang saya
harapkan agar saya mengetahui letak kesalahannya. Oleh karena itu, saya mohon
maaf jika ada kekurangan dalam penulisan makalah ini, hal ini karena adanya
keterbatasan dalam pemahaman yang saya dapatkan. Akan tetapi, saya tetap
berupaya menjalankan tugas sesuai dengan silabus yang dosen pengampu berikan
untuk membuat makalah individu ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Sakinah. Fiqh Mu’amalah. Pamekasan: Stain Pamekasan Press. 2006.
Syafei,
Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung:
Pustaka Setia. 2001.
Suhendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2013.
Shihab, M. Quraish. Tafsir
Al-Mishbah Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Djamali, Abdul. Hukum Islam. Mandar Maju, 2002.
[1] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 2(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.
391-392.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid. 393.
[4]
Sakinah, Fiqh Mu’amalah( Pamekasan:
Stain Pamekasan Press, 2006), hlm. 21.
[5]
Ibid. 24.
[6] Ibid. 25.
[7] Rachmat Syafei,
Fiqih Muamalah(Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 45.
[8] Suhendi, Fiqh
Muamalah(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 47.
[9] Ibid. 52-53.
[10]
Ibid. 54.
[11]
Abdul Djamali, Hukum Islam(Mandar Maju, 2002), hlm. 154.