Tuesday, 7 November 2017

MAKALAH DALALAH



DALALAH
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Mata Kuliah “Ushul Fiqh”  yang diampu oleh:
Bapak Abbadi Ishomudin


Di susun Oleh:


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
2017KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur semata tertuju hanya bagi Allah YME. Dia-lah yang menganugerahkan al-Qur’an sebagai sebagai hudan li annas, Dia-lah yang Maha Mengetahui makna dan maksud kandungannya.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw dan manusia pilihanNya. Dialah Rasulullah sebagai penyampai, pengamal serta penafsir pertama dan utama terhadap al Quran al Karim.
Dengan pertolongan dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan harapan tepat dan benar sehingga penulis dan pembaca bisa mengambil khidmah dari makalah ini. Penulis menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan tugas makalah ini.
Akhir kata penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak yang telah membimbing dalam menyelesaikan tugas makalah ini beserta teman-teman yang telah membantu dan bekerjasama dengan membangun semangat yang kuat.

Pamekasan, 05 November 2017

penyusun

                                                                                               



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR   ISI.......................................................................................................... ii
BAB I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C.     Tujuan Masalah.............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
      A.  Pengertian Dalalah.........................................................................................2
      B. Macam-macam Dalalah..................................................................................2
C. Pandangan Para Ulama Terhadap Dalalah.................................................... 4
D. Ruang Lingkup Dalalah.................................................................................6

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................................... 8
B.     Saran.............................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 9





 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sumber hukum utama umat Islam adalah al-Qur’an dan al- Hadist, karena dari dua pedoman itu sangat banyak terkandung petunjuk hidup yang terdapat didalamnya, baik itu petunjuk hidup kita di dunia yang sangat beragam mulai dari lahir sampai kita meninggal, dan juga sebagai petunjuk bagaimana menuju jalan akhirat dengan mendapatkan keridhaan Allah swt. Al-qur’an dan hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum memberikan berbagai pengertian yang dapat digali dari berbagai lafadz-lafadz yang terdapat didalamnya.
Untuk bisa menggali dan mengenali bagaimana kita bisa lebih memahami terhadap lafaz-lafaz maka dapat dipahami melalui metode kajian “Dilalah Lafziyah dan Dilalah Ghairu Lafzhiyah”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi dari al-Dalalah?
2.      Bagaimana macam-macam dari al-Dalalah?
3.      Bagaimana pandangan para ulama terhadap dilalah?
4.      Bagaimana ruang lingkup dari dilalah?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi dari al-dalalah.
2.      Untuk mengetahui macam-macam dari al-dalalah.
3.      Untuk mengetahui pandangan para ulama terhadap dilalah.
4.      Untuk mengetahui ruang lingkup dari dilalah.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Dalalah
Arti dilalah (الدلالة)  secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu.” Kata “sesuatu “ yang disebutkan pertama disebut “madlul” atau مدلول (yang ditunjuk). Dalam hungannya dalam hukum yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.[1] Secara bahasa, kata dalalah mempunyai pengertian. (Dalalah adalah sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atau alasan). Lafal ad-dalalah berasal dari bahasa Arab dari kata Mufrad Al-Dalil dengan jamak al-adillah atau al-dalalah. Sedangkan secara terminologi berarti cara petunjuk suatu lafal atas mananya. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan dalalah, berhubungan dengan upaya pemahaman nash dalam suatu petunjuk lafal kepada pengertian yang bisa dipahami oleh nash itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam melakukan istinbath hukum, persoalan yang paling mendasar harus diperhatikan apa yang menyangkut dalil atau pijakan dalam persoalan yang dihadapi, tidak mungkin dapat dilakukan kecuali setelah memahami lafal nash dan dallahnya.
B.     Macam-Macam Dalalah
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu: dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah.
1.      Dilalah lafzhiyah الدلالةاللفظية (petunjuk berbentuk lafad) yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafadz, suara atau kata. Dengan demikian, lafadz, suara, dan kata, menunjukkan kepada maksud tertentu. Petunjuk kepada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a.       Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjuk kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini. umpamanya, “rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa orang itu sakit, meskipun ia tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan. Petunjuk (dilala) seperti ini disebut “thabi’iyah”,  secara lengkap biasa disebut dilalah lafzhiyah thabi’iyah.
b.      Melalui akal. Masudnya, dengan perantara akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada masud tertentu. Umpamanya suara kendaraan di belakang rumah menunjukkan adanya bentuk kendaraan tertentu yang lewat dibelakang rumah itu. Dengan adanya suara dapat dicerna oleh akal bahwa suara tersebut merupakan suara kendaraan dan dapat di pikirkan jenis kendaraan iti. Meskipun kendaraan tersebut belum terlihat. Petunjuk tersebut dinamai “aqliyah”
c.       Melalui “istilah” yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. Umpamanya, kalau kita mendengar ucapan. “binatang yang mengeong”, kita dapat mengetahui bahwa binatang tersebut adalah kucing. Petunjuk tersebut disebut “wadhi’yah”.[2]
2.      Dilalah ghairu lafzhiyah (دلالةغيرلفظية) atau dilalah bukan lafadz, yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafadz dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak besuara” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya seperti “rait muka” seseorang mengandung maksud tertentu.
Diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut:
a.       Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang di mana saja. Umpamanya warna pucat pada wajah seseorang menunjukkan bahwa ia sedang ketakutan atau bisa jadi seseorang tersebut sedang sakit. Petunjuk  seperti ini disebut “thabi’iyah”
b.      Melalui akal. Masudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik diamnya sesuatu. Umpamanya asap yang mengembul dari sesuatu menunjukkan ada api didalamnya.  Meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun bisa dicerna melalui akal. Petunjuk ini disebut “aqliyah”
c.       Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatau sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Misalnya huruf H biasanya digunakan didepan nama seorang muslim yang sudah melakukan ibadah haji. Petunjuk tersebut biasanya disebut “wadh’iyah”.[3]
C.    Dilalah Dalam Pandangan Para Ulama
1. Dilalah dalam pandangan ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah. Dilalah lafzhiyah dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafadz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyah ialah yang menjadi dalil bukan bukan melaui lafadz menurut lahirnya.
a. Dilalah Lafzhiyah
Dilalah ini terbagi menjadi empat macam yang berbeda tingakatan kekuatannya.
1)      Dilalah ibarah atau disebut juga ibarah nash
2)      Dilalah Isyarah atau disebut juga isyarah al-nash.
3)      Dilalah al-dilalah atau disebut juga dilalah an-nash.
4)      Dilalah al-Iqtidha’ atau disebut juga Iqtidha’ al-nash.
b. Dilalah ghairu lafzhiyah
Dilalah ini juga biasa disebut dilalah  sukut atau bayan al-darurah menurut Hanafi terdapat empat macam., yaitu:
1)                                                                                                             اَنْ يَلْزَمَ عَنْ مَذْ كُوْر مَسْكُوتِ عَنْه  
“Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan”
2)                                                         دَلاَلَةٌ حَلِ السَّا كِتِ الَّذِى كَا نَتْ وَطِيْفَتُهُ الْبَيَانُ مُطْلَقَا
Dilalah (penunjukan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah memberi penjelasan”.
3)                                                              اعْتِبَارُ سُكُوتِ السَّاكِتِ دَلاَلَةُ كَالُّنطقِ لِدَفْعِ التَّغْرِيْرِ
menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan pimpinan”.
4)                                           دَلاَلَةُ السُّكُوْتِ علىَ تَعْيِيْنِ معْدُوْدٍ تَعُوْدُ حَذْ فُهُ ضَرُوْرَةَ طُوْلِ الْكَلاَمِ بِذِكْرِهِ.
dilalah sukut (penunjuk diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan”.[4]        
2. Dilalah dalam pandangan Syafi’iyah          
     Dalam pandangan ulama syafi’iyah, dilalah itu ada dua macam, yaitu dilalah Manthuq dan dilalah mafhum.
a.      Dilalah Manthuq
Dilalah manthuq dalam pandangan ulama Syafi’iyah adalah:
دَلاَلَةَاللَّفْظِ فِى مَحَلِّ النُّطْقِ عَلَى حُكْمِ الْمَذْ كُوْرِ
penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafadz”.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami “suatu hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafadz itu, maka disebut pemahaman secara “manthiq”.
Secara garis besar dilalah manthiqterbagi menjadi dua macam yaitu:
1). Manthiq Sharikh ialah manthiq yang penunjukannya itu timbul dari “wadh’iayah muthabiqiyah” dan wadh’iyah tadhamminiyah”
2). Manthiq ghairu sharikh (tidak jelas) merupakan manthiq yang penunjukannya timbul dari “wadh’iyah iltizhamiyah”.
b. Dilalah Mafhum
Dilalah mafhum ialah:
penunjukan lafaz yang tidak dibicrakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan”.
Dari definisi diatas terlihat ada dua mcam mafhum:
1). Mafhum Muwafaqah merupakan mafhum yang lafaz-nya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafadz.
2). Mafhum  Mukhalafah merupakan mafhum yang lafad-nya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Mafhun ini terbagi kepada dua bentuk yaitu mafhum sifat dan mafhum syarat.[5]
D.    Objek Kajian Ilmu Dalalah
Sebagai disiplin ilmu yang mengkaji masalah makna, maka yang menjadi objek kajian ilmu ini adalah:
1. Aspek makna kata (al-ma’na al-mu’jami)
2. Aspek bentuk kata (sighah sharfiyyah)
3. Aspek struktur kalimat
4. Aspek ungkapan yang terkait erat dengan budaya penutur dan terkadang tidak dapat diterjemahkan secara harfiyah ke dalam bahasa lain.
5. Aspek intonasi (suara).[6]
Adapun ruang lingkup kajian dalalah dari segi lain adalah:
1. al-Dal (petunjuk, pemakna) lafadz dan al- madlul (yang ditunjuk, dimaknai, makna) serta hubungan simbolik diantara keduanya.
Lafadz dalam bahasa Arab dapat dikategorikan dalam 4 macam:
a. Monosemi (al-tabayyun) yaitu, satu lafadz menunjukkan satu makna.
b. Hiponimi (al-isytimal) yaitu, satu lafadz yang menunjukkan makna umum yang mencakup beberapa arti yang menjadi turunannya. Dalam pengertian lain disebutkan, hiponimi adalah hubungan ujaran yang maknanya tercangkup dalam makna bentuk ujaran lain.
c. Sinonimi (al-taroduf) yaitu, beberapa lafadz yang menunjukkan satu makna meskipun tidak sama persis. Dalam pengertian lain disebutkan pula, sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antar satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lain.
d. polisemi (ta’addud al-makna) yaitu, satu lafadz yang mengandung lebih dari satu makna, jika dua mana itu tidak saling berlawanan maka disebut al-tadhadh (antonim).
2. Perkembangan makna, sebab dan kaedahnya, dan hubungan kontekstual dan situasional dalam kehidupan, ilmu dan seni.
3. Majaz (kiasan) berikut aplikasi semantik dan hubungan stilisiknya.[7]







BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Arti dilalah (الدلالة)  secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu.
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu: dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah.
Pandangan para ulama terhadap dilalah: Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah. Dilalah lafzhiyah dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafadz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyah ialah yang menjadi dalil bukan bukan melaui lafadz menurut lahirnya. Dalam pandangan ulama syafi’iyah, dilalah itu ada dua macam, yaitu dilalah Manthuq dan dilalah mafhum.
Sebagai disiplin ilmu yang mengkaji masalah makna, maka yang menjadi objek kajian ilmu ini adalah:
1. Aspek makna kata (al-ma’na al-mu’jami)
2. Aspek bentuk kata (sighah sharfiyyah)
3. Aspek struktur kalimat
4. Aspek ungkapan yang terkait erat dengan budaya penutur dan terkadang tidak dapat diterjemahkan secara harfiyah ke dalam bahasa lain.
5. Aspek intonasi (suara)
B.     SARAN
Dari uraian diatas konsepsi lafad dilalah dalam menginstimbtkan hukum perlu disosialisasikan pada masyarakat agar tidak terjadi pengabaian terhadap prosedur cara penggalian hukum dari nash untuk kepentingan pendekatan lafal nash dari arah penerapannya sesuai kebutuhan.


DAFTAR RUJUKAN
Dayah, Fayaz Al Ilmu al Dilalah  al-Araby Baina  al Nazariyah Wa  al Tathbiqi, Damsyiq: Dar al Fikr, 1996.
http://athisyatulilmi.blogspot.com/2010/03/ilmu-dilalah .html. diakses pada tanggal 06-11-2017. Pukul. 20:30
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: KENCANA Prenada Media Group, 2014.





[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: KENCANA Prenada Media Group, 2014), hal. 139
[2] Amir, Ushul Fiqh, hal.140-141
[3] Amir, Ushul Fiqh, hal. 142-143
[4] Ibid, hal 158-160
[5] Ibid, hal. 161-167
[6] Fayaz Al Dayah, Ilmu al Dilalah  al-Araby Baina  al Nazariyah Wa  al Tathbiqi, (Damsyiq: Dar al Fikr, 1996), hal. 20
[7] http://athisyatulilmi.blogspot.com/2010/03/ilmu-dilalah .html. diakses pada tanggal 06-11-2017. Pukul. 20:30