DALALAH
MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Mata Kuliah “Ushul Fiqh” yang diampu oleh:
Bapak
Abbadi Ishomudin
Di
susun Oleh:
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
2017KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur semata tertuju hanya bagi Allah
YME. Dia-lah yang
menganugerahkan al-Qur’an sebagai sebagai
hudan li annas, Dia-lah yang Maha Mengetahui
makna dan maksud kandungannya.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw dan manusia pilihanNya. Dialah Rasulullah sebagai penyampai, pengamal serta penafsir pertama dan utama terhadap al
Quran
al Karim.
Dengan pertolongan dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan harapan tepat dan benar sehingga penulis dan pembaca bisa mengambil khidmah dari makalah ini. Penulis menyadari bahwa tugas
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan tugas makalah
ini.
Akhir kata
penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak yang telah membimbing dalam menyelesaikan
tugas makalah ini beserta teman-teman yang telah membantu dan bekerjasama dengan
membangun semangat yang kuat.
Pamekasan,
05 November 2017
penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR
ISI.......................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C.
Tujuan Masalah.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dalalah.........................................................................................2
B. Macam-macam Dalalah..................................................................................2
C. Pandangan Para Ulama Terhadap Dalalah.................................................... 4
D. Ruang Lingkup
Dalalah.................................................................................6
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 8
B.
Saran.............................................................................................................. 8
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................. 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sumber hukum
utama umat Islam adalah al-Qur’an dan al- Hadist, karena dari dua pedoman itu
sangat banyak terkandung petunjuk hidup yang terdapat didalamnya, baik itu
petunjuk hidup kita di dunia yang sangat beragam mulai dari lahir sampai kita
meninggal, dan juga sebagai petunjuk bagaimana menuju jalan akhirat dengan
mendapatkan keridhaan Allah swt. Al-qur’an dan hadis yang dijadikan sebagai
sumber hukum memberikan berbagai pengertian yang dapat digali dari berbagai
lafadz-lafadz yang terdapat didalamnya.
Untuk bisa
menggali dan mengenali bagaimana kita bisa lebih memahami terhadap lafaz-lafaz
maka dapat dipahami melalui metode kajian “Dilalah Lafziyah dan Dilalah
Ghairu Lafzhiyah”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana definisi dari al-Dalalah?
2.
Bagaimana macam-macam dari al-Dalalah?
3.
Bagaimana pandangan para ulama terhadap dilalah?
4.
Bagaimana ruang lingkup dari dilalah?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui definisi dari al-dalalah.
2.
Untuk mengetahui macam-macam dari al-dalalah.
3.
Untuk mengetahui pandangan para ulama terhadap dilalah.
4.
Untuk mengetahui ruang lingkup dari dilalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dalalah
Arti dilalah (الدلالة) secara umum adalah: “memahami sesuatu atas
sesuatu.” Kata “sesuatu “ yang disebutkan pertama disebut “madlul” atau مدلول (yang ditunjuk). Dalam
hungannya dalam hukum yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu
sendiri.[1] Secara
bahasa, kata dalalah mempunyai pengertian. (Dalalah adalah
sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atau alasan). Lafal ad-dalalah berasal
dari bahasa Arab dari kata Mufrad Al-Dalil dengan jamak al-adillah atau
al-dalalah. Sedangkan secara terminologi berarti cara petunjuk suatu
lafal atas mananya. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan dalalah,
berhubungan dengan upaya pemahaman nash dalam suatu petunjuk lafal kepada
pengertian yang bisa dipahami oleh nash itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam melakukan istinbath hukum, persoalan
yang paling mendasar harus diperhatikan apa yang menyangkut dalil atau pijakan
dalam persoalan yang dihadapi, tidak mungkin dapat dilakukan kecuali setelah
memahami lafal nash dan dallahnya.
B.
Macam-Macam Dalalah
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui
sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu: dilalah lafzhiyah dan dilalah
ghairu lafzhiyah.
1.
Dilalah lafzhiyah الدلالةاللفظية (petunjuk berbentuk lafad) yaitu dilalah dengan dalil
yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafadz, suara
atau kata. Dengan demikian, lafadz, suara, dan kata, menunjukkan kepada maksud
tertentu. Petunjuk kepada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a.
Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjuk kepada maksud
tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini. umpamanya,
“rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang
yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Dengan adanya
rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa orang itu sakit, meskipun ia tidak
pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan. Petunjuk (dilala) seperti
ini disebut “thabi’iyah”, secara
lengkap biasa disebut dilalah lafzhiyah thabi’iyah.
b.
Melalui akal. Masudnya, dengan perantara akal pikiran, seseorang
dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada
masud tertentu. Umpamanya suara kendaraan di belakang rumah menunjukkan adanya
bentuk kendaraan tertentu yang lewat dibelakang rumah itu. Dengan adanya suara
dapat dicerna oleh akal bahwa suara tersebut merupakan suara kendaraan dan
dapat di pikirkan jenis kendaraan iti. Meskipun kendaraan tersebut belum
terlihat. Petunjuk tersebut dinamai “aqliyah”
c.
Melalui “istilah” yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud
tertentu. Umpamanya, kalau kita mendengar ucapan. “binatang yang mengeong”,
kita dapat mengetahui bahwa binatang tersebut adalah kucing. Petunjuk tersebut
disebut “wadhi’yah”.[2]
2.
Dilalah ghairu lafzhiyah (دلالةغيرلفظية) atau dilalah bukan lafadz, yaitu
dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafadz dan bukan pula
dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak besuara” sesuatu
dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya seperti “rait muka”
seseorang mengandung maksud tertentu.
Diamnya
sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut:
a.
Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua
orang di mana saja. Umpamanya warna pucat pada wajah seseorang menunjukkan
bahwa ia sedang ketakutan atau bisa jadi seseorang tersebut sedang sakit.
Petunjuk seperti ini disebut “thabi’iyah”
b.
Melalui akal. Masudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun
akal dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik diamnya sesuatu. Umpamanya asap
yang mengembul dari sesuatu menunjukkan ada api didalamnya. Meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk
suara atau kata, namun bisa dicerna melalui akal. Petunjuk ini disebut
“aqliyah”
c.
Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatau sebagai tanda atau
isyarat untuk maksud tertentu. Misalnya huruf H biasanya digunakan didepan nama
seorang muslim yang sudah melakukan ibadah haji. Petunjuk tersebut biasanya
disebut “wadh’iyah”.[3]
C.
Dilalah Dalam Pandangan Para Ulama
1.
Dilalah dalam pandangan ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah
lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah. Dilalah lafzhiyah dalam
pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafadz menurut lahirnya. Dilalah
ghairu lafzhiyah ialah yang menjadi dalil bukan bukan melaui lafadz menurut
lahirnya.
a. Dilalah Lafzhiyah
Dilalah
ini terbagi menjadi empat macam yang berbeda tingakatan kekuatannya.
1)
Dilalah ibarah atau
disebut juga ibarah nash
2)
Dilalah Isyarah atau
disebut juga isyarah al-nash.
3)
Dilalah al-dilalah atau
disebut juga dilalah an-nash.
4)
Dilalah al-Iqtidha’ atau
disebut juga Iqtidha’ al-nash.
b. Dilalah ghairu lafzhiyah
Dilalah ini juga biasa disebut dilalah sukut atau bayan al-darurah menurut
Hanafi terdapat empat macam., yaitu:
1)
اَنْ يَلْزَمَ عَنْ مَذْ كُوْر مَسْكُوتِ عَنْه
“Kelaziman dari menyebutkan sesuatu
untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan”
2)
دَلاَلَةٌ حَلِ السَّا كِتِ الَّذِى كَا نَتْ وَطِيْفَتُهُ الْبَيَانُ
مُطْلَقَا
“Dilalah (penunjukan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya
adalah memberi penjelasan”.
3)
اعْتِبَارُ سُكُوتِ السَّاكِتِ دَلاَلَةُ كَالُّنطقِ
لِدَفْعِ التَّغْرِيْرِ
“menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk
menghindarkan pimpinan”.
4)
دَلاَلَةُ السُّكُوْتِ علىَ تَعْيِيْنِ
معْدُوْدٍ تَعُوْدُ حَذْ فُهُ ضَرُوْرَةَ طُوْلِ الْكَلاَمِ بِذِكْرِهِ.
“dilalah sukut (penunjuk diam) yang
menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk
menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan”.[4]
2. Dilalah
dalam pandangan Syafi’iyah
Dalam
pandangan ulama syafi’iyah, dilalah itu ada dua macam, yaitu dilalah
Manthuq dan dilalah mafhum.
a. Dilalah Manthuq
Dilalah manthuq dalam pandangan ulama Syafi’iyah
adalah:
دَلاَلَةَاللَّفْظِ فِى مَحَلِّ النُّطْقِ عَلَى حُكْمِ الْمَذْ
كُوْرِ
“penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut
apa yang disebut dalam lafadz”.
Definisi ini
mengandung pengertian bahwa bila kita memahami “suatu hukum” dari apa yang
langsung tersurat dalam lafadz itu, maka disebut pemahaman secara “manthiq”.
Secara garis besar dilalah manthiqterbagi menjadi dua macam yaitu:
1). Manthiq Sharikh ialah manthiq yang penunjukannya itu timbul
dari “wadh’iayah muthabiqiyah” dan wadh’iyah tadhamminiyah”
2). Manthiq ghairu sharikh (tidak jelas) merupakan manthiq yang
penunjukannya timbul dari “wadh’iyah iltizhamiyah”.
b. Dilalah Mafhum
Dilalah mafhum ialah:
“penunjukan lafaz yang tidak dibicrakan atas berlakunya hukum
yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan”.
Dari definisi diatas terlihat ada dua mcam mafhum:
1). Mafhum Muwafaqah merupakan mafhum yang lafaz-nya menunjukkan
bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam
lafadz.
2). Mafhum Mukhalafah
merupakan mafhum yang lafad-nya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan
berbeda dengan hukum yang disebutkan. Mafhun ini terbagi kepada dua bentuk
yaitu mafhum sifat dan mafhum syarat.[5]
D.
Objek Kajian Ilmu Dalalah
Sebagai
disiplin ilmu yang mengkaji masalah makna, maka yang menjadi objek kajian ilmu
ini adalah:
1. Aspek makna
kata (al-ma’na al-mu’jami)
2. Aspek bentuk
kata (sighah sharfiyyah)
3. Aspek
struktur kalimat
4.
Aspek ungkapan yang terkait erat dengan budaya penutur dan terkadang tidak
dapat diterjemahkan secara harfiyah ke dalam bahasa lain.
5.
Aspek intonasi (suara).[6]
Adapun
ruang lingkup kajian dalalah dari segi lain adalah:
1. al-Dal (petunjuk, pemakna) lafadz dan al- madlul (yang
ditunjuk, dimaknai, makna) serta hubungan simbolik diantara keduanya.
Lafadz
dalam bahasa Arab dapat dikategorikan dalam 4 macam:
a.
Monosemi (al-tabayyun) yaitu, satu lafadz menunjukkan satu makna.
b.
Hiponimi (al-isytimal) yaitu, satu lafadz yang menunjukkan makna umum
yang mencakup beberapa arti yang menjadi turunannya. Dalam pengertian lain
disebutkan, hiponimi adalah hubungan ujaran yang maknanya tercangkup dalam
makna bentuk ujaran lain.
c. Sinonimi (al-taroduf)
yaitu, beberapa lafadz yang menunjukkan satu makna meskipun tidak sama
persis. Dalam pengertian lain disebutkan pula, sinonimi adalah hubungan
semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antar satu satuan ujaran dengan
satuan ujaran lain.
d. polisemi (ta’addud
al-makna) yaitu, satu lafadz yang mengandung lebih dari satu makna, jika
dua mana itu tidak saling berlawanan maka disebut al-tadhadh (antonim).
2. Perkembangan makna, sebab dan kaedahnya, dan hubungan
kontekstual dan situasional dalam kehidupan, ilmu dan seni.
3. Majaz (kiasan) berikut aplikasi semantik dan hubungan
stilisiknya.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Arti dilalah
(الدلالة) secara umum adalah: “memahami sesuatu atas
sesuatu.
Ditinjau dari
segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu
ada dua macam, yaitu: dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah.
Pandangan para
ulama terhadap dilalah: Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua
macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah. Dilalah
lafzhiyah dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafadz
menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyah ialah yang menjadi dalil
bukan bukan melaui lafadz menurut lahirnya. Dalam pandangan ulama syafi’iyah, dilalah
itu ada dua macam, yaitu dilalah Manthuq dan dilalah mafhum.
Sebagai disiplin ilmu yang mengkaji masalah makna, maka yang
menjadi objek kajian ilmu ini adalah:
1. Aspek makna
kata (al-ma’na al-mu’jami)
2. Aspek bentuk
kata (sighah sharfiyyah)
3. Aspek
struktur kalimat
4.
Aspek ungkapan yang terkait erat dengan budaya penutur dan terkadang tidak
dapat diterjemahkan secara harfiyah ke dalam bahasa lain.
5.
Aspek intonasi (suara)
B.
SARAN
Dari uraian diatas konsepsi lafad dilalah dalam menginstimbtkan
hukum perlu disosialisasikan pada masyarakat agar tidak terjadi pengabaian
terhadap prosedur cara penggalian hukum dari nash untuk kepentingan pendekatan
lafal nash dari arah penerapannya sesuai kebutuhan.
DAFTAR RUJUKAN
Dayah,
Fayaz Al Ilmu al Dilalah al-Araby
Baina al Nazariyah Wa al Tathbiqi, Damsyiq: Dar al Fikr, 1996.
http://athisyatulilmi.blogspot.com/2010/03/ilmu-dilalah .html. diakses pada tanggal 06-11-2017. Pukul. 20:30
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: KENCANA Prenada Media Group, 2014.
[1] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: KENCANA Prenada Media Group,
2014), hal. 139
[2] Amir, Ushul
Fiqh, hal.140-141
[3] Amir, Ushul
Fiqh, hal. 142-143
[4] Ibid, hal
158-160
[5] Ibid, hal.
161-167
[6] Fayaz Al
Dayah, Ilmu al Dilalah al-Araby
Baina al Nazariyah Wa al Tathbiqi, (Damsyiq: Dar al Fikr,
1996), hal. 20
[7] http://athisyatulilmi.blogspot.com/2010/03/ilmu-dilalah
.html. diakses pada tanggal 06-11-2017. Pukul. 20:30