BAB I
PENDAHULUAN
Manusia, tidak dapat dipungkiri setiap manusia yang hidup di dunia ini membutuhkan yang namanya kepastian hukum yang membuat manusia menjadi mahluk yang beradab, salah satu ilmu yang membasnya adalah Fiqih.Fiqih adalah ilmu yang berkaitan dengan syariat yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.Didalam fiqih terdapat cabang pembahasan dari mulai ibadah sampai muamalah.
Dalam mata kuliah fiqih II ini membahas tentang muamalah yang salah satunya membahas tentang gadai, dalamfikih islam disebut ar-rahn. Gadai sering kita jumpai dalam sisi kehidupan manusia apalagi pada zaman sekarang, gadai sudah ada yang me-lembagakan.Sehingga memudahkan manusia untuk bermuamalah.
Makalah ini akan membahas seputar hal-hal yang berkaiatan dengan gadai, dari mulai pengertian hingga hukum-hukum yang membahasnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gadai
Transaksi hukum gadai dalam fikih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.[1]Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam (??????????? ????????????), yang berarti �tetap� dan �kekal�, seperti dalam kalimat maun rahin (????????????), yang berarti air tenang.
Secara bahasa kata ar-rahn berarti �menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang�.[2]Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan, sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus.
Namun pengetian gadai yang terungkap dalam pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu makna gadai (rahn) dalam bahasa perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan.[3]
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum islam, Zainudin Ali berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.[4]
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) diatas, maka tampak bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan.karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial.
Jika Pengertian gadai syariah (rahn) menahan harta salah satu milik nasabah atau rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang atau pinjaman atau marhun bih yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis.Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.[5]
B. Dasar Hukum Gadai Syariah
1. Al-Qur�an
Q.S Al-Baqarah (2) ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun konsep gadai adalah sebagai berikut.
*b�)ur�O�FZ�.4?n?t�9�x�y?�Ns9ur(#r�?�fs?$Y6�?%x.�`�yd��s��p|�q�7�)�B(�b�*s�z`�Br&N�3����t/$V���t/�j?xs�?�=s�?�%�!$#z`�J�?�t$#��mtFuZ�tBr&�,�Gu?�9ur�!$#��m�/u?3?wur(#q�J�G�3s?noy?�yg��9$#4`tBur$yg�J�G�6t?���m�R�*s��N�O#u���m�6�=s%3�!$#ur$yJ�/tbq�=yJ��s?�O?�=t������
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.( Q.S. Al-Baqarah (2): 283 )
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur�an diatas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (rahn).[6]
2. Hadis Nabi Muhammad SAW
Hadis A�isyah ra yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:
????????? ?? ??????? ??????? ???? ?? ???? ???:?????????? ?? ???? ?? ????? ?? ?????? ?? ????????? ?? ??? ????:????? ???? ???? ??? ???? ???? ???? ?? ????? ?????????? ???? ?? ???? (???? ????)
Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hazhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin �Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari �Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah SAW. Membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya.[7](HR. Muslim)
3. Ijma� Ulama
Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hokum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan kisah nabi Nabi Muhammad saw. Yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw. tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw. yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. kepada mereka.[8]
C. Hakikat dan Fungsi Gadai Syariah
Dalam Al-Qur�an surat Al-Baqarah ayat 283 dijelaskan bahwa gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah, dimana sikap menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam hadist Rasulullah Saw.dari Ummul Mu�minin �Aisyah ra.yang diriwayatkan Abu-Hurairah, disana nampak sikap menolong antara Rasulullah Saw. dengan orang yahudi saat Rasulullah Saw menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi tersebut.[9]
Maka pada dasarnya, hakikat dan fungsi pegadaian dalam Islam adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersil dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.[10]
D. Sejarah Pegadaian Secara Umum dan Khusus
1. Sejarah Pegadaian Secara Umum
Gadai merupakan praktik transaksi keuangan yang sudah lama dalam sejarah peradaban manusia. Sistem rumah gadai yang paling tua terdapat di negara Cina pada 3.000 tahun yang silam, juga di benua eropa dan kawasan laut tengah pada zaman Romawi dahulu. Namun di Indonesia, praktik gadai sudah berumur ratusan tahun, yaitu warga masyarakat telah terbiasa melakukan transaksi utang-piutang dengan jaminan barang.[11]
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, lembaga pegadaian ikenal di Indonesia sejak tahun 1746 yang ditandai dengan Gubernur Jenderal VOC Van Imhoff mendirikan Bank Van Leening.Namun diyakini oleh bangsa Indonesia bahwa jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia telah mengenal transaksi gadai dengan menjalankan praktik utang-piutang dengan jaminan barang.Oleh karena itu, perum pegadaian merupakan sarana alternatif pertama dan sudah ada sejak lama serta sudah banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia.
2. Sejarah Pegadaian Secara Khusus (Syariah)
Sejarah pegadaian secara khusus dimaksudkan oleh Zainuddin Ali adalah sejarah pegadaian syariah.Sejarah pegadaian syariah di Indonesia tidak dapat dicerai pisahkan dari kemauan warga masyarakat Islam untuk melaksanakan transaksi akad gadai berdasarkan prinsip syariah dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan praktik ekonomi dan lembaga keuangan yang sesuai dengan nilai dan prinsip hukum Islam.Hal dimaksud, dilatarbelakangi oleh maraknya aspirasi dari warga masyarakat Islam di berbagai daerah yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam dalam berbagai aspeknya termasuk pegadaian syariah.Selain itu, semakin pepulernya praktik bisnis ekonomi syariah dan mempunyai peluang yang cerah untuk dikembangkan.[12]
E. Rukun dan Syarat-syarat Gadai
1. Rukun Gadai.
a. Aqid (orang yang berakad)
Aqidadalah orang yang melakukan akad meliputi 2 (dua) arah, yaitu :
1) Rahin (orang yang menggadaikan barangnya), dan
2) Murtahin (orang yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau penerima gadai.
Hal dimaksud, didasari oleh shighat, yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah-terima antara penggadai dengan penerima gadai).Untuk melaksanakan akad rahn yang memenuhi kriteria Islam, sehingga akad yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih harus memnuhi beberapa rukun dan syarat.[13]
b. Ma�qud �alaih (Barang yang Diakadkan)
Ma'qud 'alaih meliputi dua hal, yaitu:
1) Marhun (barang yang digadaikan), dan
2) Marhun bihi (dain), atau uang yang karenanya diadakan akad rahn.
2. Syarat-syarat Gadai
Selain rukun yang harus terpenuhi dalam transaksi gadai, maka dipersyaratkan juga syarat. Syarat-syarat gadai dimaksud, terdiri dari atas: (a) shighat, (b) pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum, (c) utang (marhun bih), dan (d) marhun. Keempatnya diuraikan sebagai berikut:
a. Shighat
Syarat Shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang akan datang.
b. pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum,
Pihak �pihak yang berakad cakap menurut hukum mempunyai pengertian bahwa pihak Rahndan Marhun cakap melakukan perbuatan hukum, yang ditandai dengan akil baligh, berakal sehat, dan mampu melakukan akad.Menurut sebagian pengikut ulama Abu Hanifah membolahkan anak- anak yang mumayiz untuk melakukan akad karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk.Syarat oaring yang menggadikan dan orang yang menerima gadai adalah cakap brtindak dalam kacamata hukum.
c. Utang (marhun bih)
Utang (marhun bih) mempunyai pengertian bahwa :
a. utang adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar kepada pihak yang memberi piutang.
b. Merupakan barang yang dapat dimanfaatakan, dan jika tidak bermanfaat maka tidak sah.
c. Barang tersebut dapat dihitng jumlahnya
d. Barang yang digadaikan (Marhun)
Marhunadalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai) atau wakilnya, sebagai jaminan utang. Para ulama menyepakati bahwa syarat yang belaku pada barang gadai adalah:
1) Agunan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat Islam
2) Aguanan itu harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang
3) Aguanan itu harus jelas dan tertentu
4) Aguanan itu harus milik sah debitur
5) Aguanan itu tidak terikat dengan hak orang lain
6) Agunan itu harus harta yang utuh, tidak berada dibeberapa tempat
7) Aguanan itu dapat diserahkan kepada pihak lain, baik materi maupun manfaatnya.
3. Status Barang Gadai
Ulama fiqih menyatakan bahwa rahnbaru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan secara hukum sudah berada ditangan penerima gadai (murtahin/kreditor), dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh pemberi gadai (rahin/debitur).Apabila barang itu telah dikuasai oleh kreditor maka akad rahn itu mengikat kedua belah pihak.Karena itu, status hukum barang gadai terbentuk pada saat terjadinya akad atau kontrak utang-piutang yang dibarengi dengan penyerahan jaminan.
Suatu gadai menjadi sah sesudah terjadinya utang.Para ulama menilai hal dimaksud sah karena utang memang tetap menuntut pengambilan jaminan.
F. Perbandingan antara Gadai Syariah dengan Gadai Konvensional
Apabila membandingkan produk gadai syariah versi Bank Syariah Mandiri dengan pegadaian konpvensional, maka pegadaian syariah dapat menjadi alternatif bagi orang yang membutuhkan dana murah, cepat, dapn sesuai hukum Islam. Biaya gadai dimaksud hanya 4% selama dua bulan, jauh lebih kecil dari bunga di perum pegadaian yang mencapai 14% per empat bulan.Keabsahan prinsip syariahnya dapat dilihat pada keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah dan fatwa lainnya yang berkaitan gadai.[14]
1. Jasa Gadai Syariah
Pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan gadai syariah.Gadai syariah dimaksud, dalam istilah bahasa Arab disebut rahn.Rahn tersebut beroperasional berdasarkan prinsip syariah sehingga tidak mengenakan bungan tetapi menggunakan pendekatan bagi hasil yang dikenal dengan istilah mudhorobah atau Fee Based Income.
Pegadaian syariah sebagai penerima gadai disebut murtahin dan pemberi gadai disebut rahin. Rahin akan mendapatkan surat bukti gadai (rahn) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut akad gadai syariah dan akad sewa tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bahwa dalam jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh pegadaian (murtahin) guna melunasi pinjaman. Sedangkan akad sewa tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai dalam menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.[15]
2. Jasa Gadai Konvensional
Pegadaian konvensioanl memberikan pinjaman kepada warga masyarakat mulai dari Rp. 10.000,00 sampai Rp20 juta persutar gadai.Namun demikian, pegadaian juga memiliki produk untuk pinjaman di atas Rp20 juta.Perhitungan bunga dilakukan setiap 15 hari. Sebagai contoh, bila seseorang menggadaikan suatu barang dan kemudian menerima kredit gadai sebesar Rp. 1.000.000,00 maka setiap 15 hari ke depan, bila bunga yang dikenakan 1,5% per 15 hari, orang dimaksud mesti membayar bunga sebesar Rp15 ribu per lima belas hari. Yang unik dan mungkin sedikit merugikan bagi nasabah pegadaian adalah bila seseorang ingin melunasi misalnya dalam jangka waktu 17 hari maka orang itu akan dikenakan bunga untuk 30 hari. Mengapa? Karena pegadaian menghitung bunga setiap 15 hari dan untuk setiap kelebihannya akan dibulatkan menjadi 15 hari sehingga nasabah harus benar-benar menaati jadwal pembayaran bunga sesuai dengan waktunya.[16]
Perbedaan mendasar antara pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional adalah dalam pengenaan biayanya, pegadaian konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda; lain halnya biaya di pegadaian syariah tidak berbentuk bunga, tetapi berupa biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, dan penaksiran. Biaya gadai syariah lebih kecil dan hanya sekali dikenakan.[17]
BAB III
KESIMPULAN
Transaksi hukum gadai dalam fikih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam (??????????? ????????????), yang berarti �tetap� dan �kekal�, seperti dalam kalimat maun rahin (????????????), yang berarti air tenang
Pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan gadai syariah.Gadai syariah dimaksud, dalam istilah bahasa Arab disebut rahn.Rahn tersebut beroperasional berdasarkan prinsip syariah sehingga tidak mengenakan bungan tetapi menggunakan pendekatan bagi hasil yang dikenal dengan istilah mudhorobah atau Fee Based Income
Pegadaian syariah sebagai penerima gadai disebut murtahin dan pemberi gadai disebut rahin. Rahin akan mendapatkan surat bukti gadai (rahn) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut akad gadai syariah dan akad sewa tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bahwa dalam jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh pegadaian (murtahin) guna melunasi pinjaman. Sedangkan akad sewa tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai dalam menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
DAFTAR PUSTAKA
Zainudin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, s2008), hlm. 1.
Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan sistem operasional, (Jakarta: UI- Press, 2005),
[1]. Zainudin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.
[2] . Ibid.
[3] . Ibid.,hlm. 2.
[4] . Ibid.,hlm. 3.
[5] . Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan sistem operasional, (Jakarta: UI-Press, 2005), hlm. 38.
[6] . Zainudin Ali, Op.Cit.,hlm. 5.
[7] . Ibid.,hlm. 7.
[8] . Ibid.,hlm. 8.
[9] . Sasli Rais, Op.Cit.,hlm. 41.
[10] . Ibid.,hlm. 42.
[11] . Ibid.,hlm. 9.
[12] . Ibid.,hlm. 15.
[13]. Ibid.,hlm. 20.
[14] . Ibid.,hlm. 78.
[15] . Ibid.,hlm. 79.
[16] . Ibid.,hlm. 81.