Wednesday 16 October 2013

Makalah tentang Istishab sebagai metode istinbatul ahkam





ISTISHAB, AL �URF, SADDUZ ZARI�AH, QAUL SHAHABI, DAN SYAR�U MAN QABLANA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


BAB I.
 PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.

Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra�yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang �mengatur� proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra�yu para fuqaha. Dan
diantaranya adalah istishhab, �urf, sadduz zariah, qaul shahabi dan syar�u man qablana yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.


B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian istishhab dan macam-macam istishhab itu ?
2.      Apa definisi �urf dalam kajian ushul fiqh, pembagian �urf dalam kajian ushul fiqh, dan syarat-syarat �urf yang dijadikan sebagai sumber hukum ?
3.      Apa definisi sadduz zariah, jenis-jenis sadduz zariah serta kehujjahannya ?
4.      Apa definisi dari qaul shahabi dan bisakah qaul shahabi dijadikan sumber hukum ?
5.      Apa definisi syar�u man qablana,dan apa saja macam-macam Syar�u Man Qoblana ?




BAB II
PEMBAHASAN


A. ISTISHHAB
1. Pengertian Istishhab
Istishhab secara etimologi adalah isim masdar dari istashhaba yastashhibu istishhaban diambil dari �??????? ?? ??????? � yang berarti thalab as-shuhbah atau mencari hubungan atau adanya saling keterkaitan.
Adapun menurut ulama ushul ialah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.[1]
2. Macam-macam Istishhab
Muhammad Abu Zahroh membagi Istishhab menjadi 4 bagian :
1. Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut :
seperti tidak adanya kewajiban melaksanakan syari�at bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia wajib melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
2. Ishtishhab ma dalla asy-Syar�i au al-�Aqli �ala Wujudih bisa dipahami yaitu bahwa nash menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan ) sehingga ada dalil yang menghilangkan hukum tersebut. Seperti dalam contoh : seperti dalam pernikahan bahwa pernikahan itu akan tetap sah ketika belum ada dalil yang menunjukan telah berpisah seperti dengan men-talaq.
3. Istishhab al-hukmi bisa dipahami apabila hukum itu menunjukan pada dua terma yaitu boleh atau dilarang, maka itu tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya. Seperti dalam sebuah ayat Allah Swt, berfirman :
� Dia-lah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu�� ( QS. 02:29 )
Maka setiap apa yang ada di muka bumi ini pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang melarangnya.
4. Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu, seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna,rasa atau baunya.

B. �URF
1. Pengertian �Urf
           Dari segi bahasa (etimologi), �urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf �ain, ra, dan fa (???) yang berarti �kenal�. Dari kata ini muncul kata ma�rifah (yang dikenal atau pengetahuan), ta�rif (definisi), ma�ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata �urf (kebiasaan yang baik).
            Arti �urf secara harfiyah adalah suatu keadaan,ucapan,perbuatan,atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat, �urf sering disebut adat.[2]
            Dr. Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya menyebutkan �urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.
            Menurut ahli Syara`,�urf bermakna adat. Dengan kata lain�urf dan adat itu tidak ada perbedaan
2. Pembagian �Urf
            �Urf dapat dibagi atas beberapa bagian.Ditinjau dari segi sifatnya,�urf terbagi kepada �urf qauliy dan �urf �amaliy :
a. �Urf qauliy
           Ialah �urf yang berupa perkataan, seperti kata walad (??????). Menurut bahasa, walad berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan perempuan. Namun dalam kebiasaan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja.
b. �Urf �amaliy
           Ialah �Urf yang berupa perbuatan. Contohnya seperti jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shigat atau ijab qabul. Padahal menurut syara�, iajb qabul merupakan salah satu dari rukun jual beli. Tetapi dikarenakan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak terjadi hal-hal yang negatif, maka syara� membolehkannya.
            Adapun ditinjau dari segi ruang lingkupnya, �urf terbagi kepada �urf �amm dan �urf khash:
a. �Urf �amm
            Ialah suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat luas, tidak dibatasi oleh kedaerahan ataupun wilayah. Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A menyebutkan dalam bukunya bahwa �urf �amm yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar wilayah masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya seperti kebiasaan masyarakat secara umum yang menggunakan uang kertas sebagai alat tukar dalam jual beli, ataupun kebiasaan masyarakat yang memuliakan setiap orang yang mempunyai kelebihan di antara masyarakat tersebut.
b. �Urf Khash
            Ialah suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di wilayah tertentu. Contohnya seperti dalam hal pernikahan, tradisi suku Batak adalah tidak bolehnya menikah laki-laki dan perempuan yang semarga, dikarenakan mereka menganggap antara laki-laki dan perempuan itu masih mempunyai  pertalian darah. Adapun kebiasaan sebagian bangsa Arab, menikahkan anaknya dengan anak saudara laki-lakinya adalah lebih utama, dikarenakan pernikahan itu akan membuat hubungan kekeluargaan lebih rapat.
            Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, �urf terbagi kepada �urf shahih dan �urf fasid:
a. �Urf Shahih
            Ialah suatu tradisi atau  kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur�an dan Hadits, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. Contohnya seperti tradisi masyarakat Aceh dan Indonesia umumnya, menggunakan kain sarung dan kopiah/peci untuk shalat. Ataupun tradisi masyarakat membuat kue-kue ketika hari raya Islam, membawa kado atau hadiah pada acara walimatul �ursy (pesta pernikahan), dan lain-lain.
b. �Urf Fasid
            Ialah suatu tradisi atau  kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan Al-Qur�an dan Hadits, serta menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.
            Contohnya seperti tradisi masyarakat yang menyajikan sesajen di kuburan atau di tempat-tempat angker lainnya. Hal tersebut merupakan kemusyrikan dan sangat bertentangan dengan dalil syara�, kebiasaan yang seperti inilah yang harus diberantas dan tidak dapat dijadikan panutan. Ada pula seperti tradisi sebagian masyarakat yang merayakan hari ulang tahun seseorang seperti perayaan yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir. Ataupun adat kebiasaan masyarakat yang sering kita lihat pada saat adanya event-event akbar seperti piala dunia, di mana orang-orang saling bertaruh menentukan siapa pemenang ataupun yang kalah.
 3. Syarat-Syarat �Urf yang Dijadikan Sumber Hukum
           Kembali Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A. menjelaskan dalam bukunya bahwa �urf yang disepakati oleh seluruh ulama keberlakuannya adalah Al-�urf ash-shahih al-�amm al-muththarid (�urf yang benar dan hukumnya berlaku secara umum), dengan syarat sebagai berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan nash syara� yang bersifat qath�I, dan
2.      Tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syara� yang bersifat prinsip.


C.Sadd adz-dzari�ah
1.Pengertian
Secara bahasa kata Sadd ((??? berarti penghalang atau sumbat dan adz-dzariah (???????????) berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan.
Maka dapat dikatakan bahwa saddudz dzari�ah adalah upaya menghambat atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.[3]Bisa juga diartikan melarang suatu perbuatan untuk menghindari perbuatan lain yang dilarang.
2. Macam-Macam Sadd adz-dzari�ah
Adz-Dzari�ah dibagi menjadi dua yaitu:
a. Dari segi kualitas kemafsadatannya, dzari�ah dibagi menjadi empat:
         . Dzari�ah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat, misalnya menggali sumur di jalan umum yang gelap.
         Dzari�ah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat misalnya menanam pohon anggur. Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi hal ini termasuk jarang. Karena itu, dzari�ah ini tidak perlu dilarang.
         Dzari�ah/perbuatan yang diduga keras akan membawa mafsadat, misalnya menjual anggur kepada perusahaan pembuat minuman keras. Dzari�ah ini harus dilarang.
         Dzari�ah/perbuatan yang sering membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat melainkan hanya asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara kredit yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaanpendapat di kalangan ulama tentang dzar�ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus dilarang dan ada yang berpendapat sebaliknya.
b. Dzari�ah dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari�ah jenis ini dibagi menjadi 2, yaitu:
         Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadata.
         Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, namun digunakan untuk melakukan perbuatan yang haram baik disengaja ataupun tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan yang tidak sengaja misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang mengakibatkan orang tuanya juga dicaci-maki orang tersebut.
Ibnu Qayyim juga membagi dzari�ah jenis ini menjadi dua yaitu
         yang kemaslahatannya lebih besar dari kemafsadatannya
         yang kemafsadatannya lebih besar dari kemaslahatannya
c. Dzari�ah dilhat dari bentuknya dibagi menjadi empat, yaitu:
         Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan misalnya meminum mminuman keras. Hal ini dilarang oleh syara�
         Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi dilakukan untuk suatu kemafsadatan, misalnya nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh syara�.
         Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya akan mengakibatkan mafsadat, misalnya mencaci sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh syara�
         Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang membawa mafsadat, misalnya melihat wanita yang dipinang. Tetapi menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka dibolehkan sesuai kebutuhan.
3. Kehujahan Sadd adz-dzari�ah.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangulama tentang metode sadd adz-dzari�ah ini.
a. Ulama yang menerima sepenuhnya
Ulama malikiyah dan hanabilah dapat menerima kehujjahan sadd adz-dzari�ah ini sebagai salah satu dalil syara�. Alasan mereka antara lain:
a. Firman Allah dalam surat An An�am, 6: 108:
????? ???????????????????? ?????????? ???? ?????? ????? ????????????????? ??????? ???????? ?????? (?????? 108)
�Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan�.(QS: An An�am:108)
b. Hadits Rasulullah saw.
???????????? ????? ????? ??????????? ?????? ????? ?????? ???????? ???????? ???? ?????? ??????
�Ingatlah, tanaman Allah adalah ma�siat-ma�siat kepada-Nya. Siapa yang menggembalakan di sekitar tanaman tersebut, ia akan terjerumus di dalamnya. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
b. Ulama yang menerima secara terbatas
Ulama Hanafiyah, Syafi�iyah, dan Syi�ah dapat menerima sadd adz-dzari�ah sebagai dalil jika kemafsadatan yang akan muncul itu dipastikan akan terjadi atau paling tidak diduga keras akan terjadi jika sebuah dzari�ah dikerjakan.
c. Ulama� yang menolak
Ulama dhohiriyah tidak menerima sadd adz-dzar�ah sebagai salah satu dalil dalalm menetapkan hukum syara�. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya beramal berdasarkan nash secara harfiah dan tidak menerima logika dalam masalah hukum.

D. Qaul Shahabi

1.Pengertian
Kata �Qaul� adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut adalah �perkataan�. Sedangkan kata �sahahabi� artinya adalah shahabat atau teman. Jadi yang di maksud dengan �Qaulush shahabi� disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah. Qaul shahabi juga Termasuk salah satu sumber pengambilan hukum islam setelah urutan sumber-sumber utama yang disepakati, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijma� dan Qiyas.
 Qaulus shahabi termasuk sumber-sumber hukum Islam, tetapi derajatnya
tidak mencapai derajat ittifaq menurut sebahagian ulama. Maksudnya,
tidak semua ulama sepakat menggunakannya dalam mengistimbathkan hukum. Selanjutnya qaul shahabi secara logika nalar, seharusnya apa yang mereka katakan itu bersumber dari Rasulullah SAW juga. Namun pendapat para shahabat itu terutama muncul manakala tidak ada nash yang sharih dari Rasulullah SAW
tentang suatu masalah. Di situlah kemudian para shahabat mengeluarkan
pendapatnya. Selain itu, qaulush shahabi biasanya berbentuk kesimpulan hukum
yang lafadznya tidak langsung dari ucapan nabi SAW, melainkan dari mulut para
shahabat. Seperti seorang shahabat berkata, Rasulullah SAW memerintah kita
untuk begini dan begini. Atau perkataan seorang shahabat, Rasulullah SAW
melarang kita untuk begitu dan begitu.

2. Macam-Macam Qaul Shahabi
            Menurut pandangan abi  Zahrah, fatwa shahabat bisa terdiri dari beberapa macam:
      a.      Apa yang disampaikan shahabat itu berupa berita yang didengarnya dari rasulullah, tetapi ia tidak mengatakan bahwa berita itu sebagai sunnah nabi SAW.
      b.      Apa yang diberitakan para shahabat itu  suatu yang didengarnya dari orang yang pernah mendengarnya dari nabi SAW, tapi orang tersebut tidak menjelaskan yang didengarnya itu berasal dari nabi.
      c.      Sesuatu yang disampaikan shahabat itu merupakan hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat al-quran sedangkan shahabat lain tidak memahaminya.
      d.      Sesuatu yang disampaikan para shahabat itu telah disepakati lingkungannya. Namun, menyampaikannya hanya shahabat sendiri.
      e.      Apa yang disampaikan shahabat itu merupakan hasil pemahamannya atas dalil-dalil karena kamapuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafazh.


3. Kedudukan Qaul Shahabi
            Mengenai  pendapat shahabat terhadap orang-orang sesudah shahabat dapat diperincikan sebagai berikut :
      a.      Pendapat shahabat dalam hal yang tidak ditanggapi oleh akal fikiran. Pendapat semacam ini menjadi hujjah terhadap kaum muslimin, karena yang dikatakannya tidak boleh tidak berasal dari nabi.
      b.      Pendapat shahabat yang tidak disalahi oleh shahabat lain. Pendapat semacam ini menjadi hujjah bagi kaum muslimin, karena pendapat tersebut merupakan ijma� shahabat.
      c.      Pendapat shahabat itu hasil ijtihadnya sendiri, sedangkan diantara shahabat ada yang tidak sepakat dengan pendapat itu. Pendapat shahabat seperti inilah yang diperselisihkan kehujjahannya dikalangan ulama.

4. Kehujjahan Qaul Shahabi
      a.      Fatwa shahabat yang bukan berasal dari hasil ijtihadnya, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara�, baik pendapat itu berupa syara� maupun berupa ketetapan hukum.
      b.      Fatwa shahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka yang dikenal dengan ijma� shahabat. Fatwa seperti ini merupakan hujjah dan mengikuti bagi generasi sesudahnya.
      c.      Fatwa shahabat secara individu tidak mengikat shahabat lain. Oleh sebab itu, tidak jarang para mujtahid dikalangan shahabat berbeda pendapat dalam suatu mujadalah.
      d.      Fatwa shahabat secara individu yang berasal dari hasil ijtihadnya dan tidak terdapat kesepakatan shahabat tentangnaya.
Kalangan hanafiyah, Imam malik, Qaul qadim syafi�I dan pendapat terkuat dari imam ahmad bin hanbal menyatakan bahwa pendapat yang dilakukan melalui ijtihad dapat dijadikan hujjah. Dan apbila terjadi perbedaan dengan qiyas, maka pendapat shahabat yang didahulukan.
Menurut kalangan mu�tazilah, syi�ah, salah satu pendapat imam ahmad bin hanbal berpendapat bahwa fatwa shahabat tidak mengikat generasi sesudah mereka. Ada alasan yang dikemukakan oleh ulama ini diantaranya firman allah SWT, dalam surah Al-hasyar ayat 592  yang artinya �Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai pandangan�. Mereka yang berpegang pada pendapat ini beralasan bahwa shahabat bukanlah termasuk orang yang dijamin ma�sum (terbebas dari dosa dan kesalahan), sama halnya dengan para mujtahid lainnya.
Imam syafi�i menyatakan bahwa hukum atau fatwa hanya boleh disandarkan kepada dalil yang pasti yaitu al-quran dan sunnah.
Beberapa contoh fatwa shahabat
      1.      Fatwa aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2 (dua) tahun melalui ungkapannya �Anak tidak berada didalam perut ibinya lebih dari dua tahun.
      2.      Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga) hari.
      3.      Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa �idah harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk selamanya.

E. SYAR�U MAN QABLANA
1. Pengertian Syar�u Man Qoblana
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita (Syar�u Man Qoblana) ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad SAW.[4]
2. Macam-Macam Syar�u Man Qablana
Syar�u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur�an dan al-Sunnah. Ulama� sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur�an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :


         Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari�at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.


         Dianggap syariat kita melalui al-Qur�an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.


Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi�iyah, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal, hukum-hukum seperti itu berlaku bagi umat Islam.
Alasannya:
1. Pada dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga. Oleh karena itu, apa yang disyariatkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur�an berlaku kepada umat Muhammad SAW.
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain:
� Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibarahim yang hanif.� (QS. An-Nahl/16:123)
Menurut para ulama Mu�tazilah, Syi�ah, sebagian kalangan Syafi�iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Qur�an,tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW. kecuali ada ketegasan untuk itu. Diantara alas an mereka terdapat dalam Al-Qur�an surah al-Maidah ayat 48.
Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya �Ilmu Ushul al-Fiqh menjelaskan, bahwa yang terkuat dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang pertama diatas. Alasannya, bahwa syariat Islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam. Oleh karena itu, segala hukum-hukumsyariat para nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Qur�an tanpa ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah dinasakh (dihapuskan), maka hukum-hukum itu berlaku bagi umat Nabi Mumammad SAW.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada zaman modernisasi ini telah banyak terdapat problema-problema tentang hukum-hukum agama, terutama kasus-kasus yang belum pernah terjadi dimasa Rasulullah SAW, dan masa Shahabat. Banyak orang yang memakai sumber-sumber hukum yang belum jelas kedudukannya terhadap generasi sekarang ini, juga agar kaum muslimin dan muslima memandang jauh kedepan tentang kedudukan sumber hukum diatas serta kehujjahannya terhadap generasi sekarang.
           
B. Saran
Selanjutnya melalui makalah ini, saya mangajak kepada kaum muslimin dan kaum muslimat khususnya para mahasiswa agar meninjau kembali beberapa fatwa shahabat mengenai kasus-kasus hukum yang belum terdapat didalam Al-Qur�an dan sunnah rasulullah SAW. Serta dapat melihat dengan jelas beberapa perbedaan pendapat ulama tentang kedudukan sumber hukum islam yang masih diperdebatkan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 2. (Jakarta: Kencana.2008)
http://hitampelangiku.blogspot.com/2010/01/syaru-man-qoblana.html
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh Dar Al-Fikr Al-�Arabi, Kairo.
Abdullah, Sulaiman, Dr. H. Sumber Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 1995.
Haroen, Nasrun, Drs. H.M. A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996.
 Dahlan, Dr. H. Abd. Rahman, M. A. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : Amza.
Khalaf, Prof. Dr. Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushulul Fiqh. Bandung : Gema Risalah
Prof.Dr.Rahmat Syafe�i,MA., Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, Pustaka Setia 1998
Prof.Dr.H.Alaiddin Koto,M.A.,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta,PT.RajaGravindo Persada,2004



[1] Prof.Dr.Rahmat Syafe�i,MA., Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Jakarta, 1998, hlm.125.
[2] Ibid, hlm.128.
[3] Prof.Dr.H.Alaiddin Koto,M.A.,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, PT.RajaGravindo Persada, Jakarta,2004, hlm.113