Tuesday, 8 September 2015

makalah studi tokoh pendidikan islam lengkap "Al-Ghazali"


AL-GHAZALI
Disusun untuk memenuhi tugas:
Mata kuliah               : Studi Tokoh Pendidikan Islam
Dosen pengampu      : Moch. Iskarim, M.S.I.
Disusun Oleh :
Kelas F
M. Miftakhul Aziz                  : 2021111018
Laila Fitriyah                           : 2021111031
Niswatun Khasanah                : 2021111033
Muhammad Syafi�i                 : 2021111065

PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) PEKALONGAN
2014
PENDAHULUAN
Al-Ghazali adalah sosok filofof yang mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan. Semasa hidupnya sejak kanak-kanak hingga dewasa beliau pernah belajar kepada beberapa guru diberbagai daerah sehingga beliau memperoleh banyak ilmu. Ilmu-ilmu tersebutlah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya di kemudian hari. Pemikiran pendidikan Al-Ghazali ini lebih baik, sistematis, dan komprehensif dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Hal ini disebabkan karena beliau adalah seorang guru besar yang juga sekaligus pemikir besar. Selain itu beliau memiliki banyak keahlian yang dikuasai, wajar bila sesudahnya memberi berbagai gelar penghormatan kepadanya.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang Al-Ghazali baik dari segi biografi, setting sosial, corak pemikiran-pemikiran pendidikannya.
















PEMBAHASAN
A.  Biografi Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Beliau lahir pada tahun 450 H/1059 M di Ghazaleh, kota kecil yang terletak di Tus, wilayah Khurasan, dan wafat di Tabristan wilayah propinsi Tus pada tahun 505 H/1111 M.[1]
Ayahnya seorang pemintal wol, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Al-Ghazali adalah salah satu anak dari dua bersaudara, dan ketika ayahnya akan meninggal, ia berpesan kepada sahabatnya agar kedua putranya diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Semasa hidupnya ia belajar kepada beberapa guru, antara lain: Ahmad bin Muhammad ar-Radzikani di Tus, Abi Nashr al-Isma�ili di Jurjani, dan Imam al-Haramain. Al-Ghazali adalah orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan nalar yang jernih, hingga Al-Juwaini memberi predikat kepada beliau sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan �laut dalam nan menggelamkan�.[2]
B.  Setting Sosial
Setengah abad dari usia beliau dilalui dalam abad ke-5 H, hanya lebih kurang lima tahun dia sempat mereguk udara abad berikutnya. Itulah masa hidup beliau yang dihabiskannya beberapa lama di Khurasan, Iran (tempat kelahiran dan pendidikannya), di Baghdad, Irak (tempat puncak karir intelektualnya), dan di Damaskus, Mekkah, Madinah dan kota-kota lain.
Diantara unsur kultural yang paling berpengaruh pada masa Al-Ghazali adalah filsafat, baik filsafat Yunani, India maupun Persia. Filsafat Yunani banyak diserap para teolog, filsafat India diadaptasi oleh kaum Sufi, dan filsafat Persia banyak mempengaruhi doktrin Syi�ah dalam konsep Imamah. Tetapi yang lebih penting lagi pada masa itu dalam mempropagandakan fahamnya, masing-masing aliran menggunakan filsafat (terutama logika) sebagai alatnya, sehinggga intelektual, baik itu yang menerima maupun ynag menolak unsur-unsur filsafat dalam agama, harus mempelajari filsafat terlebih dahulu.
Interdependensi antara para penguasa dan para ulama pada masa itu juga membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu, meskipun bukan hanya bermotif untuk pengembangan ilmu, tetapi juga untuk mendapat simpati dari penguasa, yang selalu memantau kemajuan mereka untuk menduduki jabatan intelektual yang menggiurkan. Tetapi usaha pengembangan ilmu ini diarahkan pihak penguasa kepada suatu misi bersama, yaitu mengantisipasi pengaruh pemikiran filsafat dan kalam Mu�tazilah karena akibat bebasnya penggunaan akal terhadap kajian agama serta faktor historis yang kelam. Karena itu, menurut penilaian pihak penguasa dan para ulama yang sama-sama menganut Ahlussunnah, filsafat dan Mu�tazilah adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Dalam situasi dan masa seperti ini Al-Ghazali lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir terkemuka dalam sejarah.[3]
C.  Karya-Karya Al-Ghazali
Karya-karya al-Ghazali meliputi ilmu pengetahuan di antaranya sebagai berikut:
1.    Ihya Ulumuddin, tentang ilmu kalam, tasawuf dan akhlaq.
2.    Ayyuhal Walad, sebuah buku tentang akhlaq.
3.    Al-Munqidz min ad-Dalal.
4.    Maqosidul Falasifah dan Tahafutul falasifah, buku tentang filsafat.
5.    Kitab-kitab lainnya seperti Mizanul �Amal dan Miyarul Ilmi.[4]


D.  Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah tokoh yang sangat memperhatikan bidang pendidikan. menurut beliau, pendidikanlah yang banyak membentuk corak kehidupan suatu bangsa. Pendidikan beliau ini lebih baik, sistematis dan komprehensif jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang  lain. Karena beliau adalah seorang guru besar juga sekaligus pemikir besar.
Kunci pokok pemikiran beliau dapat ditemukan pada pertanyaan tentang hakikat pendidikan, yakni mengedepankan kesucian jiwa dari akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela, karena ilmu merupakan ibadahnya hati, shalat yang bersifat rahasia dan pendekatan batin kepada Allah SWT.[5]
Untuk mengetahui pemikiran Al-Ghazali dalam bidang pendidikan lebih dulu kita harus mengetahui dan memahami pemikiran beliau yang berkenaan dengan berbagai aspek, antara lain:
1.    Peranan Pendidikan
Dalam peranannya, pendidikan itu sangat menentukan corak kehidupan bangsa dan pemikirannya. Dalam pendidikan, pemikiran Al-Ghazali lebih bersifat empirisme, karena beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak itu tergantung kepada orang tua dan  termasuk juga guru yang mendidiknya. Hal tersebut sesuai dengan pesan Rasulullah SAW yang menegaskan:
�setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, atau Majusi.� (H.R Muslim).




Juga terdapat dalam firman Allah SWT Q.S An-Nahl 78:
!$#ur N3y_tzr& .`iB bq/ N3FygB& ?w ?cqJn=s? $\?x ?@yy_ur N3s9 yJ9$# t|/F{$#ur noy?F{$#ur   N3=ys9 ?cr3s?
Artinya: dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa ketika seseorang yang terlahir itu diberi potensi oleh Allah, maka selanjutnya yaitu tugas orangtua yang akan mengarahkannya, akankah sesuai dengan potensinya, atau bahkan sebaliknya.
2.    Tujuan pendidikan
Menurut Al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya harus mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah SWT dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat. Pendekatan diri kepada Allah SWT merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat melakukan hal tersebut hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak bisa didapat tanpa melalui proses pengajaran.
Maka dapat dipahami bahwa menurut beliau tujuan pendidikan dibagi menjadi dua:[6]
a.    Tujuan Jangka Panjang
Tujuan pendidikan jangka panjang menurut Al-Ghazali adalah pendekatan diri kepada Allah SWT yang dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan Pencipta alam.


Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Dzariyat 56:
$tBur M)n=yz `g:$# }RM}$#ur ?w) br?7u?9
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.�
Upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah dengan melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, kemudian di samping melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, juga senantiasa harus mengkaji ilmu-ilmu fardhu �ain. Karena di sanalah terdapat hidayah agama yang termuat dalam ilmu syari�ah. Sementara orang yang melaksanakan ilmu fardhu kifayat sehingga mendapatkan profesi-tertentu dan akhirnya mampu melaksankan tugas keduniaan dengan hasil maksimal dan optimal, namun tidak disertai dengan hidayah agama, maka orang tersebut tidak semakin dekat kepada Allah SWT, bahkan sebaliknya. Hal tersebut dikutip oleh Al-Ghazali dari sebuah hadist:[7]
�Barang siapa menambah ilmu (keduniaan) tetapi tidak menambah hidayah, ia tidak semakin dekat kepada Allah SWT, dan justru semakin jauh dari-Nya.� (HR. Dailamy dari Ali).
b.   Tujuan Jangka Pendek
Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia sesuai bakat dan kemampuannya. Untuk mencapainya, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan, baik yang termasuk fardhu �ain maupun fardhu kifayat. Dari tujuan di atas, beliau menyinggung masalah pangkat, kedudukan, kemegahan, popularitas, dan kemuliaan dunia secara naluri. Semua itu bukanlah tujuan dasar seseorang yang melibatkan diri dalam pendidikan. Namun beliau menegaskan bahwa langkah awal seseorang dalam belajar adalah untuk mensucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah menghidupkan syari�at dan misi Rasulullah SAW, bukan untuk kemegahan duniawi, mengejar pangkat, atau popularitas.
Dapat dirumuskan bahwa tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
a.    Mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan kemampuan dan kesadaran melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
b.    Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c.    Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d.   Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwa dari sifat-sifat tercela.
e.    Mengembangkan sifat-sifat utama manusia sehingga bersifat manusiawi.[8]
3.    Kurikulum
Pandangan Al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangan mengenai ilmu pengetahuan. Beliau membagi ilmu pengetahuan menjadi beberapa bagian:
a.    Ilmu yang tercela.
b.    Ilmu yang terpuji.
c.    Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu yang tidak boleh diperdalam.
Dari ketiga kelompok di atas kemudian beliau membaginya lagi dalam dua kelompok dilihat dari segi kepentingan sebagai berikut:
a.    Ilmu yang wajib atau fardhu, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber dari kitab Allah SWT.
b.    Ilmu yang fardhu kifayat, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi.
Al-Ghazali menitik-perhatiankan pengajaran ilmu pengetahuan yang digali dari kandungan Al-Qur�an, karena ilmu ini akan bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Sedangkan ilmu bahasa dan gramatika berguna untuk mempelajari ilmu agama, atau dalam keadaan darurat saja. Sedangkan ilmu kedokteran, matematika dan teknologi bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia. Ilmu-ilmu syair, sastra, sejarah, politik, dan etika bermanfaat bagi manusia dilihat dari segi kebudayaan bagi kesenangan berilmu serta sebagai kelengkapan dalam hidup bermasyarakat.
Sejalan dengan itu, Al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah yaitu:
a.    Ilmu al-Qur�an dan ilmu agama.
b.    Bahasa.
c.    Ilmu-ilmu yang fardlu kifayah.
d.   Ilmu kebudayaan.[9]
4.    Metode
Al-Ghazali lebih menekankan metode kepada pendidikan agama dan akhlak, sebagai berikut:
a.    Metode Khusus Pendidikan Agama
Metode pendidikan agama menurut beliau, pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan aqidah. Hal ini merupakan contoh dari pengalaman pribadinya sebagai sufi dan orang yang taat beribadah. Menurut beliau untuk mencegah manusia dari keraguan terhadap persoalan agama adalah adanya keimanan terhadap Allah SWT. Menerima dengan jiwa yang jernih dan akidah yang pasti pada usia sedini mungkin. Yang diharapkan agar menjadi mmanusia yang berkepribadian sempurna. Agama dijadikan pembimbing akal maka manusia mampu hidup dalam keseimbangan dalam arti seluas-luasnya.
b.   Metode Khusus Pendidikan Akhlak
Pendidikan apapun itu, menurut Al-Ghazali haruslah mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. Untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, bukan hal yang mudah, dan tidak akan berhasil dalam menghadapi permasalahan akhlak dan pelaksanaan pendidikan secara umum jika hanya menggunakan satu metode saja. Seorang guru harus memilih metode pendidikan tang sesuai dengan usia dan tabiat anak, daya tangkap dan daya tolaknya. Menurut beliau metode yang dipakai yakni metode pelatihan atau praktis dan metode-metode khusus membentuk akhlak yang mulia dilihat dari kondisi anak didiknya.[10]
5.    Pendidik
Ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan menurut Al-Ghozali:
a.    Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anaknya.
b.    Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya, karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnya terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c.    Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu itu bukan untuk kebanggan diri atau mencari keuntungan pribadi tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
d.   Guru haru membantu muridnya unutk mencari ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu yang membantu menuju kebahagiaandunia dan akhirat.
e.    Guru harus memeberikan contoh yang baik kepada muridnya.
f.     Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
g.    Guru harus dapat menanamkan pada pribadi anak didiknya sehingga pikiran anak didiknya akan di jiwai oleh keimanan.[11]
6.    Peserta Didik
Hal-halyang harus dipenuhi peserta didik dalam proses belajar mengajar diuraikan Al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad, yang diringkas sebagai berikut:
a.    Seorang murid hendaklah menjauhkan diri dari perbuatan keji, mungkar, dan maksiat.
b.    Seorang murid hendaknya senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c.    Seorang murid hendaknya memusatkan perhatiannya atau konsentrasi terhadap ilmu yang sedang dikaji atau dipelajarinya.
d.   Seorang murid jangan menyombongkan diri dengan ilmunya dan janganlah menentang gurunya.
e.    Setiap murid hendaklah tidak melibatkan diri dalam perdebatan atau diskusi tentang segala ilmu pengetahuan baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan sebelum terlebih dahulu mengkaji dan memperkukuh pandangan ilmu-ilmu itu.
f.     Seorang murid hendaknya tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun dari ilmu pengetahuan yang gterpuji, selain dengan memendang kepada maksud dan tujuan dari masing-masing ilmu.
g.    Seorang murid hendaklah tidak memasuki bidang ilmu pengetahuan dengan serentak tetapi memelihara tertentu dan memulianya dengan yang lebih penting.


E.  Analisis
Al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan pendidikan yaitu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta diraihnya profesi sesuai dengan bakat dan kemampuan manusia. Dengan berbagai cara yang ditempuh oleh beliau melalui kurikulum, metode, hal-hal yang harus dilakukan pendidik,  peserta didik dan lain sebagainya adalah dalam rangka mencetak manusia yang memiliki kecerdasan baik secara intelektual maupun spiritual.
Namun, jika dicermati lebih dalam tampaknya masih sangat jauh jika pendidikan yang ada saat ini disandingkan dengan tujuan pendidikan yang diterapkan oleh beliau, hal tersebut bisa dilihat di negara Indonesia sendiri. Ketika pendidikan yang hanya diartikan sebagai pengajaran, yaitu hanya menekankan tranfer of  knowledge tanpa memperhatikan transfer of value, tampak ketika pendidik hanya memberikan pengetahuan kepada peserta didik yang akhirnya melahirkan outputyang cerdas intelektual namun pincang secara moral dan spiritualnya, contoh yang nyata ialah menjamurnya koruptor di negeri ini. kemudian kurangnya suasana kasih sayang antara guru dan murid dalam interaksi pendidikan, sehingga terjadi hubungan yang baik antara guru dengan murid dan hal itu juga dapat mengakibatkan murid berani menentang atau melawan guru.
Dengan semakin modernnya zaman serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi tentu tidak sedikit mempengaruhi dunia pendidikan yang lebih didominasi oleh efek negatif. Dengan demikian pendidikan perlu diperbaiki, tidak hanya subjek didiknya, metode pengajaran, kurikulum, dan segi lain yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan, tetapi juga dari sistem pendidikan itu sendiri. Maka dibutuhkan pendidikan yang benar-benar mampu membangkitkan intelektualitas dan spiritualitas. Dengan segala sesuatu yang serba modern, namun seharusnya tidak melupakan pemikiran klasik  tentang pendidikan dari Al-Ghazali yang justru mampu mencetak manusia-manusia yang sempurna sehingga mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.

KESIMPULAN
Al-Ghazali (450 H-505 H/1059 M-1111 M). Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. beliau adalah salah seorang tokoh pembaharu pendidikan Islam yang mempunyai pemikiran cemerlang. Menurut beliau pendidikan dapat membentuk corak kehidupan bangsa. Dengan pendidikan yang baik, maka akan tercipta suatu bangsa yang baik begitu pula sebaliknya. Dan baik-buruk pendidikan seseorang tergantung pada bagaimana orangtua mendidiknya sejak kecil.
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT serta diraihnya profesi sesuai dengan bakat dan minat manusia itu sendiri. Adapun mengenai materi pendidikannya, beliau berpendapat bahwa titik perhatian dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid adalah ilmu pengetahuan yang digali dari kandungan Al-Qur�an, karena ilmu ini akan bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, membersihkan jiwa, memperindah akhlak dan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode yang digunakan hendaknya diselaraskan dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, sesuai dengan tingakat usia, kecerdasan dan bakat.
Konsep dan pemikiran Al-Ghazali dalam bidang pendidikan Islam telah menjadi inspirasi pada generasi selanjutnya dalam mengembangkan pendidikan Islam yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.








DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Rusn, Abidin. 2005. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawan, Samsul dan Mahrus, Erwin. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Sholehuddin, M. Sugeng. 2010. Reiventing Kepemimpinan Dalam Pendidkan islam.Pekalongan, STAIN Press.
Suwito dan Fauzan. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media.




[1] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 159.
[2] Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 82-83.
[3] M. Sugeng Sholehuddin, Reiventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Press, 2010), hlm. 40-45.
[4]Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 45.
[5] Ibid, hlm. 88-89.
[6] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, cet. Ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 57.
[7] Ibid, hlm. 58.
[8] Ibid, hlm. 59-61.
[9] Abuddin Nata, Op. Cit.,  hlm. 166-167.
[10] Abidin Ibnu Rusn, Op. Cit., hlm. 97-101.
[11] M. Sugeng Sholehuddin, Op. Cit., hlm. 51.