Tuesday 8 September 2015

makalah studi tokoh pendidikan islam "ibnu khladun"


IBNUKHALDUN
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah    : Studi Tokoh Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Moch. Iskarim, M.S.I
Untitled
Oleh:
Mohamad Juhdi Syiarudin      2021 111 069
Dewi Suryani                          2021 111 093
Mirza Fajrian                           2021 111 110
Asep Rohmatul Yahya            2021 111 120
Kelas: F
PROGRAM STUDI PAI
JURUSAN TARBIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan manusia. Pendidikan juga sebagai penopang sebuah Negara, pendidikan merupakan suatu keniscayaan bagisebuah negara yang menginginkan pencapaian kemajuan dalam segala bidang. Tanpa SDM yang mumpuni kemajuan sebuah negara adalah mustahil dan untuk menghasilkan SDM yang mumpuni inilah dibutuhkan sistem pendidikan yang baik. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai perbuatan mendidik.
Pendidikan merupakan tolak ukur suatu Negara, yang mana dalam Kemajuan yang dicapai peradaban Islam di zaman kekhalifahan tak lepas dari keberhasilan dunia pendidikan. Pada zaman itu, kota-kota Islam telah menjelma menjadi pusat pendidikan dan peradaban yang sangat maju. Perkembangan dunia pendidikan tentunya tidak akan terlepas dari sumbang sih para ilmuwan yang mencurahkan segala perhatiannya pada dunia pendidikan ini. Begitu pun yang dilakukan oleh para ulama sebagai yang merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan ilmu-Nya. Ibnu Khaldun adalah intelektual muslim yang mempunyai andil terhadap pendidikan, dimana Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina memberikan pemikirannya tentang konsep pendidikan










PEMBAHASAN

A.  Biografi dan Setting Sosial-Politik Ibnu Khaldun
Ibnu khaldun mempunyai nama lengkap Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibnu Khaldun. Ia lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo pada 17 Maret 1406 M. Ibnu Khaldun dilahirkan dari keluarga ilmuwan dan terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan. Suatu jabatan yang jarang dijumpai dan mampu diraih orang pada masa itu. Beliau pertama kali menerima pendidikan langsung dari ayahnya, sejak kecil Ia telah mempelajari tajwid, menghafal al-Qur�an dan fasih dalam qira�an al sab�ah, di samping dengan ayahnya ia juga mempelajari tafsir, hadits, fiqih(maliki), gramatika bahasa arab, ilmu mantiq, dan filsafat dengan sejumlah ulama Andalusia dan Tunisia.[1]
Ibnu  Khaldun adalah seorang yang sejak kecil haus akan ilmu pengetahuan, selalu tidak puas dengan ilmu yang telah diperolehnya, sehingga memungkinkan beliau mempunyai banyak guru. Tidak heran jika beliau termasuk orang yang pandai dalam ilmu Islam, tidak saja dalam bidang agama, tetapi juga bidang-bidang umum seperti sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi.[2]
Hampir sepanjang hidupnya, beliau dedikasihkan untuk menekuni ilmu pengetahuan. Tidak sedikit guru- guru yang beliau timba ilmunya antara lain: Syaikh Abu Abdillah Bin Al-Araby Al-Hasjoyiry, Abu Abdillah Muhammad Bin Asy-Syawas Az-Zarzaly, Abu Al-Abbas Ahmad bin Al-Qoshar, dan Abu Abdillah Muhammad bin Bahr, mereka adalah guru-guru yang mengajarkan bahasa Arab, tidak heran jika Ibnu Khaldun termasuk pemikir yang interaktif dan mudah diterima hasil- hasil pemikirannya karena kepiawaian beliau dalam menggunakan bahasa. Ini semua menunjukan bahwa kesungguhan beliau dalam mencari ilmu yang ditekuninya, tidak hanya asal- asalan dan merasa cukup berguru kepada satu atau dua orang guru saja. Dan berkat dukungan material dan dorongan orangtuanya yang sungguh-sungguh memberikan arahan kepada putranya dalam belajar ilmu.[3] 
Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad, Ia berkecimpung dalam bidang politik, kemudian mengundurkan diri dari bidang politik serta menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian. Ia ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Ia meninggal pada 794 H/ 1384 M akibat wabah pes yang melanda Afrika Utara dengan meninggalkan lima orang anak. Ketika ayahnya meninggal, Ibnu Khaldun masih berusia 18 tahun. Selanjutnya pada tahun 1362 Ibnu Khaldun menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada Raja Granada.[4]
Ibnu Khaldun hidup pada saat dunia Islam mengalami masa kemunduran pertama. Ia hidup pada 1332-1406 ketika dunia Islam menghadapi keganasan tentara Mongol. Perjalanan Ibnu Khaldun dapat dibagi pada tiga fase, yaitu fase 20 tahun pertama ketika masa kanak-kanak dan masa pendidikannya, fase kedua selama 23 tahun, ketika ia melanjutkan studi dan terlibat dalam petualangan politik, dan fase ketiga selama 31 tahun hidupnya ia menjadi sarjana, hakim, dan guru.[5]
B.  Pendekatan dan Teori Ibnu Khaldun
Dalam melakukan aktivitasnya mengenai keilmuan Ibnu Khaldun mempunyai pendapat sendiri mengenai definisi ilmu pengetahuan, menurutnya ilmu pengetahuan adalah kemampuan manusia untuk membuat analisa dan sintesa sebagai hasil pemikiran atau berpikir. kesanggupan berpikir menurutnya ada 3 tingkatan, yaitu, :
1.    Pemahaman Intelektual manusia terhadap sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tatanan yang berubah-ubah, dengan maksud supaya dia dapat melaksanakan seleksi dengan kemampuan ia sendiri. Bentuk pemikiran ini kebanyakan berupa persepsi. Inilah akal pembeda (Al Aqlu al Tamyiszi)yang membantu manusia memperoleh penghidupannya dan menolak segala sesuatu yang sia-sia bagi dirinya.
2.    Berpikir yang melengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang bawaan dan mengatur mereka (anak buah). Pemikiran ini kebanyakan persepsi (tashdiqot) yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman hingga benar-benar dirasakan manfaatnya inilah yang dinamakan akal eksperimental (al aql al tajribi).
3.    Pemikiran yang melengkapi manusia dengan ilmu dan pengetahuan hipotesis (dzat) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indra tanpa tindakan praktis yang menyertainya, inilah akal spekulatif (al Aql al Nadzri).
Jika tingkatan berpikir itu menyatu dalam diri manusia maka akan mencapai kesempurnaan sebagai realitasnya sebagai manusia intelektual murni serta memiliki jiwa-jiwa perseptif yang disebutnya sebagai realitas manusia (haqiqoh al insaniah).
Untuk memperoleh pengetahuan menurut Ibnu Khaldun haruslah mempunyai seorang guru, untuk pengawasan dengan melalui pengulangan dan pemahaman praktik sehingga melekat di dalamnya otak dan pikiran harus berorientasi kepada adanya penyatuan teori dan praktik.[6]




C.  Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan
1.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah batas akhir yang dicita-citakan yang akan dicapai melalui suatu usaha pendidikan. Menurut Syaibani, tujuan pendidikan adalah perubahan yang diinginkan yang diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar tempat individu itu hidup  atau pada proses pendidikan dan pengajaran, sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi diantara  profesi-profesi asasi masyarakat.[7]
Menurut Ibnu Khaldun, tujuan pendidikan paling tidak memiliki tiga tingkatan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan antara lain:
a.    Pengembangan kemahiran (Al malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa memiliki pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuan, akan tetapi potensi Al malakah tidak bisa dimiliki oleh setiap orang kecuali setelah ia bener- bener memahami dan mendalami satu disiplin tertentu.
b.    Penguasaan ketrampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman (link and match). Pendidikan yang meletakan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai, dalam artian untuk mempertahankan dan memajukan peradaban secara keseluruhan.
c.    Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berfikir merupakan garis pembeda antar manusia dan binatang, oleh karena itu pendidikan hendaknya diformat dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi- potensi psikologi peserta didik. Melalui pengembangan akal.[8]
2.    Kurikulum Pendidikan
Menurut Abdurrahman Al-Nahlawy, kurikulum pendidikan ialah seluruh program pendidikan yang di dalamnya tercakup masalah-masalah metode, tujuan, tingkat pengajaran, materi pelajaran setiap tahun ajaran, topik-topik pelajaran, serta aktivitas yang dilakukan setiap siswa pada setiap materi pelajaran.
Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam, yaitu:
a.    Kelompok ilmu lisan (bahasa)
Yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika), sastra, dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b.    Kelompok Ilmu Naqli
Yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi. Ibnu Khaldun menyusun ilmu-ilmu naqli sesuai dengan manfaat dan kepentingannya bagi peserta didik kepada beberapa ilmu, yaitu:
1)   Al-Qur�an
2)   Ulumul Qur�an
3)   Ulumul Hadits
4)   Ushul Fiqh
5)   Fiqh
6)   Ilmu Kalam
7)   Ilmu Tasawuf
8)   Ilmu ta�bir al-ru�ya
c.    Kelompok Ilmu Aqli
Yaitu ilmu-ilmu yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikir. Proses perolehan tersebut dilakukan melalui pancaindra dan akal. Secara khusus, ilmu aqli dibagi menjadi empat kelompok, yaitu
1)   Ilmu Logika (mantiq)
2)   Ilmu Fisika
3)   Ilmu Metafisika (�ilm al-Ilahiyat)
4)   Ilmu Matematika[9]
3.      Sifat-Sifat Pendidik
Seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila memiliki sifat-sifat yang mendukung profesionalismenya, yaitu
a.         Petama, pendidik lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, dan menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis pendidik, apalagi terhadap anak-anak yang masih kecil
b.        Kedua, pendidik menjadikan dirinya sebagai uswah al-hasanah (teladan) bagi peserta didik.
c.         Ketiga, pendidik memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberikan pengajaran sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara proporsional.
d.        Keempat, pendidik mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna.
e.         Kelima, pendidik harus profesional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik.
Menurut Ibnu Khaldun mengajar termasuk seni. Artinya, profesi mengajar tidak hanya berdiri di atas pengalaman atau fitrah saja, tetapi juga berdiri di atas ilmu itu sendiri sebagaimana juga berdiri di atas seni.
Mengajar adalah bakat, menurut Ibnu Khladun. Atau kecakapan artistik, menurut ungkapan-ungkapan yang biasa dipakai pada masa kita sekarang ini yang memerlukan ilmu dan kaedah-kaedah dalam mempelajarinya[10]
4.    Metode Pengajaran
Ibnu Khaldun menetapkan bahwa metode mengajar, sebaiknya, harus ditetapkan dalam proses mengajarkan materi ilmu pengetahuan atau mengikutinya, karena dipandang; pengajaran tidak akan sempurna kecuali harus dengan metode.
Ibnu khaldun menganjurkan agar talim diberikan dengan metode kasih saying dan lemah lembut dan beliau menolak metode kekerasan dan kekasaran di dalam pengajaran. Ibnu khaldun menulis,� Hukuman yang keras berupa tindakan fisik di dalam talim itu berbahaya bagi peserta didik��. Alasan yang dikemukakan Ibnu khaldun adalah bahwa siapa yang biasa dididik dengan kekerasan, ia akan selalu dipengaruhi kekerasan itu, akan selalu merasa sempit hati, kurang aktif bekerja dan memiliki sifat pemalas, akan menyebabkan ia berdusta serta melakukan hal-halburuk, karena takut akan dijangkau oleh tangan- tangan kejam. Oleh karena itu dalam mendidik anak- anak gunakanlah cara yang bijak, halus, dan berdasarkan kasih saying.[11]
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Scheleifer mengemukakan enam prinsip utama yang perlu diperhatikan oleh pendidik, yaitu:
a.    Prinsip pembiasaan
b.    Prinsip tadrij(berangsur-angsur)
c.    Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.   Prinsip kontinuitas
e.    Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.     Menghindari kekerasan dalam mengajar.[12]
Ibnu Khaldun telah meletakkan prinsip-prinsip proses belajar mengajar sebagai sesuatu hal yang sangat mendasar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada siswa. 


ANALISIS
Pemikiran-Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikannya masih sangat relevan bagi pendidikan di zaman sekarang. Ibnu Khaldun adalah seorang yang sangat memperhatikan pendidikan pada zaman dahulu. Pemikirannya tentang pendidikan dipengaruhi oleh kondisi keluarga dan setting social pada tanah kelahirannya.
Dari kurikulumnya yang tidak hanya menekankan pendidikan agama, tetapi pendidikan-pendidikan yang rasional pun ditekankan.Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi 3 yaitu ilmu aqli, ilmu naqli dan ilmu lisan.Dan itu terlihat bahwa Ibnu Khaldun sangat memikirkan pendidikan. Begitu pun tentang tujuan pendidikan, Ibnu Khaldun berpikir secara menyeluruh, dari tujuan pendidikan untuk lingkup sekolahsampai kepada tujuan kemasyarakat.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa mendidik atau mengajar adalah sebuah seni, sehingga mengajarnya tidak bisa kaku, hanya dengan menggukan satu metode tetapi harus bisa menggunakan metode-metode yang lainnya.Dan sangat menentang pengajaran dengan menggunakan verbalistik. Oleh karena itu, pendidikan Ibnu Khaldun sangat relevan dan masih bisa digunakan sebagai acuan untuk pendidikan sekarang.







PENUTUP
Ibnu khaldun mempunyai nama lengkap Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibnu Khaldun. Ia lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo pada 17 Maret 1406 M.
Untuk memperoleh pengetahuan menurut Ibnu Khaldun haruslah mempunyai seorang guru, untuk pengawasan dengan melalui pengulangan dan pemahaman praktik sehingga melekat di dalamnya otak dan pikiran harus berorientasi kepada adanya penyatuan teori dan praktik
Menurut Ibnu Khaldun mengajar termasuk seni. Artinya, profesi mengajar tidak hanya berdiri di atas pengalaman atau fitrah saja, tetapi juga berdiri di atas ilmu itu sendiri sebagaimana juga berdiri di atas seni.
Mengajar adalah bakat, menurut Ibnu Khladun. Atau kecakapan artistik, menurut ungkapan-ungkapan yang biasa dipakai pada masa kita sekarang ini yang memerlukan ilmu dan kaedah-kaedah dalam mempelajarinya








DAFTAR PUSTAKA
Iqbal,Muhammad, dan Amin Husein Nasution.  2010. Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Kencana.
Kurniawan, Samsul, dan Erwin Mahruz. 2011.  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teorutis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers.
Sholehuddin, M. Sugeng. 2010. Reinventing dalam Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan.
Suharto,Toto. 2001. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Susanto, A. 2009. Pemikiran Pendidikan  Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.






[1] A. Susanto, PemikiranPendidikan  Islam, cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), hlm. 46.
[2] Samsul Kurniawan dan Erwin Mahruz,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, cet. 1, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 99-100.

[3] A. Susanto, Op. Cit.., hlm.46- 47.
[4] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit.., hlm. 100.
[5] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 42-43.
[6] M. Sugeng Sholehuddin, Reinventing dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2010), hlm.77-78
[7] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit.., hlm.102.
[8] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teorutis dan Praktis), cet. 1, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 93-94.
[9] Ibid.104-107.
[10] Said Ismail Ali, Op. Cit., hlm.109-110.
[11] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1, ( Jogjakarta: Ar- ruzz Media, 2001), hlm.245- 246.
[12] Samsul Nizar,Op. Cit., hlm. 95.IBNUKHALDUN
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah    : Studi Tokoh Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Moch. Iskarim, M.S.I
Untitled
Oleh:
Mohamad Juhdi Syiarudin      2021 111 069
Dewi Suryani                          2021 111 093
Mirza Fajrian                           2021 111 110
Asep Rohmatul Yahya            2021 111 120
Kelas: F
PROGRAM STUDI PAI
JURUSAN TARBIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan manusia. Pendidikan juga sebagai penopang sebuah Negara, pendidikan merupakan suatu keniscayaan bagisebuah negara yang menginginkan pencapaian kemajuan dalam segala bidang. Tanpa SDM yang mumpuni kemajuan sebuah negara adalah mustahil dan untuk menghasilkan SDM yang mumpuni inilah dibutuhkan sistem pendidikan yang baik. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai perbuatan mendidik.
Pendidikan merupakan tolak ukur suatu Negara, yang mana dalam Kemajuan yang dicapai peradaban Islam di zaman kekhalifahan tak lepas dari keberhasilan dunia pendidikan. Pada zaman itu, kota-kota Islam telah menjelma menjadi pusat pendidikan dan peradaban yang sangat maju. Perkembangan dunia pendidikan tentunya tidak akan terlepas dari sumbang sih para ilmuwan yang mencurahkan segala perhatiannya pada dunia pendidikan ini. Begitu pun yang dilakukan oleh para ulama sebagai yang merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan ilmu-Nya. Ibnu Khaldun adalah intelektual muslim yang mempunyai andil terhadap pendidikan, dimana Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina memberikan pemikirannya tentang konsep pendidikan










PEMBAHASAN

A.  Biografi dan Setting Sosial-Politik Ibnu Khaldun
Ibnu khaldun mempunyai nama lengkap Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibnu Khaldun. Ia lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo pada 17 Maret 1406 M. Ibnu Khaldun dilahirkan dari keluarga ilmuwan dan terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan. Suatu jabatan yang jarang dijumpai dan mampu diraih orang pada masa itu. Beliau pertama kali menerima pendidikan langsung dari ayahnya, sejak kecil Ia telah mempelajari tajwid, menghafal al-Qur�an dan fasih dalam qira�an al sab�ah, di samping dengan ayahnya ia juga mempelajari tafsir, hadits, fiqih(maliki), gramatika bahasa arab, ilmu mantiq, dan filsafat dengan sejumlah ulama Andalusia dan Tunisia.[1]
Ibnu  Khaldun adalah seorang yang sejak kecil haus akan ilmu pengetahuan, selalu tidak puas dengan ilmu yang telah diperolehnya, sehingga memungkinkan beliau mempunyai banyak guru. Tidak heran jika beliau termasuk orang yang pandai dalam ilmu Islam, tidak saja dalam bidang agama, tetapi juga bidang-bidang umum seperti sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi.[2]
Hampir sepanjang hidupnya, beliau dedikasihkan untuk menekuni ilmu pengetahuan. Tidak sedikit guru- guru yang beliau timba ilmunya antara lain: Syaikh Abu Abdillah Bin Al-Araby Al-Hasjoyiry, Abu Abdillah Muhammad Bin Asy-Syawas Az-Zarzaly, Abu Al-Abbas Ahmad bin Al-Qoshar, dan Abu Abdillah Muhammad bin Bahr, mereka adalah guru-guru yang mengajarkan bahasa Arab, tidak heran jika Ibnu Khaldun termasuk pemikir yang interaktif dan mudah diterima hasil- hasil pemikirannya karena kepiawaian beliau dalam menggunakan bahasa. Ini semua menunjukan bahwa kesungguhan beliau dalam mencari ilmu yang ditekuninya, tidak hanya asal- asalan dan merasa cukup berguru kepada satu atau dua orang guru saja. Dan berkat dukungan material dan dorongan orangtuanya yang sungguh-sungguh memberikan arahan kepada putranya dalam belajar ilmu.[3] 
Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad, Ia berkecimpung dalam bidang politik, kemudian mengundurkan diri dari bidang politik serta menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian. Ia ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Ia meninggal pada 794 H/ 1384 M akibat wabah pes yang melanda Afrika Utara dengan meninggalkan lima orang anak. Ketika ayahnya meninggal, Ibnu Khaldun masih berusia 18 tahun. Selanjutnya pada tahun 1362 Ibnu Khaldun menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada Raja Granada.[4]
Ibnu Khaldun hidup pada saat dunia Islam mengalami masa kemunduran pertama. Ia hidup pada 1332-1406 ketika dunia Islam menghadapi keganasan tentara Mongol. Perjalanan Ibnu Khaldun dapat dibagi pada tiga fase, yaitu fase 20 tahun pertama ketika masa kanak-kanak dan masa pendidikannya, fase kedua selama 23 tahun, ketika ia melanjutkan studi dan terlibat dalam petualangan politik, dan fase ketiga selama 31 tahun hidupnya ia menjadi sarjana, hakim, dan guru.[5]
B.  Pendekatan dan Teori Ibnu Khaldun
Dalam melakukan aktivitasnya mengenai keilmuan Ibnu Khaldun mempunyai pendapat sendiri mengenai definisi ilmu pengetahuan, menurutnya ilmu pengetahuan adalah kemampuan manusia untuk membuat analisa dan sintesa sebagai hasil pemikiran atau berpikir. kesanggupan berpikir menurutnya ada 3 tingkatan, yaitu, :
1.    Pemahaman Intelektual manusia terhadap sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tatanan yang berubah-ubah, dengan maksud supaya dia dapat melaksanakan seleksi dengan kemampuan ia sendiri. Bentuk pemikiran ini kebanyakan berupa persepsi. Inilah akal pembeda (Al Aqlu al Tamyiszi)yang membantu manusia memperoleh penghidupannya dan menolak segala sesuatu yang sia-sia bagi dirinya.
2.    Berpikir yang melengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang bawaan dan mengatur mereka (anak buah). Pemikiran ini kebanyakan persepsi (tashdiqot) yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman hingga benar-benar dirasakan manfaatnya inilah yang dinamakan akal eksperimental (al aql al tajribi).
3.    Pemikiran yang melengkapi manusia dengan ilmu dan pengetahuan hipotesis (dzat) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indra tanpa tindakan praktis yang menyertainya, inilah akal spekulatif (al Aql al Nadzri).
Jika tingkatan berpikir itu menyatu dalam diri manusia maka akan mencapai kesempurnaan sebagai realitasnya sebagai manusia intelektual murni serta memiliki jiwa-jiwa perseptif yang disebutnya sebagai realitas manusia (haqiqoh al insaniah).
Untuk memperoleh pengetahuan menurut Ibnu Khaldun haruslah mempunyai seorang guru, untuk pengawasan dengan melalui pengulangan dan pemahaman praktik sehingga melekat di dalamnya otak dan pikiran harus berorientasi kepada adanya penyatuan teori dan praktik.[6]




C.  Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan
1.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah batas akhir yang dicita-citakan yang akan dicapai melalui suatu usaha pendidikan. Menurut Syaibani, tujuan pendidikan adalah perubahan yang diinginkan yang diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar tempat individu itu hidup  atau pada proses pendidikan dan pengajaran, sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi diantara  profesi-profesi asasi masyarakat.[7]
Menurut Ibnu Khaldun, tujuan pendidikan paling tidak memiliki tiga tingkatan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan antara lain:
a.    Pengembangan kemahiran (Al malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa memiliki pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuan, akan tetapi potensi Al malakah tidak bisa dimiliki oleh setiap orang kecuali setelah ia bener- bener memahami dan mendalami satu disiplin tertentu.
b.    Penguasaan ketrampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman (link and match). Pendidikan yang meletakan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai, dalam artian untuk mempertahankan dan memajukan peradaban secara keseluruhan.
c.    Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berfikir merupakan garis pembeda antar manusia dan binatang, oleh karena itu pendidikan hendaknya diformat dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi- potensi psikologi peserta didik. Melalui pengembangan akal.[8]
2.    Kurikulum Pendidikan
Menurut Abdurrahman Al-Nahlawy, kurikulum pendidikan ialah seluruh program pendidikan yang di dalamnya tercakup masalah-masalah metode, tujuan, tingkat pengajaran, materi pelajaran setiap tahun ajaran, topik-topik pelajaran, serta aktivitas yang dilakukan setiap siswa pada setiap materi pelajaran.
Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam, yaitu:
a.    Kelompok ilmu lisan (bahasa)
Yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika), sastra, dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b.    Kelompok Ilmu Naqli
Yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi. Ibnu Khaldun menyusun ilmu-ilmu naqli sesuai dengan manfaat dan kepentingannya bagi peserta didik kepada beberapa ilmu, yaitu:
1)   Al-Qur�an
2)   Ulumul Qur�an
3)   Ulumul Hadits
4)   Ushul Fiqh
5)   Fiqh
6)   Ilmu Kalam
7)   Ilmu Tasawuf
8)   Ilmu ta�bir al-ru�ya
c.    Kelompok Ilmu Aqli
Yaitu ilmu-ilmu yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikir. Proses perolehan tersebut dilakukan melalui pancaindra dan akal. Secara khusus, ilmu aqli dibagi menjadi empat kelompok, yaitu
1)   Ilmu Logika (mantiq)
2)   Ilmu Fisika
3)   Ilmu Metafisika (�ilm al-Ilahiyat)
4)   Ilmu Matematika[9]
3.      Sifat-Sifat Pendidik
Seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila memiliki sifat-sifat yang mendukung profesionalismenya, yaitu
a.         Petama, pendidik lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, dan menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis pendidik, apalagi terhadap anak-anak yang masih kecil
b.        Kedua, pendidik menjadikan dirinya sebagai uswah al-hasanah (teladan) bagi peserta didik.
c.         Ketiga, pendidik memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberikan pengajaran sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara proporsional.
d.        Keempat, pendidik mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna.
e.         Kelima, pendidik harus profesional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik.
Menurut Ibnu Khaldun mengajar termasuk seni. Artinya, profesi mengajar tidak hanya berdiri di atas pengalaman atau fitrah saja, tetapi juga berdiri di atas ilmu itu sendiri sebagaimana juga berdiri di atas seni.
Mengajar adalah bakat, menurut Ibnu Khladun. Atau kecakapan artistik, menurut ungkapan-ungkapan yang biasa dipakai pada masa kita sekarang ini yang memerlukan ilmu dan kaedah-kaedah dalam mempelajarinya[10]
4.    Metode Pengajaran
Ibnu Khaldun menetapkan bahwa metode mengajar, sebaiknya, harus ditetapkan dalam proses mengajarkan materi ilmu pengetahuan atau mengikutinya, karena dipandang; pengajaran tidak akan sempurna kecuali harus dengan metode.
Ibnu khaldun menganjurkan agar talim diberikan dengan metode kasih saying dan lemah lembut dan beliau menolak metode kekerasan dan kekasaran di dalam pengajaran. Ibnu khaldun menulis,� Hukuman yang keras berupa tindakan fisik di dalam talim itu berbahaya bagi peserta didik��. Alasan yang dikemukakan Ibnu khaldun adalah bahwa siapa yang biasa dididik dengan kekerasan, ia akan selalu dipengaruhi kekerasan itu, akan selalu merasa sempit hati, kurang aktif bekerja dan memiliki sifat pemalas, akan menyebabkan ia berdusta serta melakukan hal-halburuk, karena takut akan dijangkau oleh tangan- tangan kejam. Oleh karena itu dalam mendidik anak- anak gunakanlah cara yang bijak, halus, dan berdasarkan kasih saying.[11]
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Scheleifer mengemukakan enam prinsip utama yang perlu diperhatikan oleh pendidik, yaitu:
a.    Prinsip pembiasaan
b.    Prinsip tadrij(berangsur-angsur)
c.    Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.   Prinsip kontinuitas
e.    Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.     Menghindari kekerasan dalam mengajar.[12]
Ibnu Khaldun telah meletakkan prinsip-prinsip proses belajar mengajar sebagai sesuatu hal yang sangat mendasar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada siswa. 


ANALISIS
Pemikiran-Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikannya masih sangat relevan bagi pendidikan di zaman sekarang. Ibnu Khaldun adalah seorang yang sangat memperhatikan pendidikan pada zaman dahulu. Pemikirannya tentang pendidikan dipengaruhi oleh kondisi keluarga dan setting social pada tanah kelahirannya.
Dari kurikulumnya yang tidak hanya menekankan pendidikan agama, tetapi pendidikan-pendidikan yang rasional pun ditekankan.Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi 3 yaitu ilmu aqli, ilmu naqli dan ilmu lisan.Dan itu terlihat bahwa Ibnu Khaldun sangat memikirkan pendidikan. Begitu pun tentang tujuan pendidikan, Ibnu Khaldun berpikir secara menyeluruh, dari tujuan pendidikan untuk lingkup sekolahsampai kepada tujuan kemasyarakat.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa mendidik atau mengajar adalah sebuah seni, sehingga mengajarnya tidak bisa kaku, hanya dengan menggukan satu metode tetapi harus bisa menggunakan metode-metode yang lainnya.Dan sangat menentang pengajaran dengan menggunakan verbalistik. Oleh karena itu, pendidikan Ibnu Khaldun sangat relevan dan masih bisa digunakan sebagai acuan untuk pendidikan sekarang.







PENUTUP
Ibnu khaldun mempunyai nama lengkap Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibnu Khaldun. Ia lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo pada 17 Maret 1406 M.
Untuk memperoleh pengetahuan menurut Ibnu Khaldun haruslah mempunyai seorang guru, untuk pengawasan dengan melalui pengulangan dan pemahaman praktik sehingga melekat di dalamnya otak dan pikiran harus berorientasi kepada adanya penyatuan teori dan praktik
Menurut Ibnu Khaldun mengajar termasuk seni. Artinya, profesi mengajar tidak hanya berdiri di atas pengalaman atau fitrah saja, tetapi juga berdiri di atas ilmu itu sendiri sebagaimana juga berdiri di atas seni.
Mengajar adalah bakat, menurut Ibnu Khladun. Atau kecakapan artistik, menurut ungkapan-ungkapan yang biasa dipakai pada masa kita sekarang ini yang memerlukan ilmu dan kaedah-kaedah dalam mempelajarinya








DAFTAR PUSTAKA
Iqbal,Muhammad, dan Amin Husein Nasution.  2010. Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Kencana.
Kurniawan, Samsul, dan Erwin Mahruz. 2011.  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teorutis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers.
Sholehuddin, M. Sugeng. 2010. Reinventing dalam Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan.
Suharto,Toto. 2001. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Susanto, A. 2009. Pemikiran Pendidikan  Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.





[1] A. Susanto, PemikiranPendidikan  Islam, cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), hlm. 46.
[2] Samsul Kurniawan dan Erwin Mahruz,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, cet. 1, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 99-100.

[3] A. Susanto, Op. Cit.., hlm.46- 47.
[4] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit.., hlm. 100.
[5] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 42-43.
[6] M. Sugeng Sholehuddin, Reinventing dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2010), hlm.77-78
[7] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit.., hlm.102.
[8] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teorutis dan Praktis), cet. 1, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 93-94.
[9] Ibid.104-107.
[10] Said Ismail Ali, Op. Cit., hlm.109-110.
[11] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1, ( Jogjakarta: Ar- ruzz Media, 2001), hlm.245- 246.
[12] Samsul Nizar,Op. Cit., hlm. 95.