PEMIKIRAN PENDIDIKAN MUHAMMAD ABDUH
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliyah : Studi Tokoh Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Moch. Iskarim, M.S.I
Disusun Oleh:
1. Ulul Ilma W S 2021 111 127
2. Nihlatul Maziyah 2021 111 130
3. Edward Muslim 2021 111 236
Kelas: F
PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Muhammad Abduh merupakan salah satu tokoh ulama besar yang memiliki kualifikasi dan kompetensi keilmuan yang tidak diragukan lagi. Bahkan, kapasitas keilmuannya dapat dijadikan standar keulamaan di tengah-tengah masyarakat. Posisinya sebagai seorang teolog, pemikir, pembaru merupakan modal awal yang dijadikan pedoman bahwa dia dikategorikan ulama teolog, ulama pemikir, dan ulama pembaru
Produk pemikiran dan pembaruannya dapat ditarik benang merah dalam konteks pendidikan sedemikian rupa, sehingga fokus penulisan dan pembahasan ini tidak lebih mengungkapkan kembali dan menganalisanya seputar produk pemikiran dan pembaruan pendidikan Abduh sebagai �ulama pendidikan�.
Dalam makalah ini akan dibahas secara spesifik tentang pemikiran Muhammad Abduh terhadap pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Hassan Khairullah. Lahir di Desa Mahallat Nashr, Provinsi Gharbiyah, Mesir, pada 1265 H/ 1849 M.[1]Abduh dilahirkan di sebuah desa pertanian di lembah Sungai Nill. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, adalah seorang keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir. Adapun Ibunya adalah seorang Arab yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam Islam.[2]
Sebagaimana umumnya keluarga Islam, pendidikan agama pertama didapat dari lingkungan keluarga. Ayahnya yang pertama mengajarkan Abduh di arena pendidikan. Ayahnya mengajarkan baca tulis, dan menghafal Al-Qur�an. Allah memberikan kecerdasan kepada Abduh. Ini terbukti, hanya dalam tempo kurang dari tiga tahunmempelajari Al-Qur�an, ia sudah mampu menghafal semua isinya.
Setelah belajar dari Ayahnya, di usia 14 tahun Abduh dikirim ke Thanta, sebuah lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad, milik Al-Azhar. Di sini ia belajar bahasa Arab, Al-Qur�an, dah Fikih. Dua tahuin belajar disini, Abduh merasa bosan. Karena menurut Abduh, sistem pendidikannya hanya mengandalkan hafalan, dan tidak memberikan kebebasan pada muridnya untuk mengembangkan pikirannya. Maka, ia pun pulang ke Mahallat Nashr.
Di usia 17 tahun, tepatnya tahun 1866 M, Abduh menikah. Tapi ayahnya tak rela bila Abduh berhenti menuntut ilmu. Maka setelah 40 hari menikah, Abduh diminta untuk kembali ke Thanta untuk melanjutkan menuntut ilmu. Abduh menimba ilmu di Masjid Al-Ahmad, tak lebih dari 3 bulan ia sudah meninggalkan Thanta menuju Kairo, guna menempuh pendidikannya di Al-Azhar. Di sinipun Abduh kembali kecewa, karena metode pelajarannya sama seperti di Thanta. Maka ia pun mencari guru di luar Al-Azhar. Di sinilah Abduh belajar ilmu non agama yang tidak didapatkan dari Al-Azhar. Antara lain yaitu filsafat, matematika dan logika. Ia mendapatkan ilmu-ilmu tersebut dari Syekh Hasan at-Tawil.[3]
Setelah lulus dari Al-Azhar, yakni pada tahun 1877, Abduh menjadi asisten dosen di almamaternya. Disamping mengajar di Al-Azhar, Abduh juga mengajar etika dan sejarah peradaban kerajan-kerajaan Eropa di kediamannya. Karena kedekatannya dengan Jamaludin Al-Afghani yang revolusioner dan sangat aktif mengembuskan semangat menentang kezaliman dan penjajahan, ia diberhentikan sebagai tenaga pengajar di Al-Azhar. Kemudian ia diasingkan ke tempat kelahirannya. Setelah terjadi pergantian dalam tubuh kabinet pemerintah Mesir, Abduh diserahi tugas untuk memimpin surat kabar resmi pemerintah, yaitu al-Waqa�I Misriyyah. Melalui surat kabar tersebut, Abduh sering melontarkan kritikan tajam kepada pemerintah . Akibatnya Abduh diusir dari Mesir. Akhirnya tinggal beberapa saat di Syiria. Kemudian, Abduh menuju Paris untuk menyusul Jamaludin al-Afghani.
Muhammad Abduh bersama Jamaludin al-Afghani membentuk organisasi al-Urwatul al-Wisqa di Paris dan menerbitkan majalah dengan nama yang sama, sebagai media perjuangan. Satu tahun kemudian Abduh diizinkan kembali ke Mesir, kemudian diangkat menjadi hakim pada pengadilan tinggi. Selanjutnya ia diangkat Mufti Negara hingaa wafat pada tahun 1905 M. [4]
B. Setting Realitas Sosial Masyarakat
Masyarakat Mesir tidak ubahnya seperti masyarakat Muslim lainnya. Ketika Abduh lahir dan dibesarkan di Mahallah Nasr, ternyata kondisi masyarakatnya telah memiliki sejumlah potensi konflik horizontal. Peta sosial-politik pada saat itu telah mengundang pederitaan rakyat, seperti kemiskinan, sosial, kekayaan yang bsertumpuk-tumpuk ditengah penguasa dan pejabat-pejabat istana. Hal ini telah lazim sebagai penggunaanya dengan sebtan iqtha�.
Sosok Abduh ketika melihat kondisi sosio-politik yang berkembang, sebenarnya bukan termasuk kategori seorang yang radikal dan revolusioner. Meskipun dia berperan aktif dalam konstelasi politik yang berkembang, lebih-lebih keterlibatannya dalam pemberontakan Pasya yang tidak dapat dihindarkan. Akhirnya, lawan-lawan politiknya dapat menjadikan Khadefi Taufik sebagai kendali pemerintahan saat itu.
Jadi peta politik yang berkembang di masyarakat era Abduh terkesan tidak menguntungkan bagi generasi yang ingin mengembangkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang lebih kondusif sejalan dengan berbagai agenda reformasi dalam konteks penataan kembali kehidupan masyarakatnya yang cenderung kurang perhatian terhadap nasib penderitaan dan kemunduran yang mereka alami selama ini.
Dari konteks paradigma sosial-politik yang berkembangkan, terutama yang berkaitan dengan berbagai kebijakan pemerintah pada saat itu ternyata benar-benar tampak adanya ketidakadilan, kesenjangan yang cukup serius antara pihak penguasa dan rakyat, bahkan berbagai segi kehidupan yang lain. Sebagai solusinya yaitu mengedepankan pemikiran dan pembaruan pendidikan.[5]
C. Pemikiran Muhammad Abduh tentang Pendidikan
Secara lebih rinci, sebagai latar belakang pembaruan dalam bidang pendidikan antara lain adanya situasi social keagamaan masyarakat Mesir saat itu penuh dengan taqlid, bid�ah, dan khurafat, serta pemikiran yang statis. Abduh melihat bahwa salah satu penyebab keterbelakangan umat Islam yang sangat memprihatinkan adalah hilangnya tradisi intelektual, yang pada intinya adalah kebebasan berpikir.[6]
Menurut Muhammad Abduh, bahwa di antara faktor yang membawa kemunduran dunia Islam adalah karena adanya pandangan dikotomis yang dianut oleh umat Islam, yakni dikotomi atau mempertentangkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurut Muhammad Abduh, corak pendidikan yang demikian itu lebih banyak berdampak negatif dalam dunia pendidikan.[7]
Abduh sadar akan bahaya yang timbul dari dualisme atau dikotomi pendidikan, maka ia mengubah Al-Azhar serupa dengan universitas yang ada di Eropa. Ia berhasil memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum Al-Azhar, seperti ilmu matematika, al-jabar, ilmu ukur, dan ilmu buni. Harapan yang diinginkan Muhammad Abduh dengan dimasukkanya ilmu pengetahuan modern ke dalam Al-Azhar dengan memperkuat pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah untuk menghilangkan jurang pemisah antara golongan ulama dengan golongan ahli ilmu modern.[8]Berikut ini perbaikan yang dilakukan Abduh dalam bidang pendidikan.
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Abduh tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan yang dirumuskan Abduh tersebut mencakup aspek akal dan spiritual. Dengan tujuan tersebut, ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang yang tidak hanya menekankan pengembangan akal, tetapi juga pengembangan spiritual. Abduh berkeyakinan apabila aspek akal dan spiritual dididik dengan cara dicerdaskan dengan agama, umat islam akan dapat bersaing dengan ilmu pengetahuan baru, dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan.[9]
2. Kurikulum Pendidikan
Format kurikulum pendidikan yang ditawarkan Muhammad Abduh dapat dilihat perinciannya sebagai berikut:
a. Tingkat sekolah dasar meliputi membaca , menulis, berhitung, sampai pada tingkat tertentu, pelajaran yang berkenaan dengan agama dan sejarah.
b. Tingkat menengah meliputi mantiq atau logika, dan dasar-dasar logika, aqidah, fiqih, akhlaq, dan sejarah Islam secara komprehensif.
c. Tingkat atas, pada tingkat ini lebih universal yang mencakup tafsir, hadits, bahasa Arab, akhlaq, ushul fiqh, sejarah, retorika, dasar-dasar diskusi, dan ilmu kalam.[10]
3. Motode Pengajaran
Menurut Muhammad Abduh bahwa metode pengajaran yang selama ini hanya mengandalkan hafalan perlu dilengkapi dengan metode yang rasional dan pemahaman (insight). Dengan demikian, disamping para siswa menghafal suatu bahan pelajaran, juga dapat memahaminya dengan kritis, objektif dan komprehensif. Berkenaan dengan ini, Muhammad Abduh mengusulkan agar menghidupkan kembali metode munadzarah (diskusi) dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan diri dari metode taklid buta terhadap para ulama. Selain itu ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah di kalangan mahasiswa Al-Azhar.[11]
Selain itu, Muhammad Abduh juga membuat sebuah metode yang sistematis dalam menafsirkan Al-Qur�an yang didasarkan pada lima prinsip, yaitu:
a. Menyesuaikan peristiwa-peristiwa yang ada dalam masyarakat yang ada dengan nash-nash Al-Qur�an.
b. Menjadikan Al-Qur�an sebagai sebuah kesatuan.
c. Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat.
d. Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran.
e. Tidak melalaikan peristiwa-peristiwa untuk menafsirkan ayat-ayat yang turun pada waktu itu.[12]
4. Pendidik dan Peserta Didik
Mengenai pendidik, Muhammad Abduh menyatakan bahwa hendaknya seorang pendidik mempunyai akhlak yang baik (akhlak mahmudah), bahkan dianjurkan agar meneladani sifat � sifat yang dimiliki Rasulullah, selain itu guru juga harus mempunyai akidah yang baik, bijaksana, berani, dan energik, sehingga dapat melaksanakan tugasnya.
Kemudian mengenai peserta didik, Muhammad Abduh berpendapat bahwa setiap individu memiliki potensi fitrah yang baik. Manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan memiliki potensi-potensi. Dalam kata lain, manusia lahir ke dunia ini tidak seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa.
Muhammad Abduh juga menyatakan potensi bawaan (fitrah) ada yang bersifat aqliyah dan ada yang bersifat nafsiyah. Fitrah nafsiyah atau ilahiyah manusia sesungguhnya adalah sama, tetapi fitrah aqliyah mereka dapat berbeda. Di antara potensi-potensi lahiriyah (bawaan) manusia, khususnya potensi aqliyahnya tidak berkembang begitu saja tanpa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah tidak berfungsi sempurna tanpa adanya proses pendidikan.
Oleh sebab itu, pendidikan adalah sarana untuk mengembangkan potensi aqliyah manusia itu. Pada tahap ini, Muhammad Abduh dekat pada aliran konvergensi. Dan mengenai tugas dari peserta didik dalam pendidikan adalah bersungguh sungguh dan tekun belajar serta mempunyai sikap disiplin.[13]
D. Anilisa dan Relevansi Pemikiran Muhammad Abduh dengan Pendidikan Saat Ini
Hal yang paling urgen dari sebuah pendidikan adalah tujuan pendidikannya, karena dengan mengetahuai tujuan tersebut maka segala tindakan dan usaha yang kita lakukan akan terarah dan jelas. Muhammad Abduh memprioritaskan tujuannya untuk mendidik akal dan jiwa. Karena akal yang mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dan dengan akal, manusia akan mengetahui hakikat segala sesuatu. Muhammad Abduh sangat tidak suka dengan yang namanya taklid, karena taklid hanya akan membuat nalar seseorang menjadi beku dan tidak dapat mengetahui hakikat ilmu yang diperolehnya. Zaman dahulu taklid sudah merupakan hal yang lumrah, namun seiring perkembangan zaman dan kebudayaan di dalam masyarakat kebiasaan taklid sudah mulai pudar dan digantikan dengan berpikir rasional, ini dibuktikan dengan semakin banyaknya anak-anak yang �ngeyel� ketika diberitahu orang tua terhadap sesuatu yang dilarang. Mereka selalu bertanya kepada orang tuanya dengan kata-kata �mengapa?�, ini menunjukkan bahwa anak-anak tersebut membutuhkan jawaban atau argumentasi yang rasional bagi akal mereka. Mereka tidak akan menerima perintah yang tidak memiliki argumentasi yang rasional.
Mengenai aspek spiritual, dalam masa modern yang serba materialistis ini aspek spiritual sangat dibutuhkan bagi ketenteraman jiwa manusia. Orang yang terlampau jauh mengorientasikan hidupnya untuk keperluan dunianya semata maka mereka akan merasakan kegersangan di dalam hatinya. Disinilah peran spiritual di dalam menunjang kehidupan yang idel untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia yang serba materialistis dengan kehidupan spiritual guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Perihal metode, Muhammad Abduh tidak menyukai sistem pembelajaran yang hanya menggunakan metode hafalan semata, karena metode hafalan itu hanya akan membelenggu penalaran manusia. Metode hafalan akan cocok diterapkan terhadap materi-materi pelajaran yang sifatnya tetap dan pasti, seperti menghafal Al-Qur�an dan kosa kata bahasa asing. Muhammad Abduh lebih mendukung apabila metode hafalan itu dibarengi dengan metode pemahaman, karena dengan metode pemahaman seorang peserta didik akan mampu memberikan batasan-batasan definisi sesuatu dengan gaya bahasa mereka sendiri tanpa repot-repot menghafalkan secara tekstual. Dengan metode pemahaman juga akan mendorong peserta didik untuk berfikir secara mendalam dan menyeluruh terhadap suatu persoalan. Sebagai contoh seorang anak yang hanya menghafal pengertian jual beli mereka tidak akan mampu memberikan contoh suatu kegiatan jual beli yang ada di sekitar lingkungan masyarakat, berbeda dengan anak yang telah memahami konsep jual beli pastilah akan mampu memberikan berbagai contoh kegiatan jual beli mulai dari jual beli yang tradisional sampai jual beli yang modern seperti jual beli online.
Selain dua metode di atas, Muhammad Abduh juga mengusulkan agar menghidupkan kembali metode munadzarah (diskusi) dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan diri dari metode taklid buta terhadap para ulama. Dengan metode diskusi seorang peserta didik akan dilatih untuk menuangkan berbagai pemikiran dan argumentasinya terhadap berbagai persoalan yang ada, sehingga daya nalar peserta didik akan semakin berkembang seiring perjalanan pengalaman diskusinya dengan berbagai corak dan karakteristik pemikiran yang berbeda dari masing-masing individu dalam satu forum diskusi tersebut. Kegiatan diskusi ini sudah sering diaplikasikan di berbagai lembaga pendidikan khususnya di perguruan tinggi yang menuntut para mahasiswa untuk berpikir kritis dan anlitis guna menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.
Dengan berkembangnya zaman, kurikulum pada zaman sekarang lebih maju dari zaman Muhammad Abduh. Pada zaman Muhammad Abduh, mambaca dan menulis di berikan pada tingkat sekiolah dasar. Akan tetapi pada zaman sekarang membaca dan menulis sudah di berikan kepada peserta didik dari pra sekolah dasar (TK).
Secara teoritis, konsep pendidik dan peserta didik pada zaman Muhammad Abduh, masih dapat dijadikan sebagai acuan. Namun secara prakteknya pada zaman sekarang banyak ditemukan guru yang hanya mengajar bukan mendidik, tetapi hanya sebatas profesi saja.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pemikiran Muhammad Abduh dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Abduh tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan yang dirumuskan Abduh tersebut mencakup aspek akal dan spiritual.
2. Kurikulum Pendidikan
Format kurikulum pendidikan yang ditawarkan Muhammad Abduh dapat dilihat perinciannya sebagai berikut:
a. Tingkat sekolah dasar meliputi membaca , menulis, berhitung, sampai
pada tingkat tertentu, pelajaran yang berkenaan dengan agama dan
sejarah.
b. Tingkat menengah meliputi mantiq atau logika, dan dasar-dasar logika,
aqidah, fiqih, akhlaq, dan sejarah Islam secara komprehensif.
c. Tingkat atas, pada tingkat ini lebih universal yang mencakup tafsir,
hadits, bahasa Arab, akhlaq, ushul fiqh, sejarah, retorika, dasar-dasar
diskusi, dan ilmu kalam.
d. Metode
a. Rasional dan pemahaman.
b. Munadzarah (diskusi).
c. Hafalan.
e. Pendidikan dan Peserta Didik.
Mengenai pendidik, Muhammad Abduh menyatakan bahwa hendaknya seorang pendidik mempunyai akhlak yang baik (akhlak mahmudah), bahkan dianjurkan agar meneladani sifat � sifat yang dimiliki Rasulullah, selain itu guru juga harus mempunyai akidah yang baik, bijaksana, berani, dan energik, sehingga dapat melaksanakan tugasnya.
Kemudian mengenai peserta didik, Muhammad Abduh berpendapat bahwa setiap individu memiliki potensi fitrah yang baik. Manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan memiliki potensi-potensi. Dalam kata lain, manusia lahir ke dunia ini tidak seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa.
DAFTAR PUSTAKA
http://triindahpps.blogspot.com/2013/06/muhammad-abduh.htmldiakses pada tanggal 14 Maret 2014 pukul 15:20
Iqbal, Muhammad & Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Kencana.
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta:Ar-Ruzz Media.
Mohammad, Herry. 2006. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,.Jakarta: Gema Insani Press.
Maunah, Binti. 2011. Perbandingan Pendidikan Islam. Yogyakarta:Teras.
Nata, Abudin. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta:Pt Raja Grafindo Persada.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching.
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. 2009. Pendidikan Islam; Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer. Malang: UIN Malang Press.
[1]Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 225.
[2]Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 68.
[3]Herry Muhammad, op. cit, hal. 225-226.
[4]Binti Maunah, Perbandingan Pendidikan Islam,(Yogyakarta:Teras,2011), hal. 235-236
[5]Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan Islam; Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press. 2009), hal. 350-352.
[6]Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2011), hal. 122.
[7]Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 309.
[8]Binti Maunah, Op. Cit., hal. 241.
[9]Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit. hal. 123.
[10]Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahin Malang, Op. Cit., hal. 260.
[11]Abudin Nata, Op. Cit, hal. 312.
[12]Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), hal. 49.
[13]http://triindahpps.blogspot.com/2013/06/muhammad-abduh.html diakses pada tanggal 14 Maret 2014 pukul 15:20.