Friday 13 May 2016

MAKALAH Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 137-143-Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 137-143-Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 137-143


Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 137-143
16MAR
Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
 “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karenaitu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (para Rasul). (QS. 3:137) (Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. 3:138) Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS.3:139) Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim, (QS. 3:140) dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir. (QS. 3:141) Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS. 3:142) Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu mengbadapinya; (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya.” (QS. 3:143)
Ketika orang-orang yang beriman mendapatkan musibah pada perang Uhud. Di mana ada 70 (tujuh puluh) orang yang terbunuh, Allah memberitahukan kepada mereka seraya berfirman, “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah.” Maksudnya, yang demikian itu juga berlaku pada umat-umat sebelum kalian, yaitu pengikut para Nabi. Setelah itu, kesudahan yang baik adalah untuk kalian dan kesudahan yang buruk menimpa kepada orang-orang kafir.
Oleh sebab itu Allah berfirman, fasiiruu fil ardli fandhuruu kaifa kaana ‘aaqibatul mukadzdzibiin (“Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan [para Rasul]. ”
Kemudian Allah berfirman, Haadzaa bayaanul linnaasi (“Ini adalah penjelasan bagi seluruh manusia.”) Yakni al-Qur’an yang di dalamnya terdapat penjelasan mengenai berbagai hal yang sangat jelas, serta bagaimana keadaan umat-umat terdahulu dan juga musuh-musuh mereka. Wa Hudaw wa mau’idhatun (“Dan petunjuk serta pelajaran.”) Yakni, di dalam al-Qur’an itu terdapat berita tentang orang-orang sebelum kalian dan petunjuk bagi hati kalian sekaligus pelajaran, yaitu pencegahan terhadap hal-hal yang diharamkan dan perbuatan dosa.
Kemudian Allah menghibur kaum muslimin dengan berfirman, wa laa taHinuu (“Janganlah kamu bersikap lemah.”) Artinya, janganlah kalian melemah akibat peristiwa yang telah terjadi itu.” Wa laa tahzanuu wa antumul a’launa in kuntum mu’miniin (“Dan jangan pula kamu bersedih hati, padahal kamu adalah orang-orang yang paling tinggi [derajatnya], jika kamu orang-orang yang beriman.”) Maksudnya, bahwa kesudahan yang baik dan pertolongan hanya bagi kalian, wahai orang-orang yang beriman.
Firman-Nya: iy yamsaskum qarhun faqad massal qauma qarhum mitsluHu (“Jika kamu [pada perang Uhud] mendapat luka, maka sesungguhnya kaum [kafr] itupun [pada perang Badar] mendapat luka yang serupa.”) Artinya, jika kalian menderita luka dan beberapa orang di antara kalian gugur, maka luka dan kematian itu juga telah menimpa musuh-musuh kalian, yaitu tidak berapa lama sebelumnya.
Wa tilkal ayyaamu nudaawiluHaa bainan naasi (“Dan masa [kejayaan dan kehancuran] itu,Kami pergilirkan di’antara manusia [agar mereka mendapat pelajaran].” Maksud-Nya, suatu saat Kami pergilirkan kemenangan itu bagi musuh-musuh kalian, meskipun kesudahan yang baik tetap berada pada kalian. Karena dalam hal tersebut terdapat hikmah.
Oleh karena itu, Allah berfirman: wa liya’lamal ladziina aamanuu (“Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman [dengan orang-orang kafr].”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Dalam kasus seperti ini kita akan menemukanorang-orang yang sabar dalam melawan musuh.” Wa yattakhidza minkum syuHadaa-a (“Dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya [gugur sebagai] syuhada.’”) Yaitu, mereka yang terbunuh di jalan Allah dan mereka telah menumpahkan darah mereka untuk mencari keridhaan-Nya.
wallaaHu laa yuhibbudh dhaalimiina wa liyumah-hishal ladziina aamanuu (“Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman [dari dosa mereka].”) Artinya, dosa-dosa mereka akan dihapuskan, jika mereka telah berbuat dosa, dan jika tidak maka akan ditinggikan derajat mereka sesuai dengan apa yang telah menimpa mereka.
Dan firman-Nya, wa yamhaqal kaafiriin (“Dan membinasakan orang-orang yang kafir.”) Artinya, jika orang-orang kafir itu menang, maka mereka melewati batas dan sombong. Sehingga kedua hal itu menyebabkan mereka hancur binasa.
Setelah itu Allah berfirman: am hasibtum an tadkhulul jannata wa lammaa ya’lamillaaHul ladziina jaaHaduu minkum wa ya’lamash shaabiriin (“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata pula orang-orang yang sabar.”)
Maksudnya, apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk Surga, padahal kalian belum diuji dengan peperangan dan berbagai penderitaan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah yang artinya:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelummu. Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan).” (QS. Al-Baqarah: 214)
Oleh karena itu, di sini Allah berfirman: am hasibtum an tadkhulul jannata wa lammaa ya’lamillaaHul ladziina jaaHaduu minkum wa ya’lamash shaabiriin (“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata pula orang-orang yang sabar.”) Artinya, kalian tidak akan masuk Surga sehingga kalian diuji dan nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di jalan-Nya dan orang-orang yang sabar dalam melawan musuh.
Firman-Nya, wa laqad kuntum tamannaunal mauta min qabli an talqauHu faqad ra-aitumuuHu wa antum tandhuruun (“Sesungguhnya kamu mengharapkan mati [syahid] sebelum kamu menghadapinya. [Sekarang] sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya.”) Maksudnya, kalian wahai orang-orang yang beriman, sebelum hari ini telah berharap dapat berhadapan dengan musuh serta berkeinginan untuk mengalahkan dan memerangi mereka. Kini telah sampai pada kalian apa yang kalian harap-harapkan. Karenanya, perangilah musuh-musuh kalian dan bersabarlah.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim telah diriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian berharap bertemu dengan musuh. Mohonlah keselamatan kepada Allah. Tetapi jika kalian bertemu dengan mereka, maka bersabarlah dan ketahuilah bahwa Surga itu berada di bawah naungan pedang.”
Oleh karena itu, Allah berfirman: faqad ra-aitumuuHu (“[Sekarang] sungguh kamu telah melihatnya.”) Yaitu, kematian yang kalian saksikan pada saat tajamnya mata pedang, tombak-tombak yang berbaur dan barisan pasukan yang saling bertempur. Kalangan mutakallimun (ahli kalam) mengibaratkan ini dengan pembayangan, yaitu penyaksian sesuatu yang abstrak seperti yang kongkrit, sebagaimana terbayangkannya biri-biri dapat bersahabat dengan kambing dan bermusuhan dengan serigala.



ali-Imran:137-141 (KAJI MASA SILAM JANGAN BERSEDIH HATI)
BY SAIFUDDIN • 22 OCTOBER 2013
KAJI MASA SILAM JANGAN BERSEDIH HATI
(kajian tafsir ali Imran: 137-141)
A. Teks Ayat dan Tarjamahnya
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ () هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ () وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ () إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ () وَلِيُمَحِّصَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَيَمْحَقَ الْكَافِرِينَ
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Al Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.. Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir… Qs.3:137-141

B. Kaitan dengan ayat sebelumnya
Pada ayat 121 hingga ayat 128, dijelaskan tentang peristiwa perang Badar dan Uhud. Diungkap pula, bagimana Allah SWT berfihak pada para mujahid di jalan-Nya (bandngkan dg Qs.37: 171-173). Ayat 130 menyeru agar mu’min menjauhi riba. Sekaligus pula mengisayaratkan bahwa jihad di jalan Allah berfungsi pemebntukan msyarakat Islam yang bersih dari kebiasaan jahiliyah. Ayat 133-136 menyeru agar bersegra meraih maghfirah dan surga. Ayat 137 ini menandaskan bahwa semua ketentuan itu telah berjalan sejak masa lalu, maka hendaknya mu’min mengambil pelajaran, agar bumi ijni dipusakai orang shalih (bandingkan Qs.21:105).

C. Tafsir Kalimat
1.  قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ; Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu, sunnah-sunnah Allah;
خَلَت : مضت من قبلكم  berlalu pada umat sebelum kamuسُنَن : ج: سُنة : الطَّرِيْقَةُ المُعْتَبَرة و السِّيْرَة المُتَّبَعَة Sunan merupakan jama dari sunnah yaitu metoda atau jalan hidup yang diambil pelajaran dan diakui.[1]Ibn al-Jauzi berkomentar sebagai berikut:
Firman Allah قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ mengandung dua makna:
(1) قد مضى قبلكم أهل سنن وشرائع ، فانظروا ماذا صنعنا بالمكذبين منهم (telah berlalu sebelum kamu para ahli sunnah dan syari’ah, maka pelajarilah apa yang kami perbuat terhadap orang yang mendustakannya dari kalangan mereka), sebagaimana dikemukakan Ibn Abbas.
(2) قد مضت قبلكم سنن الله في إهلاك من كذب من الأمم ، فاعتبروا بهم (telah berlalu ketetapan Allah yang menghancurkan para pendusta dari kalangan umat, maka hendaklah kamu mengambil pelajaran). Demikian dikemukakan oleh Mujahid.
2. فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُروا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِين karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).Perkataan فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ sekurang-kurangnya mengandung dua makna:
(1) bepergian dalam perjalanan seperti dikemukakan al-Zujaj : إذا سرتم في أسفاركم ، عرفتم أخبار الهالكين بتكذيبهم (jika kalian berepgian cobalah perhatikan kalian kenali berita orang-orang yang mengalami kehancuran disebabkan mereka mendusatakan sunnat Allah).
(2) tafakkur atau menelitian kejadian masa silam, maka makna Fanzhuru itu hendaklah mengadakan penelitian tentang sebab akibat di masa silam, masa kini, maupun gambaran masa depan. Dalam berberapa ayat dapat diketahui fungsi perjalanan yang seharusnya dicapai oleh kaum muslimin, antara lain yang tercantum di table berikut:
FUNGSI SHAFAR TARJAMAH NASH QUR’ANI
Menganalisis ayat kauniah, mengambil bayan, hidayah, mau’izhah, Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Al Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُروا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِين هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ ( Qs.3:137-138)
Mengkaji sejarah, menggapai masa depan, meningkatakan cakrawala berfikir Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ الْآخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا أَفَلَا تَعْقِلُونَ (Qs.12:109)
Mengoptimalkan fungsi hati, rasa, rasio, pendengaran,  dan penglihatan, maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (Qs.22:46)
Menggali sejarah pengelola masyarakat dan menggali sumber daya alam. Memilah figur yang baik dan yang buruk. Meningkatkan keyakinan atas keadilan Allah SWT
(bandingkan: Qs.35:44 / 40:21 / 40:82 / 47:10 Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَأَثَارُوا الْأَرْضَ وَعَمَرُوهَا أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (Qs.30:9)
Mengambil pelajarn dari pendusta agama (lihat:Qs.16:36 ) Katakanlah: “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ Qs.6:11
Mengambil cermin dari pejahat Katakanlah: “Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa. قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ Qs.27:69
Mencri bukti kekuasaan Allah SWT dan meyakininya (Qs.29:20) Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Mencari rejeqi, berdzikir, meraih kebahagiaan Qs.62:9 Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
3. هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Menurut Sa’d bin Jubair, ayat ini merupakan yang pertama diturunkan dari surat ali-Imran. Perkataan هَذَا pada ayat ini menurut al-Hasan, Qatadah dan Muqatil bermakna al-Qur`an. Sedangkan menurut Ibn Ishaq berarti apa yang diterangkan al-Qur`an tentang umat di masa silam. Sedangkan بَيَانٌ لِلنَّاسِ menurut al-Sya’bi bermakna penjelasan segala sesuatu yang masih samara, atau mengungkap sesuatu yang masih tersembunyi. Al-Zuhayli mengungkapkan:هُدًى : تَبْصِيْر وَ إِرْشَاد إلَى طَرِيْق الدِّيْن: Hudan adalah daya pandang yang tajam dan petunjuk pada jalan al-Islam sebagai agama yang lurus. مَوْعِظَة: مَا يُلَيِّن القَلْب وَيَدْعُو إلى التَّمَسُّك بِالطَّاعةSesuatu yg melunakan hati dan mendorong untuk memegang teguh Islam dan disiplin menaatinya.
4. وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Perkataan وَلَا تَهِنُوا  Jangan merasa lemah, berasal dari الوَهْن yang menurut al-Zuhali, الوَهْن: الضَّعْف فِي العَمَل وفِي الرَّأي وَفِي الأمر Wahn ialah penyakit lemah dalam bertindak, berfikir, dan mengambil keputusan.[2] Dalam hadits diterangkan makna الوَهْن:
فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Seseorang bertanya kepada Rasul: Ya Rasul! Apa yang dimaksud penyakit wahn itu? Rasul bersabda: “terlalu mencintai dunia dan sangat takut oleh mati” Hr. Ahmad dan Abu Daud.[3]
Orang mu’min tak sepatutnya merasa hina lemah atau gundah menghadapi kafir. Perkataan ولا تحزَنوا Jangan bersedih, berasal dari kata الحَزَن yang menurut al-Zuhayli bermakna:الحَزَن: ألَمٌ يعرض لِلنَّفْس مِن فَقْد مَا تحب Perasaan sakit dalam hati diakibatkan hilangnya yang dicintai. وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ Mu’min adalah umat tertinggi derajatnya, termulia kedudukan-nya. Oleh karerna itu tidak sepatutnya merasa hina, rendah diri, atau pesimis menghadapi serangan orang kafir. Muslim mesti kuat, baik dalam pendirian maupun perjuangan. Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasul SAW bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
 Orang mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mu’min yang lemah. Bersemangatlah dalam kebaikan dan yang memberi manfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah jangan bosan. Jika menemui kegagalan, jangan kamu katakan”kenapa dulu tidak melakukan begini begitu. Katakanlah jika Allah mengendaki apa pun bisa terjadi. Sesungguhnya kata-kata “andaikan” memberi peluang bgi perbuatan setan. Hr. Muslim.[4]
Essensi hadits ini antara lain (1) Allah lebih mencintai orang mu`min yang kuat disbanding mu`min yang lemah, (2) mu`min harus tetap semangat mengambil manfaat di setiap saat, (3) jangan bosan meminta pertolongan dari Allah SWT, (4) jangan menyesali kegagalan, tapi hendaklah mengambil pelajaran dari pengalaman, (5) jangan terlalu banyak mengatakan andaikan aku, andaikan begitun andaikan begini, karena sikap seperti itu pengaruh setan.
5. إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Perkataan قَرْحٌ menurut al-Jaza`iri أثَر السِّلاح في الجِسْمِ كالجَرح Bekas senjata yang menimpa badan seperti luka atau cedre.[5]Kalau dalam perjuangan itu mengalami kendala, memang pperjuangan tidak selamanya berjalan lancer. Kalau ada yang terluka, ingatlah pihak lawan pun ada yang terluka. Jika pada perang uhud, kurang sukses dalam mengalahkan kaum kafir, bukankah di perang badar pernah maraih kemenangan yang gemilang. Jika mu`min terluka dalam perang uhud, bukankah di perang badar banyak kafir yang tewas secara konyol? Mengapa mesti merasa terhina, di kala mengalami kendala dalam berjuang. Jangan terlalu girang tatkala menang, jangan tumbang tatkala ada yang hilang.
6. وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); Dalam perjuangan, bisa meraih kemenangan, bisa juga menemui kegagalan. Itu merupakan sunnatullah yang terus berulang. Namun jangan sampai menemui kekagagalan berulang kali, maka mesti pandai mengambil pelajaran.
7. وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada.
Jika ada orang mu’min terluka dalam perang, seperti  badar dan uhud  itu merupakan konsekuensi dalam perjuangan. Namun mesti diingat bahwa gugur dalam perjuangan mela al-Islam, bagi mu`min itu menjdai syuhada yang jaminannya surga.
5. وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,  Orang yang zhalim bakal dikalahkan, walau mungkin selama di dunia kelihatan masih mempunyai kekuatan. Di akhirat orang yang zhalim itu bakal terjerumus pada kehancuran. Allah mencintai yang menegakkan keadilan, dan membenci kezhaliman. Oleh karena itu jangan putus asa menegakkan keadilan, jangan bosan memberantas kezaliman.
6. وَلِيُمَحِّصَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَيَمْحَقَ الْكَافِرِينَ dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir…
Orang mu`min da;lam berjuang, kalah ataupun menang tetap mendapat jaminan kebahagiaan. Jika mu`min menang, maka meraih kebahagian dua kebaikan yaitu keunggulan dunia, dan meraih surga di akhirat kelak, serta menghapus dosa. Mushibat yang dialami mu`min berfungsi penghapus dosa. Sedangkan orang kafir, baik kalah atau pun menang tetap dalam kerugian. Jika mereka menang di dunia, di akhirat masuk neraka. Jika mereka kalah di dunia, maka dunia akhirat menderita.

D. Beberapa Ibrah:
1. Sunnah Allah berfungsi sebagai bayan, hudan dan mau’izhah bagi umat muttaqin
2. Bepergian ke mana pun hendaknya berfungsi mengambil pelajaran dan hidayah, sehingga tahu bagai mana akibat yang dipikul oleh pendusta ayat
3. Untuk mendapatkan mau’izhah dan hidayah, hendkanya banyak pergi menelusuri bumi dan mempelajarinya.
4. Karena ketentuan Allah SWT memberlakukan sunnah-Nya sepanjang masa, maka seyogyanya menjadi hidayah dan mau’izhab bagi orang mu’min
5. Peristiwa menyedihkan jangan menimbulkan lemah fikiran, sikap dan tindakan. Mu’min mesti berpendirian bahwa dirinya lebih mulia dari yang lain.
6. Jika dalam perjuangan menemui kendala dan kerugian, orng kafir pun sama menemui kegagalan. Perjuangan tidak selamanya sukses dengan mudah.
7. Allah SWT selalu mengajarkan agar mu’min pandai mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu.
8. Sejarah bisa berulang tatkala, sikap dan tindakan menusia mengalami kesamaan denganorang masa silam.
9. Hilangkan penyakit wahn dan hazan, tanamkan sifat qwiy dn syaja’ah. Bila megalami kegagalan jangan terlalu sering menyesal, tapi perbaikilah dan ambil kesempatan yang memberi manfaat. Jangan bosa, dan jangan pula berandi-andai.
10. Musibat yang menimpa mu’min berfungsi pembersih dosa dan noda. Mushibat yang menimpa kafir berfungsi siksa dan kehancuran.

Tafsir Ali Imran Ayat 133-143
Ayat 133-136: Menerangkan tentang sifat orang-orang yang bertakwa, segera bertobat, menyesali dosa dan bahwa balasan untuknya adalah diampuni dosa dan masuk surga
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (١٣٣) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٣٤) وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (١٣٥)أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ (١٣٦
Terjemah Surat Ali Imran Ayat 133-136
133. Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,
134. (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit[1], dan orang-orang yang menahan amarahnya[2] dan mema'afkan (kesalahan) orang lain[3]. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan[4].
135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri[5], segera mengingat Allah[6], lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya[7], dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.

136. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.
Ayat 137-141: Sunnatullah ‘Azza wa Jalla dalam memberikan cobaan, penghapusan dosa dan bergulirnya hari dan peristiwa
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُروا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (١٣٧) هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ     (١٣٨) وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (١٣٩) إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (١٤٠) وَلِيُمَحِّصَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَمْحَقَ الْكَافِرِينَ (١٤١
Terjemah Surat Ali Imran Ayat 137-141
137.[8] Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah[9]; karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).
138. (Al Quran) ini[10] adalah keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
139.[11] Janganlah kamu merasa lemah[12], dan jangan (pula) bersedih hati[13], sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
140. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa[14]. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)[15], dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir)[16] dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'[17]. Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim[18],
141. Demikian juga agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka)[19] dan membinasakan orang-orang yang kafir[20].
Ayat 142-143: Teguran Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada sebagian sahabat yang hadir perang Uhud
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ (١٤٢) وَلَقَدْ كُنْتُمْ تَمَنَّوْنَ الْمَوْتَ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَلْقَوْهُ فَقَدْ رَأَيْتُمُوهُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ (١٤٣
Terjemah Surat Ali Imran Ayat 142-143
142. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga[21], padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad[22] di antara kamu dan belum nyata orang-orang yang sabar.
143. Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya[23]; maka (sekarang) kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya[24].
________________________________________
[1] Yakni ketika mereka lapang, mereka banyak berinfak, namun ketika susah mereka tidak meremehkan perkara ma'ruf meskipun kecil.
[2] Padahal mampu melampiaskan amarahnya dan bersabar dari membalas orang yang berbuat buruk kepada mereka.
[3] Dengan tidak membalas.
[4] Untuk dapat memahami ayat ini kami bawakan kisah berikut –terlepas apakah kisah ini sahih atau tidak- hanya saja kita dapat mengambilnya sebagai pelajaran. Kisah ini disebutkan dalam kitab Minhajul Muslim ketika menerangkan tentang ihsan:
Dahulu seorang majikan pernah dibuat marah oleh budaknya, majikannya pun marah dan hendak menghukumnya, maka budaknya membacakan ayat, “Wal kaazhimiinal ghaizh” (Dan orang-orang yang menahan marahnya), maka majikannya berkata, “Ya, saya tahan marah saya.” Budaknya membacakan ayat lagi, “Wal ‘aafiina ‘anin naas” (serta memaafkan orang lain), maka majikannya berkata, “Ya, kamu saya maafkan.” Budaknya lalu membacakan lagi, “Wallahu yuhibbul muhsininiin” (Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan), maka majikannya berkata, “Sudah pergi sana, kamu merdeka karena Allah Ta’ala.”
Inilah contoh menahan marah, memaafkan orang lain dan berbuat ihsan.
Ihsan terbagi menjadi dua:
1. Ihsan dalam beribadah.
Ihsan dalam beribadah ditafsirkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya, yaitu, "Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak merasa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." (HR. Muslim)
2. Ihsan kepada makhluk
Sedangkan ihsan kepada makhluk adalah memberikan manfaat baik yang bersifat agama maupun dunia kepada makhluk serta menghindarkan keburukan dari mereka. Termasuk ke dalamnya beramr ma'ruf dan bernahi munkar, mengajarkan orang yang tidak tahu, menasehati orang yang lalai, memberikan sikap nasihat (tulus) kepada manusia secara umum maupun khusus, berusaha menyatukan mereka, memberikan sedekah dan nafkah yang wajib maupun sunat sesuai keadaan mereka dan sifatnya, memberikan kedermawanan, menghindarkan gangguan dan siap memikul gangguan yang menyakitkan.
[5] Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang akibatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menzalimi diri sendiri ialah melakukan dosa yang akibatnya hanya menimpa diri sendiri baik besar atau kecil. Adapula yang mengartikan perbuatan keji di sini dengan dosa besar, sedangkan maksud "menzalimi diri sendiri" adalah dosa kecil.
[6] Yakni mengingat siksa-Nya dan mengingat janji-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang bertakwa.
[7] Mereka segera beristighfar dan bertobat, berhenti melakukannya dan merasa menyesal.
[8] Ayat ini turun setelah perang Uhud untuk menghibur kaum mukmin. Di dalamnya terdapat perintah bagi kaum mukmin agar memperhatikan kesudahan yang dialami oleh orang-orang yang mendustakan rasul agar mereka tidak bersedih karena kekalahan mereka di perang Uhud dan bahwa kesudahan yang baik (seperti kemenangan) akan didapatkan oleh orang-orang yang bertakwa.
[9] Yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul.
[10] Ada yang menafsirkan kata "ini" di ayat ini dengan kebinasaan yang dialami oleh orang-orang yang mendustakan para rasul. Maksudnya, bahwa binasanya orang-orang yang menentang rasul itu terdapat dalil yang jelas siapa yang benar dan siapa yang salah, siapa yang beruntung dan siapa yang sengsara sekaligus sebagai penegakkan hujjah bagi manusia. Demikian juga di dalamnya terdapat petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa, di mana semua itu menjadikan mereka menempuh jalan yang lurus dan menghindari jalan yang sesat setelah menyaksikan perstiwa yang dialami oleh mereka yang menentang rasul.
[11] Di ayat ini, Allah membangkitkan semangat kaum mukmin.
[12] Dalam berjihad melawan orang-orang kafir.
[13] Karena kekalahanmu di perang Uhud. Hal itu, padahal merasa lemah dan bersedih akan menambah musibah bagi kamu.
[14] Lihat pula surat An Nisaa': 104.
[15] Di antara hikmahnya pula adalah karena dunia ini diberikan Allah untuk orang mukmin dan orang kafir, orang baik dan orang jahat. Berbeda dengan di akhirat, maka kebahagiaan hanya diperuntukkan kepada orang-orang mukmin.
[16] Ini pun termasuk hikmah Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan kekalahan, yakni agar diketahui siapa yang mukmin dan siapa yang munafik. Hal itu, karena jika kemenangan selalu didapatkan oleh kaum mukmin, tentu saja akan masuk Islam orang-orang yang sebenarnya tidak menginginkannya. Berbeda, jika terkadang menang dan terkadang kalah, maka akan diketahui dengan jelas orang yang mukmin, orang yang memang menginginkan Islam baik pada saat sempit maupun lapang, saat susah maupun mudah, saat senang maupun tidak.
[17] Syuhada' di sini ialah orang-orang Islam yang gugur di dalam peperangan untuk menegakkan agama Allah. Sebagian ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan menjadi saksi atas manusia sebagaimana tersebut dalam ayat 143 surat Al Baqarah. Mati sebagai syuhada' merupakan derajat yang sangat tinggi di sisi Allah, dan dengan adanya kekalahan itu orang-orang akan memperoleh derajat yang tinggi tersebut serta kenikmatan yang kekal. Shadaqallah (Maha Benar Allah).
[18] Nampaknya kata-kata ini tertuju kepada kaum munafik sebagai celaan bagi mereka dan bahwa mereka dibenci Allah, oleh karenanya Allah menjadikan mereka mundur. Allah berfirman:
"Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, Maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu." (Terj. At Taubah: 46)
[19] Ayat ini menunjukkan bahwa gugur sebagai syahid dan berperang di jalan Allah merupakan sebab terhapusnya dosa.
[20] Yakni sebagai sebab dibinasakan orang-orang kafir. Kalau pun mereka menang, lalu bertambah kekafirannya, maka mereka berhak mendapatkan hukuman yang disegerakan karena sayangnya Allah kepada kaum mukmin.
[21] Yakni janganlah kamu mengira bawa seseorang masuk surga bisa dilakukan dengan santai tanpa ada rasa masyaqqah (kesulitan) sama sekali dan tanpa memikul beban-beban berat di jalan Allah, karena sesungguhnya surga yang penuh kenikmatan adalah cita-cita yang paling tinggi. Semakin tinggi sesuatu yang diharapkan, maka semakin berat pula sarana untuk mencapai ke arah sana. Tidak mungkin kenikmatan yang begitu besar diraih dengan santai dan berleha-leha. Namun demikian, beban-beban berat itu akan menjadi ringan di sisi orang-orang yang memiliki bashirah (mata hati) dan beban-beban itu menjadi nikmat. Yang demikian merupakan karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
[22] Jihad dapat berarti: a. Berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam; b. Memerangi hawa nafsu; c. Mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan umat Islam; d. Memberantas kejahatan dan menegakkan kebenaran.
[23] Maksudnya: sebelum perang Uhud banyak para sahabat terutama yang tidak ikut perang Badar menganjurkan agar Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dari kota Madinah memerangi orang-orang kafir.
[24] Yakni mengapa kalian kemudian tidak bersabar ketika menghadapinya. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa tidak makruh menginginkan mati syahid, hal ini diketahui karena Allah mengakui sikap mereka dan tidak mengingkarinya, yang Allah ingkari hanyalah ketika mereka tidak mengamalkan konsekwensinya, wallahu a'lam.




Tujuan Pendidikan Surah Ali-Imran 137-139, Al-Hajj 41, Az-Zumar 9

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan hak setiap manusia, hak tersebut telah tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Undang-undang ini memberikan penjelasan bahwa negara memiliki kewajiban dalam memenuhi pendidikan setiap warganya. Terlepas dari bunyi undang-undang dasar tersebut, pendidikan sangat diperlukan manusia, agar secara fungsional manusia mampu memiliki kecerdasan (intelligence, spiritual, emotional) untuk menjalani kehidupannya dengan bertanggung jawab, baik secara pribadi, sosial, maupun profesional.
Namun demikian, transformasi pendidikan dianggap berjalan baik, jika pendidikan berperan secara profesional, kontekstual dan komprehensif. Untuk mencapai hal itu, kalangan sarjana pendidikan mengatakan bahwa perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) telah terpenuhi sebelumnya.
Pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang didapat baik dari lembaga formal maupun informal dalam membantu proses transformasi sehingga dapat mencapai kualitas yang diharapkan. Agar kualitas yang diharapkan dapat tercapai, diperlukan penentuan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan inilah yang akan menentukan keberhasilan dalam proses pembentukan pribadi manusia yang berkualitas, dengan tanpa mengesampingkan peranan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Dalam proses penentuan tujuan pendidikan dibutuhkan suatu perhitungan yang matang, cermat, dan teliti agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh karena itu perlu dirumuskan suatu tujuan pendidikan yang menjadikan moral sebagai basis rohaniah yang amat vital dalam setiap peradaban bangsa.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana bunyi Surah Ali ‘Imran ayat 137-139?
2.      Bagaimana bunyi Surah Al-Hajj ayat 41?
3.      Bagaimana bunyi Surah Az-Zumar ayat 9?
4.      Bagaimana tujuan pendidikan menurut Surah Ali ‘Imran ayat 137-139?
5.      Bagaimana tujuan pendidikan menurut Surah Al-Hajj ayat 41?
6.      Bagaimana tujuan pendidikan menurut Surah Az-Zumar ayat 9?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengertahui bunyi Surah Ali ‘Imran ayat 137-139.
2.      Untuk mengertahui bunyi Surah Al-Hajj ayat 41.
3.      Untuk mengertahui bunyi Surah Az-Zumar ayat 9.
4.      Untuk mengertahui tujuan pendidikan menurut Surah Ali ‘Imran ayat 137-139.
5.      Untuk mengertahui tujuan pendidikan menurut Surah Al-Hajj ayat 41.
6.      Untuk mengertahui tujuan pendidikan menurut Surah Az-Zumar ayat 9.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Surah Ali ‘Imran ayat 137-139
1.      Q.S Ali Imran ayat 137
              
Artinya:
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
Sunah Allah atau sunatullah artinya ketentuan yang berlaku bahwa yang hak pada akhirnya akan menang dan yang batil akan kalah. Secara umum ayat ini masih dalam rangka uraian tentang Perang Uhud. Mengenai kejadian-kejadian yang penting dan sikap orang-orang kafir terhadap orang-orang mukmin yang berakhir dengan kemenangan orang-orang mukmin, berkat keimanan dan kesabaran dalam menghadapi segala macam bahaya dan rintangan untuk mempertahankan dan menegakkan kebenaran.
Sunatullah (ketentuan yang berlaku) terhadap makhluk-Nya yang berupa kejayaan atau kemunduran, tidak pernah berubah dan selalu terulang atau terjadi pada setiap umat yang berada pada sebab-sebab yang sama. Dengan demikian, semenjak umat-umat dahulu sebelum umat Muhammad, tetap berlaku sampai sekarang. Oleh karena itu, kita dituntun agar melakukan perjalanan dan penyelidikan di bumi, sehingga kita mengambil kesimpulan bahwa Allah dalam ketentuan-Nya telah mengaitkan antara sebab dengan musababnya. Misalnya kalau seseorang ingin kaya, maka ia harus mengusahakan sebab-sebab yang bisa mendatangkan kekayaan. Kalau ingin menang dalam peperangan hendaklah dipersiapkan segala sebab untuk mendapatkan kemenangan, baik dari segi materinya maupun dari segi taktik dan sebagainya. Kalau ingin bahagia di dunia dan akhirat, perbuatlah sebab-sebab untuk memperolehnya, dan demikianlah seterusnya.
Ayat 137 ini menyuruh kita menyelidiki dan memperhatikan sebab-sebab diturunkannya azab kepada orang mendustakan kebenaran.[1]
2.      Q.S Ali ‘Imran ayat 138
  ••   ¬
Artinya:
“(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”
Apa yang tersebut pada ayat 137 adalah peringatan bagi semua manusia dan petunjuk serta pelajaran orang-orang bertakwa. Ulama tafsir mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah memperingatkan kaum Muslimin bahwa kekalahan mereka dalam Perang Uhud adalah pelajaran bagi umat Islam, dan berlakunya ketentuan sunah Allah.
Mereka menang dalam Perang Badar, karena mereka menjalankan dan mematuhi perintah Nabi. Dalam Perang Uhud pun mereka hampir saja memperoleh kemenangan tetapi oleh karena mereka lalai dan tidak lagi mamatuhi perintah Nabi, akhirnya mereka terkepung dan diserang dari belakang oleh tentara musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya, sehingga gugurlah puluhan syuhada dari kaum Muslimin, dan Nabi sendiri menderita luka dan pecah salah satu giginya.[2]
3.      Q.S Ali ‘Imran ayat 139
        
Artinya:
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
Ayat ini menghendaki agar kaum Muslimin jangan bersifat lemah dan bersedih hati, meskipun mereka mengalami pukulan berat dan penderitaan yang cukup pahit dalam Perang Uhud, karena kalah atau menang dalam suatu peperangan adalah hal biasa yang termasuk dalam ketentuan Allah. Yang demikian itu hendaklah dijadikan pelajaran. Kaum Muslimin dalam peperangan sebenarnya mempunyai mental yang kuat dan semangat yang tinggi serta lebih unggul jika mereka benar-benar beriman.[3]
Pada ayat 137 ini Allah menerangkan bahwa sunnah-Nya (ketentuan yang berlaku) terhadap makhluk-Nya, semenjak umat-umat dahulu kala sebelum umat nabi Muhammad saw, tetap berlaku sampai sekarang. Oleh karena itu, kita di tuntut supaya melakukan perjalanan dan penyelidikan di bumi, sehingga kita dapat pada suatu kesimpulan bahwa Allah dalam ketentuan-nya telah mengikatkan antara sebab dengan musababnya. Misalnya kalau seseorang ingin kaya, maka ia harus mengusahakan kesimpulannya, sebab-sebab yang bisa membawa kepada kekayaan. Kalau ingin menang dalam peperangan hendaklah  dipersiapkan segala sebab untuk mendapatkan kemenangan, baik dari segi materinya maupun dari segi taktik dan sebagainya. Kalau ingin bahagia di dunia dan akhirat, perbuatlah sebab-sebab untuk memperolehnya, dan demikianlah seterusnya.
Pada ayat 138 menjelaskan bahwa apa yang tersebut pada ayat 137 adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran orang-orang bertakwa. Sehingga  dengan mempelajari sejarah umat-umat terdahulu  dan melihat bekasnya dengan sendirinya akan memperoleh penjelasan, petunjuk dan pengajaran. Ilmu kita akan bertambah-tambah tentang perjuangan hidup manusia di dalam alam ini. Dan dalam ayat ini kita berjumpa dengan anjuran mengetahui dua tiga ilmu yang amat penting. Pertama sejarah, kedua ilmu bekas peninggalan kuno, ketiga siasat perang, keempat, ilmu siasat pengendalian negara.
Dalam ayat ini, Allah mengingatkan  tentang sunnah-sunnah  Allah pada makhluk-Nya. Barangsiapa berjalan pada tatanan sunnah tersebut, ia akan sampai kepada kebahagiaan, dan barangsiapa menyimpang darinya maka ia akan tersesat, akibatnya adalah sengsara dan kehancuran. Perkara yang hak itu pasti harus menang atas kebatilan, sekalipun pada awalnya kebatilan mempunyai kekuatan yang besar. Sehingga apabila kita tidak menempuh jalan-jalan tersebut berarti kita tidak memakai jalan hidayah, dan kita termasuk orang-orang yang tidak mau mengambil pelajaran dari pengalaman.
Adapun Hikmah dari Musibah yang menimpa kaum mukminin pada perang uhud, Allah swt berfirman kepada kaum mukminin yang tertimpa musibah pada perang Uhud, dimana tujuh puluh orang dari mereka terbunuh:قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ “sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah.” Artinya, peristiwa seperti itu terjadi pula pada umat-umat sebelum kalian, yaitu pengikut Nabi sebelum Rasulullah saw. Kemudian kesudahan yang baik adalah untuk kalian dan kesudahan yang buruk akan menimpa orang-orang kafir.
Allah swt berfirman: فَسِيرُوا فِي الأرضِ فَانْظُروا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ اْلمُكَذِّبِينَ “karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi. Perhatikanlah bagaimana akibat (kesudahan yang buruk) bagi orang-orang yang mendustakan (para Rasul).”
Kemudian Allah swt berfirman: هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ “(Al-Quran) ini adalah penerang bagi seluruh manusia.” Di dalamnya dijelaskan berbagai hal dengan sangat gamblang. Bagaimana keadaan umat-umat terdahulu ketika menghadapi musuh-musuh mereka.
وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ “Dan petunjuk serta pelajaran.” Artinya, dalam al-Quran itu disebutkan pula keadaan umat sebelum kalian sebagai petunjuk bagi hati kalian, serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa, agar menjauhi dari perkara-perkara yang diharamkan dan dari perbuatan-perbuatan dosa.
Setelah itu Allah swt menghibur orang-orang yang beriman dengan firman-Nya:وَلَا تَهنُوا “janganlah kamu bersikap lemah.” Karena peristiwa uhud itu. وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ “Dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang beriman.”Artinya, kesudahan yang baik dan pertolongan Allah hanyalah bagi kaum mukminin.[4]

B.     Tujuan Pendidikan Menurut Surah Ali ‘Imran ayat 137-139
Dari surah Ali-Imran ayat 137 dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan yang terdapat dalam ayat tersebut adalah agar manusia bisa mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu, dari sunnah-sunnah Allah yang berlaku pada manusia sebelumnya, agar manusia bisa menghadapi masa depan dengan selamat sesuai dengan aturan Allah swt.
Dan pada ayat 138 “(Al Quran) Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” dapat kita ketahui bahwa tujuan pendidikan disini ialah agar manusia mengetahui jalan hidup yang lurus dan benar, dimana Al-Quran lah yang menjadi pendidik dan menjadi penerang jalan hidup manusia.
Dan tujuan pendidikan pada ayat 139 “Janganlah kamu bersikap lemah” yaitu agar manusia menjadi orang yang kuat, sehat jasmani dan rohani, “dan janganlah (pula) kamu bersedih hati” yaitu agar manusia bahagia dan tentram hidup di dunia dan di akhirat, kemudian dilanjutkan dengan “padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi” yaitu agar derajat manusia bertambah tinggi. Dan kesimpulan tujuan pendidikan yang ada pada ayat 139 ini yaitu agar manusia menjadi orang yang benar-benar beriman kepada Allah, dengan semakin tingginya pendidikan yang manusia dapatkan diharapkan manusia tersebut semakin kuat imannya kepada Allah swt. Sehingga tujuan pendidikan tidak akan tercapai apabila seseorang yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi bukannya bertambah imannya namun imannya semakin berkurang, dan orang yang mendapatkan pendidikan tidak akan tercapai tujuannya apabila nantinya tidak menjadi orang yang dapat mengambil pelajaran dari sejarah.


C.    Surah Al Hajj ayat 41
  ••      •        
Artinya;
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Utsman bin Affan ra, dia mengatakan: “Mengenai kami-lah diturunkan ayat ini. Kami diusir dari kampung halaman kami tanpa alasan yang benar, kecuali karena kami menyatakan bahwa Rabb kami adalah Allah. Kemudian Allah swt memberi kami kedudukan dan berkuasa di muka bumi. Maka kami (bertugas) melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat baik, dan mencegah perbuatan mungkar. Hanya kepada Allah kesudahan yang baik bagi segala urusan, bagiku dan bagi para sahabatku.
Abul ‘Aliyah mengatakan, mereka adalah para sahabat Muhammad saw. Ash-Shabah bin Sawadah al-Kindi mengatakan, “Aku pernah mendengar ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menyampaikan khutbah dan mengatakan, اِنْ الَّذِينَ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرض  "(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi.” Sampai akhir ayat. Kemudian berkata, ‘Ketahuilah bahwa ayat ini bukan bagi pemimpin saja, tetapi bagi pemimpin dan yang dipimpin. Maukah kalian aku beritahu tentang hakmu yang harus dipenuhi oleh pemimpin darimu, dan apa hak pemimpin yang harus kalian tunaikan darinya? Sesungguhnya hak kalian yang harus dipenuhi pemimpin terhadap kalian adalah dia harus menerapkan hukum terhadap kalian berkaitan dengan hak-hak Allah yang kalian langgar. Ia harus menegakkan keadilan pada perkara yang terjadi di antara kalian, dan mengarahkan kalian kepada jalan yang lurus semampunya. Sebaliknya, kewajiban yang harus kalian penuhi dari itu semua adalah ketaatan dengan penuh kesadaran (tanpa ketidakberdayaan atau paksaan) dalam melaksanakan ketaatan itu, dan tidak membedakan antara ketaatan yang tersembunyi dengan ketaatan yang terlihat. (atau tidak sekedar pura-pura taat).” ‘Athiyah al-‘Aufi mengatakan, ayat ini sebagaimana firman-Nya:
       •       
Artinya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. An-Nuur: 55)
Dan firman-Nya وَلِلّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ “Dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”Sebagaimana firman Allah swt: وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ “Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83) Zaid bin Aslam mengatakan, وَلِلّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ “Dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” Yakni, di sisi Allah-lah pahala atas apa-apa yang mereka kerjakan.[5]
Kemudian Allah menerangkan sifat-sifat orang yang diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar itu. Mereka ialah para sahabat beserta Nabi Muhammad saw, yang kepada mereka Allah telah menjanjikan kemenangan. Jika kemenangan telah mereka peroleh, mereka tidak seperti orang-orang musyrik dan orang-orang yang gila kekuasaan tetapi mereka akan tetap melaksanakan:
1.      Shalat pada setiap waktu yang telah ditentukan sesuai dengan yang diperintahkan Allah. Mereka benar-benar telah yakin, bahwa shalat itu tiang agama, merupakan tali penghubung yang langsung antara Allah dengan hamba-Nya, mensucikan jiwa dan raga, mencegah manusia dari perbuatan keji dan perbuatan mungkar serta merupakan perwujudan takwa yang sebenarnya.
2.      Mereka menunaikan zakat. Mereka meyakini bahwa di dalam harta si kaya terdapat hak orang-orang fakir dan miskin. Karena itu mereka dalam menunaikan zakat itu bukanlah karena mereka mengasihi orang-orang fakir dan miskin, tetapi semata-mata untuk menyerahkan hak orang fakir dan miskin yang terdapat dalam harta mereka. Jika mereka diangkat sebagai penguasa, mereka berusaha agar hak orang-orang fakir dan miskin itu benar-benar sampai ke tangan mereka.
3.      Perintah untuk menyuruh manusia berbuat makruf dan mencegah perbuatan mungkar. Mereka mendorong manusia mengerjakan amal saleh, memimpin manusia melalui jalan lurus yang dibentangkan Allah. Mereka sangat benci kepada orang-orang yang biasa melanggar larangan-larangan Allah.
Amat benarlah janji Allah. Mereka memperoleh kemenangan yang telah dijanjikan itu. Mereka ditetapkan Allah sebagai pengurus urusan duniawi dan pemimpin umat beragama dengan baik. Dalam waktu yang singkat kaum Muslimin telah dapat menguasai daerah-daerah di luar jazirah Arab.[6]
Tindakan mereka sesuai dengan firman Allah (Q.S Ali ‘Imran: 110)
  •  ••                  
Artinya;
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”


D.    Tujuan Pendidikan Menurut Surah Al-Hajj ayat 41
Ayat ini menerangkan tentang keadaan orang-orang yang diberikan kemenangan dan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yakni Kami berikan mereka kekuasaan mengelola satu wilayah dalam keadaan mereka yang merdeka niscaya mereka melaksanakan shalat secara sempurna rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya dan mereka juga menunaikan zakat sesuai kadarnya. Serta mereka menyuruh anggota masyarakatnya agar berbuat yang ma’ruf serta mencegah dari yang mungkar. Ayat di atas mencerminkan dari ciri-ciri masyarakat yang diidamkan Islam.
Ayat ini mengemukakan tentang tujuan pendidikan yang membentuk masyarakat yang diidam-idamkan, yaitu mempunyai pemimpin dan anggota-anggota yang bertakwa, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menegakkan nilai-nilai ma’ruf (perkembangan positif) dalam masyarakat dan mencegah perbuatan yang mungkar.


E.     Surah Az-Zumar ayat 9
•                        
Artinya:
“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menanyakan kepada orang-orang kafir Mekah, apakah mereka lebih beruntung daripada orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri dengan sangat khusyuk. Dalam melaksanakan ibadah itu, timbullah dalam hatinya rasa takut kepada azab Allah di akhirat, dan memancarlah harapannya akan rahmat Allah.
Perintah yang sama diberikan Allah kepada Rasul-Nya agar menanyakan kepada mereka apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Di akhir ayat, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran. Pelajaran tersebut baik dari pengalaman hidupnya atau dari tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat di langit dan di bumi serta isinya, juga yang terdapat pada dirinya atau teladan dari kisah umat yang lalu.[7]
Pada ayat tersebut terlihat adanya hubungan orang yang mengetahui (berilmu=ulama) dengan melakukan ibadah di waktu malam, takut terhadap siksaan Allah di akhirat serta mengharapkan rahmat dari Allah dan juga menerangkan bahwa sikap yang demikian itu merupakan salah satu ciri dari ulu al-bab, yaitu orang yang menggunakan pikiran, akal dan nalar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, dan menggunakan hati untuk menggunakan dan mengarahkan ilmu pengetahuan tersebut pada tujuan peningkatan akidah, ketekunan beribadah dan ketinggian akhlak yang mulia.
Sehubungan dengan ayat هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَايَعْلَمُوْنَ (Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?), al-Maraghi mengatakan: “Katakanlah hai Rasul kepada kaummu, adakah sama orang-orang yang mengetahui bahwa ia akan mendapatkan pahala karena ketaatan kepada Tuhannya dan akan mendapatkan siksa yang disebabkan karena kedurhakaannya, dengan orang-orang yang tidak mengetahui hal demikian itu? Ungkapan pertanyaan dalam ayat ini menunjukkan bahwa yang pertama (orang-orang yang mengetahui) akan dapat mencapai derajat kebaikan, sedangkan yang kedua (orang-orang yang tidak mengetahui) akan mendapat kehinaan dan keburukan. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa catatan sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan.
2.      Dorongan Al-Qur’an terhadap pengembangan ilmu pengetahuuan tersebut terlihat pula dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
3.      Banyak temuan di bidang ilmu pengetahuan yang sejalan dengan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an.
4.      Bahwa temuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan patut dihargai. Namun tidak sepatutnya membawa dirinya menjadi sombong dibandingkan dengan kebenaran Al-Qur’an.
5.      Al-Qur’an adalah kitab yang berisi petunjuk (hudan) termasuk petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan untuk tujuan peningkatan ibadah, akidah dan akhlak yang mulia.
6.      Kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
7.      Sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an tidak hanya mendorong manusia agar mengembangkan ilmu pengetahuan, melainkan juga memberikann dasar bidang dan ruang lingkup ilmu pengetahuan, cara menemukan dan mengembangkannya, tujuan penggunaannya, serta sifat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
8.      Al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang sumber ilmu (ontologi), melainkan juga tentang cara mengembangkan ilmu (epistemologi) dan pemanfaatan (aksiologi). Sumber ilmu itu pada garis besarnya ada dua, yaitu ilmu yang bersumber pada wahyu (Al-Quran) yang menghasilkan ilmu naqli dan yang bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli.[8]

F.     Tujuan Pendidikan Menurut Surah Az-Zumar ayat 9
Pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan tersebut amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Keterkaitan ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
1.      Tujuan akhir dari pendidikan adalah mengubah sikap mental dan perilaku tertentu yang dalam konteks Islam adalah agar menjadi seorang muslim yang terbina seluruh potensi dirinya sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka beribadah kepada Allah, namun dalam proses menuju ke arah tersebut diperlukan adanya upaya pengajaran. Dengan kata lain pengajaran adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.
2.      Dalam kegiatan pengajaran tersebut, seorang guru mau tidak mau harus mengajarkan ilmu pengetahuan, karena dalam ilmu pengetahuan itulah akan dijumpai berbagai informasi, teori, rumus, konsep-konsep dan sebagainya yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
3.      Melalui pendidikan diharapkan pula lahir manusia kreatif, sanggup berpikir sendiri, walaupun kesimpulannya lain dari yang lain, sanggup mengadakan penelitian, penemuan dan seterusnya.
4.      Pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan prinsip pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an. Yaitu pengembangan ilmu pengetahuan yang ditujukan bukan semata-mata untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan untuk membawa manusia semakin mampu menangkap hikmah di balik ilmu pengetahuan, yaitu rahasia keagungan Allah swt.
5.      Pengajaran berbagai ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, akan menjauhkan manusia dari sikap takabur.
6.      Pendidikan harus mampu mendorong anak didik agar mencintai ilmu pengetahuan, yang terlihat dari terciptanya semangat dan etos keilmuan yang tinggi; memelihara, menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, bersedia mengajarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan dirinya, agama, bangsa dan negara.[9]












BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari surah Ali-Imran ayat 137 dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan yang terdapat dalam ayat tersebut adalah agar manusia bisa mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu, dari sunnah-sunnah Allah yang berlaku pada manusia sebelumnya, agar manusia bisa menghadapi masa depan dengan selamat sesuai dengan aturan Allah swt.
Dan pada ayat 138 dapat kita ketahui bahwa tujuan pendidikan disini ialah agar manusia mengetahui jalan hidup yang lurus dan benar, dimana Al-Quran lah yang menjadi pendidik dan menjadi penerang jalan hidup manusia.
Dan kesimpulan tujuan pendidikan yang ada pada ayat 139 ini yaitu agar manusia menjadi orang yang benar-benar beriman kepada Allah, dengan semakin tingginya pendidikan yang manusia dapatkan diharapkan manusia tersebut semakin kuat imannya kepada Allah swt. Sehingga tujuan pendidikan tidak akan tercapai apabila seseorang yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi bukannya bertambah imannya namun imannya semakin berkurang, dan orang yang mendapatkan pendidikan tidak akan tercapai tujuannya apabila nantinya tidak menjadi orang yang dapat mengambil pelajaran dari sejarah.
Dan pada Surah Al-Hajj ayat 41 dikemukakan tentang tujuan pendidikan yang membentuk masyarakat yang diidam-idamkan, yaitu mempunyai pemimpin dan anggota-anggota yang bertakwa, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menegakkan nilai-nilai ma’ruf (perkembangan positif) dalam masyarakat dan mencegah perbuatan yang mungkar.
Dan dalam surah Az-Zumar ayat 9 menerangkan tujuan pendidikan sebagai berikut:
7.      Tujuan akhir dari pendidikan adalah mengubah sikap mental dan perilaku tertentu yang dalam konteks Islam adalah agar menjadi seorang muslim yang terbina seluruh potensi dirinya sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka beribadah kepada Allah, namun dalam proses menuju ke arah tersebut diperlukan adanya upaya pengajaran. Dengan kata lain pengajaran adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.
8.      Dalam kegiatan pengajaran tersebut, seorang guru mau tidak mau harus mengajarkan ilmu pengetahuan, karena dalam ilmu pengetahuan itulah akan dijumpai berbagai informasi, teori, rumus, konsep-konsep dan sebagainya yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
9.      Melalui pendidikan diharapkan pula lahir manusia kreatif, sanggup berpikir sendiri, walaupun kesimpulannya lain dari yang lain, sanggup mengadakan penelitian, penemuan dan seterusnya.
10.  Pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan prinsip pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an. Yaitu pengembangan ilmu pengetahuan yang ditujukan bukan semata-mata untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan untuk membawa manusia semakin mampu menangkap hikmah di balik ilmu pengetahuan, yaitu rahasia keagungan Allah swt.
11.  Pengajaran berbagai ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, akan menjauhkan manusia dari sikap takabur.
12.  Pendidikan harus mampu mendorong anak didik agar mencintai ilmu pengetahuan, yang terlihat dari terciptanya semangat dan etos keilmuan yang tinggi; memelihara, menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, bersedia mengajarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan dirinya, agama, bangsa dan negara.










DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid II, Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid VI, Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid VIII, Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Shafiyyur Al-Mubarak, Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006.




________________________________________
[1] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid II, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 49
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Shafiyyur Al-Mubarak, Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), h. 305-306
[5] Ibid., h. 184-186
[6] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid VI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 418-419
[7] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid VIII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 419-420
[8] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 166-167
[9] Ibid,. h. 169-170
Diposkan oleh ✿ألفية✿ di 19.40