Saturday, 14 May 2016

PESANTREN TANWIRUL HIJA SUMENEP DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL


PESANTREN TANWIRUL HIJA SUMENEP 
DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL

Aksin Wijaya
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo
Jl. Pramuka No.156, Ponorogo, Jawa Timur 63471
e-mail:asawijaya@yahoo.com


Abstrak:
Dalam  dunia  keilmuan,  lembaga  pendidikan  menjadi  tumpuan  para  pendidik
mengajarkan  ilmu  pada  generasi  berikutnya.  Di  Indonesia,  pesantren  adalah
lembaga pendidikan tradisional tertua yang hingga kini tetap  eksis. Lembaga ini
menjadi  tumpuan  ulama  dalam  mentransformasikan  ilmu  agama  kepada
masyarakat.  Karena  arus  globalisasi,  dunia  pendidikan  yang  lahir  di  dunia
manapun  mendapat  pengaruh darinya,  termasuk  pesantren.  Tulisan  ini
membahas peran pesantren dalam mendidik santrinya agar mereka tidak hanya
mampu menghadapi tantangan globalisasi, tapi juga tidak kehilangan jati dirinya
sebagai  santri.  Tulisan  ini  difokuskan  pada  tiga  pokok  pembahasan: pertama,
bagaimana  eksistensi,  esensi,  dan  peran  pesantren  dalam  menghadapi  arus
perubahan zaman; kedua, bagaimana pesantren menatap masa depan; dan ketiga,
sebagai  contoh  kasus,  bagaimana  Pesantren  Tanwirul  Hija  di  Sumenep  Madura
bermetamorfosis  menghadapi  tantangan  globalisasi.  Tulisan  ini  menyimpulkan
bahwa guna menyiasati tantangan global, pesantren senantiasa mempertahankan
esensi  pesantren,  sekaligus  pada  saat  yang  sama  mengapresiasi metode  pen-didikan baru yang bersifat inklusif dan sadar gender. Dengan berdiri di dua kaki
seperti ini, pesantren, tidak terkecuali Pesantren Tanwirul Hija, tidak hanya eksis
tetapi juga bakal mampu menciptakan kader-kader baru yang siap berkompetisi
dengan kompetitor yang berasal dari lembaga lain manapun, baik dalam bidang
keilmuan agama maupun keilmuan umum. Singkatnya, pembaharuan pesantren
dalam segala bidang, yang menjadi fokus tulisan ini, mutlak dilakukan. 


Abstract:
In the world of science, the institutions of education have become the foundation
of educators to teach science for the next generation. Pesantren (Islamic boarding
school)  is  the  oldest  traditional  educational  institutions,  which  still  exists  in
Indonesia until  now. It  is  in  this  institution  in  which  islamic  scholars  transform
Islamic  knowledge  to  society.  Globalization  has  influenced  the  world  of  edu-cation, wherever it comes from, including pesantren.This paper discusses the role
of  boarding  schools  in  educating students  so that  they  not  only able  to face  the
challenges  of  globalization,  but  also guard  their  identity  as  islamic students
(santri), in three main discussion: first, how the existence, essence and role of the
boarding  school  in facing  the  changing  times  are;  second,  how  the  boarding
schools face the future; and third, as an example, how pesantren of Tanwirul Hija
in  Sumenep,  Madura changes to face  the challenges of  globalization.  This study
Aksin Wijaya

242 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

concludes  that  in  order  to  deal  with  global  challenges, pesantren  has  been
continually maintaining the  essence  of  the islamic boarding  school,  while  at  the
same  time  appreciating  the  new  educational  methods  that lead  to  the  inclu-siveness  and  gender  awareness. By  standing  on  two  feet, the  boarding schools,
including Tanwirul Hija, not only exists but also will be able to create new cadres
who are ready to compete with other competitors from any different institutions,
both in the islamic knowledge and general sciences. In short, reforms in all areas
of pesantren, which is the focus of this paper, are absolutely done.


Kata Kunci:
Pesantren, eksistensi, esensi, tantangan global


Pendahuluan
Pesantren  adalah  salah  satu  lem-baga  pendidikan  tertua  di  Indonesia,
yang tidak hanya bersifat tradisional, tapi
menjadi subkultur masyarakat. Dikatakan
tradisional, karena  pada  awalnya, pesan-tren  hanya  sekadar  digunakan  sebagai
sarana  dakwah. Karena  situasi  berubah,
pesantren juga berubah fungsinya menja-di sarana pendidikan  nonklasikal dengan
model sorogan. Sang guru atau kiai duduk
bersila  di  depan  jemaah  dan  biasanya  di
dalam masjid pesantren.  Baru  belakang-an,  sistem  klasikal  diadopsi  pondok  pe-santren.  Bahkan  kini  banyak  pesantren
yang  mulai  mendirikan  sekolah  klasikal,
baik  agama  maupun  umum.  Kondisi  ek-sistensi  dan  esensi  itu  membuat pesan-tren menjadi salah satu subkultur masya-rakat Indonesia.
Di sisi lain, realitas kekinian berbe-da  dengan  realitas  di  mana pesantren
lahir  dan  eksis,  yakni  pedesaan.  Sebab
akibat  dari  globalisasi  dalam  segala  bi-dang  kehidupan,  desa  tidak  lagi  menjadi
sesuatu  yang  bersifat  tradisional.  Desa
mengalami proses menjadi kota, sehingga
realitas  pedesaan  sama  dengan  realitas
perkotaan. Tantangan yang dihadapi ma-syarakat  desa  tidak  jauh  berbeda  dengan
tantangan  yang  dihadapi  masyarakat
perkotaan.  Jika  sebelumnya  masyarakat
desa hanya berhadapan dengan pertanian
yang  tidak  membutuhkan  tantangan  be-rarti  dari petani  sebagai  penggarapnya,
begitu desa berubah wujud menjadi kota,
tantangan mulai menunggu mereka. Tan-tangan  itu  membutuhkan  kreatifitas  ber-pikir dan kerja profesional.
Di  sinilah  tantangan  baru  muncul
bagi pesantren. Di satu sisi, pesantren ha-rus  mempertahankan  jati  dirinya  sebagai
lembaga  pendidikan  tradisional  yang
mendidik moralitas masyarakat, di sisi la-in,  ia  juga  harus  menemani  masyarakat
mengikuti  arus  globalisasi  yang  kian  tak
terbendung. Apakah akan tetap memper-tahankan  jati  dirinya  sebagai  lembaga
pendidikan  tradisional  Islam  yang  bertu-gas  menjadi  penegak  moral  masyarakat,
ataukah  bermetamorfosis  sebagai  lem-baga  pendidikan  modern  yang  menjadi
penyedia  tenaga  kerja  profesional  yang
menjadi  kebutuhan  masyarakat  modern.
Ini  merupakan  pilihan  sulit.  Memilih
yang  pertama  berarti melupakan  kehidu-pan  praksis  masyarakat  modern  yang
kini  mulai  melanda  masyarakat  pedesa-an,  yang  menjadi  wilayah  garapan  pe-santren. Memilih yang kedua berarti pula
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 243

melupakan  peran  asasi  pesantren  yang
selama  ini  menjadi  sebagai  lembaga
pendidikan Islam  dan  penegak  moral
masyarakat. Atau bisakah pesantren tetap
berdiri  pada  kakinya  sendiri  sebagai
lembaga  pendidikan  Islam  tradisional,
sembari  mendidik  santri  dan  memper-siapkan  mereka  menjadi  tenaga  kerja
profesional  yang  bermoral,  dan  mampu
bersaing  dengan  pekerja  profesional
lainnya,  baik  di  lapangan  kerja  pendi-dikan  ataupun  lapangan  kerja  yang  lebih
luas? 
Tulisan  ini  membahas  peran pe-santren  dalam  mendidik  santrinya  agar
mereka tidak hanya mampu menghadapi
tantangan  globalisasi,  tapi  juga  tidak
kehilangan  jati  dirinya  sebagai  santri,
dengan  tiga  sub bahasan: pertama,  bagai-mana eksistensi, esensi, dan peran pesan-tren dalam  menghadapi  arus  perubahan
zaman; kedua,  bagaimana pesantren me-natap  masa  depan; dan ketiga,  sebagai
contoh  kasus,  bagaimana Pesantren Tan-wirul  Hija  di  Sumenep  Madura  bermeta-morfosis  menghadapi  tantangan  globa-lisasi.

Pesantren dalam Arus Perubahan 
Untuk  menjawab  pertanyaan  per-tama  ini, tulisan  ini akan membahas tiga
hal: pertama,  eksistensi  dan  peran  pesan-tren; kedua, esensi pesantren, serta menga-pa  pesantren  mampu  bertahan  dan
memberikan  sumbangan  besar  bagi  per-kembangan  Islam  di  Indonesia; dan ke-tiga,  apa  yang  dihadapi  pesantren  saat
ini? 
Sejarah  mencatat  bahwa  pesantren
berperan besar bagi perkembangan Islam
di  Nusantara,  begitu  juga  bagi  kemer-dekaan  Indonesia.  Sumbangan  pesantren
itu  dimulai  dari  kota  Barus  pantai  barat
ujung  utara  pulau  Sumatera.  Kota  Barus
ini  menjadi  metropolis  karena kapur  ba-rus  yang  rasa  wanginya  menjadi  kesuka-an  orang-orang  Cina  dan  Arab  ini  men-jadi pusat perhatian para pedagang man-canegara.  Mereka  berdatangan  ke  sana
untuk  mendapatkan  kapur  barus  itu.  Di
kota  inilah  ditemukan  makam  Sultan  bin
Sulaiman bin Abdullah bin al-Basyir yang
wafat pada 1211  M.,  yang  juga  menjadi
petunjuk  pertama  keberadaan  kerajaan
Islam  di  Nusantara:  Lamreh  1211 M dan
Pasai 1250-1526 M.
1

Dari  kota  Barus,  ujung  pulau
Sumatra Utara  ini  pula,  Islam  mulai me-ngepakkan sayapnya ke pelbagai penjuru
Nusantara.  Pada  1400-1680 M muncul
ulama besar  yang  menjadi  pioner  penye-baran  Islam  di  Nusantara,  seperti  Ham-zah  Fansuri,  Syamsuddin  al-Sumatrani,
Nuruddin  al-Raniri  dan  Abdur  Rauf  al-Singkili. Pada masa ini, proyek Islamisasi
berjalan  kuat  di  Nusantara,  dan  tasawuf
menjadi  disiplin  Islam  paling  penting
pada  masa  itu,  terlepas  kala  itu  menyi-sakan  problem relasi tasawuf  falsafi  dan
tasawuf suni.
2

Namun  pada  periode  selanjutnya,
kolonialis  asing  seperti  Portugis,  disusul
VOC,  Belanda,  dan  Jepang  mulai  mena-pak  kakinya  di  Nusantara.  Pada  masa
penjajahan asing, Islam menjadi kekuatan
utama  melawan  mereka,  terutama  pon-dok  pesantren  yang  dibangun  di  daerah
pinggiran  desa menjadi  lembaga  terakhir
perlawanan  umat  Islam  Nusantara  mela-wan  penjajah  asing, dan  ternyata  berha-sil.
3

                                                
1
 Zamakhsyari  Dhofier, Tradisi  Pesantren:  Memadu
Modernitas  untuk  Kemajuan  Bangsa (Yogyakarta::
Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 40.
2
 Aksin  Wijaya, Menusantarakan  Islam:  Menelusuri
Jejak  Pergumulan  Islam  yang  tak  Kunjung  Usai  di
Nusantara (Yogyakarta:  Nadi  Pustaka,  2011), hlm.
51-107
3
Ibid., hlm. 107-152
Aksin Wijaya

244 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

Di  Jawa,  gelombang  Islamisasi
dibawa  oleh  Walisongo  sekitar  abad ke-15-17 M. Para wali Jawa itu menyebarkan
Islam  dengan  memberikan  contoh  lang-sung  pada  masyarakat,  dan  mendirikan
pesantren di pinggiran desa. Yang merin-tis  pesantren  pertama  kali  sebagai
lembaga  pendidikan  dan  dakwah,  menu-rut    Wahjoetoemo  sebagaimana  dikutip
Halim  Soebahar,
4
 adalah  Syekh  Maulana
Malik Ibrahim pada 1399 M. Sedang yang
berhasil  mendirikan  dan  mengembang-kan  pesantren  adalah  Raden  Rahmat
(Sunan  Ampel),  di  Kembangkuning  yang
kala  itu  hanya  mempunyai  tiga  santri,
yakni  Wiryo  Suroyo,  Abu  Hurairah, dan
Kiai  Bangkuning.  Setelah  itu  Raden
Rahmat  pindah  ke  Ampel  Denta  Suraba-ya.  Di  sana  dia  mendirikan pesantren
yang  kemudian  disebut  Sunan  Ampel.
Setelah  itu,  muncul  pula pesantren  yang
didirikan para santri dan putranya, seper-ti  Pesantren  Giri  yang  didirikan  oleh  Su-nan  Giri, pesantren  Demak  oleh  Raden
Fatah,  dan pesantren Tuban  oleh  Sunan
Bonang.
Disusul ulama Jawa penerus Wali-songo yang menjadi ―guru‖ para arsitek
pesantren,  seperti:  Syekh  Ahmad  Khatib
al-Sambasi  (w.  1875); Nawawi  al-Bantani
(1815-1897);  Syekh  Abdul  Karim;  Syekh
Mahfudz al-Tarmasi (1919); dan  Muham-mad Khalil (1819-1925). Dari Muhammad
Khalil  Bangkalan  Madura  ini  lahirlah
ulama  arsitek  pesantren,  seperti:  Kiai
Muhammad Hasyim  Asy’ari  (w.  1947)
pendiri  NU  dan pengasuh  pesantren  Te-buireng  Jombang; Kiai  Manaf  Abdul  Ka-rim  pendiri  pesantren  Lirboyo  Kediri;
                                                
4
Abdul  Halim  Soebahar,―Pondok  Pesantren  di
Madura:  Studi tentang  Proses  Transformasi
Kepemimpinan  Akhir  Abad  XX‖(Disertasi:  IAIN
Sunan  Kalijaga  Yogyakarta,  2008),  hlm. 47  dan
Wahjoetoemo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), hlm. 70.
Kiai Muhammad  Shiddiq  pendiri  pesan-tren  al-Shiddiqiyah  Jember;  KH. M.  Mu-nawwir  (w.  1942)  pendiri  pesantren  al-Munawwir  Krapyak  Yogyakarta;  Kiai
Ma’sum  (1870-1972)  pendiri  pesantren
Lasem  Rembang;  Kiai  Abdullah  Muba-rak, pendiri pesantren Suralaya, Tasikma-laya,  Jawa  Barat; Kiai  Wahab  Hasbullah
(1818-1971),  penggagas  berdirinya  NU
dan  pendiri  pesantren  Tambak  Beras
Jombang; Kiai  Bisri  Syansuri  (1886-1980)
pendiri NU dan pesantren Denanyar Jom-bang; dan Kiai Bisri Musthafa (1915-1977)
pendiri  pesantren  Rembang  Jawa  Te-ngah.
5


Esensi  Pesantren:  Pesantren  sebagai
Subkultur 
Para  peneliti  berbeda  pendapat
mengenai  asal  usul  pesantren.  Ada  yang
berpendapat, pesantren berasal dari India
yang  ditradisikan  dalam  ajaran  agama
Hindu-Budha.
6
 Ada pula yang berpenda-pat bahwa  pesantren berasal  dari  Arab.
7

Terlepas  dari  perbedaan  itu,  kita  menga-kui pesantren  menjadi  lembaga  pendi-dikan tradisional Islam yang bersifat sub-kultur  dan  mempunyai  pengaruh  besar
bagi transformasi Islam di Indonesia.
Dari  segi  kelembagaan,  minimal
harus  mempunyai  lima  unsur  untuk  me-nyebut  lembaga  pendidikan  tertentu  se-bagai pesantren,  yakni:  adanya  pondok,
musala atau masjid,  santri,  kiai, dan pe-ngajaran  kitab-kitab  klasik.
8
 Dilihat  dari
segi budaya,  Gus  Dur  menyebut  pesan-tren sebagai subkultur. Kiai nyentrik dari
Jombang  ini  menyebut  minimal  harus
ada  tiga  unsur  asasi  untuk  menyebut
                                                
5
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 85-96.
6
 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Sekolah,  Madrasah
(Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 20-21.
7
Ibid., hlm. 22-23.
8
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 44-60.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 245

pesantren  sebagai  subkultur:
9
 pemimpin,
sistem nilai, dan kurikulum pendidikan.
Pertama, pemimpin.  Di  dalam  pe-santren,  kiai  menempati  posisi  sentral,
terutama  dalam  relasinya  dengan  santri
dan  masyarakat.  Para  santri  belajar  di
pesantren  bertujuan  mencari  ―berkah‖
dari  kiai  dan  ilmu-ilmu  agama.  Dalam
keyakinan  santri,  berkah  itu  hanya  ada
pada  kiai,  lantaran  beliau  bukan  hanya
menjadi  pemimpin,  guru,  dan  panutan
perilaku  dalam  segala  kehidupan  di  pe-santren, tetapi juga menjadi penerus para
nabi  yang  penuh  dengan  tindakan  yang
ikhlas.  Seorang  kiai  menyediakan  wak-tunya hanya untuk memimpin para santri
melakukan  ibadah  dan  mendalami  ilmu-ilmu agama.
10

Kedua,  sistem  nilai.  Di  pesantren
juga  tertanam  sistem  nilai  mandiri yang
mengacu  pada  tiga  unsur  asasi: pertama,
menilai  kehidupan  secara  keseluruhan
sebagai  ibadah.  Dengan  memusat  pada
ibadah,  seluruh  aktifitas  kehidupan  di
pesantren  bersifat  sakral,  dan  mereka
tidak  merasa  rugi  berada  di  pesantren
dalam  waktu  yang  begitu  lama.  Dengan
pandangan  hidup  demikian,  pesantren
mengajar para santrinya untuk mencintai
ilmu-ilmu  agama.  Dalam  tradisi  pesan-tren,  ilmu  dan  ibadah  saling  terkait.  Iba-dah  seseorang  tidak  akan  berarti  jika
tidak  disertai  dengan  ilmu  yang  benar.
Karena  itulah  kecintaan  terhadap  ilmu
agama  yang  benar  bisa  membantu  me-nyampaikan  pada  ibadah  yang  benar.
Inilah  nilai kedua.  Ketiga  adalah  ikhlas
beramal,  dan  nilai  ini  merupakan  kelan-jutan  dari  dua  nilai  sebelumnya.  Pesan-tren mengajarkan keikhlasan dalam sega-la  hal,  sehingga  kiai  dan santri  senior
                                                
9
 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 1.
10
Ibid., hlm. 235-237.
yang  menjadi  ustaz  dibayar  sekadarnya
saja  dari  kerja  mendidik  yang  mereka
lakukan.
11

Ketiga,  kurikulum  pendidikan.
Sejalan  dengan  dua  unsur  di  atas,  tentu
saja  kurikulum  pesantren  mengajarkan
ilmu-ilmu  agama, terutama  yang  berasal
dari  kitab  kuning  karya  ulama  mazhab
klasik,  seperti  fiqih,  teologi,  tasawuf, ‘u-lûm al-Qur’ân, usul fiqih, balâghah, kaidah
fiqhîyyah, dan lain sebagainya.
Dengan  tiga  unsur  asasi  di  atas,
pesantren  menjadi  subkultur.  Ia  berbeda
dengan kultur yang berada di masyarakat
pada  umumnya.  Sebagai  subkultur,  pe-santren  mempunyai  watak  mandiri  dan
otonom.  Inilah  yang  membuat  pesantren
tetap  eksis  dalam  waktu  yang  begitu
panjang  dan  mampu  memberikan  sum-bangan  besar  bagi  transformasi  Islam  di
Indonesia.

Pergeseran Esensial Pesantren 
Karena  pesantren  sebagai  subkul-tur  berada  di  tengah-tengah  masyarakat,
tentu  saja  pesantren  melakukan  pergu-mulan  dengan  pelbagai  kultur  lainnya  di
Indonesia.  Di  situlah  muncul  dua  tan-tangan  yang  harus  dihadapi  pesantren:
pertama, selain mempertahankan eksisten-sinya  sebagai  subklutur  masyarakat,  ten-tu  saja  juga  mempertahankan  jati  dirinya
tanpa  kehilangan  momentum  perubahan
zaman; kedua, bagaimana mendidik santri
yang mampu menghadapi tantangan sub-kultur lainnya, terutama yang datang dari
luar.
Penting  dicatat  bahwa  terdapat
perbedaan  tantangan  yang  dihadapi  pe-santren masa lalu dan sekarang, sehingga
penyikapannya  juga  berbeda.  Jika  tan-tangan  pesantren  masa  lalu  berupa  kolo-nialisasi  fisik  di  mana  penjajah  secara
                                                
11
 Ibid., hlm. 130-135.
Aksin Wijaya

246 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

langsung  datang  ke  Indonesia,  tantangan
sekarang  berupa  globalisasi  di  mana
penjajah  tidak  hadir  secara  fisik.  Karena
penjajah  masa  lalu  datang  secara  fisik,
dan  masyarakat  merasakan  kekejaman
mereka,  mereka  pun  berjuang  melawan
penjajah  asing  itu.  Sebaliknya  tantangan
globalisasi  yang  dihadapi  masyarakat  se-karang  lebih  abstrak,  sehingga  ia  lewat
dari kesadaran kritis masyarakat. Bahkan,
ia  mampu memengaruhi  alam  bawah  sa-dar masyarakat, apalagi globalisasi mem-berikan janji-janji manis bagi  masyarakat.
Tantangan nyata yang kini dihada-pi pesantren  adalah  janji-janji  pemerin-tah  untuk  memprofesionalkan  lembaga
pendidikan  dengan  tujuan  agar  mampu
bersaing  dengan  lembaga  pendidikan
modern  dari  negara-negara  maju.  Tujuan
tersebut  tentu  saja  menggiurkan  dari  sisi
materi  dan  kelembagaan,  seperti 20  %
anggaran  pendidikan,  kesejahteraan  gu-ru,  profesionalisme  guru,  dan  pemerata-an  pendidikan.  Terhadap  janji-janji  itu,
masyarakat pun menyambut antusias. Se-mua  orang  senang  dengan  terma-terma
itu  dan  mereka  berharap  dapat  menik-matinya.
Justru  janji-janji  muluk  yang  oleh
sementara kalangan disebut sebagai kapi-talisasi  pendidikan  itulah  masalah  sebe-narnya  yang  dihadapi  pesantren.  Karena
globalisasi  teknologi  dan  budaya,  serta
kapitalisasi  pendidikan ala  pemerintah
akan menggeser watak mandiri pesantren
sebagai  subkultur.  Dikatakan  tantangan
yang  sebenarnya,  karena  pondok  pesan-tren  belum  tentu  mampu  menghadapi
tantangan  itu.  Jika  awal  berdirinya  pon-dok  pesantren  mampu  menghadapi  tan-tangan  dari  penjajahan  Belanda,  belum
tentu  tantangan  dari  dalam  sendiri.  Ken-dati  Belanda  sebagai  penjajah  mulai
menerapkan  sistem  pendidikan  modern
berupa sekolah, eksistensi dan esensi pen-didikan  tradisional  pesantren  masih  tak
tergoyahkan.  Sebab sekolah  modern  Be-landa hanya diperuntukkan dan memang
hanya  diminati  anak-anak  kalangan  elit,
kendati belakangan sekolah juga menam-pung  anak-anak  pribumi  yang  berasal
dari  ekonomi  menengah  ke  bawah.  Da-lam situasi seperti itu, pesantren tetap ek-sis  dan  menjadi  pilihan  utama  masya-rakat  Islam  khususnya.  Begitu  juga,  ke-kuatan pesantren itu  terletak  pada  posisi
pesantren  sebagai  benteng  perlawanan
untuk  mengusir  Belanda  sebagai  penja-jah.
Berbeda  hal  dengan  kondisi
pensantren  saat  ini. Justru  ketika  peme-rintah Indonesia pasca kemerdekaan mu-lai  menerapkan  sistem  pendidikan
modern ala Belanda yang disebut sekolah,
eksistensi  dan  esensi  pesantren  mulai
termarginalkan.
12
 Sebab,  dari  segi  kelem-bagaan,  pemerintah  mendirikan  sekolah
modern  dengan  gedung-gedung  mewah
untuk  menarik  minat  siswa.  Semua  pera-latan  sekolah  disediakan.  Ketika  keluar
dari  sekolah pun,  pemerintah  menyedia-kan lapangan pekerjaan dengan gaji yang
menggiurkan.  Sengaja  atau  tidak,  kebija-kan itu mengindikasikan pemerintah mu-lai  memarginalisasi  eksistensi  pesantren,
dan  mulai  mengangkat  eksistensi  seko-lah.
Sistem pendidikan modern sekolah
ini  bukan  hanya  menggeser  pesantren
secara  eksistensial, tapi  juga  menggoda
dan  menggeser  esensi pesantren sebagai
subkultur. Misalnya, posisi dan peran kiai
yang  ikhlas  beramal,  yang  menjadi pia-lang budaya  atau  agen  perubahan,  mulai
digeser  dengan  guru  yang  berijazah  for-mal  dan  bersertifikat;  kurikulum  pendi-dikan keagamaan Islam klasik yang dipe-runtukkan  untuk mendidik  anak  berak-                                                
12
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 41.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 247

hlak  terpuji  digeser  dengan  Kurikulum
Berbasis  Kompetensi  (KBK),  disusul
KTSP  dan  pendidikan  berbasis  karakter;
dan  keberhasilan  keilmuan  santri  yang
awalnya  dipersiapkan  menjadi  ustaz  dan
ulama  digeser  oleh skill yang  lulusannya
siap  kerja  di  lapangan  industri  modern
yang menawarkan gaji menarik.
Selain  tantangan  dari  janji-janji
pemerintah  untuk  memprofesionalkan
lembaga  pendidikan,  tantangan  yang  di-hadapi pesantren juga datang dari globa-lisasi  yang  kini  menjadi  kebutuhan  nyata
masyarakat. Mampukah pesantren meng-hadapinya, tanpa kehilangan jati dirinya?
Kemampuan  itu  ditentukan  oleh
sejauh  mana  tantangan  yang  dihadapi-nya,  dan  sejauh  mana  kekuatan  pesan-tren  itu  sendiri.  Dua  kemungkinan  bisa
terjadi.  Melihat  posisi  subkultur  pesan-tren  di  atas,  dan  posisi  kiai,  yang  tidak
hanya menjadi ―broker budaya‖ menurut
Clifford  Geertz, tapi juga menjadi ―agen
perubahan‖,  menurut  Hiroko  Horiko-shi,
13
 pesantren  dinilai  tidak  hanya  tahan
menghadapi pengaruh dari luar, tapi juga
mampu memengaruhinya. Tetapi melihat
kondisi pesantren saat ini, serta tantangan
global  yang  ada,  bisa  juga  pesantren  itu
sendiri  ikut  arus  perubahan  di  lingkung-an  sekitarnya.
14
  Kalau  demikian,  bagai-mana pesantren menatap masa depan?

Pesantren: Menatap Masa Depan
Dalam  situasi  sekarang  ini, pesan-tren  menghadapi  dua  tantangan  sekali-gus:  yang  bersifat  eksistensial  dan  yang
bersifat  esensial.  Yang  pertama  berkaitan
dengan  bagaimana  pesantren  tetap  eksis
di  dunia  globalisasi,  yang  kedua  bagai-mana  eksistensi  pesantren  tetap  berpijak
                                                
13
  Abdurrahmaan  Wahid, ―Pengantar‖,  dalam
Hiroko  Horikoshi, Kyai  dan  Perubahan  Sosial
(Jakarta: P3M, 1987), hlm. xvii.
14
 Wahid, Menggerakkan Tradisi, hlm. 136.
pada  esensi  atau  jati  dirinya.
15
 Di  situlah
perlunya  pesantren  mengakomodasi per-kembangan  modernitas,  baik  pola  pe-ngembangannya  maupun  sistem  pendi-dikannya. 
Gus  Dur
16
 mencatat  ada tiga  pola
pengembangan  pesantren  untuk  menga-komodasi  perkembangan  modernitas  a-gar  ia  tetap  eksis  sebagai  lembaga  pen-didikan  Islam  yang  konon  khas  In-donesia:
Pertama, memasukkan kegiatan ke-terampilan  bagi  santri,  dengan  alasan
bahwa  tidak  semua  santri  bakal  menjadi
kiai.  Sebagai  orang  biasa,  mereka  harus
memiliki keterampilan untuk hidup di te-ngah-tengah    masyarakat,  seperti  me-rangkai  janur,  pertukangan,  pertanian,
peternakan, penghijauan, kependudukan,
kesehatan,  PKK,  dan lain lain. Jadi kuri-kulum pesantren berorientasi  pada  kebu-tuhan  masyarakat.
17
  Program  ini  akan
meningkatkan  peranan pesantren dalam
menunjang  pembangunan,  khususnya
pembangunan di daerah pedesaan.
Kedua, membangun  kerja sama  de-ngan  LSM,  baik  swasta  maupun  negeri,
dalam  maupun  luar  negeri, seperti  dila-kukan  LP3ES.  Berbeda  dengan  yang  per-tama,  program  yang  ditawarkan  LP3ES
lebih  bermuatan  wawasan,  seperti  pela-tihan  dan  workhshop  program  pengem-bangan wawasan keulamaan, fiqh al-nisâ`,
fiqh al-siyâsah, dan demokrasi.
Ketiga,  ada  pula  yang  dilakukan
secara  sporadis.  Dalam  arti,  program
yang  ada  dilakukan  sendiri-sendiri  oleh
                                                
15
 Ada  tiga  model  dalam  menghadapi  globalisasi:
tradisionalis, modernis, fundamentalis. Babun Su-harto, Dari  Pesantren  untuk  Umat:  Reinventing  Ek-sistensi  Pesantren  di  Era  Globalisasi (Surabaya: Im-tiyas, 2011), hlm. 46-51.
16
 Wahid, Menggerakkan Tradisi, hlm. 169-177
17
 Mukti  Ali, Peranan  Pondok  Pesantren  dalam  Pem-bangunan (Jakarta: Bayu Barkah, 1974), hlm. 7.
Aksin Wijaya

248 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

masing-masing pesantren,  sesuai  keingi-nan  dan  pandangan  kiai  yang  mempu-nyai  otoritas  atas  pondok  asuhannya,
misalnya:  melakukan  integrasi  kuriku-lum  antara  umum  dan  agama,  seperti
mendirikan  sekolah  umum  di  pesantren,
seperti  Tebuireng  Jombang,  Annuqayah
Sumenep;  dan  mendirikan  PKP  (Pesan-tren Kader Pembangunan).

Antara  yang  Tetap  dan yang  Berubah:
Sistem  Pendidikan  Inklusif-Gender  di
Pesantren
Pesantren  juga  harus  memper-timbangkan  kembali  tiga  unsur  asasi
yang  menjadi  ciri  subkultur  pesantren,
unsur  mana  yang  harus  dipertahankan
dan unsur mana yang harus diubah, yak-ni pemimpin, sistem nilai, dan kurikulum
pendidikan.  Seorang  pemimpin  pesan-tren  yang  biasanya  disebut  kiai  harus
kharismatik,  ikhlas  sembari  berpikir  mo-dern;  sistem  nilai  yang  berlaku  di
pesantren  harus  tetap  dipertahankan,
yakni  menilai  kehidupan  secara  keselu-ruhan  sebagai  ibadah,  ikhlas  beramal,
dan  mencintai  ilmu  agama;  sedang ku-rikulum  pendidikan  bisa  mengikuti  pola
sporadis,  baik  melakukan  integrasi  kuri-kulum,  memberikan  kurikulum  kete-rampilan,  maupun maupun  mendirikan
sekolah umum.
Di  antara  pola  sporadis  itu  adalah
pesantren  disarankan  mengakomodasi
sistem  pendidikan  modern  yang  inklusif
berperspektif  gender.  Karena pendidikan
pada  dasarnya  adalah  suatu  rangkaian
proses  kegiatan  yang  dilakukan  secara
sadar,  terencana,  sistematis,  berkesinam-bungan, terpola, dan terstruktur terhadap
anak-anak  didik  dalam  rangka  mem-bentuk  para  peserta  didik  menjadi  sosok
manusia  yang  berkualitas  secara  nalar-intelektual  dan  berkualitas  secara  moral-spiritual,
18
 sehingga mereka nantinya bisa
menjadi  manusia  yang  cakap,  pandai,
terampil,  dan  mampu  hidup  secara  man-diri dan hidup secara layak dalam meme-nuhi  segala  kebutuhan  hidup  mereka.
19

Secara  praktis  yang  bersifat  formal-aka-demis kelembagaan, kegiatan pendidikan
merupakan  suatu  sistem  yang  terpadu.
Sebagai  suatu  sistem,  pendidikan  men-syaratkan  adanya  berbagai  perangkat
yang saling terkait, seperti para pendidik,
anak  didik,  sarana  dan prasarana,  kuri-kulum  dan  materi  pendidikan,  metode
pendidikan, dan tujuan pendidikan.
20

Yang  perlu  digarisbawahi  dari  pe-ngertian di atas adalah tujuan pendidikan
―menjadi sosok manusia yang berkualitas
secara  nalar-intelektual  dan  berkualitas
secara moral-spiritual‖. Dengan kata lain,
pendidikan adalah sebuah proses, dengan
harapan  menciptakan  manusia  yang  ber-pikir  dan  bertindak  secara  rasional  dan
spiritual. Ini berbeda dengan kondisi pen-didikan  sekarang  yang  lebih  berorientasi
pasar,
21
  yang selama ini diwakili dengan 
KBK.  Tujuannya  adalah  menciptakan  a-lumni yang siap kerja  di lapangan indus-tri  modern.  Padahal  tantangan  terbesar
sekarang  adalah  globalisasi  teknologi,
multikulturalisasi, dan hak asasi manusia,
termasuk  persoalan  gender.  Di  sinilah
diperlukan  pendidikan  inklusif  dan  ber-perspektif gender.
22

Yang  dimaksud  pendidikan  inklu-sif  adalah  pendidikan  yang  mengakui
dan  mempertimbangkan  keragaman  dan
                                                
18
  Faisal  Ismail, Masa  Depan  Pendidikan  Islam:  Di
Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas (Jakarta:
Bakti Aksara Persada, 2003), hlm. 1
19
 Ibid., hlm. 2
20
 Ibid., hlm. 2
21
 Darmaningtiyas, Pendidikan Rusak-rusakan (Yog-yakarta: LKiS, 2007), hlm. 247-262.  
22
 M.  Ainul  Yakin, Pendidikan  Multikultural:  Cross-Cultural  Understanding untuk  Demokrasi dan  Kea-dilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), hlm. 111-138
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 249

perbedaan  kebutuhan  peserta  didik,  mi-nat,  pengalaman,  dan  cara  belajar,  baik
yang  disebabkan  oleh  kontruksi  sosial
atau  yang  bersifat  kodrat.  Sebab  pada
dasarnya manusia dicipta dalam keadaan
―beragam‖ namun dalam posisi ―setara‖.
Pendidikan  inklusif  dikatakan  berper-spektif  gender  jika  sistem  pendidikan  itu
menempatkan,  menyikapi, dan  memper-lakukan semua peserta didik secara setara
tanpa membedakan jenis kelamin.
Pendidikan  inklusif  dan  berper-spektif  gender  bertujuan  menciptakan
manusia  atau  anak  didik  yang  meng-hargai  keragaman,  perbedaan, dan  kese-taraan  dalam  keragaman,  baik  dalam
berpikir  maupun  bersikap.  Tidak  hanya
sebatas  itu,  mereka  juga  akan  berpikir
dan bersikap toleran terhadap anak didik
yang  berkebutuhan  khusus,  baik  yang
bersifat  kodrati,  seperti  anak-anak  cacat,
maupun  yang  bersifat  konstruksi,  seperti
anak-anak  korban  narkoba  dan
HIV/AIDS.
Untuk  membangun  pendidikan
inklusif  dan  sensitif  gender,  diperlukan
―ruang yang kondusif‖ bagi tercapainya
kedua  tujuan  itu.  Ruang  dimaksud  ada-lah  sekolah  dan  undang-undangnya.  Se-kolah  diharapkan  mempunyai  undang-undang  yang  inklusif  dan  berperspektif
gender,  dan  tentu  saja  menerapkan  un-dang-undang  sekolah  tersebut.  Seluruh
penghuni  sekolah,  baik  pemimpin,  guru,
tenaga  adminitrasi,  dan  anak  didik  harus
menaati  undang-undang  itu.  Agar  tujuan
itu  terlaksana,  maka  sekolah  harus  ber-peran  aktif  memberikan  pelatihan,  semi-nar,  advokasi,  dan  atau workshop  me-ngenai pendidikan inklusif  dan wawasan
tentang  gender  terhadap  seluruh  peng-huni  sekolah.
23
  Dalam  arti,  unsur-unsur
utama pendidikan, seperti pendidik, anak
                                                
23
 Yakin, Pendidikan Multikultural, hlm. 133-134.
didik,  sarana  dan  prasarana,  dan  metode
pendidikan, harus mencerminkan inklusi-fitas dan berwawasan gender.
Bahwa  para  guru  atau  pendidik
sebagai transformator ilmu harus berpikir
inklusif  dan  berwawasan  gender,  karena
mereka  adalah  figur  utama  bagi  anak
didik, khususnya dalam lingkungan seko-lah.  Guru  yang  berpikir  inklusif  dan  ber-wawasan  gender  akan  berpikir  dan  ber-sikap  toleran  terhadap  keragaman  dan
perbedaan,  anti  diskriminasi  gender,  dan
tentu saja sensitif terhadap permasalahan
gender,  terutama  terhadap  anak-anak  di-diknya yang berbeda jenis kelamin.
Agar  wawasan  guru  yang  inklusif
dan  sadar  gender dapat  ditransforma-sikan kepada anak didik, diperlukan pula
―materi pelajaran‖ atau kurikulum yang
inklusif  dan  berwawasan  gender.  Bebe-rapa kurikulum yang bernada ―diskrimi-nasi gender‖ yang selama ini diajarkan di
sekolah-sekolah harus diganti dengan ku-rikulum yang berbasis ―kesetaraan gen-der‖. Misalnya pelajaran Bahasa  Indone-sia  yang  selalu  mengisahkan  pekerjaan
bapak  dan  ibu.  Buku  pelajaran Bahasa
Indonesia mengisahkan, ―bapak bekerja
di kantor, ibu bekerja di rumah‖. Kisah
seperti ini mendiskreditkan kaum perem-puan  yang  hanya  disimbolkan  berada  di
rumah.
Sarana  dan  prasarananya  harus
pula  mencerminkan  penghargaan  terha-dap  keragaman  dan  perbedaan  gender.
Misalnya,  pelbagai  alat  peraga,  seperti
gambar,  permainan,  dan  sebagainya  ha-rus  memenuhi  seluruh  kebutuhan  anak
didik  tanpa  melihat  perbedaan  yang
berkebutuhan  khusus,  baik  yang  bersifat
kodrati  maupun  konstruksi,  seperti  anak
cacat  dan  jenis  kelamin.  Begitu  juga
metode pengajarannya. 

Aksin Wijaya

250 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

Metamorfosis Pesantren Tanwirul Hija:
Sejarah dan Tantangan ke Depan
Gambaran  tentang  eksistensi  dan
esensi pesantren,  serta  strateginya  dalam
menghadapi  tantangan  profesionalisme
lembaga  pendidikan  nonpesantren,  dan
tantangan  globalisasi  dalam  segala  bi-dang,  kini  secara  lebih  spesifik  akan
dibahas,  bagaimana  pesantren  Tanwirul
Hija  bermetamorfosa dalam  menghadapi
tantangan  globalisasi  ke  depan.  Namun
sebelumnya,  akan  dibahas  kondisi  Islam
di  Madura  yang  menjadi  medan  sosial
kehadiran pesantren Tanwirul Hija.
Tidak  ada  kesepakatan  mengenai
asal  usul  nama  Madura.  Ada  yang  ber-pendapat,  nama  Madura  berasal  dari
legenda yang berkembang di masyarakat.
Alkisah,  pada  tahun  929  M.,  ada  sebuah
negara  bernama  Mendangkamulan  (ada
yang  menyebutnya  negara  Medang),
yang  di  dalamnya  ada  sebuah keraton
bernama  Kraton  Giling  Wessi.  Rajanya
bernama  Sanghyangtunggal.  Raja  itu
mempunyai  seorang  anak  perempuan.
Suatu  ketika,  anak  itu  bermimpi  kema-sukan rembulan dari mulutnya, masuk ke
dalam  perutnya  dan  tidak  keluar  lagi.
Beberapa  bulan  kemudian,  anak  perem-puan raja itu hamil. Mendengar berita itu,
sang  raja  marah  dan  meminta  patihnya
untuk membunuh anaknya. Jika patih ta-di  belum  memperlihatkan  kepala  anak
perempuan  itu  kepada  raja,  sebaiknya
sang  patih  tidak  kembali  ke  kraton.
Anehnya,  setiap  kali  patih  menghunus-kan pedang ke leher anak perempuan itu,
pedangnya  jatuh  ke  tanah.  Peristiwa  itu
terulang  sebanyak  tiga  kali.  Melihat  keja-dian aneh itu, patih itu meyakini kehami-lan perempuan itu bukan kehamilan yang
biasa.  Dia  pun  akhirnya  memutuskan
untuk  tidak  kembali  ke keraton,  dan  me-milih  menyelamatkan  anak  itu.  Sejak  itu,
dia mengubah namanya menjadi Kiai Po-leng.
24

Oleh Kiai  Poleng,  putri  raja  tadi
didudukkan di atas ―ghitek‖ dan diten-dang menunju ―Madu Oro‖. Oleh karena
itu,  pulau  ini  disebut  pulau  Madura.
Ghitek  tadi  terdampar  di  gunung  Geger.
Dengan  bantuan  Kiai  Poleng,  anak
perempuan itu akhirnya melahirkan anak
laki-laki  dengan  wajah  yang  tampan.
Anak  itu  diberi  nama  Raden  Segoro.
Konon,  inilah  yang  menjadi  penduduk
Madura  pertama,  dan  tempat  itu  dibe-rinama  Madura.  Dulu,  jika  disebut  Ma-dura,  ia  meliputi  Bangkalan  dan  Sam-pang  saja,  sedang  Pamekasan  dan  Sume-nep disebut sendiri-sendiri.
25

Ada  juga  yang  berpendapat,  nama
Madura  konon  diberikan  oleh  kaum
Brahman India yang datang ke pulau itu.
Nama Madura berasal dari bahasa Sanse-kerta  yang  bermakna:  permai,  indah,
molek,  cantik,  jelita,  manis,  ramah, dan
lemah  lembut.
26
  Pendapat  kedua  bisa
dimaklumi  mengingat  ada  banyak  nama-nama  daerah  di  Indonesia  yang  sama
dengan  nama-nama  daerah  yang  ada  di
India  seperti  Malabar,  Narmada,  Serayu,
Sunda, dan Taruna. Penamaan seperti ini
biasa  terjadi,  terutama  oleh  para imigran
yang membabat daerah tertentu, sebagai-mana  di  Kalimantan  juga  terdapat  nama-nama  yang  khas Madura.  Nama  Madura
sama  dengan  nama  daerah  di  India  Sela-tan yang juga beriklim kering.
27

                                                
24
 Zainal  Fatah, Sedjarah  Tjaranya  Pemerintahan  di
Daerah-daerah Kepulauan Madura dengan Hubungan-nya, hlm. 8.
25
 Ibid., hlm. 7-9.
26
 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura, Pembawaan,
Perilaku, Etos  Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hi-dupnya Seperti Dicitrakan Pribahasanya (Yogyakarta:
Pilar Media,2007), hlm. 29.
27
 Ibid., hlm. 30.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 251

Sebagaimana  masuknya  Islam  ke
Nusantara,
28
  para  peneliti  juga  berbeda
pendapat  tentang  masuknya  Islam  ke
Madura. Pertama, dikemukakan oleh seja-rawan  Belanda  H.J.  De  Graaf  dan  T.H.
Pigeaud.  Keduanya  berpendapat  bahwa
Islam  masuk  ke  Madura  melalui  dua
jalur:  Madura  Barat  yang  meliputi  Bang-kalan  dan  Sampang,  dan  Madura  Timur
meliputi Sumenep dan Pamekasan.
Menurut  sejarawan  Belanda  itu,
29

Islam  masuk  ke  Madura  barat  bermula
dari  seorang  raja  di  Gili  Mandingin
(Sampang)  yang  bernama  Lembu  Peteng,
putra  raja  Brawijaya  dari  Majapahit  de-ngan  istri  yang  beragama  Islam  dari
Cempa. Putri Lembu Peteng itu diperistri
putra Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri sa-lah  seorang Walisongo  yang  sangat  ber-pengaruh  dalam  penyebaran  Islam  di
Jawa. Ini menunjukkan bahwa,  selain pa-da  paruh  kedua  abad ke-15  M.,  para
penguasa  Jawa  golongan  aristokrat  telah
melakukan  hubungan  dengan  orang
Islam,  juga  menjadi  indikasi  awal  dan
proses masuknya Islam ke Madura. Sebab
putra mahkota Madura Barat, pada tahun
1528 M sudah masuk Islam.
Sedang  untuk  Madura  Timur,  Islam
dibawa  oleh  Adipati  Kanduruhan,  seo-rang  tokoh  yang  memiliki  peranan  besar
di  kota  itu  pada  abad  ke-16 M.  Kesim-pulan itu diambil dari cerita tutur tentang
adanya  makam  tua  bertarikh  1504  (1582
M)  di  kampung  pasar  Pajhingghaan.
Kanduruhan  merupakan  salah  seorang
dari  keluarga  saudara  seibu  dengan
sultan  Trenggana  dari  Demak  (paman
sultan Jipang).
30

                                                
28
 Wijaya, Menusantarakan Islam, hlm. 43-50
29
 Soebahar, ―Pondok Pesantren di Madura‖, hlm. 37
dan De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama
di  Jawa:  Tinjauan  Sejarah  Politik  Abad  XV  dan  XVI
(Jakarta: Grafiti, 2001), hlm. 190-191.
30
 Soebahar, Pondok Pesantren di Madura, hlm. 38.
Pandangan kedua dikemukakan seja-rawan  Indonesia  yang  banyak  menulis
tentang  sejarah  Madura,  Abdurrahman.
Menurutnya, proses islamisasi di Madura
melalui Sunan Giri dari Gresik, salah satu
dari sembilan wali (Walisongo) yang ber-pengaruh  di  Jawa,  terutama  di  Jawa
Timur.
Ada  pula  yang  berpendapat  bahwa
Islam  bermula  dari  pedagang  Islam  dari
Gujarat  yang  pernah  singgah  di  pela-buhan  Madura,  Kalianget,  yang  kelak  di-kenal  dengan  Sunan  Padusan.  Sunan
Padusan  itu  berasal  dari  Arab,  yang  su-dah  menggunakan  nama  Jawa  yakni
Raden  Bandara  Diwirjopodho.  Ayahnya
bernama  Usman  Hadji,  anak  dari Raja
Pandita  atau  Sunan  Lambujang  Fadal,
anak  dari  Makdum  Ibrahim  Hasmoro.
Orang  Madura  menyebutnya  Maulana
Djamadul  Akbar.  Dia  beristri  putri  raja
Cina  dan  mempunyai  anak  laki-laki  ber-nama  Radja  Pandita  dan  Rahmatullah,
yakni  Raden  Rahmat  (Sunan  Ampel),
yang  juga  beristri  seorang  putri  Cina,
saudara  putri  Campa,  permaisuri  raja
Majapahit  terakhir.  Sunan  Ampel  mem-punyai  beberapa  anak,  di  antaranya
adalah Nyai  Maloko,  yang  diperistri  Us-man  Haji  (ayah  Sunan  Padusan).  Oleh
karena  Islam  diminati  orang  Sumenep,
maka  Kudho  Panule  alias  Pengeran
Satjadiningrat  III  yang  menjadi  raja  Su-menep memeluk agama Islam, dan Sunan
Padusan  diambil  sebagai  anak  man-tunya.
31

Tempat Sunan Padusan itu awalnya
di  desa  Padusan.  Alkisah,  ketika  seorang
santri  sudah  dianggap  melakukan  rukun
Islam,  dia  dimandikan  dengan  air  yang
dicampur  dengan  bunga-bunga  yang
                                                
31
 Fatah, Sedjarah  Tjaranya Pemerintahan  di  Daerah-daerah  Kepulauan  Madura, hlm.  31; Soebahar, Pon-dok  Pesantren  di  Madura, hlm. 40; dan Raden  Wer-disastra, Babad Sumenep, hlm. 123-124
Aksin Wijaya

252 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

harum.  Cara  memandikan  itu  disebut
edudus.  Karena  itu,  desa  yang  ditempati
pemandian itu disebut desa padusan (kini
termasuk  pamolokan)  Sumenep.  Sedang
guru  yang  memberikan  pelajaran  disebut
Sunan  Padusan.  Setelah  itu,  Sunan  Padu-san  pindah  ke  keraton  Batuputih.  Seka-rang  menjadi Batu Putih Kidul  (selatan),
Batu Putih Daya,  dan Batu Putih Kene’,
Kecamatan Batuputih.
32

Menurut cerita turun temurun, anak
laki-laki  dari  saudara  Ampel  menetap  di
desa Pajudan dekat Sumenep.
33
 Islamisasi
di  Madura  meluas  ketika  raja-raja  Madu-ra  memeluk  Islam  sekitar  pertengahan
abad ke-16 M.,  terutama  Sumenep  yang
kala  itu  menjadi  kawasan  perdagangan
yang paling ramai.
34
 Perkembangan Islam
di  Madura  berjalan  cepat  setelah  banyak
orang-orang  keturunan  Arab  Hadramaut
menetap  di  Sumenep,  banyak  pesantren
didirikan,  dan  banyak  orang  Madura
yang  melaksanakan  ibadah  haji,  sambil
mencari  ilmu  di  Mekah  dan  Madinah,
seperti  Gemma  dan  Kiai  Syarqawi,  dua
figur  ulama kharismatik  yang  membuat
perkembangan  Islam  di  Madura  semakin
cepat  melalui pesantren,  seperti  Pesan-tren Annuqayah  di  Guluk-Guluk, Sume-nep.
35


Pesantren  Tanwirul  Hija:  Menggandeng
Masa lalu,Mencandra Masa Depan
Madura  mendapat  tantangan  se-rius  akhir-akhir  ini  terutama  sejak  diba-ngunnya  jembatan Suramadu  (Surabaya-                                                
32
 Fatah, Sedjarah  Tjaranya  Pemerintahan  di  Daerah-daerah, hlm.31 dan Abdurrachman, Sedjarah Madu-ra:  Selayang  Pandang:  Sumenep,  Pamekasan,  Sam-pang, Bangkalan (1971), hlm. 16-17.
33
Ibid., hlm. 16-17.
34
Huub  de  Jonge, Madura  dalam  Empat  Zaman:
Pedagang,  Perkembangan  Ekonomi,  dan  Islam:  Suatu
Studi  Antropologi  (Jakarta:  Gramedia,1989),  hlm.
241
35
Ibid., hlm. 242-245.
Madura).  Dengan  jembatan  ini,  transfor-masi  yang  menghubungkan  pulau  Ma-dura  dengan  Jawa  semakin  mudah.  Kon-disi  ini  menyebabkan  tantangan  glo-balisasi  yang  sudah  lama  melanda  Jawa
otomatis  juga  merembet  ke  Madura.  An-daikata  Madura  yang  selama  ini  dikenal
sebagai ―serambi Madinah‖ atau ―pulau
seribu pondok‖ tidak mempersiapkan di-ri  secara  matang,  bukan  tidak  mungkin,
dua  sebutan  tadi  akan  hilang  dari Madu-ra.  Di  sinilah  lembaga  pendidikan  me-mainkan peran signifikan.
Selama  ini,  perkembangan  pendi-dikan  formal  di  Madura  terkenal  lambat.
Di  Madura,  orang  lebih  mengenal  nama
pesantren daripada  sekolah  umum.  Data
Educational  Management  Information  Sys-tem  (EMIS)  sekitar  tahun  2000-an  yang
terdapat  pada  Seksi  Pendidikan  Keaga-maan  dan Pesantren  di  setiap Kantor
Kementerian Agama Kabupaten menurut
Halim  Soebahar  diperoleh  data:  jumlah
pesantren  di  Bangkalan  258;  Sampang
181;  Pamekasan  462;  dan  di  Kabupaten
Sumenep 224. Ada lebih seribu pesantren
di  Madura,  sehingga  ada  yang  menyebut
Madura  sebagai  ―pulau  seribu  pondok
pesantren‖.  Sedang  jumlah  madrasah
dîniyyah di  Bangkalan 806;  Sampang 408;
Pamekasan 314; dan Sumenep 404.
Belakangan,  data  Jawa Timur  da-lam  angka  2000  menurut  penelusuran
Abdul  Halim  Soebahar  memberi  gam-baran menarik bahwa ada perkembangan
positif  tentang  lembaga  pendidikan  for-mal di Madura (Bangkalan, Sampang, Pa-mekasan, dan  terutama  Sumenep)  mulai
dari  TK/RA,  SD/MI,  SMP/MTs,
SMA/MA,  PTU,  dan  PTAI,  baik  yang
terdapat  di  luar pesantren dan  terutama
yang  terdapat  di  lingkungan pesantren,
36

                                                
36
 Soebahar, Pondok  Pesantren  di  Madura, hlm. 42-45.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 253

khususnya  di Kabupaten  Sumenep.  Su-menep  memiliki  sekitar  311  pesantren
dengan skala  yang  bervariasi,  baik  yang
salaf  maupun khalaf.  Pesantren  Annu-qayah  yang  berada  di  Guluk-Guluk,
bagian barat Kabupaten  Sumenep  meru-pakan  pesantren  terbesar  di Kabupaten
Sumenep.
Pesantren  Annuqayah  didirikan  o-leh  KH.  Moh.  Syarqawi  pada  1887.  M.
Syarqawi  adalah  keturunan  keluarga  kiai
terkenal  di  Kudus.  Dia  anak  dari  Kiai
Siddiq  Romo dan  cucu  dari Kiai Kanjeng
Sinuwun. Suatu ketika, Syarqawi pergi ke
Mekah  untuk  menunaikan  ibadah  haji
dan  di  kapal  bertemu  dengan  tokoh  kha-rismatik  asal  Madura  bernama  Gemma
sekitar  tahun  1865  M (1307  H).  Ketika
Gemma  sakit  keras  selama  berada  di  Hi-jaz,  dia  meminta  Syarqawi  yang  sudah
menjadi  kawan  karibnya  itu  untuk  me-ngawini  salah  satu  istrinya  yang  muda
bernama  Khatijah  yang  tinggal  di  Pren-duan.  Dalam  waktu  singkat,  Syarqawi
menjadi  terkenal.  Kemudian,  dia  pindah
ke Guluk-Guluk dan  di sanalah dia men-dirikan  pesantren,  yang  kelak  bernama
Annuqayah.
37
 Dari pesantren Annuqayah
inilah,  pesantren-pesantren  kecil  di  pel-bagai  daerah  di  Sumenep  khususnya
lahir,  termasuk Pesantren  Tanwirul  Hija
di desa Cangkreng, Kecamatan Lenteng.
Pesantren Tanwirul  Hija
38
 termasuk
dalam  catatan  pesantren  tertua  di  kabu-paten  Sumenep.  Pesantren  ini  berada  di
desa  Cangkreng,  kecamatan  Lenteng,
                                                
37
Huub  de  Jonge, Madura  dalam  Empat  Zaman:  Pe-dagang,  Perkembangan  Ekonomi,  dam  Islam:  Suatu
Studi Antropologi, hlm. 242-245.
38
 Deskripsi  historis  pesantren Tanwirul  Hija ini
berasal dari Syamsul Supid. Sumber Informasi: K.
Ahmad Dumairi Asy’ari, S.Ag, K.H. Abd. Syakur,
dan K.  Drs.  Moh.  Muhdar  Imam.  Penelusuran
informasi  dan  penulisan  ini  dimulai pada  2010–
2012. 
berjarak  sekitar  15  km  dari  ibu  kota
kabupaten  Sumenep.  Desa  Cangkreng
terletak di sebelah timur Kecamatan Len-teng,  diapit  beberapa  desa:  sebelah  barat
ada Desa  Poreh,  sebelah utara  ada Desa
Medelan,  sebelah timur  ada Desa  Sendir,
dan sebelah selatan Desa Muangan.
Pesantren  Tanwirul  Hija  didirikan
pada  1950  M  oleh  KH.  Mohammad
Khotib ibn Abdurrahiem bersama istrinya
Nyai  Hj.  Raudlah  binti  H.  Ishak.  Wa-laupun tidak memiliki santri yang banyak
sebagaimana pesantren  pada  umumnya,
Pesantren Tanwirul Hija berhasil melahir-kan  ulama berpengaruh  di sekitarnya.  Di
antara santrinya adalah KH. Moh. Ikhsan
dari  Lembung,  KH.  Abdurrahman  dari
Poreh,  KH.  Suwaid  dari Pinggir  Papas,
KH.  Abdul  Gani  dari  Poreh,  dan  K.
Abdul  Bari  dari  Poreh.  Mereka  merupa-kan  santri-santri  pertama  yang  menjadi
cikal  bakal  keberadaan Pesantren Tanwi-rul Hija.
KH. Mohammad Khotib ibn Abdur-rahiem  yang  dikenal  dengan  panggilan
―Kiai Anom‖ di masyarakat  sekitar,  lahir
di  desa  Poreh  pada  tahun  1914  M,  dari
seorang  ibu  yang  belum  diketahui  na-manya,  sedang  bapaknya  bernama  Ab-durrahiem.
Riwayat pendidikannya tidak begitu
banyak  diketahui.  Konon,  di  usia  kurang
lebih  15  tahun,  beliau  mulai  menimba il-mu  di pesantren  Asta  Tinggi  Kebuna-gung  Sumenep  yang  dipimpin  KH.  Abd.
Sujak.  Kemudian  pindah  ke pesantren
Annuqayah  tepatnya  di  daerah  Latee di
Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.  Pada
1944  M., dia menikah  dengan  Nyai.  Hj.
Raudlah binti  H.  Ishak.  Beberapa  tahun
kemudian,  tepatnya  pada  1950  M., dia
mendirikan Pesantren Tanwirul Hija.
Beliau  sendiri  yang  memberi  nama
―Tanwirul Hija‖. Nama ini diambil dari
bahasa Arab yang mempunyai arti ―Pen-
Aksin Wijaya

254 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

cerahan  Akal‖.  Pengambilan  nama  ini
tentu  saja  tidak  sembarangan.  Ia  mem-punyai  konteks  historis  tersendiri,  sesuai
dengan  situasi  dan  kondisi  masyarakat
Cangkreng  pada  waktu  itu  yang  masih
kental  dengan  tradisi  agama  Hindu,  dan
rasa  trauma  akibat  kejamnya  penjajahan.
Untuk  itu,  beliau  berinisiatif untuk  mela-kukan  pencerahan  akal,  baik  dalam  ben-tuk memahami agama Islam secara benar
dan  meninggalkan  tradisi  agama  Hindu
yang sangat bertentangan dengan hukum
Islam,  serta  menyadarkan  masyarakat
akan pentingnya pendidikan dalam kehi-dupan.
Pada  1955  M.,  jumlah  santri  di
pesantren ini bertambah hingga mencapai
30 orang.  Sebagian besar berasal dari pu-lau  Madura  sendiri,  sebagian  kecil  dari
pulau  Jawa.  Sebagaimana  sistem  pesan-tren  pada  umumnya,  sistem  pendidikan
Pesantren Tanwirul  Hija  mulai  menerap-kan sistem klasikal yang ditangani sendiri
olehnya. Pesatnya kemajuan yang dicapai
oleh Pesantren Tanwirul Hija pada waktu
itu  membuat  pengelola  mulai  melakukan
pembenahan.  Pada  1962  M,  didirikan
pendidikan  formal  pertama  di Pesantren
Tanwirul Hija, yaitu Madrasah Ibtidaiyah
(MI).  Kepala  madrasah pertama  adalah
KH.  Zaidi  Hasan  yang  berasal  dari Desa
Poreh, salah satu santri Pesantren Tanwi-rul  Hija.  Keberadaan  Madrasah  Ibtidai-yah itu masih eksis sampai sekarang.
Pada  hari Jumat,  tepatnya  tanggal
24  Oktober  1977  M.,  KH.  Mohammad
Khotib ibn Abdurrahiem wafat. Beberapa
waktu  sebelum  wafat, dia masih  sempat
mengumpulkan  dewan  guru  dan  tokoh
masyarakat  sekitar  untuk  memilih  dan
menunjuk  pengganti  beliau.  Dalam  mu-syawarah  tersebut  beliau  menunjuk
menantu keponakan dari istri, suami dari
Nyai Hj.  Rumanah  binti  Ishak,  yaitu  KH.
Asy’ari ibn  Mustafa  dengan  wakilnya
KH.  Imam  Mawardi ibn H.  Muhtar  yang
juga  suami  dari  keponakan  dari  istrinya,
Nyai  Hj.  Rahmah  binti  Ishak.  Keduanya
ditunjuk  sebagai  penerus  untuk  memim-pin  lembaga  pendidikan  di Pondok Pe-santren Tanwirul Hija.
Keduanya berjuang untuk terus me-ngembangkan Pesantren  Tanwirul  Hija,
apalagi  keberadaan  MI waktu  itu  sangat
maju  pesat  dengan  jumlah  santri/siswa
yang  menimba  pendidikan  lumayan  ba-nyak, meski tidak bermukim seperti sebe-lumnya.  Pada  1980  M.,  didirikanlah  lem-baga Raudlatul Athfal (RA) untuk pendi-dikan formal anak-anak di bawah umur.
Dengan tujuan untuk mengukuhkan
keberadaan  Pesantren  Tanwirul  Hija,
pada 1989 dibentuklah Yayasan Tanwirul
Hija.  Pada  1990,  atas  usulan  masyarakat
sekitar,  didirikanlah  jenjang  pendidikan
yang  lebih  tinggi.  Apalagi  jenjang  pen-didikan  lanjutan  hanya  berada  di  Keca-matan, yang jarak tempuhnya sangat jauh
dari  Desa  Cangkreng,  sekitar  4  km.
Sehingga banyak anak-anak dari keluarga
miskin  tidak  mau melanjutkan  ke  pendi-dikan  yang  lebih  tinggi,  mengingat  biaya
transportasi dan SPP  yang mahal. Alasan
jauhnya  jarak dan  keterbatasan  ekonomi
masyarakat  pada  waktu  itu  yang  mayo-ritas  berada  di bawah  garis  kemiskinan
menggugah  rasa  keperihatinan  para  pe-ngelola  pendidikan Pesantren  Tanwirul
Hija  untuk  mendirikan  Madrasah  Tsana-wiyah (MTs) Tanwirul Hija dengan kepa-la  sekolah  pertama  kali  K. Moh.  Muhdar
putra  KH.  Imam  Mawardi.  Jumlah
santri/siswa kala itu hanya 20 orang.
Perkembangan  demi  perkembangan
terus  dicapai  oleh  pesantren  Tanwirul
Hija.  Pada  tahun  1997  M.,  juga  didirikan
TKA/TPA  yang  diprakarsai  oleh  putra
pertama KH. Asy’ari, yakni K. Ahmad
Dumairi Asy’ari. Bertepatan dengan pe-laksanaan  Haflatul  Imtihan  dan  Wisuda
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 255

Purna Siswa 2002 M. KH. Asy’ari dipang-gil  kembali  ke  haribaan  Allah.  Estafet
kepemimpinan  lembaga Pondok  Pesan-tren Tanwirul  Hija  kemudian  diserahkan
kepada putranya, Ahmad Dumairi.
Ahmad Dumairi Asy’ari adalah put-ra pertama KH. Asy’ari dengan Nyai  Hj.
Rumanah.  Dumairi  dilahirkan  di  Cang-kreng pada tangaal 24 Januari 1970. Seba-gaimana  layaknya  anak-anak  desan
Cangkreng,  Dumairi  kecil  belajar  di  pen-didikan formal dasar pada Madrasah Ibti-daiyah  Tanwirul  Hija.  Lulus  dari  tem-paan pendidikan di pesantren ini, Dumai-ri  yang  mulai  menginjak  dewasa  melan-jutkan studinya ke Pesantren Annuqayah
Guluk-Guluk.  Tidak  hanya  puas  di  satu
pesantren,  selepas  dari  pondok  terbesar
di Sumenep ini, Dumairi melanjutkan lagi
ke  pesantren  di  Kediri.  Sedang  untuk
mengasah  kemampuan  intelektualnya,
Dumairi  yang  sudah  mulai  menguasai
pemikiran Islam  klasik  model  pesantren
ini  melan-utkan  studinya  ke  perguruan
tinggi  bergengsi  di IAIN  Sunan  Kalijaga
Yogyakarta.
Dengan  dibantu  beberapa  saudara-nya  seperti  KH.  Moh.  Ridwan ibn Imam
Mawardi dan dewan guru yang berada di
Pesantren  Tanwirul  Hija,  Dumairi  ber-hasil  membawa  angin  kemajuan  bagi
Pesantren  Tanwirul  Hija.  Pada  tahun
2006,  berdirilah  Sekolah  Menengah  Atas
(SMA).  Yang  menjadi  kepala  sekolah
SMA adalah KH. Imam Hendriyadi putra
KH.  Syarqawi  Zaen,  seorang  kiai  kelana
dari Cangkreng.
Setelah  vakum  selama  33  tahun,
atau  setengah  abad  berlalu  dalam  hi-tungan  dari  berdirinya  Pesantren  Tan-wirul  Hija,  beberapa  tahun  ini  kebe-radaan  santri  mukim  mulai  hidup  kem-bali.  Kepemimpinan  K.  Ahmad  Dumairi
Asy’ari dengan dibantu istri, Nyai Fitri-yatus  Sholehah  (Pamekasan),  mampu
menghidupkan  kembali  keberadaan  san-tri  mukim Pesantren Tanwirul  Hija.  Ge-liat  kesadaran  dan  kepercayaan    masya-rakat untuk memasrahkan putra-putrinya
mondok datang  dengan  sendirinya  tanpa
disuruh  atau  diminta.  Pada  tahun  2010,
secara  resmi Pesantren  Tanwirul  Hija  di-hidupkan  kembali.  Kondisi  sarana  prasa-rana  yang  masih  terbatas,  dengan  me-nempati  kamar  kediaman  pengasuh,  ti-dak  mematahkan  semangat  dan  keperca-yaan  para  orang  tua  santri  untuk  tetap
menitipkan anak-anaknya guna nyantri di
Pesantren Tanwirul Hija.
Tak  lepas  dari  visi  misi  pendirinya
terdahulu, KH.  Mohammad  Khotib  atau
yang dikenal dengan sebutan Kiai Anom,
selain  pendidikan  formal  yang  sudah
tersedia,  Kiai  Ahmad  Dumairi  Asy’ari
juga menerapkan sistem pendidikan khu-sus  bagi  para  santri  mukim  atau  santri
nonmukim  (colokan)  untuk  mengikuti
program  pondok. Untuk  itu, Madrasah
Diniyah  Awwaliyah  dan  Madrasah
Diniyah  Wustha didirikan, yang  mem-rioritaskan  pembelajaran  kitab-kitab,
selain  pengajian-pengajian  kitab  khusus
yang  biasa  diselenggarakan  pada  malam
hari  di  lingkungan  pondok  bagi  santri
mukim.
Pada 2012, pengembangan demi pe-ngembangan  terus  dilakukan,  berkaca
pada  kebutuhan  masyarakat  sekitar  akan
kebutuhan  pendidikan  pada  anak  usia
dini.  Dengan  sigap  dan  tanggap  pula,  K.
Ahmad  Dumairi  Asy’ari,  S.Ag  segera
mendirikan  dan  menata  pendidikan  mu-lai  dari  Pendidikan  Anak  Usia  Dini
(PAUD)  sampai  SMA.  Sampai  saat  ini,
jumlah  santri/siswa  yang  belajar  di  Pe-santren Tanwirul  Hija sekitar 600  orang,
terhitung  dari  seluruh  jumlah  jenjang
pendidikan  yang  dikelola  dari  tingkat
PAUD,  RA,  TKA/TPA,  MI,  MD,  MTs,
dan  SMA.  Semua  ini  tak  lepas  dari  ke-
Aksin Wijaya

256 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

percayaan  yang  diberikan  masyarakat
sekitar  pada  Pesantren  Tanwirul  Hija
untuk  menyerahkan  anak-anaknnya  me-nempuh  pendidikan  di  Pesantren  Tan-wirul Hija.

Penutup
Uraian  di  atas  menunjukkan  bahwa
cikal bakal pesantren di Jawa telah berdiri
di  akhir  abad  ke-14  M  yang  dipelopori
Syekh  Maulana  Malik  Ibrahim,  penyebar
Islam tahap awal di Jawa. Pesantren yang
berakar  dari  tradisi  Nusantara  dan  dipa-dukan  dengan  tradisi Islam, tumbuh se-bagai lembaga  pendidikan  Islam  tradisi-onal—dengan  elemen  pokok  kiai,  santri,
pondok,  masjid/mushalla,  dan  pengajian
kitab  kuning dengan  metode sorogan dan
bandongan.  Dalam  perjalanannya, pesan-tren  berkembang  secara  ekspansif; dari
wilayah  pedesaan  berkembang  ke  wi-layah  perkotaan,  dari  manajemen  tra-disional mulai  menggunakan  manajemen
modern,  dari  kurikulum  murni  diniyah
dilengkapi  dengan materi  umum  dan
keterampilan.
Dengan  pengembangan  tersebut,
pesantren  hingga  kini  tetap  eksis  dan  te-rus berkembang di bumi Nusantara. Ken-dati  demikian,    tantangan  global menun-tut  pesantren  terus  berbenah  dalam  se-gala  aspek  agar  lembaga  ini terus  ber-tahan  dan mampu  mempersiapkan para
santrinya  menjadi  manusia  dewasa  dan
berakhlak mulia dan ilmuan muslim yang
mumpuni  dalam  bidang  ilmu-ilmu  mo-dern tanpa kehilangan jati dirinya sebagai
santri. 
Sejalan  dengan  itu,  agar  pesantren
Tanwirul Hija bisa eksis di tengah-tengah
arus perkembangan zaman yang kian tak
terkendali  ini,  pengasuh  dan  para  santri
harus  mempertahankan  esensi pesantren,
termasuk  mempertahankan  peninggalan
pendirinya,  baik  materi  pelajarannya,  ca-ranya  men-didik  santri,  dan  caranya
berhubungan dengan  masyarakat sekitar.
Di  sisi  lain,  mereka  juga  dituntut  mem-pelajari  metode  pendidikan  baru  yang
bersifat  inklusif  dan  sadar  gender.  De-ngan  berdiri  di  dua  kaki  seperti  ini,
Pesantren  Tanwirul  Hija  tidak  hanya
eksis  tetapi  juga  bakal  mampu  men-ciptakan  kader-kader  baru  yang  siap
berkompetisi  dengan  kompetitor  yang
berasal  dari lembaga  lain  manapun,  baik
dalam  bidang  keilmuan  agama  maupun
keilmuan umum.[] 

Daftar Pustaka
Abdurrachman.Sedjarah  Madura:  Selayang
Pandang:  Sumenep,  Pamekasan,  Sam-pang, Bangkalan. 1971.
Ali,  Mukti. Peranan  Pondok  Pesantren  da-lam Pembangunan. Jakarta: Bayu Bar-kah, 1974.
Darmaningtiyas.  Pendidikan  Rusak-rusak-an. Yogyakarta: LKiS, 2007.  
De Graaf dan Pigeaud. Kerajaan Islam Per-tama  di  Jawa:  Tinjauan  Sejarah  Politik
Abad  XV  dan  XVI.  Jakarta:  Grafiti,
2001.
Dhofier,  Zamakhsyari.Tradisi  Pesantren:
Memadu  Modernitas  untuk  Kemajuan
Bangsa.  Yogyakarta:  Pesantren  Na-wesea Press, 2009.
Faisal  Ismail, Masa  Depan  Pendidikan  Is-lam:  Di  Tengah  Kompleksitas  Tantang-an  Modernitas. Jakarta: Bakti  Aksara
Persada, 2003.
Fatah, Zainal. Sedjarah Tjaranya Pemerinta-han  di  Daerah-daerah  Kepulauan  Ma-dura dengan Hubungannya. 1951
Jonge,  Huub  de.  Madura  dalam  Empat
Zaman:  Pedagang,  Perkembangan  Eko-nomi,  dam  Islam:  Suatu  Studi  Antro-pologi. Jakarta: Gramedia, 1989.
Rifai, Mien Ahmad.Manusia Madura, Pem-bawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampi-lan,  dan  Pandangan  Hidupnya Seperti
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 257

Dicitrakan  Pribahasanya. Yogyakarta:
Pilar Media, 2007.
Soebahar,  Abdul  Halim.Pondok  Pesantren
di  Madura:  Studi  Tentang  Proses
Transformasi  Kepemimpinan  Akhir
Abad  XX  (Disertasi,  tidak  diterbit-kan), 2008.
Steenbrink,  Karel  A.  Pesantren,  Sekolah,
Madrasah. Jakarta: LP3ES, 1986.
Suharto,  Babun.  Dari  Pesantren  untuk
Umat:  Reinventing  Eksistensi  Pesan-tren  di  Era  Globalisasi.  Surabaya:
Imtiyas, 2011.
Wahjoetoemo.Perguruan  Tinggi  Pesantren.
Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Wahid,  Abdurrahman. Menggerakkan  Tra-disi:  Esai-esai  Pesantren,  cet.  ke-2.
Yogyakarta: LKiS, 2007.
-----, ―Pengantar‖, dalam Hiroko  Horiko-shi, Kyai  dan  Perubahan  Sosial. Jakar-ta: P3M, 1987.
Werdisastra, Raden, Babad Sumenep.
Wijaya,  Aksin. Menusantarakan  Islam:  Me-nelusuri  Jejak  Pergumulan  Islam  yang
tak  Kunjung  Usai  di  Nusantara. Yog-yakarta: Nadi Pustaka, 2011.
Yakin,  M.  Ainul. Pendidikan  Multikultural:
Cross-Cultural  Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan, cet. 2. Yogya-karta: Pilar Media, 2007.









PESANTREN TANWIRUL HIJA SUMENEP 
DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL

Aksin Wijaya
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo
Jl. Pramuka No.156, Ponorogo, Jawa Timur 63471
e-mail:asawijaya@yahoo.com


Abstrak:
Dalam  dunia  keilmuan,  lembaga  pendidikan  menjadi  tumpuan  para  pendidik
mengajarkan  ilmu  pada  generasi  berikutnya.  Di  Indonesia,  pesantren  adalah
lembaga pendidikan tradisional tertua yang hingga kini tetap  eksis. Lembaga ini
menjadi  tumpuan  ulama  dalam  mentransformasikan  ilmu  agama  kepada
masyarakat.  Karena  arus  globalisasi,  dunia  pendidikan  yang  lahir  di  dunia
manapun  mendapat  pengaruh darinya,  termasuk  pesantren.  Tulisan  ini
membahas peran pesantren dalam mendidik santrinya agar mereka tidak hanya
mampu menghadapi tantangan globalisasi, tapi juga tidak kehilangan jati dirinya
sebagai  santri.  Tulisan  ini  difokuskan  pada  tiga  pokok  pembahasan: pertama,
bagaimana  eksistensi,  esensi,  dan  peran  pesantren  dalam  menghadapi  arus
perubahan zaman; kedua, bagaimana pesantren menatap masa depan; dan ketiga,
sebagai  contoh  kasus,  bagaimana  Pesantren  Tanwirul  Hija  di  Sumenep  Madura
bermetamorfosis  menghadapi  tantangan  globalisasi.  Tulisan  ini  menyimpulkan
bahwa guna menyiasati tantangan global, pesantren senantiasa mempertahankan
esensi  pesantren,  sekaligus  pada  saat  yang  sama  mengapresiasi metode  pen-didikan baru yang bersifat inklusif dan sadar gender. Dengan berdiri di dua kaki
seperti ini, pesantren, tidak terkecuali Pesantren Tanwirul Hija, tidak hanya eksis
tetapi juga bakal mampu menciptakan kader-kader baru yang siap berkompetisi
dengan kompetitor yang berasal dari lembaga lain manapun, baik dalam bidang
keilmuan agama maupun keilmuan umum. Singkatnya, pembaharuan pesantren
dalam segala bidang, yang menjadi fokus tulisan ini, mutlak dilakukan. 


Abstract:
In the world of science, the institutions of education have become the foundation
of educators to teach science for the next generation. Pesantren (Islamic boarding
school)  is  the  oldest  traditional  educational  institutions,  which  still  exists  in
Indonesia until  now. It  is  in  this  institution  in  which  islamic  scholars  transform
Islamic  knowledge  to  society.  Globalization  has  influenced  the  world  of  edu-cation, wherever it comes from, including pesantren.This paper discusses the role
of  boarding  schools  in  educating students  so that  they  not  only able  to face  the
challenges  of  globalization,  but  also guard  their  identity  as  islamic students
(santri), in three main discussion: first, how the existence, essence and role of the
boarding  school  in facing  the  changing  times  are;  second,  how  the  boarding
schools face the future; and third, as an example, how pesantren of Tanwirul Hija
in  Sumenep,  Madura changes to face  the challenges of  globalization.  This study
Aksin Wijaya

242 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

concludes  that  in  order  to  deal  with  global  challenges, pesantren  has  been
continually maintaining the  essence  of  the islamic boarding  school,  while  at  the
same  time  appreciating  the  new  educational  methods  that lead  to  the  inclu-siveness  and  gender  awareness. By  standing  on  two  feet, the  boarding schools,
including Tanwirul Hija, not only exists but also will be able to create new cadres
who are ready to compete with other competitors from any different institutions,
both in the islamic knowledge and general sciences. In short, reforms in all areas
of pesantren, which is the focus of this paper, are absolutely done.


Kata Kunci:
Pesantren, eksistensi, esensi, tantangan global


Pendahuluan
Pesantren  adalah  salah  satu  lem-baga  pendidikan  tertua  di  Indonesia,
yang tidak hanya bersifat tradisional, tapi
menjadi subkultur masyarakat. Dikatakan
tradisional, karena  pada  awalnya, pesan-tren  hanya  sekadar  digunakan  sebagai
sarana  dakwah. Karena  situasi  berubah,
pesantren juga berubah fungsinya menja-di sarana pendidikan  nonklasikal dengan
model sorogan. Sang guru atau kiai duduk
bersila  di  depan  jemaah  dan  biasanya  di
dalam masjid pesantren.  Baru  belakang-an,  sistem  klasikal  diadopsi  pondok  pe-santren.  Bahkan  kini  banyak  pesantren
yang  mulai  mendirikan  sekolah  klasikal,
baik  agama  maupun  umum.  Kondisi  ek-sistensi  dan  esensi  itu  membuat pesan-tren menjadi salah satu subkultur masya-rakat Indonesia.
Di sisi lain, realitas kekinian berbe-da  dengan  realitas  di  mana pesantren
lahir  dan  eksis,  yakni  pedesaan.  Sebab
akibat  dari  globalisasi  dalam  segala  bi-dang  kehidupan,  desa  tidak  lagi  menjadi
sesuatu  yang  bersifat  tradisional.  Desa
mengalami proses menjadi kota, sehingga
realitas  pedesaan  sama  dengan  realitas
perkotaan. Tantangan yang dihadapi ma-syarakat  desa  tidak  jauh  berbeda  dengan
tantangan  yang  dihadapi  masyarakat
perkotaan.  Jika  sebelumnya  masyarakat
desa hanya berhadapan dengan pertanian
yang  tidak  membutuhkan  tantangan  be-rarti  dari petani  sebagai  penggarapnya,
begitu desa berubah wujud menjadi kota,
tantangan mulai menunggu mereka. Tan-tangan  itu  membutuhkan  kreatifitas  ber-pikir dan kerja profesional.
Di  sinilah  tantangan  baru  muncul
bagi pesantren. Di satu sisi, pesantren ha-rus  mempertahankan  jati  dirinya  sebagai
lembaga  pendidikan  tradisional  yang
mendidik moralitas masyarakat, di sisi la-in,  ia  juga  harus  menemani  masyarakat
mengikuti  arus  globalisasi  yang  kian  tak
terbendung. Apakah akan tetap memper-tahankan  jati  dirinya  sebagai  lembaga
pendidikan  tradisional  Islam  yang  bertu-gas  menjadi  penegak  moral  masyarakat,
ataukah  bermetamorfosis  sebagai  lem-baga  pendidikan  modern  yang  menjadi
penyedia  tenaga  kerja  profesional  yang
menjadi  kebutuhan  masyarakat  modern.
Ini  merupakan  pilihan  sulit.  Memilih
yang  pertama  berarti melupakan  kehidu-pan  praksis  masyarakat  modern  yang
kini  mulai  melanda  masyarakat  pedesa-an,  yang  menjadi  wilayah  garapan  pe-santren. Memilih yang kedua berarti pula
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 243

melupakan  peran  asasi  pesantren  yang
selama  ini  menjadi  sebagai  lembaga
pendidikan Islam  dan  penegak  moral
masyarakat. Atau bisakah pesantren tetap
berdiri  pada  kakinya  sendiri  sebagai
lembaga  pendidikan  Islam  tradisional,
sembari  mendidik  santri  dan  memper-siapkan  mereka  menjadi  tenaga  kerja
profesional  yang  bermoral,  dan  mampu
bersaing  dengan  pekerja  profesional
lainnya,  baik  di  lapangan  kerja  pendi-dikan  ataupun  lapangan  kerja  yang  lebih
luas? 
Tulisan  ini  membahas  peran pe-santren  dalam  mendidik  santrinya  agar
mereka tidak hanya mampu menghadapi
tantangan  globalisasi,  tapi  juga  tidak
kehilangan  jati  dirinya  sebagai  santri,
dengan  tiga  sub bahasan: pertama,  bagai-mana eksistensi, esensi, dan peran pesan-tren dalam  menghadapi  arus  perubahan
zaman; kedua,  bagaimana pesantren me-natap  masa  depan; dan ketiga,  sebagai
contoh  kasus,  bagaimana Pesantren Tan-wirul  Hija  di  Sumenep  Madura  bermeta-morfosis  menghadapi  tantangan  globa-lisasi.

Pesantren dalam Arus Perubahan 
Untuk  menjawab  pertanyaan  per-tama  ini, tulisan  ini akan membahas tiga
hal: pertama,  eksistensi  dan  peran  pesan-tren; kedua, esensi pesantren, serta menga-pa  pesantren  mampu  bertahan  dan
memberikan  sumbangan  besar  bagi  per-kembangan  Islam  di  Indonesia; dan ke-tiga,  apa  yang  dihadapi  pesantren  saat
ini? 
Sejarah  mencatat  bahwa  pesantren
berperan besar bagi perkembangan Islam
di  Nusantara,  begitu  juga  bagi  kemer-dekaan  Indonesia.  Sumbangan  pesantren
itu  dimulai  dari  kota  Barus  pantai  barat
ujung  utara  pulau  Sumatera.  Kota  Barus
ini  menjadi  metropolis  karena kapur  ba-rus  yang  rasa  wanginya  menjadi  kesuka-an  orang-orang  Cina  dan  Arab  ini  men-jadi pusat perhatian para pedagang man-canegara.  Mereka  berdatangan  ke  sana
untuk  mendapatkan  kapur  barus  itu.  Di
kota  inilah  ditemukan  makam  Sultan  bin
Sulaiman bin Abdullah bin al-Basyir yang
wafat pada 1211  M.,  yang  juga  menjadi
petunjuk  pertama  keberadaan  kerajaan
Islam  di  Nusantara:  Lamreh  1211 M dan
Pasai 1250-1526 M.
1

Dari  kota  Barus,  ujung  pulau
Sumatra Utara  ini  pula,  Islam  mulai me-ngepakkan sayapnya ke pelbagai penjuru
Nusantara.  Pada  1400-1680 M muncul
ulama besar  yang  menjadi  pioner  penye-baran  Islam  di  Nusantara,  seperti  Ham-zah  Fansuri,  Syamsuddin  al-Sumatrani,
Nuruddin  al-Raniri  dan  Abdur  Rauf  al-Singkili. Pada masa ini, proyek Islamisasi
berjalan  kuat  di  Nusantara,  dan  tasawuf
menjadi  disiplin  Islam  paling  penting
pada  masa  itu,  terlepas  kala  itu  menyi-sakan  problem relasi tasawuf  falsafi  dan
tasawuf suni.
2

Namun  pada  periode  selanjutnya,
kolonialis  asing  seperti  Portugis,  disusul
VOC,  Belanda,  dan  Jepang  mulai  mena-pak  kakinya  di  Nusantara.  Pada  masa
penjajahan asing, Islam menjadi kekuatan
utama  melawan  mereka,  terutama  pon-dok  pesantren  yang  dibangun  di  daerah
pinggiran  desa menjadi  lembaga  terakhir
perlawanan  umat  Islam  Nusantara  mela-wan  penjajah  asing, dan  ternyata  berha-sil.
3

                                                
1
 Zamakhsyari  Dhofier, Tradisi  Pesantren:  Memadu
Modernitas  untuk  Kemajuan  Bangsa (Yogyakarta::
Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 40.
2
 Aksin  Wijaya, Menusantarakan  Islam:  Menelusuri
Jejak  Pergumulan  Islam  yang  tak  Kunjung  Usai  di
Nusantara (Yogyakarta:  Nadi  Pustaka,  2011), hlm.
51-107
3
Ibid., hlm. 107-152
Aksin Wijaya

244 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

Di  Jawa,  gelombang  Islamisasi
dibawa  oleh  Walisongo  sekitar  abad ke-15-17 M. Para wali Jawa itu menyebarkan
Islam  dengan  memberikan  contoh  lang-sung  pada  masyarakat,  dan  mendirikan
pesantren di pinggiran desa. Yang merin-tis  pesantren  pertama  kali  sebagai
lembaga  pendidikan  dan  dakwah,  menu-rut    Wahjoetoemo  sebagaimana  dikutip
Halim  Soebahar,
4
 adalah  Syekh  Maulana
Malik Ibrahim pada 1399 M. Sedang yang
berhasil  mendirikan  dan  mengembang-kan  pesantren  adalah  Raden  Rahmat
(Sunan  Ampel),  di  Kembangkuning  yang
kala  itu  hanya  mempunyai  tiga  santri,
yakni  Wiryo  Suroyo,  Abu  Hurairah, dan
Kiai  Bangkuning.  Setelah  itu  Raden
Rahmat  pindah  ke  Ampel  Denta  Suraba-ya.  Di  sana  dia  mendirikan pesantren
yang  kemudian  disebut  Sunan  Ampel.
Setelah  itu,  muncul  pula pesantren  yang
didirikan para santri dan putranya, seper-ti  Pesantren  Giri  yang  didirikan  oleh  Su-nan  Giri, pesantren  Demak  oleh  Raden
Fatah,  dan pesantren Tuban  oleh  Sunan
Bonang.
Disusul ulama Jawa penerus Wali-songo yang menjadi ―guru‖ para arsitek
pesantren,  seperti:  Syekh  Ahmad  Khatib
al-Sambasi  (w.  1875); Nawawi  al-Bantani
(1815-1897);  Syekh  Abdul  Karim;  Syekh
Mahfudz al-Tarmasi (1919); dan  Muham-mad Khalil (1819-1925). Dari Muhammad
Khalil  Bangkalan  Madura  ini  lahirlah
ulama  arsitek  pesantren,  seperti:  Kiai
Muhammad Hasyim  Asy’ari  (w.  1947)
pendiri  NU  dan pengasuh  pesantren  Te-buireng  Jombang; Kiai  Manaf  Abdul  Ka-rim  pendiri  pesantren  Lirboyo  Kediri;
                                                
4
Abdul  Halim  Soebahar,―Pondok  Pesantren  di
Madura:  Studi tentang  Proses  Transformasi
Kepemimpinan  Akhir  Abad  XX‖(Disertasi:  IAIN
Sunan  Kalijaga  Yogyakarta,  2008),  hlm. 47  dan
Wahjoetoemo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), hlm. 70.
Kiai Muhammad  Shiddiq  pendiri  pesan-tren  al-Shiddiqiyah  Jember;  KH. M.  Mu-nawwir  (w.  1942)  pendiri  pesantren  al-Munawwir  Krapyak  Yogyakarta;  Kiai
Ma’sum  (1870-1972)  pendiri  pesantren
Lasem  Rembang;  Kiai  Abdullah  Muba-rak, pendiri pesantren Suralaya, Tasikma-laya,  Jawa  Barat; Kiai  Wahab  Hasbullah
(1818-1971),  penggagas  berdirinya  NU
dan  pendiri  pesantren  Tambak  Beras
Jombang; Kiai  Bisri  Syansuri  (1886-1980)
pendiri NU dan pesantren Denanyar Jom-bang; dan Kiai Bisri Musthafa (1915-1977)
pendiri  pesantren  Rembang  Jawa  Te-ngah.
5


Esensi  Pesantren:  Pesantren  sebagai
Subkultur 
Para  peneliti  berbeda  pendapat
mengenai  asal  usul  pesantren.  Ada  yang
berpendapat, pesantren berasal dari India
yang  ditradisikan  dalam  ajaran  agama
Hindu-Budha.
6
 Ada pula yang berpenda-pat bahwa  pesantren berasal  dari  Arab.
7

Terlepas  dari  perbedaan  itu,  kita  menga-kui pesantren  menjadi  lembaga  pendi-dikan tradisional Islam yang bersifat sub-kultur  dan  mempunyai  pengaruh  besar
bagi transformasi Islam di Indonesia.
Dari  segi  kelembagaan,  minimal
harus  mempunyai  lima  unsur  untuk  me-nyebut  lembaga  pendidikan  tertentu  se-bagai pesantren,  yakni:  adanya  pondok,
musala atau masjid,  santri,  kiai, dan pe-ngajaran  kitab-kitab  klasik.
8
 Dilihat  dari
segi budaya,  Gus  Dur  menyebut  pesan-tren sebagai subkultur. Kiai nyentrik dari
Jombang  ini  menyebut  minimal  harus
ada  tiga  unsur  asasi  untuk  menyebut
                                                
5
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 85-96.
6
 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Sekolah,  Madrasah
(Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 20-21.
7
Ibid., hlm. 22-23.
8
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 44-60.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 245

pesantren  sebagai  subkultur:
9
 pemimpin,
sistem nilai, dan kurikulum pendidikan.
Pertama, pemimpin.  Di  dalam  pe-santren,  kiai  menempati  posisi  sentral,
terutama  dalam  relasinya  dengan  santri
dan  masyarakat.  Para  santri  belajar  di
pesantren  bertujuan  mencari  ―berkah‖
dari  kiai  dan  ilmu-ilmu  agama.  Dalam
keyakinan  santri,  berkah  itu  hanya  ada
pada  kiai,  lantaran  beliau  bukan  hanya
menjadi  pemimpin,  guru,  dan  panutan
perilaku  dalam  segala  kehidupan  di  pe-santren, tetapi juga menjadi penerus para
nabi  yang  penuh  dengan  tindakan  yang
ikhlas.  Seorang  kiai  menyediakan  wak-tunya hanya untuk memimpin para santri
melakukan  ibadah  dan  mendalami  ilmu-ilmu agama.
10

Kedua,  sistem  nilai.  Di  pesantren
juga  tertanam  sistem  nilai  mandiri yang
mengacu  pada  tiga  unsur  asasi: pertama,
menilai  kehidupan  secara  keseluruhan
sebagai  ibadah.  Dengan  memusat  pada
ibadah,  seluruh  aktifitas  kehidupan  di
pesantren  bersifat  sakral,  dan  mereka
tidak  merasa  rugi  berada  di  pesantren
dalam  waktu  yang  begitu  lama.  Dengan
pandangan  hidup  demikian,  pesantren
mengajar para santrinya untuk mencintai
ilmu-ilmu  agama.  Dalam  tradisi  pesan-tren,  ilmu  dan  ibadah  saling  terkait.  Iba-dah  seseorang  tidak  akan  berarti  jika
tidak  disertai  dengan  ilmu  yang  benar.
Karena  itulah  kecintaan  terhadap  ilmu
agama  yang  benar  bisa  membantu  me-nyampaikan  pada  ibadah  yang  benar.
Inilah  nilai kedua.  Ketiga  adalah  ikhlas
beramal,  dan  nilai  ini  merupakan  kelan-jutan  dari  dua  nilai  sebelumnya.  Pesan-tren mengajarkan keikhlasan dalam sega-la  hal,  sehingga  kiai  dan santri  senior
                                                
9
 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 1.
10
Ibid., hlm. 235-237.
yang  menjadi  ustaz  dibayar  sekadarnya
saja  dari  kerja  mendidik  yang  mereka
lakukan.
11

Ketiga,  kurikulum  pendidikan.
Sejalan  dengan  dua  unsur  di  atas,  tentu
saja  kurikulum  pesantren  mengajarkan
ilmu-ilmu  agama, terutama  yang  berasal
dari  kitab  kuning  karya  ulama  mazhab
klasik,  seperti  fiqih,  teologi,  tasawuf, ‘u-lûm al-Qur’ân, usul fiqih, balâghah, kaidah
fiqhîyyah, dan lain sebagainya.
Dengan  tiga  unsur  asasi  di  atas,
pesantren  menjadi  subkultur.  Ia  berbeda
dengan kultur yang berada di masyarakat
pada  umumnya.  Sebagai  subkultur,  pe-santren  mempunyai  watak  mandiri  dan
otonom.  Inilah  yang  membuat  pesantren
tetap  eksis  dalam  waktu  yang  begitu
panjang  dan  mampu  memberikan  sum-bangan  besar  bagi  transformasi  Islam  di
Indonesia.

Pergeseran Esensial Pesantren 
Karena  pesantren  sebagai  subkul-tur  berada  di  tengah-tengah  masyarakat,
tentu  saja  pesantren  melakukan  pergu-mulan  dengan  pelbagai  kultur  lainnya  di
Indonesia.  Di  situlah  muncul  dua  tan-tangan  yang  harus  dihadapi  pesantren:
pertama, selain mempertahankan eksisten-sinya  sebagai  subklutur  masyarakat,  ten-tu  saja  juga  mempertahankan  jati  dirinya
tanpa  kehilangan  momentum  perubahan
zaman; kedua, bagaimana mendidik santri
yang mampu menghadapi tantangan sub-kultur lainnya, terutama yang datang dari
luar.
Penting  dicatat  bahwa  terdapat
perbedaan  tantangan  yang  dihadapi  pe-santren masa lalu dan sekarang, sehingga
penyikapannya  juga  berbeda.  Jika  tan-tangan  pesantren  masa  lalu  berupa  kolo-nialisasi  fisik  di  mana  penjajah  secara
                                                
11
 Ibid., hlm. 130-135.
Aksin Wijaya

246 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

langsung  datang  ke  Indonesia,  tantangan
sekarang  berupa  globalisasi  di  mana
penjajah  tidak  hadir  secara  fisik.  Karena
penjajah  masa  lalu  datang  secara  fisik,
dan  masyarakat  merasakan  kekejaman
mereka,  mereka  pun  berjuang  melawan
penjajah  asing  itu.  Sebaliknya  tantangan
globalisasi  yang  dihadapi  masyarakat  se-karang  lebih  abstrak,  sehingga  ia  lewat
dari kesadaran kritis masyarakat. Bahkan,
ia  mampu memengaruhi  alam  bawah  sa-dar masyarakat, apalagi globalisasi mem-berikan janji-janji manis bagi  masyarakat.
Tantangan nyata yang kini dihada-pi pesantren  adalah  janji-janji  pemerin-tah  untuk  memprofesionalkan  lembaga
pendidikan  dengan  tujuan  agar  mampu
bersaing  dengan  lembaga  pendidikan
modern  dari  negara-negara  maju.  Tujuan
tersebut  tentu  saja  menggiurkan  dari  sisi
materi  dan  kelembagaan,  seperti 20  %
anggaran  pendidikan,  kesejahteraan  gu-ru,  profesionalisme  guru,  dan  pemerata-an  pendidikan.  Terhadap  janji-janji  itu,
masyarakat pun menyambut antusias. Se-mua  orang  senang  dengan  terma-terma
itu  dan  mereka  berharap  dapat  menik-matinya.
Justru  janji-janji  muluk  yang  oleh
sementara kalangan disebut sebagai kapi-talisasi  pendidikan  itulah  masalah  sebe-narnya  yang  dihadapi  pesantren.  Karena
globalisasi  teknologi  dan  budaya,  serta
kapitalisasi  pendidikan ala  pemerintah
akan menggeser watak mandiri pesantren
sebagai  subkultur.  Dikatakan  tantangan
yang  sebenarnya,  karena  pondok  pesan-tren  belum  tentu  mampu  menghadapi
tantangan  itu.  Jika  awal  berdirinya  pon-dok  pesantren  mampu  menghadapi  tan-tangan  dari  penjajahan  Belanda,  belum
tentu  tantangan  dari  dalam  sendiri.  Ken-dati  Belanda  sebagai  penjajah  mulai
menerapkan  sistem  pendidikan  modern
berupa sekolah, eksistensi dan esensi pen-didikan  tradisional  pesantren  masih  tak
tergoyahkan.  Sebab sekolah  modern  Be-landa hanya diperuntukkan dan memang
hanya  diminati  anak-anak  kalangan  elit,
kendati belakangan sekolah juga menam-pung  anak-anak  pribumi  yang  berasal
dari  ekonomi  menengah  ke  bawah.  Da-lam situasi seperti itu, pesantren tetap ek-sis  dan  menjadi  pilihan  utama  masya-rakat  Islam  khususnya.  Begitu  juga,  ke-kuatan pesantren itu  terletak  pada  posisi
pesantren  sebagai  benteng  perlawanan
untuk  mengusir  Belanda  sebagai  penja-jah.
Berbeda  hal  dengan  kondisi
pensantren  saat  ini. Justru  ketika  peme-rintah Indonesia pasca kemerdekaan mu-lai  menerapkan  sistem  pendidikan
modern ala Belanda yang disebut sekolah,
eksistensi  dan  esensi  pesantren  mulai
termarginalkan.
12
 Sebab,  dari  segi  kelem-bagaan,  pemerintah  mendirikan  sekolah
modern  dengan  gedung-gedung  mewah
untuk  menarik  minat  siswa.  Semua  pera-latan  sekolah  disediakan.  Ketika  keluar
dari  sekolah pun,  pemerintah  menyedia-kan lapangan pekerjaan dengan gaji yang
menggiurkan.  Sengaja  atau  tidak,  kebija-kan itu mengindikasikan pemerintah mu-lai  memarginalisasi  eksistensi  pesantren,
dan  mulai  mengangkat  eksistensi  seko-lah.
Sistem pendidikan modern sekolah
ini  bukan  hanya  menggeser  pesantren
secara  eksistensial, tapi  juga  menggoda
dan  menggeser  esensi pesantren sebagai
subkultur. Misalnya, posisi dan peran kiai
yang  ikhlas  beramal,  yang  menjadi pia-lang budaya  atau  agen  perubahan,  mulai
digeser  dengan  guru  yang  berijazah  for-mal  dan  bersertifikat;  kurikulum  pendi-dikan keagamaan Islam klasik yang dipe-runtukkan  untuk mendidik  anak  berak-                                                
12
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 41.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 247

hlak  terpuji  digeser  dengan  Kurikulum
Berbasis  Kompetensi  (KBK),  disusul
KTSP  dan  pendidikan  berbasis  karakter;
dan  keberhasilan  keilmuan  santri  yang
awalnya  dipersiapkan  menjadi  ustaz  dan
ulama  digeser  oleh skill yang  lulusannya
siap  kerja  di  lapangan  industri  modern
yang menawarkan gaji menarik.
Selain  tantangan  dari  janji-janji
pemerintah  untuk  memprofesionalkan
lembaga  pendidikan,  tantangan  yang  di-hadapi pesantren juga datang dari globa-lisasi  yang  kini  menjadi  kebutuhan  nyata
masyarakat. Mampukah pesantren meng-hadapinya, tanpa kehilangan jati dirinya?
Kemampuan  itu  ditentukan  oleh
sejauh  mana  tantangan  yang  dihadapi-nya,  dan  sejauh  mana  kekuatan  pesan-tren  itu  sendiri.  Dua  kemungkinan  bisa
terjadi.  Melihat  posisi  subkultur  pesan-tren  di  atas,  dan  posisi  kiai,  yang  tidak
hanya menjadi ―broker budaya‖ menurut
Clifford  Geertz, tapi juga menjadi ―agen
perubahan‖,  menurut  Hiroko  Horiko-shi,
13
 pesantren  dinilai  tidak  hanya  tahan
menghadapi pengaruh dari luar, tapi juga
mampu memengaruhinya. Tetapi melihat
kondisi pesantren saat ini, serta tantangan
global  yang  ada,  bisa  juga  pesantren  itu
sendiri  ikut  arus  perubahan  di  lingkung-an  sekitarnya.
14
  Kalau  demikian,  bagai-mana pesantren menatap masa depan?

Pesantren: Menatap Masa Depan
Dalam  situasi  sekarang  ini, pesan-tren  menghadapi  dua  tantangan  sekali-gus:  yang  bersifat  eksistensial  dan  yang
bersifat  esensial.  Yang  pertama  berkaitan
dengan  bagaimana  pesantren  tetap  eksis
di  dunia  globalisasi,  yang  kedua  bagai-mana  eksistensi  pesantren  tetap  berpijak
                                                
13
  Abdurrahmaan  Wahid, ―Pengantar‖,  dalam
Hiroko  Horikoshi, Kyai  dan  Perubahan  Sosial
(Jakarta: P3M, 1987), hlm. xvii.
14
 Wahid, Menggerakkan Tradisi, hlm. 136.
pada  esensi  atau  jati  dirinya.
15
 Di  situlah
perlunya  pesantren  mengakomodasi per-kembangan  modernitas,  baik  pola  pe-ngembangannya  maupun  sistem  pendi-dikannya. 
Gus  Dur
16
 mencatat  ada tiga  pola
pengembangan  pesantren  untuk  menga-komodasi  perkembangan  modernitas  a-gar  ia  tetap  eksis  sebagai  lembaga  pen-didikan  Islam  yang  konon  khas  In-donesia:
Pertama, memasukkan kegiatan ke-terampilan  bagi  santri,  dengan  alasan
bahwa  tidak  semua  santri  bakal  menjadi
kiai.  Sebagai  orang  biasa,  mereka  harus
memiliki keterampilan untuk hidup di te-ngah-tengah    masyarakat,  seperti  me-rangkai  janur,  pertukangan,  pertanian,
peternakan, penghijauan, kependudukan,
kesehatan,  PKK,  dan lain lain. Jadi kuri-kulum pesantren berorientasi  pada  kebu-tuhan  masyarakat.
17
  Program  ini  akan
meningkatkan  peranan pesantren dalam
menunjang  pembangunan,  khususnya
pembangunan di daerah pedesaan.
Kedua, membangun  kerja sama  de-ngan  LSM,  baik  swasta  maupun  negeri,
dalam  maupun  luar  negeri, seperti  dila-kukan  LP3ES.  Berbeda  dengan  yang  per-tama,  program  yang  ditawarkan  LP3ES
lebih  bermuatan  wawasan,  seperti  pela-tihan  dan  workhshop  program  pengem-bangan wawasan keulamaan, fiqh al-nisâ`,
fiqh al-siyâsah, dan demokrasi.
Ketiga,  ada  pula  yang  dilakukan
secara  sporadis.  Dalam  arti,  program
yang  ada  dilakukan  sendiri-sendiri  oleh
                                                
15
 Ada  tiga  model  dalam  menghadapi  globalisasi:
tradisionalis, modernis, fundamentalis. Babun Su-harto, Dari  Pesantren  untuk  Umat:  Reinventing  Ek-sistensi  Pesantren  di  Era  Globalisasi (Surabaya: Im-tiyas, 2011), hlm. 46-51.
16
 Wahid, Menggerakkan Tradisi, hlm. 169-177
17
 Mukti  Ali, Peranan  Pondok  Pesantren  dalam  Pem-bangunan (Jakarta: Bayu Barkah, 1974), hlm. 7.
Aksin Wijaya

248 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

masing-masing pesantren,  sesuai  keingi-nan  dan  pandangan  kiai  yang  mempu-nyai  otoritas  atas  pondok  asuhannya,
misalnya:  melakukan  integrasi  kuriku-lum  antara  umum  dan  agama,  seperti
mendirikan  sekolah  umum  di  pesantren,
seperti  Tebuireng  Jombang,  Annuqayah
Sumenep;  dan  mendirikan  PKP  (Pesan-tren Kader Pembangunan).

Antara  yang  Tetap  dan yang  Berubah:
Sistem  Pendidikan  Inklusif-Gender  di
Pesantren
Pesantren  juga  harus  memper-timbangkan  kembali  tiga  unsur  asasi
yang  menjadi  ciri  subkultur  pesantren,
unsur  mana  yang  harus  dipertahankan
dan unsur mana yang harus diubah, yak-ni pemimpin, sistem nilai, dan kurikulum
pendidikan.  Seorang  pemimpin  pesan-tren  yang  biasanya  disebut  kiai  harus
kharismatik,  ikhlas  sembari  berpikir  mo-dern;  sistem  nilai  yang  berlaku  di
pesantren  harus  tetap  dipertahankan,
yakni  menilai  kehidupan  secara  keselu-ruhan  sebagai  ibadah,  ikhlas  beramal,
dan  mencintai  ilmu  agama;  sedang ku-rikulum  pendidikan  bisa  mengikuti  pola
sporadis,  baik  melakukan  integrasi  kuri-kulum,  memberikan  kurikulum  kete-rampilan,  maupun maupun  mendirikan
sekolah umum.
Di  antara  pola  sporadis  itu  adalah
pesantren  disarankan  mengakomodasi
sistem  pendidikan  modern  yang  inklusif
berperspektif  gender.  Karena pendidikan
pada  dasarnya  adalah  suatu  rangkaian
proses  kegiatan  yang  dilakukan  secara
sadar,  terencana,  sistematis,  berkesinam-bungan, terpola, dan terstruktur terhadap
anak-anak  didik  dalam  rangka  mem-bentuk  para  peserta  didik  menjadi  sosok
manusia  yang  berkualitas  secara  nalar-intelektual  dan  berkualitas  secara  moral-spiritual,
18
 sehingga mereka nantinya bisa
menjadi  manusia  yang  cakap,  pandai,
terampil,  dan  mampu  hidup  secara  man-diri dan hidup secara layak dalam meme-nuhi  segala  kebutuhan  hidup  mereka.
19

Secara  praktis  yang  bersifat  formal-aka-demis kelembagaan, kegiatan pendidikan
merupakan  suatu  sistem  yang  terpadu.
Sebagai  suatu  sistem,  pendidikan  men-syaratkan  adanya  berbagai  perangkat
yang saling terkait, seperti para pendidik,
anak  didik,  sarana  dan prasarana,  kuri-kulum  dan  materi  pendidikan,  metode
pendidikan, dan tujuan pendidikan.
20

Yang  perlu  digarisbawahi  dari  pe-ngertian di atas adalah tujuan pendidikan
―menjadi sosok manusia yang berkualitas
secara  nalar-intelektual  dan  berkualitas
secara moral-spiritual‖. Dengan kata lain,
pendidikan adalah sebuah proses, dengan
harapan  menciptakan  manusia  yang  ber-pikir  dan  bertindak  secara  rasional  dan
spiritual. Ini berbeda dengan kondisi pen-didikan  sekarang  yang  lebih  berorientasi
pasar,
21
  yang selama ini diwakili dengan 
KBK.  Tujuannya  adalah  menciptakan  a-lumni yang siap kerja  di lapangan indus-tri  modern.  Padahal  tantangan  terbesar
sekarang  adalah  globalisasi  teknologi,
multikulturalisasi, dan hak asasi manusia,
termasuk  persoalan  gender.  Di  sinilah
diperlukan  pendidikan  inklusif  dan  ber-perspektif gender.
22

Yang  dimaksud  pendidikan  inklu-sif  adalah  pendidikan  yang  mengakui
dan  mempertimbangkan  keragaman  dan
                                                
18
  Faisal  Ismail, Masa  Depan  Pendidikan  Islam:  Di
Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas (Jakarta:
Bakti Aksara Persada, 2003), hlm. 1
19
 Ibid., hlm. 2
20
 Ibid., hlm. 2
21
 Darmaningtiyas, Pendidikan Rusak-rusakan (Yog-yakarta: LKiS, 2007), hlm. 247-262.  
22
 M.  Ainul  Yakin, Pendidikan  Multikultural:  Cross-Cultural  Understanding untuk  Demokrasi dan  Kea-dilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), hlm. 111-138
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 249

perbedaan  kebutuhan  peserta  didik,  mi-nat,  pengalaman,  dan  cara  belajar,  baik
yang  disebabkan  oleh  kontruksi  sosial
atau  yang  bersifat  kodrat.  Sebab  pada
dasarnya manusia dicipta dalam keadaan
―beragam‖ namun dalam posisi ―setara‖.
Pendidikan  inklusif  dikatakan  berper-spektif  gender  jika  sistem  pendidikan  itu
menempatkan,  menyikapi, dan  memper-lakukan semua peserta didik secara setara
tanpa membedakan jenis kelamin.
Pendidikan  inklusif  dan  berper-spektif  gender  bertujuan  menciptakan
manusia  atau  anak  didik  yang  meng-hargai  keragaman,  perbedaan, dan  kese-taraan  dalam  keragaman,  baik  dalam
berpikir  maupun  bersikap.  Tidak  hanya
sebatas  itu,  mereka  juga  akan  berpikir
dan bersikap toleran terhadap anak didik
yang  berkebutuhan  khusus,  baik  yang
bersifat  kodrati,  seperti  anak-anak  cacat,
maupun  yang  bersifat  konstruksi,  seperti
anak-anak  korban  narkoba  dan
HIV/AIDS.
Untuk  membangun  pendidikan
inklusif  dan  sensitif  gender,  diperlukan
―ruang yang kondusif‖ bagi tercapainya
kedua  tujuan  itu.  Ruang  dimaksud  ada-lah  sekolah  dan  undang-undangnya.  Se-kolah  diharapkan  mempunyai  undang-undang  yang  inklusif  dan  berperspektif
gender,  dan  tentu  saja  menerapkan  un-dang-undang  sekolah  tersebut.  Seluruh
penghuni  sekolah,  baik  pemimpin,  guru,
tenaga  adminitrasi,  dan  anak  didik  harus
menaati  undang-undang  itu.  Agar  tujuan
itu  terlaksana,  maka  sekolah  harus  ber-peran  aktif  memberikan  pelatihan,  semi-nar,  advokasi,  dan  atau workshop  me-ngenai pendidikan inklusif  dan wawasan
tentang  gender  terhadap  seluruh  peng-huni  sekolah.
23
  Dalam  arti,  unsur-unsur
utama pendidikan, seperti pendidik, anak
                                                
23
 Yakin, Pendidikan Multikultural, hlm. 133-134.
didik,  sarana  dan  prasarana,  dan  metode
pendidikan, harus mencerminkan inklusi-fitas dan berwawasan gender.
Bahwa  para  guru  atau  pendidik
sebagai transformator ilmu harus berpikir
inklusif  dan  berwawasan  gender,  karena
mereka  adalah  figur  utama  bagi  anak
didik, khususnya dalam lingkungan seko-lah.  Guru  yang  berpikir  inklusif  dan  ber-wawasan  gender  akan  berpikir  dan  ber-sikap  toleran  terhadap  keragaman  dan
perbedaan,  anti  diskriminasi  gender,  dan
tentu saja sensitif terhadap permasalahan
gender,  terutama  terhadap  anak-anak  di-diknya yang berbeda jenis kelamin.
Agar  wawasan  guru  yang  inklusif
dan  sadar  gender dapat  ditransforma-sikan kepada anak didik, diperlukan pula
―materi pelajaran‖ atau kurikulum yang
inklusif  dan  berwawasan  gender.  Bebe-rapa kurikulum yang bernada ―diskrimi-nasi gender‖ yang selama ini diajarkan di
sekolah-sekolah harus diganti dengan ku-rikulum yang berbasis ―kesetaraan gen-der‖. Misalnya pelajaran Bahasa  Indone-sia  yang  selalu  mengisahkan  pekerjaan
bapak  dan  ibu.  Buku  pelajaran Bahasa
Indonesia mengisahkan, ―bapak bekerja
di kantor, ibu bekerja di rumah‖. Kisah
seperti ini mendiskreditkan kaum perem-puan  yang  hanya  disimbolkan  berada  di
rumah.
Sarana  dan  prasarananya  harus
pula  mencerminkan  penghargaan  terha-dap  keragaman  dan  perbedaan  gender.
Misalnya,  pelbagai  alat  peraga,  seperti
gambar,  permainan,  dan  sebagainya  ha-rus  memenuhi  seluruh  kebutuhan  anak
didik  tanpa  melihat  perbedaan  yang
berkebutuhan  khusus,  baik  yang  bersifat
kodrati  maupun  konstruksi,  seperti  anak
cacat  dan  jenis  kelamin.  Begitu  juga
metode pengajarannya. 

Aksin Wijaya

250 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

Metamorfosis Pesantren Tanwirul Hija:
Sejarah dan Tantangan ke Depan
Gambaran  tentang  eksistensi  dan
esensi pesantren,  serta  strateginya  dalam
menghadapi  tantangan  profesionalisme
lembaga  pendidikan  nonpesantren,  dan
tantangan  globalisasi  dalam  segala  bi-dang,  kini  secara  lebih  spesifik  akan
dibahas,  bagaimana  pesantren  Tanwirul
Hija  bermetamorfosa dalam  menghadapi
tantangan  globalisasi  ke  depan.  Namun
sebelumnya,  akan  dibahas  kondisi  Islam
di  Madura  yang  menjadi  medan  sosial
kehadiran pesantren Tanwirul Hija.
Tidak  ada  kesepakatan  mengenai
asal  usul  nama  Madura.  Ada  yang  ber-pendapat,  nama  Madura  berasal  dari
legenda yang berkembang di masyarakat.
Alkisah,  pada  tahun  929  M.,  ada  sebuah
negara  bernama  Mendangkamulan  (ada
yang  menyebutnya  negara  Medang),
yang  di  dalamnya  ada  sebuah keraton
bernama  Kraton  Giling  Wessi.  Rajanya
bernama  Sanghyangtunggal.  Raja  itu
mempunyai  seorang  anak  perempuan.
Suatu  ketika,  anak  itu  bermimpi  kema-sukan rembulan dari mulutnya, masuk ke
dalam  perutnya  dan  tidak  keluar  lagi.
Beberapa  bulan  kemudian,  anak  perem-puan raja itu hamil. Mendengar berita itu,
sang  raja  marah  dan  meminta  patihnya
untuk membunuh anaknya. Jika patih ta-di  belum  memperlihatkan  kepala  anak
perempuan  itu  kepada  raja,  sebaiknya
sang  patih  tidak  kembali  ke  kraton.
Anehnya,  setiap  kali  patih  menghunus-kan pedang ke leher anak perempuan itu,
pedangnya  jatuh  ke  tanah.  Peristiwa  itu
terulang  sebanyak  tiga  kali.  Melihat  keja-dian aneh itu, patih itu meyakini kehami-lan perempuan itu bukan kehamilan yang
biasa.  Dia  pun  akhirnya  memutuskan
untuk  tidak  kembali  ke keraton,  dan  me-milih  menyelamatkan  anak  itu.  Sejak  itu,
dia mengubah namanya menjadi Kiai Po-leng.
24

Oleh Kiai  Poleng,  putri  raja  tadi
didudukkan di atas ―ghitek‖ dan diten-dang menunju ―Madu Oro‖. Oleh karena
itu,  pulau  ini  disebut  pulau  Madura.
Ghitek  tadi  terdampar  di  gunung  Geger.
Dengan  bantuan  Kiai  Poleng,  anak
perempuan itu akhirnya melahirkan anak
laki-laki  dengan  wajah  yang  tampan.
Anak  itu  diberi  nama  Raden  Segoro.
Konon,  inilah  yang  menjadi  penduduk
Madura  pertama,  dan  tempat  itu  dibe-rinama  Madura.  Dulu,  jika  disebut  Ma-dura,  ia  meliputi  Bangkalan  dan  Sam-pang  saja,  sedang  Pamekasan  dan  Sume-nep disebut sendiri-sendiri.
25

Ada  juga  yang  berpendapat,  nama
Madura  konon  diberikan  oleh  kaum
Brahman India yang datang ke pulau itu.
Nama Madura berasal dari bahasa Sanse-kerta  yang  bermakna:  permai,  indah,
molek,  cantik,  jelita,  manis,  ramah, dan
lemah  lembut.
26
  Pendapat  kedua  bisa
dimaklumi  mengingat  ada  banyak  nama-nama  daerah  di  Indonesia  yang  sama
dengan  nama-nama  daerah  yang  ada  di
India  seperti  Malabar,  Narmada,  Serayu,
Sunda, dan Taruna. Penamaan seperti ini
biasa  terjadi,  terutama  oleh  para imigran
yang membabat daerah tertentu, sebagai-mana  di  Kalimantan  juga  terdapat  nama-nama  yang  khas Madura.  Nama  Madura
sama  dengan  nama  daerah  di  India  Sela-tan yang juga beriklim kering.
27

                                                
24
 Zainal  Fatah, Sedjarah  Tjaranya  Pemerintahan  di
Daerah-daerah Kepulauan Madura dengan Hubungan-nya, hlm. 8.
25
 Ibid., hlm. 7-9.
26
 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura, Pembawaan,
Perilaku, Etos  Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hi-dupnya Seperti Dicitrakan Pribahasanya (Yogyakarta:
Pilar Media,2007), hlm. 29.
27
 Ibid., hlm. 30.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 251

Sebagaimana  masuknya  Islam  ke
Nusantara,
28
  para  peneliti  juga  berbeda
pendapat  tentang  masuknya  Islam  ke
Madura. Pertama, dikemukakan oleh seja-rawan  Belanda  H.J.  De  Graaf  dan  T.H.
Pigeaud.  Keduanya  berpendapat  bahwa
Islam  masuk  ke  Madura  melalui  dua
jalur:  Madura  Barat  yang  meliputi  Bang-kalan  dan  Sampang,  dan  Madura  Timur
meliputi Sumenep dan Pamekasan.
Menurut  sejarawan  Belanda  itu,
29

Islam  masuk  ke  Madura  barat  bermula
dari  seorang  raja  di  Gili  Mandingin
(Sampang)  yang  bernama  Lembu  Peteng,
putra  raja  Brawijaya  dari  Majapahit  de-ngan  istri  yang  beragama  Islam  dari
Cempa. Putri Lembu Peteng itu diperistri
putra Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri sa-lah  seorang Walisongo  yang  sangat  ber-pengaruh  dalam  penyebaran  Islam  di
Jawa. Ini menunjukkan bahwa,  selain pa-da  paruh  kedua  abad ke-15  M.,  para
penguasa  Jawa  golongan  aristokrat  telah
melakukan  hubungan  dengan  orang
Islam,  juga  menjadi  indikasi  awal  dan
proses masuknya Islam ke Madura. Sebab
putra mahkota Madura Barat, pada tahun
1528 M sudah masuk Islam.
Sedang  untuk  Madura  Timur,  Islam
dibawa  oleh  Adipati  Kanduruhan,  seo-rang  tokoh  yang  memiliki  peranan  besar
di  kota  itu  pada  abad  ke-16 M.  Kesim-pulan itu diambil dari cerita tutur tentang
adanya  makam  tua  bertarikh  1504  (1582
M)  di  kampung  pasar  Pajhingghaan.
Kanduruhan  merupakan  salah  seorang
dari  keluarga  saudara  seibu  dengan
sultan  Trenggana  dari  Demak  (paman
sultan Jipang).
30

                                                
28
 Wijaya, Menusantarakan Islam, hlm. 43-50
29
 Soebahar, ―Pondok Pesantren di Madura‖, hlm. 37
dan De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama
di  Jawa:  Tinjauan  Sejarah  Politik  Abad  XV  dan  XVI
(Jakarta: Grafiti, 2001), hlm. 190-191.
30
 Soebahar, Pondok Pesantren di Madura, hlm. 38.
Pandangan kedua dikemukakan seja-rawan  Indonesia  yang  banyak  menulis
tentang  sejarah  Madura,  Abdurrahman.
Menurutnya, proses islamisasi di Madura
melalui Sunan Giri dari Gresik, salah satu
dari sembilan wali (Walisongo) yang ber-pengaruh  di  Jawa,  terutama  di  Jawa
Timur.
Ada  pula  yang  berpendapat  bahwa
Islam  bermula  dari  pedagang  Islam  dari
Gujarat  yang  pernah  singgah  di  pela-buhan  Madura,  Kalianget,  yang  kelak  di-kenal  dengan  Sunan  Padusan.  Sunan
Padusan  itu  berasal  dari  Arab,  yang  su-dah  menggunakan  nama  Jawa  yakni
Raden  Bandara  Diwirjopodho.  Ayahnya
bernama  Usman  Hadji,  anak  dari Raja
Pandita  atau  Sunan  Lambujang  Fadal,
anak  dari  Makdum  Ibrahim  Hasmoro.
Orang  Madura  menyebutnya  Maulana
Djamadul  Akbar.  Dia  beristri  putri  raja
Cina  dan  mempunyai  anak  laki-laki  ber-nama  Radja  Pandita  dan  Rahmatullah,
yakni  Raden  Rahmat  (Sunan  Ampel),
yang  juga  beristri  seorang  putri  Cina,
saudara  putri  Campa,  permaisuri  raja
Majapahit  terakhir.  Sunan  Ampel  mem-punyai  beberapa  anak,  di  antaranya
adalah Nyai  Maloko,  yang  diperistri  Us-man  Haji  (ayah  Sunan  Padusan).  Oleh
karena  Islam  diminati  orang  Sumenep,
maka  Kudho  Panule  alias  Pengeran
Satjadiningrat  III  yang  menjadi  raja  Su-menep memeluk agama Islam, dan Sunan
Padusan  diambil  sebagai  anak  man-tunya.
31

Tempat Sunan Padusan itu awalnya
di  desa  Padusan.  Alkisah,  ketika  seorang
santri  sudah  dianggap  melakukan  rukun
Islam,  dia  dimandikan  dengan  air  yang
dicampur  dengan  bunga-bunga  yang
                                                
31
 Fatah, Sedjarah  Tjaranya Pemerintahan  di  Daerah-daerah  Kepulauan  Madura, hlm.  31; Soebahar, Pon-dok  Pesantren  di  Madura, hlm. 40; dan Raden  Wer-disastra, Babad Sumenep, hlm. 123-124
Aksin Wijaya

252 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

harum.  Cara  memandikan  itu  disebut
edudus.  Karena  itu,  desa  yang  ditempati
pemandian itu disebut desa padusan (kini
termasuk  pamolokan)  Sumenep.  Sedang
guru  yang  memberikan  pelajaran  disebut
Sunan  Padusan.  Setelah  itu,  Sunan  Padu-san  pindah  ke  keraton  Batuputih.  Seka-rang  menjadi Batu Putih Kidul  (selatan),
Batu Putih Daya,  dan Batu Putih Kene’,
Kecamatan Batuputih.
32

Menurut cerita turun temurun, anak
laki-laki  dari  saudara  Ampel  menetap  di
desa Pajudan dekat Sumenep.
33
 Islamisasi
di  Madura  meluas  ketika  raja-raja  Madu-ra  memeluk  Islam  sekitar  pertengahan
abad ke-16 M.,  terutama  Sumenep  yang
kala  itu  menjadi  kawasan  perdagangan
yang paling ramai.
34
 Perkembangan Islam
di  Madura  berjalan  cepat  setelah  banyak
orang-orang  keturunan  Arab  Hadramaut
menetap  di  Sumenep,  banyak  pesantren
didirikan,  dan  banyak  orang  Madura
yang  melaksanakan  ibadah  haji,  sambil
mencari  ilmu  di  Mekah  dan  Madinah,
seperti  Gemma  dan  Kiai  Syarqawi,  dua
figur  ulama kharismatik  yang  membuat
perkembangan  Islam  di  Madura  semakin
cepat  melalui pesantren,  seperti  Pesan-tren Annuqayah  di  Guluk-Guluk, Sume-nep.
35


Pesantren  Tanwirul  Hija:  Menggandeng
Masa lalu,Mencandra Masa Depan
Madura  mendapat  tantangan  se-rius  akhir-akhir  ini  terutama  sejak  diba-ngunnya  jembatan Suramadu  (Surabaya-                                                
32
 Fatah, Sedjarah  Tjaranya  Pemerintahan  di  Daerah-daerah, hlm.31 dan Abdurrachman, Sedjarah Madu-ra:  Selayang  Pandang:  Sumenep,  Pamekasan,  Sam-pang, Bangkalan (1971), hlm. 16-17.
33
Ibid., hlm. 16-17.
34
Huub  de  Jonge, Madura  dalam  Empat  Zaman:
Pedagang,  Perkembangan  Ekonomi,  dan  Islam:  Suatu
Studi  Antropologi  (Jakarta:  Gramedia,1989),  hlm.
241
35
Ibid., hlm. 242-245.
Madura).  Dengan  jembatan  ini,  transfor-masi  yang  menghubungkan  pulau  Ma-dura  dengan  Jawa  semakin  mudah.  Kon-disi  ini  menyebabkan  tantangan  glo-balisasi  yang  sudah  lama  melanda  Jawa
otomatis  juga  merembet  ke  Madura.  An-daikata  Madura  yang  selama  ini  dikenal
sebagai ―serambi Madinah‖ atau ―pulau
seribu pondok‖ tidak mempersiapkan di-ri  secara  matang,  bukan  tidak  mungkin,
dua  sebutan  tadi  akan  hilang  dari Madu-ra.  Di  sinilah  lembaga  pendidikan  me-mainkan peran signifikan.
Selama  ini,  perkembangan  pendi-dikan  formal  di  Madura  terkenal  lambat.
Di  Madura,  orang  lebih  mengenal  nama
pesantren daripada  sekolah  umum.  Data
Educational  Management  Information  Sys-tem  (EMIS)  sekitar  tahun  2000-an  yang
terdapat  pada  Seksi  Pendidikan  Keaga-maan  dan Pesantren  di  setiap Kantor
Kementerian Agama Kabupaten menurut
Halim  Soebahar  diperoleh  data:  jumlah
pesantren  di  Bangkalan  258;  Sampang
181;  Pamekasan  462;  dan  di  Kabupaten
Sumenep 224. Ada lebih seribu pesantren
di  Madura,  sehingga  ada  yang  menyebut
Madura  sebagai  ―pulau  seribu  pondok
pesantren‖.  Sedang  jumlah  madrasah
dîniyyah di  Bangkalan 806;  Sampang 408;
Pamekasan 314; dan Sumenep 404.
Belakangan,  data  Jawa Timur  da-lam  angka  2000  menurut  penelusuran
Abdul  Halim  Soebahar  memberi  gam-baran menarik bahwa ada perkembangan
positif  tentang  lembaga  pendidikan  for-mal di Madura (Bangkalan, Sampang, Pa-mekasan, dan  terutama  Sumenep)  mulai
dari  TK/RA,  SD/MI,  SMP/MTs,
SMA/MA,  PTU,  dan  PTAI,  baik  yang
terdapat  di  luar pesantren dan  terutama
yang  terdapat  di  lingkungan pesantren,
36

                                                
36
 Soebahar, Pondok  Pesantren  di  Madura, hlm. 42-45.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 253

khususnya  di Kabupaten  Sumenep.  Su-menep  memiliki  sekitar  311  pesantren
dengan skala  yang  bervariasi,  baik  yang
salaf  maupun khalaf.  Pesantren  Annu-qayah  yang  berada  di  Guluk-Guluk,
bagian barat Kabupaten  Sumenep  meru-pakan  pesantren  terbesar  di Kabupaten
Sumenep.
Pesantren  Annuqayah  didirikan  o-leh  KH.  Moh.  Syarqawi  pada  1887.  M.
Syarqawi  adalah  keturunan  keluarga  kiai
terkenal  di  Kudus.  Dia  anak  dari  Kiai
Siddiq  Romo dan  cucu  dari Kiai Kanjeng
Sinuwun. Suatu ketika, Syarqawi pergi ke
Mekah  untuk  menunaikan  ibadah  haji
dan  di  kapal  bertemu  dengan  tokoh  kha-rismatik  asal  Madura  bernama  Gemma
sekitar  tahun  1865  M (1307  H).  Ketika
Gemma  sakit  keras  selama  berada  di  Hi-jaz,  dia  meminta  Syarqawi  yang  sudah
menjadi  kawan  karibnya  itu  untuk  me-ngawini  salah  satu  istrinya  yang  muda
bernama  Khatijah  yang  tinggal  di  Pren-duan.  Dalam  waktu  singkat,  Syarqawi
menjadi  terkenal.  Kemudian,  dia  pindah
ke Guluk-Guluk dan  di sanalah dia men-dirikan  pesantren,  yang  kelak  bernama
Annuqayah.
37
 Dari pesantren Annuqayah
inilah,  pesantren-pesantren  kecil  di  pel-bagai  daerah  di  Sumenep  khususnya
lahir,  termasuk Pesantren  Tanwirul  Hija
di desa Cangkreng, Kecamatan Lenteng.
Pesantren Tanwirul  Hija
38
 termasuk
dalam  catatan  pesantren  tertua  di  kabu-paten  Sumenep.  Pesantren  ini  berada  di
desa  Cangkreng,  kecamatan  Lenteng,
                                                
37
Huub  de  Jonge, Madura  dalam  Empat  Zaman:  Pe-dagang,  Perkembangan  Ekonomi,  dam  Islam:  Suatu
Studi Antropologi, hlm. 242-245.
38
 Deskripsi  historis  pesantren Tanwirul  Hija ini
berasal dari Syamsul Supid. Sumber Informasi: K.
Ahmad Dumairi Asy’ari, S.Ag, K.H. Abd. Syakur,
dan K.  Drs.  Moh.  Muhdar  Imam.  Penelusuran
informasi  dan  penulisan  ini  dimulai pada  2010–
2012. 
berjarak  sekitar  15  km  dari  ibu  kota
kabupaten  Sumenep.  Desa  Cangkreng
terletak di sebelah timur Kecamatan Len-teng,  diapit  beberapa  desa:  sebelah  barat
ada Desa  Poreh,  sebelah utara  ada Desa
Medelan,  sebelah timur  ada Desa  Sendir,
dan sebelah selatan Desa Muangan.
Pesantren  Tanwirul  Hija  didirikan
pada  1950  M  oleh  KH.  Mohammad
Khotib ibn Abdurrahiem bersama istrinya
Nyai  Hj.  Raudlah  binti  H.  Ishak.  Wa-laupun tidak memiliki santri yang banyak
sebagaimana pesantren  pada  umumnya,
Pesantren Tanwirul Hija berhasil melahir-kan  ulama berpengaruh  di sekitarnya.  Di
antara santrinya adalah KH. Moh. Ikhsan
dari  Lembung,  KH.  Abdurrahman  dari
Poreh,  KH.  Suwaid  dari Pinggir  Papas,
KH.  Abdul  Gani  dari  Poreh,  dan  K.
Abdul  Bari  dari  Poreh.  Mereka  merupa-kan  santri-santri  pertama  yang  menjadi
cikal  bakal  keberadaan Pesantren Tanwi-rul Hija.
KH. Mohammad Khotib ibn Abdur-rahiem  yang  dikenal  dengan  panggilan
―Kiai Anom‖ di masyarakat  sekitar,  lahir
di  desa  Poreh  pada  tahun  1914  M,  dari
seorang  ibu  yang  belum  diketahui  na-manya,  sedang  bapaknya  bernama  Ab-durrahiem.
Riwayat pendidikannya tidak begitu
banyak  diketahui.  Konon,  di  usia  kurang
lebih  15  tahun,  beliau  mulai  menimba il-mu  di pesantren  Asta  Tinggi  Kebuna-gung  Sumenep  yang  dipimpin  KH.  Abd.
Sujak.  Kemudian  pindah  ke pesantren
Annuqayah  tepatnya  di  daerah  Latee di
Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.  Pada
1944  M., dia menikah  dengan  Nyai.  Hj.
Raudlah binti  H.  Ishak.  Beberapa  tahun
kemudian,  tepatnya  pada  1950  M., dia
mendirikan Pesantren Tanwirul Hija.
Beliau  sendiri  yang  memberi  nama
―Tanwirul Hija‖. Nama ini diambil dari
bahasa Arab yang mempunyai arti ―Pen-
Aksin Wijaya

254 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

cerahan  Akal‖.  Pengambilan  nama  ini
tentu  saja  tidak  sembarangan.  Ia  mem-punyai  konteks  historis  tersendiri,  sesuai
dengan  situasi  dan  kondisi  masyarakat
Cangkreng  pada  waktu  itu  yang  masih
kental  dengan  tradisi  agama  Hindu,  dan
rasa  trauma  akibat  kejamnya  penjajahan.
Untuk  itu,  beliau  berinisiatif untuk  mela-kukan  pencerahan  akal,  baik  dalam  ben-tuk memahami agama Islam secara benar
dan  meninggalkan  tradisi  agama  Hindu
yang sangat bertentangan dengan hukum
Islam,  serta  menyadarkan  masyarakat
akan pentingnya pendidikan dalam kehi-dupan.
Pada  1955  M.,  jumlah  santri  di
pesantren ini bertambah hingga mencapai
30 orang.  Sebagian besar berasal dari pu-lau  Madura  sendiri,  sebagian  kecil  dari
pulau  Jawa.  Sebagaimana  sistem  pesan-tren  pada  umumnya,  sistem  pendidikan
Pesantren Tanwirul  Hija  mulai  menerap-kan sistem klasikal yang ditangani sendiri
olehnya. Pesatnya kemajuan yang dicapai
oleh Pesantren Tanwirul Hija pada waktu
itu  membuat  pengelola  mulai  melakukan
pembenahan.  Pada  1962  M,  didirikan
pendidikan  formal  pertama  di Pesantren
Tanwirul Hija, yaitu Madrasah Ibtidaiyah
(MI).  Kepala  madrasah pertama  adalah
KH.  Zaidi  Hasan  yang  berasal  dari Desa
Poreh, salah satu santri Pesantren Tanwi-rul  Hija.  Keberadaan  Madrasah  Ibtidai-yah itu masih eksis sampai sekarang.
Pada  hari Jumat,  tepatnya  tanggal
24  Oktober  1977  M.,  KH.  Mohammad
Khotib ibn Abdurrahiem wafat. Beberapa
waktu  sebelum  wafat, dia masih  sempat
mengumpulkan  dewan  guru  dan  tokoh
masyarakat  sekitar  untuk  memilih  dan
menunjuk  pengganti  beliau.  Dalam  mu-syawarah  tersebut  beliau  menunjuk
menantu keponakan dari istri, suami dari
Nyai Hj.  Rumanah  binti  Ishak,  yaitu  KH.
Asy’ari ibn  Mustafa  dengan  wakilnya
KH.  Imam  Mawardi ibn H.  Muhtar  yang
juga  suami  dari  keponakan  dari  istrinya,
Nyai  Hj.  Rahmah  binti  Ishak.  Keduanya
ditunjuk  sebagai  penerus  untuk  memim-pin  lembaga  pendidikan  di Pondok Pe-santren Tanwirul Hija.
Keduanya berjuang untuk terus me-ngembangkan Pesantren  Tanwirul  Hija,
apalagi  keberadaan  MI waktu  itu  sangat
maju  pesat  dengan  jumlah  santri/siswa
yang  menimba  pendidikan  lumayan  ba-nyak, meski tidak bermukim seperti sebe-lumnya.  Pada  1980  M.,  didirikanlah  lem-baga Raudlatul Athfal (RA) untuk pendi-dikan formal anak-anak di bawah umur.
Dengan tujuan untuk mengukuhkan
keberadaan  Pesantren  Tanwirul  Hija,
pada 1989 dibentuklah Yayasan Tanwirul
Hija.  Pada  1990,  atas  usulan  masyarakat
sekitar,  didirikanlah  jenjang  pendidikan
yang  lebih  tinggi.  Apalagi  jenjang  pen-didikan  lanjutan  hanya  berada  di  Keca-matan, yang jarak tempuhnya sangat jauh
dari  Desa  Cangkreng,  sekitar  4  km.
Sehingga banyak anak-anak dari keluarga
miskin  tidak  mau melanjutkan  ke  pendi-dikan  yang  lebih  tinggi,  mengingat  biaya
transportasi dan SPP  yang mahal. Alasan
jauhnya  jarak dan  keterbatasan  ekonomi
masyarakat  pada  waktu  itu  yang  mayo-ritas  berada  di bawah  garis  kemiskinan
menggugah  rasa  keperihatinan  para  pe-ngelola  pendidikan Pesantren  Tanwirul
Hija  untuk  mendirikan  Madrasah  Tsana-wiyah (MTs) Tanwirul Hija dengan kepa-la  sekolah  pertama  kali  K. Moh.  Muhdar
putra  KH.  Imam  Mawardi.  Jumlah
santri/siswa kala itu hanya 20 orang.
Perkembangan  demi  perkembangan
terus  dicapai  oleh  pesantren  Tanwirul
Hija.  Pada  tahun  1997  M.,  juga  didirikan
TKA/TPA  yang  diprakarsai  oleh  putra
pertama KH. Asy’ari, yakni K. Ahmad
Dumairi Asy’ari. Bertepatan dengan pe-laksanaan  Haflatul  Imtihan  dan  Wisuda
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 255

Purna Siswa 2002 M. KH. Asy’ari dipang-gil  kembali  ke  haribaan  Allah.  Estafet
kepemimpinan  lembaga Pondok  Pesan-tren Tanwirul  Hija  kemudian  diserahkan
kepada putranya, Ahmad Dumairi.
Ahmad Dumairi Asy’ari adalah put-ra pertama KH. Asy’ari dengan Nyai  Hj.
Rumanah.  Dumairi  dilahirkan  di  Cang-kreng pada tangaal 24 Januari 1970. Seba-gaimana  layaknya  anak-anak  desan
Cangkreng,  Dumairi  kecil  belajar  di  pen-didikan formal dasar pada Madrasah Ibti-daiyah  Tanwirul  Hija.  Lulus  dari  tem-paan pendidikan di pesantren ini, Dumai-ri  yang  mulai  menginjak  dewasa  melan-jutkan studinya ke Pesantren Annuqayah
Guluk-Guluk.  Tidak  hanya  puas  di  satu
pesantren,  selepas  dari  pondok  terbesar
di Sumenep ini, Dumairi melanjutkan lagi
ke  pesantren  di  Kediri.  Sedang  untuk
mengasah  kemampuan  intelektualnya,
Dumairi  yang  sudah  mulai  menguasai
pemikiran Islam  klasik  model  pesantren
ini  melan-utkan  studinya  ke  perguruan
tinggi  bergengsi  di IAIN  Sunan  Kalijaga
Yogyakarta.
Dengan  dibantu  beberapa  saudara-nya  seperti  KH.  Moh.  Ridwan ibn Imam
Mawardi dan dewan guru yang berada di
Pesantren  Tanwirul  Hija,  Dumairi  ber-hasil  membawa  angin  kemajuan  bagi
Pesantren  Tanwirul  Hija.  Pada  tahun
2006,  berdirilah  Sekolah  Menengah  Atas
(SMA).  Yang  menjadi  kepala  sekolah
SMA adalah KH. Imam Hendriyadi putra
KH.  Syarqawi  Zaen,  seorang  kiai  kelana
dari Cangkreng.
Setelah  vakum  selama  33  tahun,
atau  setengah  abad  berlalu  dalam  hi-tungan  dari  berdirinya  Pesantren  Tan-wirul  Hija,  beberapa  tahun  ini  kebe-radaan  santri  mukim  mulai  hidup  kem-bali.  Kepemimpinan  K.  Ahmad  Dumairi
Asy’ari dengan dibantu istri, Nyai Fitri-yatus  Sholehah  (Pamekasan),  mampu
menghidupkan  kembali  keberadaan  san-tri  mukim Pesantren Tanwirul  Hija.  Ge-liat  kesadaran  dan  kepercayaan    masya-rakat untuk memasrahkan putra-putrinya
mondok datang  dengan  sendirinya  tanpa
disuruh  atau  diminta.  Pada  tahun  2010,
secara  resmi Pesantren  Tanwirul  Hija  di-hidupkan  kembali.  Kondisi  sarana  prasa-rana  yang  masih  terbatas,  dengan  me-nempati  kamar  kediaman  pengasuh,  ti-dak  mematahkan  semangat  dan  keperca-yaan  para  orang  tua  santri  untuk  tetap
menitipkan anak-anaknya guna nyantri di
Pesantren Tanwirul Hija.
Tak  lepas  dari  visi  misi  pendirinya
terdahulu, KH.  Mohammad  Khotib  atau
yang dikenal dengan sebutan Kiai Anom,
selain  pendidikan  formal  yang  sudah
tersedia,  Kiai  Ahmad  Dumairi  Asy’ari
juga menerapkan sistem pendidikan khu-sus  bagi  para  santri  mukim  atau  santri
nonmukim  (colokan)  untuk  mengikuti
program  pondok. Untuk  itu, Madrasah
Diniyah  Awwaliyah  dan  Madrasah
Diniyah  Wustha didirikan, yang  mem-rioritaskan  pembelajaran  kitab-kitab,
selain  pengajian-pengajian  kitab  khusus
yang  biasa  diselenggarakan  pada  malam
hari  di  lingkungan  pondok  bagi  santri
mukim.
Pada 2012, pengembangan demi pe-ngembangan  terus  dilakukan,  berkaca
pada  kebutuhan  masyarakat  sekitar  akan
kebutuhan  pendidikan  pada  anak  usia
dini.  Dengan  sigap  dan  tanggap  pula,  K.
Ahmad  Dumairi  Asy’ari,  S.Ag  segera
mendirikan  dan  menata  pendidikan  mu-lai  dari  Pendidikan  Anak  Usia  Dini
(PAUD)  sampai  SMA.  Sampai  saat  ini,
jumlah  santri/siswa  yang  belajar  di  Pe-santren Tanwirul  Hija sekitar 600  orang,
terhitung  dari  seluruh  jumlah  jenjang
pendidikan  yang  dikelola  dari  tingkat
PAUD,  RA,  TKA/TPA,  MI,  MD,  MTs,
dan  SMA.  Semua  ini  tak  lepas  dari  ke-
Aksin Wijaya

256 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

percayaan  yang  diberikan  masyarakat
sekitar  pada  Pesantren  Tanwirul  Hija
untuk  menyerahkan  anak-anaknnya  me-nempuh  pendidikan  di  Pesantren  Tan-wirul Hija.

Penutup
Uraian  di  atas  menunjukkan  bahwa
cikal bakal pesantren di Jawa telah berdiri
di  akhir  abad  ke-14  M  yang  dipelopori
Syekh  Maulana  Malik  Ibrahim,  penyebar
Islam tahap awal di Jawa. Pesantren yang
berakar  dari  tradisi  Nusantara  dan  dipa-dukan  dengan  tradisi Islam, tumbuh se-bagai lembaga  pendidikan  Islam  tradisi-onal—dengan  elemen  pokok  kiai,  santri,
pondok,  masjid/mushalla,  dan  pengajian
kitab  kuning dengan  metode sorogan dan
bandongan.  Dalam  perjalanannya, pesan-tren  berkembang  secara  ekspansif; dari
wilayah  pedesaan  berkembang  ke  wi-layah  perkotaan,  dari  manajemen  tra-disional mulai  menggunakan  manajemen
modern,  dari  kurikulum  murni  diniyah
dilengkapi  dengan materi  umum  dan
keterampilan.
Dengan  pengembangan  tersebut,
pesantren  hingga  kini  tetap  eksis  dan  te-rus berkembang di bumi Nusantara. Ken-dati  demikian,    tantangan  global menun-tut  pesantren  terus  berbenah  dalam  se-gala  aspek  agar  lembaga  ini terus  ber-tahan  dan mampu  mempersiapkan para
santrinya  menjadi  manusia  dewasa  dan
berakhlak mulia dan ilmuan muslim yang
mumpuni  dalam  bidang  ilmu-ilmu  mo-dern tanpa kehilangan jati dirinya sebagai
santri. 
Sejalan  dengan  itu,  agar  pesantren
Tanwirul Hija bisa eksis di tengah-tengah
arus perkembangan zaman yang kian tak
terkendali  ini,  pengasuh  dan  para  santri
harus  mempertahankan  esensi pesantren,
termasuk  mempertahankan  peninggalan
pendirinya,  baik  materi  pelajarannya,  ca-ranya  men-didik  santri,  dan  caranya
berhubungan dengan  masyarakat sekitar.
Di  sisi  lain,  mereka  juga  dituntut  mem-pelajari  metode  pendidikan  baru  yang
bersifat  inklusif  dan  sadar  gender.  De-ngan  berdiri  di  dua  kaki  seperti  ini,
Pesantren  Tanwirul  Hija  tidak  hanya
eksis  tetapi  juga  bakal  mampu  men-ciptakan  kader-kader  baru  yang  siap
berkompetisi  dengan  kompetitor  yang
berasal  dari lembaga  lain  manapun,  baik
dalam  bidang  keilmuan  agama  maupun
keilmuan umum.[] 

Daftar Pustaka
Abdurrachman.Sedjarah  Madura:  Selayang
Pandang:  Sumenep,  Pamekasan,  Sam-pang, Bangkalan. 1971.
Ali,  Mukti. Peranan  Pondok  Pesantren  da-lam Pembangunan. Jakarta: Bayu Bar-kah, 1974.
Darmaningtiyas.  Pendidikan  Rusak-rusak-an. Yogyakarta: LKiS, 2007.  
De Graaf dan Pigeaud. Kerajaan Islam Per-tama  di  Jawa:  Tinjauan  Sejarah  Politik
Abad  XV  dan  XVI.  Jakarta:  Grafiti,
2001.
Dhofier,  Zamakhsyari.Tradisi  Pesantren:
Memadu  Modernitas  untuk  Kemajuan
Bangsa.  Yogyakarta:  Pesantren  Na-wesea Press, 2009.
Faisal  Ismail, Masa  Depan  Pendidikan  Is-lam:  Di  Tengah  Kompleksitas  Tantang-an  Modernitas. Jakarta: Bakti  Aksara
Persada, 2003.
Fatah, Zainal. Sedjarah Tjaranya Pemerinta-han  di  Daerah-daerah  Kepulauan  Ma-dura dengan Hubungannya. 1951
Jonge,  Huub  de.  Madura  dalam  Empat
Zaman:  Pedagang,  Perkembangan  Eko-nomi,  dam  Islam:  Suatu  Studi  Antro-pologi. Jakarta: Gramedia, 1989.
Rifai, Mien Ahmad.Manusia Madura, Pem-bawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampi-lan,  dan  Pandangan  Hidupnya Seperti
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 257

Dicitrakan  Pribahasanya. Yogyakarta:
Pilar Media, 2007.
Soebahar,  Abdul  Halim.Pondok  Pesantren
di  Madura:  Studi  Tentang  Proses
Transformasi  Kepemimpinan  Akhir
Abad  XX  (Disertasi,  tidak  diterbit-kan), 2008.
Steenbrink,  Karel  A.  Pesantren,  Sekolah,
Madrasah. Jakarta: LP3ES, 1986.
Suharto,  Babun.  Dari  Pesantren  untuk
Umat:  Reinventing  Eksistensi  Pesan-tren  di  Era  Globalisasi.  Surabaya:
Imtiyas, 2011.
Wahjoetoemo.Perguruan  Tinggi  Pesantren.
Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Wahid,  Abdurrahman. Menggerakkan  Tra-disi:  Esai-esai  Pesantren,  cet.  ke-2.
Yogyakarta: LKiS, 2007.
-----, ―Pengantar‖, dalam Hiroko  Horiko-shi, Kyai  dan  Perubahan  Sosial. Jakar-ta: P3M, 1987.
Werdisastra, Raden, Babad Sumenep.
Wijaya,  Aksin. Menusantarakan  Islam:  Me-nelusuri  Jejak  Pergumulan  Islam  yang
tak  Kunjung  Usai  di  Nusantara. Yog-yakarta: Nadi Pustaka, 2011.
Yakin,  M.  Ainul. Pendidikan  Multikultural:
Cross-Cultural  Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan, cet. 2. Yogya-karta: Pilar Media, 2007.






PESANTREN TANWIRUL HIJA SUMENEP 
DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL

Aksin Wijaya
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo
Jl. Pramuka No.156, Ponorogo, Jawa Timur 63471
e-mail:asawijaya@yahoo.com


Abstrak:
Dalam  dunia  keilmuan,  lembaga  pendidikan  menjadi  tumpuan  para  pendidik
mengajarkan  ilmu  pada  generasi  berikutnya.  Di  Indonesia,  pesantren  adalah
lembaga pendidikan tradisional tertua yang hingga kini tetap  eksis. Lembaga ini
menjadi  tumpuan  ulama  dalam  mentransformasikan  ilmu  agama  kepada
masyarakat.  Karena  arus  globalisasi,  dunia  pendidikan  yang  lahir  di  dunia
manapun  mendapat  pengaruh darinya,  termasuk  pesantren.  Tulisan  ini
membahas peran pesantren dalam mendidik santrinya agar mereka tidak hanya
mampu menghadapi tantangan globalisasi, tapi juga tidak kehilangan jati dirinya
sebagai  santri.  Tulisan  ini  difokuskan  pada  tiga  pokok  pembahasan: pertama,
bagaimana  eksistensi,  esensi,  dan  peran  pesantren  dalam  menghadapi  arus
perubahan zaman; kedua, bagaimana pesantren menatap masa depan; dan ketiga,
sebagai  contoh  kasus,  bagaimana  Pesantren  Tanwirul  Hija  di  Sumenep  Madura
bermetamorfosis  menghadapi  tantangan  globalisasi.  Tulisan  ini  menyimpulkan
bahwa guna menyiasati tantangan global, pesantren senantiasa mempertahankan
esensi  pesantren,  sekaligus  pada  saat  yang  sama  mengapresiasi metode  pen-didikan baru yang bersifat inklusif dan sadar gender. Dengan berdiri di dua kaki
seperti ini, pesantren, tidak terkecuali Pesantren Tanwirul Hija, tidak hanya eksis
tetapi juga bakal mampu menciptakan kader-kader baru yang siap berkompetisi
dengan kompetitor yang berasal dari lembaga lain manapun, baik dalam bidang
keilmuan agama maupun keilmuan umum. Singkatnya, pembaharuan pesantren
dalam segala bidang, yang menjadi fokus tulisan ini, mutlak dilakukan. 


Abstract:
In the world of science, the institutions of education have become the foundation
of educators to teach science for the next generation. Pesantren (Islamic boarding
school)  is  the  oldest  traditional  educational  institutions,  which  still  exists  in
Indonesia until  now. It  is  in  this  institution  in  which  islamic  scholars  transform
Islamic  knowledge  to  society.  Globalization  has  influenced  the  world  of  edu-cation, wherever it comes from, including pesantren.This paper discusses the role
of  boarding  schools  in  educating students  so that  they  not  only able  to face  the
challenges  of  globalization,  but  also guard  their  identity  as  islamic students
(santri), in three main discussion: first, how the existence, essence and role of the
boarding  school  in facing  the  changing  times  are;  second,  how  the  boarding
schools face the future; and third, as an example, how pesantren of Tanwirul Hija
in  Sumenep,  Madura changes to face  the challenges of  globalization.  This study
Aksin Wijaya

242 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

concludes  that  in  order  to  deal  with  global  challenges, pesantren  has  been
continually maintaining the  essence  of  the islamic boarding  school,  while  at  the
same  time  appreciating  the  new  educational  methods  that lead  to  the  inclu-siveness  and  gender  awareness. By  standing  on  two  feet, the  boarding schools,
including Tanwirul Hija, not only exists but also will be able to create new cadres
who are ready to compete with other competitors from any different institutions,
both in the islamic knowledge and general sciences. In short, reforms in all areas
of pesantren, which is the focus of this paper, are absolutely done.


Kata Kunci:
Pesantren, eksistensi, esensi, tantangan global


Pendahuluan
Pesantren  adalah  salah  satu  lem-baga  pendidikan  tertua  di  Indonesia,
yang tidak hanya bersifat tradisional, tapi
menjadi subkultur masyarakat. Dikatakan
tradisional, karena  pada  awalnya, pesan-tren  hanya  sekadar  digunakan  sebagai
sarana  dakwah. Karena  situasi  berubah,
pesantren juga berubah fungsinya menja-di sarana pendidikan  nonklasikal dengan
model sorogan. Sang guru atau kiai duduk
bersila  di  depan  jemaah  dan  biasanya  di
dalam masjid pesantren.  Baru  belakang-an,  sistem  klasikal  diadopsi  pondok  pe-santren.  Bahkan  kini  banyak  pesantren
yang  mulai  mendirikan  sekolah  klasikal,
baik  agama  maupun  umum.  Kondisi  ek-sistensi  dan  esensi  itu  membuat pesan-tren menjadi salah satu subkultur masya-rakat Indonesia.
Di sisi lain, realitas kekinian berbe-da  dengan  realitas  di  mana pesantren
lahir  dan  eksis,  yakni  pedesaan.  Sebab
akibat  dari  globalisasi  dalam  segala  bi-dang  kehidupan,  desa  tidak  lagi  menjadi
sesuatu  yang  bersifat  tradisional.  Desa
mengalami proses menjadi kota, sehingga
realitas  pedesaan  sama  dengan  realitas
perkotaan. Tantangan yang dihadapi ma-syarakat  desa  tidak  jauh  berbeda  dengan
tantangan  yang  dihadapi  masyarakat
perkotaan.  Jika  sebelumnya  masyarakat
desa hanya berhadapan dengan pertanian
yang  tidak  membutuhkan  tantangan  be-rarti  dari petani  sebagai  penggarapnya,
begitu desa berubah wujud menjadi kota,
tantangan mulai menunggu mereka. Tan-tangan  itu  membutuhkan  kreatifitas  ber-pikir dan kerja profesional.
Di  sinilah  tantangan  baru  muncul
bagi pesantren. Di satu sisi, pesantren ha-rus  mempertahankan  jati  dirinya  sebagai
lembaga  pendidikan  tradisional  yang
mendidik moralitas masyarakat, di sisi la-in,  ia  juga  harus  menemani  masyarakat
mengikuti  arus  globalisasi  yang  kian  tak
terbendung. Apakah akan tetap memper-tahankan  jati  dirinya  sebagai  lembaga
pendidikan  tradisional  Islam  yang  bertu-gas  menjadi  penegak  moral  masyarakat,
ataukah  bermetamorfosis  sebagai  lem-baga  pendidikan  modern  yang  menjadi
penyedia  tenaga  kerja  profesional  yang
menjadi  kebutuhan  masyarakat  modern.
Ini  merupakan  pilihan  sulit.  Memilih
yang  pertama  berarti melupakan  kehidu-pan  praksis  masyarakat  modern  yang
kini  mulai  melanda  masyarakat  pedesa-an,  yang  menjadi  wilayah  garapan  pe-santren. Memilih yang kedua berarti pula
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 243

melupakan  peran  asasi  pesantren  yang
selama  ini  menjadi  sebagai  lembaga
pendidikan Islam  dan  penegak  moral
masyarakat. Atau bisakah pesantren tetap
berdiri  pada  kakinya  sendiri  sebagai
lembaga  pendidikan  Islam  tradisional,
sembari  mendidik  santri  dan  memper-siapkan  mereka  menjadi  tenaga  kerja
profesional  yang  bermoral,  dan  mampu
bersaing  dengan  pekerja  profesional
lainnya,  baik  di  lapangan  kerja  pendi-dikan  ataupun  lapangan  kerja  yang  lebih
luas? 
Tulisan  ini  membahas  peran pe-santren  dalam  mendidik  santrinya  agar
mereka tidak hanya mampu menghadapi
tantangan  globalisasi,  tapi  juga  tidak
kehilangan  jati  dirinya  sebagai  santri,
dengan  tiga  sub bahasan: pertama,  bagai-mana eksistensi, esensi, dan peran pesan-tren dalam  menghadapi  arus  perubahan
zaman; kedua,  bagaimana pesantren me-natap  masa  depan; dan ketiga,  sebagai
contoh  kasus,  bagaimana Pesantren Tan-wirul  Hija  di  Sumenep  Madura  bermeta-morfosis  menghadapi  tantangan  globa-lisasi.

Pesantren dalam Arus Perubahan 
Untuk  menjawab  pertanyaan  per-tama  ini, tulisan  ini akan membahas tiga
hal: pertama,  eksistensi  dan  peran  pesan-tren; kedua, esensi pesantren, serta menga-pa  pesantren  mampu  bertahan  dan
memberikan  sumbangan  besar  bagi  per-kembangan  Islam  di  Indonesia; dan ke-tiga,  apa  yang  dihadapi  pesantren  saat
ini? 
Sejarah  mencatat  bahwa  pesantren
berperan besar bagi perkembangan Islam
di  Nusantara,  begitu  juga  bagi  kemer-dekaan  Indonesia.  Sumbangan  pesantren
itu  dimulai  dari  kota  Barus  pantai  barat
ujung  utara  pulau  Sumatera.  Kota  Barus
ini  menjadi  metropolis  karena kapur  ba-rus  yang  rasa  wanginya  menjadi  kesuka-an  orang-orang  Cina  dan  Arab  ini  men-jadi pusat perhatian para pedagang man-canegara.  Mereka  berdatangan  ke  sana
untuk  mendapatkan  kapur  barus  itu.  Di
kota  inilah  ditemukan  makam  Sultan  bin
Sulaiman bin Abdullah bin al-Basyir yang
wafat pada 1211  M.,  yang  juga  menjadi
petunjuk  pertama  keberadaan  kerajaan
Islam  di  Nusantara:  Lamreh  1211 M dan
Pasai 1250-1526 M.
1

Dari  kota  Barus,  ujung  pulau
Sumatra Utara  ini  pula,  Islam  mulai me-ngepakkan sayapnya ke pelbagai penjuru
Nusantara.  Pada  1400-1680 M muncul
ulama besar  yang  menjadi  pioner  penye-baran  Islam  di  Nusantara,  seperti  Ham-zah  Fansuri,  Syamsuddin  al-Sumatrani,
Nuruddin  al-Raniri  dan  Abdur  Rauf  al-Singkili. Pada masa ini, proyek Islamisasi
berjalan  kuat  di  Nusantara,  dan  tasawuf
menjadi  disiplin  Islam  paling  penting
pada  masa  itu,  terlepas  kala  itu  menyi-sakan  problem relasi tasawuf  falsafi  dan
tasawuf suni.
2

Namun  pada  periode  selanjutnya,
kolonialis  asing  seperti  Portugis,  disusul
VOC,  Belanda,  dan  Jepang  mulai  mena-pak  kakinya  di  Nusantara.  Pada  masa
penjajahan asing, Islam menjadi kekuatan
utama  melawan  mereka,  terutama  pon-dok  pesantren  yang  dibangun  di  daerah
pinggiran  desa menjadi  lembaga  terakhir
perlawanan  umat  Islam  Nusantara  mela-wan  penjajah  asing, dan  ternyata  berha-sil.
3

                                                
1
 Zamakhsyari  Dhofier, Tradisi  Pesantren:  Memadu
Modernitas  untuk  Kemajuan  Bangsa (Yogyakarta::
Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 40.
2
 Aksin  Wijaya, Menusantarakan  Islam:  Menelusuri
Jejak  Pergumulan  Islam  yang  tak  Kunjung  Usai  di
Nusantara (Yogyakarta:  Nadi  Pustaka,  2011), hlm.
51-107
3
Ibid., hlm. 107-152
Aksin Wijaya

244 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

Di  Jawa,  gelombang  Islamisasi
dibawa  oleh  Walisongo  sekitar  abad ke-15-17 M. Para wali Jawa itu menyebarkan
Islam  dengan  memberikan  contoh  lang-sung  pada  masyarakat,  dan  mendirikan
pesantren di pinggiran desa. Yang merin-tis  pesantren  pertama  kali  sebagai
lembaga  pendidikan  dan  dakwah,  menu-rut    Wahjoetoemo  sebagaimana  dikutip
Halim  Soebahar,
4
 adalah  Syekh  Maulana
Malik Ibrahim pada 1399 M. Sedang yang
berhasil  mendirikan  dan  mengembang-kan  pesantren  adalah  Raden  Rahmat
(Sunan  Ampel),  di  Kembangkuning  yang
kala  itu  hanya  mempunyai  tiga  santri,
yakni  Wiryo  Suroyo,  Abu  Hurairah, dan
Kiai  Bangkuning.  Setelah  itu  Raden
Rahmat  pindah  ke  Ampel  Denta  Suraba-ya.  Di  sana  dia  mendirikan pesantren
yang  kemudian  disebut  Sunan  Ampel.
Setelah  itu,  muncul  pula pesantren  yang
didirikan para santri dan putranya, seper-ti  Pesantren  Giri  yang  didirikan  oleh  Su-nan  Giri, pesantren  Demak  oleh  Raden
Fatah,  dan pesantren Tuban  oleh  Sunan
Bonang.
Disusul ulama Jawa penerus Wali-songo yang menjadi ―guru‖ para arsitek
pesantren,  seperti:  Syekh  Ahmad  Khatib
al-Sambasi  (w.  1875); Nawawi  al-Bantani
(1815-1897);  Syekh  Abdul  Karim;  Syekh
Mahfudz al-Tarmasi (1919); dan  Muham-mad Khalil (1819-1925). Dari Muhammad
Khalil  Bangkalan  Madura  ini  lahirlah
ulama  arsitek  pesantren,  seperti:  Kiai
Muhammad Hasyim  Asy’ari  (w.  1947)
pendiri  NU  dan pengasuh  pesantren  Te-buireng  Jombang; Kiai  Manaf  Abdul  Ka-rim  pendiri  pesantren  Lirboyo  Kediri;
                                                
4
Abdul  Halim  Soebahar,―Pondok  Pesantren  di
Madura:  Studi tentang  Proses  Transformasi
Kepemimpinan  Akhir  Abad  XX‖(Disertasi:  IAIN
Sunan  Kalijaga  Yogyakarta,  2008),  hlm. 47  dan
Wahjoetoemo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), hlm. 70.
Kiai Muhammad  Shiddiq  pendiri  pesan-tren  al-Shiddiqiyah  Jember;  KH. M.  Mu-nawwir  (w.  1942)  pendiri  pesantren  al-Munawwir  Krapyak  Yogyakarta;  Kiai
Ma’sum  (1870-1972)  pendiri  pesantren
Lasem  Rembang;  Kiai  Abdullah  Muba-rak, pendiri pesantren Suralaya, Tasikma-laya,  Jawa  Barat; Kiai  Wahab  Hasbullah
(1818-1971),  penggagas  berdirinya  NU
dan  pendiri  pesantren  Tambak  Beras
Jombang; Kiai  Bisri  Syansuri  (1886-1980)
pendiri NU dan pesantren Denanyar Jom-bang; dan Kiai Bisri Musthafa (1915-1977)
pendiri  pesantren  Rembang  Jawa  Te-ngah.
5


Esensi  Pesantren:  Pesantren  sebagai
Subkultur 
Para  peneliti  berbeda  pendapat
mengenai  asal  usul  pesantren.  Ada  yang
berpendapat, pesantren berasal dari India
yang  ditradisikan  dalam  ajaran  agama
Hindu-Budha.
6
 Ada pula yang berpenda-pat bahwa  pesantren berasal  dari  Arab.
7

Terlepas  dari  perbedaan  itu,  kita  menga-kui pesantren  menjadi  lembaga  pendi-dikan tradisional Islam yang bersifat sub-kultur  dan  mempunyai  pengaruh  besar
bagi transformasi Islam di Indonesia.
Dari  segi  kelembagaan,  minimal
harus  mempunyai  lima  unsur  untuk  me-nyebut  lembaga  pendidikan  tertentu  se-bagai pesantren,  yakni:  adanya  pondok,
musala atau masjid,  santri,  kiai, dan pe-ngajaran  kitab-kitab  klasik.
8
 Dilihat  dari
segi budaya,  Gus  Dur  menyebut  pesan-tren sebagai subkultur. Kiai nyentrik dari
Jombang  ini  menyebut  minimal  harus
ada  tiga  unsur  asasi  untuk  menyebut
                                                
5
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 85-96.
6
 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Sekolah,  Madrasah
(Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 20-21.
7
Ibid., hlm. 22-23.
8
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 44-60.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 245

pesantren  sebagai  subkultur:
9
 pemimpin,
sistem nilai, dan kurikulum pendidikan.
Pertama, pemimpin.  Di  dalam  pe-santren,  kiai  menempati  posisi  sentral,
terutama  dalam  relasinya  dengan  santri
dan  masyarakat.  Para  santri  belajar  di
pesantren  bertujuan  mencari  ―berkah‖
dari  kiai  dan  ilmu-ilmu  agama.  Dalam
keyakinan  santri,  berkah  itu  hanya  ada
pada  kiai,  lantaran  beliau  bukan  hanya
menjadi  pemimpin,  guru,  dan  panutan
perilaku  dalam  segala  kehidupan  di  pe-santren, tetapi juga menjadi penerus para
nabi  yang  penuh  dengan  tindakan  yang
ikhlas.  Seorang  kiai  menyediakan  wak-tunya hanya untuk memimpin para santri
melakukan  ibadah  dan  mendalami  ilmu-ilmu agama.
10

Kedua,  sistem  nilai.  Di  pesantren
juga  tertanam  sistem  nilai  mandiri yang
mengacu  pada  tiga  unsur  asasi: pertama,
menilai  kehidupan  secara  keseluruhan
sebagai  ibadah.  Dengan  memusat  pada
ibadah,  seluruh  aktifitas  kehidupan  di
pesantren  bersifat  sakral,  dan  mereka
tidak  merasa  rugi  berada  di  pesantren
dalam  waktu  yang  begitu  lama.  Dengan
pandangan  hidup  demikian,  pesantren
mengajar para santrinya untuk mencintai
ilmu-ilmu  agama.  Dalam  tradisi  pesan-tren,  ilmu  dan  ibadah  saling  terkait.  Iba-dah  seseorang  tidak  akan  berarti  jika
tidak  disertai  dengan  ilmu  yang  benar.
Karena  itulah  kecintaan  terhadap  ilmu
agama  yang  benar  bisa  membantu  me-nyampaikan  pada  ibadah  yang  benar.
Inilah  nilai kedua.  Ketiga  adalah  ikhlas
beramal,  dan  nilai  ini  merupakan  kelan-jutan  dari  dua  nilai  sebelumnya.  Pesan-tren mengajarkan keikhlasan dalam sega-la  hal,  sehingga  kiai  dan santri  senior
                                                
9
 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 1.
10
Ibid., hlm. 235-237.
yang  menjadi  ustaz  dibayar  sekadarnya
saja  dari  kerja  mendidik  yang  mereka
lakukan.
11

Ketiga,  kurikulum  pendidikan.
Sejalan  dengan  dua  unsur  di  atas,  tentu
saja  kurikulum  pesantren  mengajarkan
ilmu-ilmu  agama, terutama  yang  berasal
dari  kitab  kuning  karya  ulama  mazhab
klasik,  seperti  fiqih,  teologi,  tasawuf, ‘u-lûm al-Qur’ân, usul fiqih, balâghah, kaidah
fiqhîyyah, dan lain sebagainya.
Dengan  tiga  unsur  asasi  di  atas,
pesantren  menjadi  subkultur.  Ia  berbeda
dengan kultur yang berada di masyarakat
pada  umumnya.  Sebagai  subkultur,  pe-santren  mempunyai  watak  mandiri  dan
otonom.  Inilah  yang  membuat  pesantren
tetap  eksis  dalam  waktu  yang  begitu
panjang  dan  mampu  memberikan  sum-bangan  besar  bagi  transformasi  Islam  di
Indonesia.

Pergeseran Esensial Pesantren 
Karena  pesantren  sebagai  subkul-tur  berada  di  tengah-tengah  masyarakat,
tentu  saja  pesantren  melakukan  pergu-mulan  dengan  pelbagai  kultur  lainnya  di
Indonesia.  Di  situlah  muncul  dua  tan-tangan  yang  harus  dihadapi  pesantren:
pertama, selain mempertahankan eksisten-sinya  sebagai  subklutur  masyarakat,  ten-tu  saja  juga  mempertahankan  jati  dirinya
tanpa  kehilangan  momentum  perubahan
zaman; kedua, bagaimana mendidik santri
yang mampu menghadapi tantangan sub-kultur lainnya, terutama yang datang dari
luar.
Penting  dicatat  bahwa  terdapat
perbedaan  tantangan  yang  dihadapi  pe-santren masa lalu dan sekarang, sehingga
penyikapannya  juga  berbeda.  Jika  tan-tangan  pesantren  masa  lalu  berupa  kolo-nialisasi  fisik  di  mana  penjajah  secara
                                                
11
 Ibid., hlm. 130-135.
Aksin Wijaya

246 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

langsung  datang  ke  Indonesia,  tantangan
sekarang  berupa  globalisasi  di  mana
penjajah  tidak  hadir  secara  fisik.  Karena
penjajah  masa  lalu  datang  secara  fisik,
dan  masyarakat  merasakan  kekejaman
mereka,  mereka  pun  berjuang  melawan
penjajah  asing  itu.  Sebaliknya  tantangan
globalisasi  yang  dihadapi  masyarakat  se-karang  lebih  abstrak,  sehingga  ia  lewat
dari kesadaran kritis masyarakat. Bahkan,
ia  mampu memengaruhi  alam  bawah  sa-dar masyarakat, apalagi globalisasi mem-berikan janji-janji manis bagi  masyarakat.
Tantangan nyata yang kini dihada-pi pesantren  adalah  janji-janji  pemerin-tah  untuk  memprofesionalkan  lembaga
pendidikan  dengan  tujuan  agar  mampu
bersaing  dengan  lembaga  pendidikan
modern  dari  negara-negara  maju.  Tujuan
tersebut  tentu  saja  menggiurkan  dari  sisi
materi  dan  kelembagaan,  seperti 20  %
anggaran  pendidikan,  kesejahteraan  gu-ru,  profesionalisme  guru,  dan  pemerata-an  pendidikan.  Terhadap  janji-janji  itu,
masyarakat pun menyambut antusias. Se-mua  orang  senang  dengan  terma-terma
itu  dan  mereka  berharap  dapat  menik-matinya.
Justru  janji-janji  muluk  yang  oleh
sementara kalangan disebut sebagai kapi-talisasi  pendidikan  itulah  masalah  sebe-narnya  yang  dihadapi  pesantren.  Karena
globalisasi  teknologi  dan  budaya,  serta
kapitalisasi  pendidikan ala  pemerintah
akan menggeser watak mandiri pesantren
sebagai  subkultur.  Dikatakan  tantangan
yang  sebenarnya,  karena  pondok  pesan-tren  belum  tentu  mampu  menghadapi
tantangan  itu.  Jika  awal  berdirinya  pon-dok  pesantren  mampu  menghadapi  tan-tangan  dari  penjajahan  Belanda,  belum
tentu  tantangan  dari  dalam  sendiri.  Ken-dati  Belanda  sebagai  penjajah  mulai
menerapkan  sistem  pendidikan  modern
berupa sekolah, eksistensi dan esensi pen-didikan  tradisional  pesantren  masih  tak
tergoyahkan.  Sebab sekolah  modern  Be-landa hanya diperuntukkan dan memang
hanya  diminati  anak-anak  kalangan  elit,
kendati belakangan sekolah juga menam-pung  anak-anak  pribumi  yang  berasal
dari  ekonomi  menengah  ke  bawah.  Da-lam situasi seperti itu, pesantren tetap ek-sis  dan  menjadi  pilihan  utama  masya-rakat  Islam  khususnya.  Begitu  juga,  ke-kuatan pesantren itu  terletak  pada  posisi
pesantren  sebagai  benteng  perlawanan
untuk  mengusir  Belanda  sebagai  penja-jah.
Berbeda  hal  dengan  kondisi
pensantren  saat  ini. Justru  ketika  peme-rintah Indonesia pasca kemerdekaan mu-lai  menerapkan  sistem  pendidikan
modern ala Belanda yang disebut sekolah,
eksistensi  dan  esensi  pesantren  mulai
termarginalkan.
12
 Sebab,  dari  segi  kelem-bagaan,  pemerintah  mendirikan  sekolah
modern  dengan  gedung-gedung  mewah
untuk  menarik  minat  siswa.  Semua  pera-latan  sekolah  disediakan.  Ketika  keluar
dari  sekolah pun,  pemerintah  menyedia-kan lapangan pekerjaan dengan gaji yang
menggiurkan.  Sengaja  atau  tidak,  kebija-kan itu mengindikasikan pemerintah mu-lai  memarginalisasi  eksistensi  pesantren,
dan  mulai  mengangkat  eksistensi  seko-lah.
Sistem pendidikan modern sekolah
ini  bukan  hanya  menggeser  pesantren
secara  eksistensial, tapi  juga  menggoda
dan  menggeser  esensi pesantren sebagai
subkultur. Misalnya, posisi dan peran kiai
yang  ikhlas  beramal,  yang  menjadi pia-lang budaya  atau  agen  perubahan,  mulai
digeser  dengan  guru  yang  berijazah  for-mal  dan  bersertifikat;  kurikulum  pendi-dikan keagamaan Islam klasik yang dipe-runtukkan  untuk mendidik  anak  berak-                                                
12
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 41.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 247

hlak  terpuji  digeser  dengan  Kurikulum
Berbasis  Kompetensi  (KBK),  disusul
KTSP  dan  pendidikan  berbasis  karakter;
dan  keberhasilan  keilmuan  santri  yang
awalnya  dipersiapkan  menjadi  ustaz  dan
ulama  digeser  oleh skill yang  lulusannya
siap  kerja  di  lapangan  industri  modern
yang menawarkan gaji menarik.
Selain  tantangan  dari  janji-janji
pemerintah  untuk  memprofesionalkan
lembaga  pendidikan,  tantangan  yang  di-hadapi pesantren juga datang dari globa-lisasi  yang  kini  menjadi  kebutuhan  nyata
masyarakat. Mampukah pesantren meng-hadapinya, tanpa kehilangan jati dirinya?
Kemampuan  itu  ditentukan  oleh
sejauh  mana  tantangan  yang  dihadapi-nya,  dan  sejauh  mana  kekuatan  pesan-tren  itu  sendiri.  Dua  kemungkinan  bisa
terjadi.  Melihat  posisi  subkultur  pesan-tren  di  atas,  dan  posisi  kiai,  yang  tidak
hanya menjadi ―broker budaya‖ menurut
Clifford  Geertz, tapi juga menjadi ―agen
perubahan‖,  menurut  Hiroko  Horiko-shi,
13
 pesantren  dinilai  tidak  hanya  tahan
menghadapi pengaruh dari luar, tapi juga
mampu memengaruhinya. Tetapi melihat
kondisi pesantren saat ini, serta tantangan
global  yang  ada,  bisa  juga  pesantren  itu
sendiri  ikut  arus  perubahan  di  lingkung-an  sekitarnya.
14
  Kalau  demikian,  bagai-mana pesantren menatap masa depan?

Pesantren: Menatap Masa Depan
Dalam  situasi  sekarang  ini, pesan-tren  menghadapi  dua  tantangan  sekali-gus:  yang  bersifat  eksistensial  dan  yang
bersifat  esensial.  Yang  pertama  berkaitan
dengan  bagaimana  pesantren  tetap  eksis
di  dunia  globalisasi,  yang  kedua  bagai-mana  eksistensi  pesantren  tetap  berpijak
                                                
13
  Abdurrahmaan  Wahid, ―Pengantar‖,  dalam
Hiroko  Horikoshi, Kyai  dan  Perubahan  Sosial
(Jakarta: P3M, 1987), hlm. xvii.
14
 Wahid, Menggerakkan Tradisi, hlm. 136.
pada  esensi  atau  jati  dirinya.
15
 Di  situlah
perlunya  pesantren  mengakomodasi per-kembangan  modernitas,  baik  pola  pe-ngembangannya  maupun  sistem  pendi-dikannya. 
Gus  Dur
16
 mencatat  ada tiga  pola
pengembangan  pesantren  untuk  menga-komodasi  perkembangan  modernitas  a-gar  ia  tetap  eksis  sebagai  lembaga  pen-didikan  Islam  yang  konon  khas  In-donesia:
Pertama, memasukkan kegiatan ke-terampilan  bagi  santri,  dengan  alasan
bahwa  tidak  semua  santri  bakal  menjadi
kiai.  Sebagai  orang  biasa,  mereka  harus
memiliki keterampilan untuk hidup di te-ngah-tengah    masyarakat,  seperti  me-rangkai  janur,  pertukangan,  pertanian,
peternakan, penghijauan, kependudukan,
kesehatan,  PKK,  dan lain lain. Jadi kuri-kulum pesantren berorientasi  pada  kebu-tuhan  masyarakat.
17
  Program  ini  akan
meningkatkan  peranan pesantren dalam
menunjang  pembangunan,  khususnya
pembangunan di daerah pedesaan.
Kedua, membangun  kerja sama  de-ngan  LSM,  baik  swasta  maupun  negeri,
dalam  maupun  luar  negeri, seperti  dila-kukan  LP3ES.  Berbeda  dengan  yang  per-tama,  program  yang  ditawarkan  LP3ES
lebih  bermuatan  wawasan,  seperti  pela-tihan  dan  workhshop  program  pengem-bangan wawasan keulamaan, fiqh al-nisâ`,
fiqh al-siyâsah, dan demokrasi.
Ketiga,  ada  pula  yang  dilakukan
secara  sporadis.  Dalam  arti,  program
yang  ada  dilakukan  sendiri-sendiri  oleh
                                                
15
 Ada  tiga  model  dalam  menghadapi  globalisasi:
tradisionalis, modernis, fundamentalis. Babun Su-harto, Dari  Pesantren  untuk  Umat:  Reinventing  Ek-sistensi  Pesantren  di  Era  Globalisasi (Surabaya: Im-tiyas, 2011), hlm. 46-51.
16
 Wahid, Menggerakkan Tradisi, hlm. 169-177
17
 Mukti  Ali, Peranan  Pondok  Pesantren  dalam  Pem-bangunan (Jakarta: Bayu Barkah, 1974), hlm. 7.
Aksin Wijaya

248 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

masing-masing pesantren,  sesuai  keingi-nan  dan  pandangan  kiai  yang  mempu-nyai  otoritas  atas  pondok  asuhannya,
misalnya:  melakukan  integrasi  kuriku-lum  antara  umum  dan  agama,  seperti
mendirikan  sekolah  umum  di  pesantren,
seperti  Tebuireng  Jombang,  Annuqayah
Sumenep;  dan  mendirikan  PKP  (Pesan-tren Kader Pembangunan).

Antara  yang  Tetap  dan yang  Berubah:
Sistem  Pendidikan  Inklusif-Gender  di
Pesantren
Pesantren  juga  harus  memper-timbangkan  kembali  tiga  unsur  asasi
yang  menjadi  ciri  subkultur  pesantren,
unsur  mana  yang  harus  dipertahankan
dan unsur mana yang harus diubah, yak-ni pemimpin, sistem nilai, dan kurikulum
pendidikan.  Seorang  pemimpin  pesan-tren  yang  biasanya  disebut  kiai  harus
kharismatik,  ikhlas  sembari  berpikir  mo-dern;  sistem  nilai  yang  berlaku  di
pesantren  harus  tetap  dipertahankan,
yakni  menilai  kehidupan  secara  keselu-ruhan  sebagai  ibadah,  ikhlas  beramal,
dan  mencintai  ilmu  agama;  sedang ku-rikulum  pendidikan  bisa  mengikuti  pola
sporadis,  baik  melakukan  integrasi  kuri-kulum,  memberikan  kurikulum  kete-rampilan,  maupun maupun  mendirikan
sekolah umum.
Di  antara  pola  sporadis  itu  adalah
pesantren  disarankan  mengakomodasi
sistem  pendidikan  modern  yang  inklusif
berperspektif  gender.  Karena pendidikan
pada  dasarnya  adalah  suatu  rangkaian
proses  kegiatan  yang  dilakukan  secara
sadar,  terencana,  sistematis,  berkesinam-bungan, terpola, dan terstruktur terhadap
anak-anak  didik  dalam  rangka  mem-bentuk  para  peserta  didik  menjadi  sosok
manusia  yang  berkualitas  secara  nalar-intelektual  dan  berkualitas  secara  moral-spiritual,
18
 sehingga mereka nantinya bisa
menjadi  manusia  yang  cakap,  pandai,
terampil,  dan  mampu  hidup  secara  man-diri dan hidup secara layak dalam meme-nuhi  segala  kebutuhan  hidup  mereka.
19

Secara  praktis  yang  bersifat  formal-aka-demis kelembagaan, kegiatan pendidikan
merupakan  suatu  sistem  yang  terpadu.
Sebagai  suatu  sistem,  pendidikan  men-syaratkan  adanya  berbagai  perangkat
yang saling terkait, seperti para pendidik,
anak  didik,  sarana  dan prasarana,  kuri-kulum  dan  materi  pendidikan,  metode
pendidikan, dan tujuan pendidikan.
20

Yang  perlu  digarisbawahi  dari  pe-ngertian di atas adalah tujuan pendidikan
―menjadi sosok manusia yang berkualitas
secara  nalar-intelektual  dan  berkualitas
secara moral-spiritual‖. Dengan kata lain,
pendidikan adalah sebuah proses, dengan
harapan  menciptakan  manusia  yang  ber-pikir  dan  bertindak  secara  rasional  dan
spiritual. Ini berbeda dengan kondisi pen-didikan  sekarang  yang  lebih  berorientasi
pasar,
21
  yang selama ini diwakili dengan 
KBK.  Tujuannya  adalah  menciptakan  a-lumni yang siap kerja  di lapangan indus-tri  modern.  Padahal  tantangan  terbesar
sekarang  adalah  globalisasi  teknologi,
multikulturalisasi, dan hak asasi manusia,
termasuk  persoalan  gender.  Di  sinilah
diperlukan  pendidikan  inklusif  dan  ber-perspektif gender.
22

Yang  dimaksud  pendidikan  inklu-sif  adalah  pendidikan  yang  mengakui
dan  mempertimbangkan  keragaman  dan
                                                
18
  Faisal  Ismail, Masa  Depan  Pendidikan  Islam:  Di
Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas (Jakarta:
Bakti Aksara Persada, 2003), hlm. 1
19
 Ibid., hlm. 2
20
 Ibid., hlm. 2
21
 Darmaningtiyas, Pendidikan Rusak-rusakan (Yog-yakarta: LKiS, 2007), hlm. 247-262.  
22
 M.  Ainul  Yakin, Pendidikan  Multikultural:  Cross-Cultural  Understanding untuk  Demokrasi dan  Kea-dilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), hlm. 111-138
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 249

perbedaan  kebutuhan  peserta  didik,  mi-nat,  pengalaman,  dan  cara  belajar,  baik
yang  disebabkan  oleh  kontruksi  sosial
atau  yang  bersifat  kodrat.  Sebab  pada
dasarnya manusia dicipta dalam keadaan
―beragam‖ namun dalam posisi ―setara‖.
Pendidikan  inklusif  dikatakan  berper-spektif  gender  jika  sistem  pendidikan  itu
menempatkan,  menyikapi, dan  memper-lakukan semua peserta didik secara setara
tanpa membedakan jenis kelamin.
Pendidikan  inklusif  dan  berper-spektif  gender  bertujuan  menciptakan
manusia  atau  anak  didik  yang  meng-hargai  keragaman,  perbedaan, dan  kese-taraan  dalam  keragaman,  baik  dalam
berpikir  maupun  bersikap.  Tidak  hanya
sebatas  itu,  mereka  juga  akan  berpikir
dan bersikap toleran terhadap anak didik
yang  berkebutuhan  khusus,  baik  yang
bersifat  kodrati,  seperti  anak-anak  cacat,
maupun  yang  bersifat  konstruksi,  seperti
anak-anak  korban  narkoba  dan
HIV/AIDS.
Untuk  membangun  pendidikan
inklusif  dan  sensitif  gender,  diperlukan
―ruang yang kondusif‖ bagi tercapainya
kedua  tujuan  itu.  Ruang  dimaksud  ada-lah  sekolah  dan  undang-undangnya.  Se-kolah  diharapkan  mempunyai  undang-undang  yang  inklusif  dan  berperspektif
gender,  dan  tentu  saja  menerapkan  un-dang-undang  sekolah  tersebut.  Seluruh
penghuni  sekolah,  baik  pemimpin,  guru,
tenaga  adminitrasi,  dan  anak  didik  harus
menaati  undang-undang  itu.  Agar  tujuan
itu  terlaksana,  maka  sekolah  harus  ber-peran  aktif  memberikan  pelatihan,  semi-nar,  advokasi,  dan  atau workshop  me-ngenai pendidikan inklusif  dan wawasan
tentang  gender  terhadap  seluruh  peng-huni  sekolah.
23
  Dalam  arti,  unsur-unsur
utama pendidikan, seperti pendidik, anak
                                                
23
 Yakin, Pendidikan Multikultural, hlm. 133-134.
didik,  sarana  dan  prasarana,  dan  metode
pendidikan, harus mencerminkan inklusi-fitas dan berwawasan gender.
Bahwa  para  guru  atau  pendidik
sebagai transformator ilmu harus berpikir
inklusif  dan  berwawasan  gender,  karena
mereka  adalah  figur  utama  bagi  anak
didik, khususnya dalam lingkungan seko-lah.  Guru  yang  berpikir  inklusif  dan  ber-wawasan  gender  akan  berpikir  dan  ber-sikap  toleran  terhadap  keragaman  dan
perbedaan,  anti  diskriminasi  gender,  dan
tentu saja sensitif terhadap permasalahan
gender,  terutama  terhadap  anak-anak  di-diknya yang berbeda jenis kelamin.
Agar  wawasan  guru  yang  inklusif
dan  sadar  gender dapat  ditransforma-sikan kepada anak didik, diperlukan pula
―materi pelajaran‖ atau kurikulum yang
inklusif  dan  berwawasan  gender.  Bebe-rapa kurikulum yang bernada ―diskrimi-nasi gender‖ yang selama ini diajarkan di
sekolah-sekolah harus diganti dengan ku-rikulum yang berbasis ―kesetaraan gen-der‖. Misalnya pelajaran Bahasa  Indone-sia  yang  selalu  mengisahkan  pekerjaan
bapak  dan  ibu.  Buku  pelajaran Bahasa
Indonesia mengisahkan, ―bapak bekerja
di kantor, ibu bekerja di rumah‖. Kisah
seperti ini mendiskreditkan kaum perem-puan  yang  hanya  disimbolkan  berada  di
rumah.
Sarana  dan  prasarananya  harus
pula  mencerminkan  penghargaan  terha-dap  keragaman  dan  perbedaan  gender.
Misalnya,  pelbagai  alat  peraga,  seperti
gambar,  permainan,  dan  sebagainya  ha-rus  memenuhi  seluruh  kebutuhan  anak
didik  tanpa  melihat  perbedaan  yang
berkebutuhan  khusus,  baik  yang  bersifat
kodrati  maupun  konstruksi,  seperti  anak
cacat  dan  jenis  kelamin.  Begitu  juga
metode pengajarannya. 

Aksin Wijaya

250 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

Metamorfosis Pesantren Tanwirul Hija:
Sejarah dan Tantangan ke Depan
Gambaran  tentang  eksistensi  dan
esensi pesantren,  serta  strateginya  dalam
menghadapi  tantangan  profesionalisme
lembaga  pendidikan  nonpesantren,  dan
tantangan  globalisasi  dalam  segala  bi-dang,  kini  secara  lebih  spesifik  akan
dibahas,  bagaimana  pesantren  Tanwirul
Hija  bermetamorfosa dalam  menghadapi
tantangan  globalisasi  ke  depan.  Namun
sebelumnya,  akan  dibahas  kondisi  Islam
di  Madura  yang  menjadi  medan  sosial
kehadiran pesantren Tanwirul Hija.
Tidak  ada  kesepakatan  mengenai
asal  usul  nama  Madura.  Ada  yang  ber-pendapat,  nama  Madura  berasal  dari
legenda yang berkembang di masyarakat.
Alkisah,  pada  tahun  929  M.,  ada  sebuah
negara  bernama  Mendangkamulan  (ada
yang  menyebutnya  negara  Medang),
yang  di  dalamnya  ada  sebuah keraton
bernama  Kraton  Giling  Wessi.  Rajanya
bernama  Sanghyangtunggal.  Raja  itu
mempunyai  seorang  anak  perempuan.
Suatu  ketika,  anak  itu  bermimpi  kema-sukan rembulan dari mulutnya, masuk ke
dalam  perutnya  dan  tidak  keluar  lagi.
Beberapa  bulan  kemudian,  anak  perem-puan raja itu hamil. Mendengar berita itu,
sang  raja  marah  dan  meminta  patihnya
untuk membunuh anaknya. Jika patih ta-di  belum  memperlihatkan  kepala  anak
perempuan  itu  kepada  raja,  sebaiknya
sang  patih  tidak  kembali  ke  kraton.
Anehnya,  setiap  kali  patih  menghunus-kan pedang ke leher anak perempuan itu,
pedangnya  jatuh  ke  tanah.  Peristiwa  itu
terulang  sebanyak  tiga  kali.  Melihat  keja-dian aneh itu, patih itu meyakini kehami-lan perempuan itu bukan kehamilan yang
biasa.  Dia  pun  akhirnya  memutuskan
untuk  tidak  kembali  ke keraton,  dan  me-milih  menyelamatkan  anak  itu.  Sejak  itu,
dia mengubah namanya menjadi Kiai Po-leng.
24

Oleh Kiai  Poleng,  putri  raja  tadi
didudukkan di atas ―ghitek‖ dan diten-dang menunju ―Madu Oro‖. Oleh karena
itu,  pulau  ini  disebut  pulau  Madura.
Ghitek  tadi  terdampar  di  gunung  Geger.
Dengan  bantuan  Kiai  Poleng,  anak
perempuan itu akhirnya melahirkan anak
laki-laki  dengan  wajah  yang  tampan.
Anak  itu  diberi  nama  Raden  Segoro.
Konon,  inilah  yang  menjadi  penduduk
Madura  pertama,  dan  tempat  itu  dibe-rinama  Madura.  Dulu,  jika  disebut  Ma-dura,  ia  meliputi  Bangkalan  dan  Sam-pang  saja,  sedang  Pamekasan  dan  Sume-nep disebut sendiri-sendiri.
25

Ada  juga  yang  berpendapat,  nama
Madura  konon  diberikan  oleh  kaum
Brahman India yang datang ke pulau itu.
Nama Madura berasal dari bahasa Sanse-kerta  yang  bermakna:  permai,  indah,
molek,  cantik,  jelita,  manis,  ramah, dan
lemah  lembut.
26
  Pendapat  kedua  bisa
dimaklumi  mengingat  ada  banyak  nama-nama  daerah  di  Indonesia  yang  sama
dengan  nama-nama  daerah  yang  ada  di
India  seperti  Malabar,  Narmada,  Serayu,
Sunda, dan Taruna. Penamaan seperti ini
biasa  terjadi,  terutama  oleh  para imigran
yang membabat daerah tertentu, sebagai-mana  di  Kalimantan  juga  terdapat  nama-nama  yang  khas Madura.  Nama  Madura
sama  dengan  nama  daerah  di  India  Sela-tan yang juga beriklim kering.
27

                                                
24
 Zainal  Fatah, Sedjarah  Tjaranya  Pemerintahan  di
Daerah-daerah Kepulauan Madura dengan Hubungan-nya, hlm. 8.
25
 Ibid., hlm. 7-9.
26
 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura, Pembawaan,
Perilaku, Etos  Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hi-dupnya Seperti Dicitrakan Pribahasanya (Yogyakarta:
Pilar Media,2007), hlm. 29.
27
 Ibid., hlm. 30.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 251

Sebagaimana  masuknya  Islam  ke
Nusantara,
28
  para  peneliti  juga  berbeda
pendapat  tentang  masuknya  Islam  ke
Madura. Pertama, dikemukakan oleh seja-rawan  Belanda  H.J.  De  Graaf  dan  T.H.
Pigeaud.  Keduanya  berpendapat  bahwa
Islam  masuk  ke  Madura  melalui  dua
jalur:  Madura  Barat  yang  meliputi  Bang-kalan  dan  Sampang,  dan  Madura  Timur
meliputi Sumenep dan Pamekasan.
Menurut  sejarawan  Belanda  itu,
29

Islam  masuk  ke  Madura  barat  bermula
dari  seorang  raja  di  Gili  Mandingin
(Sampang)  yang  bernama  Lembu  Peteng,
putra  raja  Brawijaya  dari  Majapahit  de-ngan  istri  yang  beragama  Islam  dari
Cempa. Putri Lembu Peteng itu diperistri
putra Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri sa-lah  seorang Walisongo  yang  sangat  ber-pengaruh  dalam  penyebaran  Islam  di
Jawa. Ini menunjukkan bahwa,  selain pa-da  paruh  kedua  abad ke-15  M.,  para
penguasa  Jawa  golongan  aristokrat  telah
melakukan  hubungan  dengan  orang
Islam,  juga  menjadi  indikasi  awal  dan
proses masuknya Islam ke Madura. Sebab
putra mahkota Madura Barat, pada tahun
1528 M sudah masuk Islam.
Sedang  untuk  Madura  Timur,  Islam
dibawa  oleh  Adipati  Kanduruhan,  seo-rang  tokoh  yang  memiliki  peranan  besar
di  kota  itu  pada  abad  ke-16 M.  Kesim-pulan itu diambil dari cerita tutur tentang
adanya  makam  tua  bertarikh  1504  (1582
M)  di  kampung  pasar  Pajhingghaan.
Kanduruhan  merupakan  salah  seorang
dari  keluarga  saudara  seibu  dengan
sultan  Trenggana  dari  Demak  (paman
sultan Jipang).
30

                                                
28
 Wijaya, Menusantarakan Islam, hlm. 43-50
29
 Soebahar, ―Pondok Pesantren di Madura‖, hlm. 37
dan De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama
di  Jawa:  Tinjauan  Sejarah  Politik  Abad  XV  dan  XVI
(Jakarta: Grafiti, 2001), hlm. 190-191.
30
 Soebahar, Pondok Pesantren di Madura, hlm. 38.
Pandangan kedua dikemukakan seja-rawan  Indonesia  yang  banyak  menulis
tentang  sejarah  Madura,  Abdurrahman.
Menurutnya, proses islamisasi di Madura
melalui Sunan Giri dari Gresik, salah satu
dari sembilan wali (Walisongo) yang ber-pengaruh  di  Jawa,  terutama  di  Jawa
Timur.
Ada  pula  yang  berpendapat  bahwa
Islam  bermula  dari  pedagang  Islam  dari
Gujarat  yang  pernah  singgah  di  pela-buhan  Madura,  Kalianget,  yang  kelak  di-kenal  dengan  Sunan  Padusan.  Sunan
Padusan  itu  berasal  dari  Arab,  yang  su-dah  menggunakan  nama  Jawa  yakni
Raden  Bandara  Diwirjopodho.  Ayahnya
bernama  Usman  Hadji,  anak  dari Raja
Pandita  atau  Sunan  Lambujang  Fadal,
anak  dari  Makdum  Ibrahim  Hasmoro.
Orang  Madura  menyebutnya  Maulana
Djamadul  Akbar.  Dia  beristri  putri  raja
Cina  dan  mempunyai  anak  laki-laki  ber-nama  Radja  Pandita  dan  Rahmatullah,
yakni  Raden  Rahmat  (Sunan  Ampel),
yang  juga  beristri  seorang  putri  Cina,
saudara  putri  Campa,  permaisuri  raja
Majapahit  terakhir.  Sunan  Ampel  mem-punyai  beberapa  anak,  di  antaranya
adalah Nyai  Maloko,  yang  diperistri  Us-man  Haji  (ayah  Sunan  Padusan).  Oleh
karena  Islam  diminati  orang  Sumenep,
maka  Kudho  Panule  alias  Pengeran
Satjadiningrat  III  yang  menjadi  raja  Su-menep memeluk agama Islam, dan Sunan
Padusan  diambil  sebagai  anak  man-tunya.
31

Tempat Sunan Padusan itu awalnya
di  desa  Padusan.  Alkisah,  ketika  seorang
santri  sudah  dianggap  melakukan  rukun
Islam,  dia  dimandikan  dengan  air  yang
dicampur  dengan  bunga-bunga  yang
                                                
31
 Fatah, Sedjarah  Tjaranya Pemerintahan  di  Daerah-daerah  Kepulauan  Madura, hlm.  31; Soebahar, Pon-dok  Pesantren  di  Madura, hlm. 40; dan Raden  Wer-disastra, Babad Sumenep, hlm. 123-124
Aksin Wijaya

252 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

harum.  Cara  memandikan  itu  disebut
edudus.  Karena  itu,  desa  yang  ditempati
pemandian itu disebut desa padusan (kini
termasuk  pamolokan)  Sumenep.  Sedang
guru  yang  memberikan  pelajaran  disebut
Sunan  Padusan.  Setelah  itu,  Sunan  Padu-san  pindah  ke  keraton  Batuputih.  Seka-rang  menjadi Batu Putih Kidul  (selatan),
Batu Putih Daya,  dan Batu Putih Kene’,
Kecamatan Batuputih.
32

Menurut cerita turun temurun, anak
laki-laki  dari  saudara  Ampel  menetap  di
desa Pajudan dekat Sumenep.
33
 Islamisasi
di  Madura  meluas  ketika  raja-raja  Madu-ra  memeluk  Islam  sekitar  pertengahan
abad ke-16 M.,  terutama  Sumenep  yang
kala  itu  menjadi  kawasan  perdagangan
yang paling ramai.
34
 Perkembangan Islam
di  Madura  berjalan  cepat  setelah  banyak
orang-orang  keturunan  Arab  Hadramaut
menetap  di  Sumenep,  banyak  pesantren
didirikan,  dan  banyak  orang  Madura
yang  melaksanakan  ibadah  haji,  sambil
mencari  ilmu  di  Mekah  dan  Madinah,
seperti  Gemma  dan  Kiai  Syarqawi,  dua
figur  ulama kharismatik  yang  membuat
perkembangan  Islam  di  Madura  semakin
cepat  melalui pesantren,  seperti  Pesan-tren Annuqayah  di  Guluk-Guluk, Sume-nep.
35


Pesantren  Tanwirul  Hija:  Menggandeng
Masa lalu,Mencandra Masa Depan
Madura  mendapat  tantangan  se-rius  akhir-akhir  ini  terutama  sejak  diba-ngunnya  jembatan Suramadu  (Surabaya-                                                
32
 Fatah, Sedjarah  Tjaranya  Pemerintahan  di  Daerah-daerah, hlm.31 dan Abdurrachman, Sedjarah Madu-ra:  Selayang  Pandang:  Sumenep,  Pamekasan,  Sam-pang, Bangkalan (1971), hlm. 16-17.
33
Ibid., hlm. 16-17.
34
Huub  de  Jonge, Madura  dalam  Empat  Zaman:
Pedagang,  Perkembangan  Ekonomi,  dan  Islam:  Suatu
Studi  Antropologi  (Jakarta:  Gramedia,1989),  hlm.
241
35
Ibid., hlm. 242-245.
Madura).  Dengan  jembatan  ini,  transfor-masi  yang  menghubungkan  pulau  Ma-dura  dengan  Jawa  semakin  mudah.  Kon-disi  ini  menyebabkan  tantangan  glo-balisasi  yang  sudah  lama  melanda  Jawa
otomatis  juga  merembet  ke  Madura.  An-daikata  Madura  yang  selama  ini  dikenal
sebagai ―serambi Madinah‖ atau ―pulau
seribu pondok‖ tidak mempersiapkan di-ri  secara  matang,  bukan  tidak  mungkin,
dua  sebutan  tadi  akan  hilang  dari Madu-ra.  Di  sinilah  lembaga  pendidikan  me-mainkan peran signifikan.
Selama  ini,  perkembangan  pendi-dikan  formal  di  Madura  terkenal  lambat.
Di  Madura,  orang  lebih  mengenal  nama
pesantren daripada  sekolah  umum.  Data
Educational  Management  Information  Sys-tem  (EMIS)  sekitar  tahun  2000-an  yang
terdapat  pada  Seksi  Pendidikan  Keaga-maan  dan Pesantren  di  setiap Kantor
Kementerian Agama Kabupaten menurut
Halim  Soebahar  diperoleh  data:  jumlah
pesantren  di  Bangkalan  258;  Sampang
181;  Pamekasan  462;  dan  di  Kabupaten
Sumenep 224. Ada lebih seribu pesantren
di  Madura,  sehingga  ada  yang  menyebut
Madura  sebagai  ―pulau  seribu  pondok
pesantren‖.  Sedang  jumlah  madrasah
dîniyyah di  Bangkalan 806;  Sampang 408;
Pamekasan 314; dan Sumenep 404.
Belakangan,  data  Jawa Timur  da-lam  angka  2000  menurut  penelusuran
Abdul  Halim  Soebahar  memberi  gam-baran menarik bahwa ada perkembangan
positif  tentang  lembaga  pendidikan  for-mal di Madura (Bangkalan, Sampang, Pa-mekasan, dan  terutama  Sumenep)  mulai
dari  TK/RA,  SD/MI,  SMP/MTs,
SMA/MA,  PTU,  dan  PTAI,  baik  yang
terdapat  di  luar pesantren dan  terutama
yang  terdapat  di  lingkungan pesantren,
36

                                                
36
 Soebahar, Pondok  Pesantren  di  Madura, hlm. 42-45.
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 253

khususnya  di Kabupaten  Sumenep.  Su-menep  memiliki  sekitar  311  pesantren
dengan skala  yang  bervariasi,  baik  yang
salaf  maupun khalaf.  Pesantren  Annu-qayah  yang  berada  di  Guluk-Guluk,
bagian barat Kabupaten  Sumenep  meru-pakan  pesantren  terbesar  di Kabupaten
Sumenep.
Pesantren  Annuqayah  didirikan  o-leh  KH.  Moh.  Syarqawi  pada  1887.  M.
Syarqawi  adalah  keturunan  keluarga  kiai
terkenal  di  Kudus.  Dia  anak  dari  Kiai
Siddiq  Romo dan  cucu  dari Kiai Kanjeng
Sinuwun. Suatu ketika, Syarqawi pergi ke
Mekah  untuk  menunaikan  ibadah  haji
dan  di  kapal  bertemu  dengan  tokoh  kha-rismatik  asal  Madura  bernama  Gemma
sekitar  tahun  1865  M (1307  H).  Ketika
Gemma  sakit  keras  selama  berada  di  Hi-jaz,  dia  meminta  Syarqawi  yang  sudah
menjadi  kawan  karibnya  itu  untuk  me-ngawini  salah  satu  istrinya  yang  muda
bernama  Khatijah  yang  tinggal  di  Pren-duan.  Dalam  waktu  singkat,  Syarqawi
menjadi  terkenal.  Kemudian,  dia  pindah
ke Guluk-Guluk dan  di sanalah dia men-dirikan  pesantren,  yang  kelak  bernama
Annuqayah.
37
 Dari pesantren Annuqayah
inilah,  pesantren-pesantren  kecil  di  pel-bagai  daerah  di  Sumenep  khususnya
lahir,  termasuk Pesantren  Tanwirul  Hija
di desa Cangkreng, Kecamatan Lenteng.
Pesantren Tanwirul  Hija
38
 termasuk
dalam  catatan  pesantren  tertua  di  kabu-paten  Sumenep.  Pesantren  ini  berada  di
desa  Cangkreng,  kecamatan  Lenteng,
                                                
37
Huub  de  Jonge, Madura  dalam  Empat  Zaman:  Pe-dagang,  Perkembangan  Ekonomi,  dam  Islam:  Suatu
Studi Antropologi, hlm. 242-245.
38
 Deskripsi  historis  pesantren Tanwirul  Hija ini
berasal dari Syamsul Supid. Sumber Informasi: K.
Ahmad Dumairi Asy’ari, S.Ag, K.H. Abd. Syakur,
dan K.  Drs.  Moh.  Muhdar  Imam.  Penelusuran
informasi  dan  penulisan  ini  dimulai pada  2010–
2012. 
berjarak  sekitar  15  km  dari  ibu  kota
kabupaten  Sumenep.  Desa  Cangkreng
terletak di sebelah timur Kecamatan Len-teng,  diapit  beberapa  desa:  sebelah  barat
ada Desa  Poreh,  sebelah utara  ada Desa
Medelan,  sebelah timur  ada Desa  Sendir,
dan sebelah selatan Desa Muangan.
Pesantren  Tanwirul  Hija  didirikan
pada  1950  M  oleh  KH.  Mohammad
Khotib ibn Abdurrahiem bersama istrinya
Nyai  Hj.  Raudlah  binti  H.  Ishak.  Wa-laupun tidak memiliki santri yang banyak
sebagaimana pesantren  pada  umumnya,
Pesantren Tanwirul Hija berhasil melahir-kan  ulama berpengaruh  di sekitarnya.  Di
antara santrinya adalah KH. Moh. Ikhsan
dari  Lembung,  KH.  Abdurrahman  dari
Poreh,  KH.  Suwaid  dari Pinggir  Papas,
KH.  Abdul  Gani  dari  Poreh,  dan  K.
Abdul  Bari  dari  Poreh.  Mereka  merupa-kan  santri-santri  pertama  yang  menjadi
cikal  bakal  keberadaan Pesantren Tanwi-rul Hija.
KH. Mohammad Khotib ibn Abdur-rahiem  yang  dikenal  dengan  panggilan
―Kiai Anom‖ di masyarakat  sekitar,  lahir
di  desa  Poreh  pada  tahun  1914  M,  dari
seorang  ibu  yang  belum  diketahui  na-manya,  sedang  bapaknya  bernama  Ab-durrahiem.
Riwayat pendidikannya tidak begitu
banyak  diketahui.  Konon,  di  usia  kurang
lebih  15  tahun,  beliau  mulai  menimba il-mu  di pesantren  Asta  Tinggi  Kebuna-gung  Sumenep  yang  dipimpin  KH.  Abd.
Sujak.  Kemudian  pindah  ke pesantren
Annuqayah  tepatnya  di  daerah  Latee di
Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.  Pada
1944  M., dia menikah  dengan  Nyai.  Hj.
Raudlah binti  H.  Ishak.  Beberapa  tahun
kemudian,  tepatnya  pada  1950  M., dia
mendirikan Pesantren Tanwirul Hija.
Beliau  sendiri  yang  memberi  nama
―Tanwirul Hija‖. Nama ini diambil dari
bahasa Arab yang mempunyai arti ―Pen-
Aksin Wijaya

254 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

cerahan  Akal‖.  Pengambilan  nama  ini
tentu  saja  tidak  sembarangan.  Ia  mem-punyai  konteks  historis  tersendiri,  sesuai
dengan  situasi  dan  kondisi  masyarakat
Cangkreng  pada  waktu  itu  yang  masih
kental  dengan  tradisi  agama  Hindu,  dan
rasa  trauma  akibat  kejamnya  penjajahan.
Untuk  itu,  beliau  berinisiatif untuk  mela-kukan  pencerahan  akal,  baik  dalam  ben-tuk memahami agama Islam secara benar
dan  meninggalkan  tradisi  agama  Hindu
yang sangat bertentangan dengan hukum
Islam,  serta  menyadarkan  masyarakat
akan pentingnya pendidikan dalam kehi-dupan.
Pada  1955  M.,  jumlah  santri  di
pesantren ini bertambah hingga mencapai
30 orang.  Sebagian besar berasal dari pu-lau  Madura  sendiri,  sebagian  kecil  dari
pulau  Jawa.  Sebagaimana  sistem  pesan-tren  pada  umumnya,  sistem  pendidikan
Pesantren Tanwirul  Hija  mulai  menerap-kan sistem klasikal yang ditangani sendiri
olehnya. Pesatnya kemajuan yang dicapai
oleh Pesantren Tanwirul Hija pada waktu
itu  membuat  pengelola  mulai  melakukan
pembenahan.  Pada  1962  M,  didirikan
pendidikan  formal  pertama  di Pesantren
Tanwirul Hija, yaitu Madrasah Ibtidaiyah
(MI).  Kepala  madrasah pertama  adalah
KH.  Zaidi  Hasan  yang  berasal  dari Desa
Poreh, salah satu santri Pesantren Tanwi-rul  Hija.  Keberadaan  Madrasah  Ibtidai-yah itu masih eksis sampai sekarang.
Pada  hari Jumat,  tepatnya  tanggal
24  Oktober  1977  M.,  KH.  Mohammad
Khotib ibn Abdurrahiem wafat. Beberapa
waktu  sebelum  wafat, dia masih  sempat
mengumpulkan  dewan  guru  dan  tokoh
masyarakat  sekitar  untuk  memilih  dan
menunjuk  pengganti  beliau.  Dalam  mu-syawarah  tersebut  beliau  menunjuk
menantu keponakan dari istri, suami dari
Nyai Hj.  Rumanah  binti  Ishak,  yaitu  KH.
Asy’ari ibn  Mustafa  dengan  wakilnya
KH.  Imam  Mawardi ibn H.  Muhtar  yang
juga  suami  dari  keponakan  dari  istrinya,
Nyai  Hj.  Rahmah  binti  Ishak.  Keduanya
ditunjuk  sebagai  penerus  untuk  memim-pin  lembaga  pendidikan  di Pondok Pe-santren Tanwirul Hija.
Keduanya berjuang untuk terus me-ngembangkan Pesantren  Tanwirul  Hija,
apalagi  keberadaan  MI waktu  itu  sangat
maju  pesat  dengan  jumlah  santri/siswa
yang  menimba  pendidikan  lumayan  ba-nyak, meski tidak bermukim seperti sebe-lumnya.  Pada  1980  M.,  didirikanlah  lem-baga Raudlatul Athfal (RA) untuk pendi-dikan formal anak-anak di bawah umur.
Dengan tujuan untuk mengukuhkan
keberadaan  Pesantren  Tanwirul  Hija,
pada 1989 dibentuklah Yayasan Tanwirul
Hija.  Pada  1990,  atas  usulan  masyarakat
sekitar,  didirikanlah  jenjang  pendidikan
yang  lebih  tinggi.  Apalagi  jenjang  pen-didikan  lanjutan  hanya  berada  di  Keca-matan, yang jarak tempuhnya sangat jauh
dari  Desa  Cangkreng,  sekitar  4  km.
Sehingga banyak anak-anak dari keluarga
miskin  tidak  mau melanjutkan  ke  pendi-dikan  yang  lebih  tinggi,  mengingat  biaya
transportasi dan SPP  yang mahal. Alasan
jauhnya  jarak dan  keterbatasan  ekonomi
masyarakat  pada  waktu  itu  yang  mayo-ritas  berada  di bawah  garis  kemiskinan
menggugah  rasa  keperihatinan  para  pe-ngelola  pendidikan Pesantren  Tanwirul
Hija  untuk  mendirikan  Madrasah  Tsana-wiyah (MTs) Tanwirul Hija dengan kepa-la  sekolah  pertama  kali  K. Moh.  Muhdar
putra  KH.  Imam  Mawardi.  Jumlah
santri/siswa kala itu hanya 20 orang.
Perkembangan  demi  perkembangan
terus  dicapai  oleh  pesantren  Tanwirul
Hija.  Pada  tahun  1997  M.,  juga  didirikan
TKA/TPA  yang  diprakarsai  oleh  putra
pertama KH. Asy’ari, yakni K. Ahmad
Dumairi Asy’ari. Bertepatan dengan pe-laksanaan  Haflatul  Imtihan  dan  Wisuda
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 255

Purna Siswa 2002 M. KH. Asy’ari dipang-gil  kembali  ke  haribaan  Allah.  Estafet
kepemimpinan  lembaga Pondok  Pesan-tren Tanwirul  Hija  kemudian  diserahkan
kepada putranya, Ahmad Dumairi.
Ahmad Dumairi Asy’ari adalah put-ra pertama KH. Asy’ari dengan Nyai  Hj.
Rumanah.  Dumairi  dilahirkan  di  Cang-kreng pada tangaal 24 Januari 1970. Seba-gaimana  layaknya  anak-anak  desan
Cangkreng,  Dumairi  kecil  belajar  di  pen-didikan formal dasar pada Madrasah Ibti-daiyah  Tanwirul  Hija.  Lulus  dari  tem-paan pendidikan di pesantren ini, Dumai-ri  yang  mulai  menginjak  dewasa  melan-jutkan studinya ke Pesantren Annuqayah
Guluk-Guluk.  Tidak  hanya  puas  di  satu
pesantren,  selepas  dari  pondok  terbesar
di Sumenep ini, Dumairi melanjutkan lagi
ke  pesantren  di  Kediri.  Sedang  untuk
mengasah  kemampuan  intelektualnya,
Dumairi  yang  sudah  mulai  menguasai
pemikiran Islam  klasik  model  pesantren
ini  melan-utkan  studinya  ke  perguruan
tinggi  bergengsi  di IAIN  Sunan  Kalijaga
Yogyakarta.
Dengan  dibantu  beberapa  saudara-nya  seperti  KH.  Moh.  Ridwan ibn Imam
Mawardi dan dewan guru yang berada di
Pesantren  Tanwirul  Hija,  Dumairi  ber-hasil  membawa  angin  kemajuan  bagi
Pesantren  Tanwirul  Hija.  Pada  tahun
2006,  berdirilah  Sekolah  Menengah  Atas
(SMA).  Yang  menjadi  kepala  sekolah
SMA adalah KH. Imam Hendriyadi putra
KH.  Syarqawi  Zaen,  seorang  kiai  kelana
dari Cangkreng.
Setelah  vakum  selama  33  tahun,
atau  setengah  abad  berlalu  dalam  hi-tungan  dari  berdirinya  Pesantren  Tan-wirul  Hija,  beberapa  tahun  ini  kebe-radaan  santri  mukim  mulai  hidup  kem-bali.  Kepemimpinan  K.  Ahmad  Dumairi
Asy’ari dengan dibantu istri, Nyai Fitri-yatus  Sholehah  (Pamekasan),  mampu
menghidupkan  kembali  keberadaan  san-tri  mukim Pesantren Tanwirul  Hija.  Ge-liat  kesadaran  dan  kepercayaan    masya-rakat untuk memasrahkan putra-putrinya
mondok datang  dengan  sendirinya  tanpa
disuruh  atau  diminta.  Pada  tahun  2010,
secara  resmi Pesantren  Tanwirul  Hija  di-hidupkan  kembali.  Kondisi  sarana  prasa-rana  yang  masih  terbatas,  dengan  me-nempati  kamar  kediaman  pengasuh,  ti-dak  mematahkan  semangat  dan  keperca-yaan  para  orang  tua  santri  untuk  tetap
menitipkan anak-anaknya guna nyantri di
Pesantren Tanwirul Hija.
Tak  lepas  dari  visi  misi  pendirinya
terdahulu, KH.  Mohammad  Khotib  atau
yang dikenal dengan sebutan Kiai Anom,
selain  pendidikan  formal  yang  sudah
tersedia,  Kiai  Ahmad  Dumairi  Asy’ari
juga menerapkan sistem pendidikan khu-sus  bagi  para  santri  mukim  atau  santri
nonmukim  (colokan)  untuk  mengikuti
program  pondok. Untuk  itu, Madrasah
Diniyah  Awwaliyah  dan  Madrasah
Diniyah  Wustha didirikan, yang  mem-rioritaskan  pembelajaran  kitab-kitab,
selain  pengajian-pengajian  kitab  khusus
yang  biasa  diselenggarakan  pada  malam
hari  di  lingkungan  pondok  bagi  santri
mukim.
Pada 2012, pengembangan demi pe-ngembangan  terus  dilakukan,  berkaca
pada  kebutuhan  masyarakat  sekitar  akan
kebutuhan  pendidikan  pada  anak  usia
dini.  Dengan  sigap  dan  tanggap  pula,  K.
Ahmad  Dumairi  Asy’ari,  S.Ag  segera
mendirikan  dan  menata  pendidikan  mu-lai  dari  Pendidikan  Anak  Usia  Dini
(PAUD)  sampai  SMA.  Sampai  saat  ini,
jumlah  santri/siswa  yang  belajar  di  Pe-santren Tanwirul  Hija sekitar 600  orang,
terhitung  dari  seluruh  jumlah  jenjang
pendidikan  yang  dikelola  dari  tingkat
PAUD,  RA,  TKA/TPA,  MI,  MD,  MTs,
dan  SMA.  Semua  ini  tak  lepas  dari  ke-
Aksin Wijaya

256 | KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015

percayaan  yang  diberikan  masyarakat
sekitar  pada  Pesantren  Tanwirul  Hija
untuk  menyerahkan  anak-anaknnya  me-nempuh  pendidikan  di  Pesantren  Tan-wirul Hija.

Penutup
Uraian  di  atas  menunjukkan  bahwa
cikal bakal pesantren di Jawa telah berdiri
di  akhir  abad  ke-14  M  yang  dipelopori
Syekh  Maulana  Malik  Ibrahim,  penyebar
Islam tahap awal di Jawa. Pesantren yang
berakar  dari  tradisi  Nusantara  dan  dipa-dukan  dengan  tradisi Islam, tumbuh se-bagai lembaga  pendidikan  Islam  tradisi-onal—dengan  elemen  pokok  kiai,  santri,
pondok,  masjid/mushalla,  dan  pengajian
kitab  kuning dengan  metode sorogan dan
bandongan.  Dalam  perjalanannya, pesan-tren  berkembang  secara  ekspansif; dari
wilayah  pedesaan  berkembang  ke  wi-layah  perkotaan,  dari  manajemen  tra-disional mulai  menggunakan  manajemen
modern,  dari  kurikulum  murni  diniyah
dilengkapi  dengan materi  umum  dan
keterampilan.
Dengan  pengembangan  tersebut,
pesantren  hingga  kini  tetap  eksis  dan  te-rus berkembang di bumi Nusantara. Ken-dati  demikian,    tantangan  global menun-tut  pesantren  terus  berbenah  dalam  se-gala  aspek  agar  lembaga  ini terus  ber-tahan  dan mampu  mempersiapkan para
santrinya  menjadi  manusia  dewasa  dan
berakhlak mulia dan ilmuan muslim yang
mumpuni  dalam  bidang  ilmu-ilmu  mo-dern tanpa kehilangan jati dirinya sebagai
santri. 
Sejalan  dengan  itu,  agar  pesantren
Tanwirul Hija bisa eksis di tengah-tengah
arus perkembangan zaman yang kian tak
terkendali  ini,  pengasuh  dan  para  santri
harus  mempertahankan  esensi pesantren,
termasuk  mempertahankan  peninggalan
pendirinya,  baik  materi  pelajarannya,  ca-ranya  men-didik  santri,  dan  caranya
berhubungan dengan  masyarakat sekitar.
Di  sisi  lain,  mereka  juga  dituntut  mem-pelajari  metode  pendidikan  baru  yang
bersifat  inklusif  dan  sadar  gender.  De-ngan  berdiri  di  dua  kaki  seperti  ini,
Pesantren  Tanwirul  Hija  tidak  hanya
eksis  tetapi  juga  bakal  mampu  men-ciptakan  kader-kader  baru  yang  siap
berkompetisi  dengan  kompetitor  yang
berasal  dari lembaga  lain  manapun,  baik
dalam  bidang  keilmuan  agama  maupun
keilmuan umum.[] 

Daftar Pustaka
Abdurrachman.Sedjarah  Madura:  Selayang
Pandang:  Sumenep,  Pamekasan,  Sam-pang, Bangkalan. 1971.
Ali,  Mukti. Peranan  Pondok  Pesantren  da-lam Pembangunan. Jakarta: Bayu Bar-kah, 1974.
Darmaningtiyas.  Pendidikan  Rusak-rusak-an. Yogyakarta: LKiS, 2007.  
De Graaf dan Pigeaud. Kerajaan Islam Per-tama  di  Jawa:  Tinjauan  Sejarah  Politik
Abad  XV  dan  XVI.  Jakarta:  Grafiti,
2001.
Dhofier,  Zamakhsyari.Tradisi  Pesantren:
Memadu  Modernitas  untuk  Kemajuan
Bangsa.  Yogyakarta:  Pesantren  Na-wesea Press, 2009.
Faisal  Ismail, Masa  Depan  Pendidikan  Is-lam:  Di  Tengah  Kompleksitas  Tantang-an  Modernitas. Jakarta: Bakti  Aksara
Persada, 2003.
Fatah, Zainal. Sedjarah Tjaranya Pemerinta-han  di  Daerah-daerah  Kepulauan  Ma-dura dengan Hubungannya. 1951
Jonge,  Huub  de.  Madura  dalam  Empat
Zaman:  Pedagang,  Perkembangan  Eko-nomi,  dam  Islam:  Suatu  Studi  Antro-pologi. Jakarta: Gramedia, 1989.
Rifai, Mien Ahmad.Manusia Madura, Pem-bawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampi-lan,  dan  Pandangan  Hidupnya Seperti
Pesantren Tanwirul Hija Sumenep dalam Menghadapi Tantangan Global


KARSA, Vol. 23 No. 2, Desember 2015| 257

Dicitrakan  Pribahasanya. Yogyakarta:
Pilar Media, 2007.
Soebahar,  Abdul  Halim.Pondok  Pesantren
di  Madura:  Studi  Tentang  Proses
Transformasi  Kepemimpinan  Akhir
Abad  XX  (Disertasi,  tidak  diterbit-kan), 2008.
Steenbrink,  Karel  A.  Pesantren,  Sekolah,
Madrasah. Jakarta: LP3ES, 1986.
Suharto,  Babun.  Dari  Pesantren  untuk
Umat:  Reinventing  Eksistensi  Pesan-tren  di  Era  Globalisasi.  Surabaya:
Imtiyas, 2011.
Wahjoetoemo.Perguruan  Tinggi  Pesantren.
Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Wahid,  Abdurrahman. Menggerakkan  Tra-disi:  Esai-esai  Pesantren,  cet.  ke-2.
Yogyakarta: LKiS, 2007.
-----, ―Pengantar‖, dalam Hiroko  Horiko-shi, Kyai  dan  Perubahan  Sosial. Jakar-ta: P3M, 1987.
Werdisastra, Raden, Babad Sumenep.
Wijaya,  Aksin. Menusantarakan  Islam:  Me-nelusuri  Jejak  Pergumulan  Islam  yang
tak  Kunjung  Usai  di  Nusantara. Yog-yakarta: Nadi Pustaka, 2011.
Yakin,  M.  Ainul. Pendidikan  Multikultural:
Cross-Cultural  Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan, cet. 2. Yogya-karta: Pilar Media, 2007.




