BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Penyelesaian
perkara di Pengadilan Agama (PA) melalui perdamaian merupakan suatu harapan
semua pihak.Berdasarkan Hukum Acara yang berlaku, perdamaian selalu diupayakan
di tiap kali persidangan.Bahkan, pada sidang pertama, suami isteri harus hadir secara
pribadi, tidak boleh diwakilkan. Hakim sebelum memeriksa perkara lebih lanjut
wajib berusaha mendamaikannya, dengan memberi nasihat-nasihat.
Namun karena
keadaan hubungan suami isteri yang berperkara di pengadilan sudah sangat parah
hati mereka sudah pecah, maka upaya perdamaian selama ini tidak banyak membawa
hasil. Dari perkara yang masuk ke PA secara nasional selama tahun 2007,
sejumlah 217.084, hanya 11.327 perkara yang dicabut. Ini berarti hanya 5,2%
yang berhasil damai atau didamaikan.
Untuk menangani
perkara perdata yang masuk ke pengadilan, telah dikeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) No.2 Tahun 2003, yang telah direvisi dan diganti oleh PERMA No 01
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. PERMA ini dimaksudkan untuk
memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak dalam rangka menemukan
penyelesaian perkara secara damai yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
Peran BP4
sebagai badan penasihatan, pembinaan dan pelestarian perkawinan, sesuai visi
dan misinya, diharapkan dapat berperan lebih besar lagi dalam melakukan upaya
perdamaian terhadap perkara-perkara yang masuk PA, bedasarkan PERMA No 01/2008
yang baru saja ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan perdamaian?
2.
Apa
saja syarat dalam perdamaian?
3.
Apa
mamfaat perdamaian dalam gugatan perdata?
4.
Bagaimana
perdamaian dalam perkara perceraian?
1.3
Tujuan
Penulisan
Dari rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan
pembahasan. Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:
1. mengetahui yang dimaksud dengan perceraian.
2. mengetahui syarat dalam perkawinan.
3. mengetahui mamfaat dalam gugatan perdata.
4. mengetahui perdamaian dalam perkara perceraian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Perdamaian
Dalam Islam perdamaian dikenal dengan al-islah yang berarti
memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan, berusaha
menciptakan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai
antara satu dan lainya melakukan perbuatan baik berperilaku sebagai orang suci.[1]
Al-Qur'an menjelaskan Islah merupakan kewajiban umat Islam baik
secara personal maupun sosial penekanan islah ini lebih terfokus pada hubungan
antara sesama umat manusia dalam rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT.
Damai mempunyai arti tidak bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan,
berbaik kembali, tentram, aman, sedang mendamaikan, memperdamaikan yaitu
menyelesaikan permusuhan (pertengkaran) supaya kedua belah pihak berbaikan
kembali, merundingkan supaya mendapat persetujuan, dan mendamaikan sendiri
mempunyai arti sendiri penghentian permusuhan.
Ruang lingkup perdamaian sangat luas baik pribadi ataupun sosial.
Di antara islah yang diperintahkan allah SWT adalah dalam hal masalah rumah
tangga. Untuk mengatasi kemelut dan sengketa dalam rumah tangga (syiqoq dan
nusyus) dalam Surat An-nisa' ayat 35
Surat tersebut, menegaskan bahwa setiap terjadi persengketaan
diperintahkan untuk mengutus pihak ketiga (hakam) dari pihak suami atau istri
untuk mendamaikan mereka. Dalam hal ini, ulama' fiqih sepakat untuk menyatakan
bahwa kalau hakam (juru damai dari pihak suami atau istri) berbeda pendapat
maka putusan mereka tidak dapat dijalankan dan kalau hakam sama-sama memutuskan
untuk mendamaikan suami dan istri kembali, maka putusanya harus dijalankan
tanpa minta kuasa mereka.[2]
Ayat ini juga menjelaskan tentang pengangkatan hakim, jika kamu
tahu ada pertengkaran antara suami istri, sedangkan kamu tidak mengetahui siapa
yang bersalah dan mereka terus mempersengketakan ayat ini menunjukkan kebolehan
mengangkat hakim.[4]
Di kalangan umat Islam dulu juga dikenal dengan adanya tahkim.
Didalam Ensiklopedi Hukum Islam tahkim adalah berlindungnya dua pihak yang
bersengketa kepada orang yang mereka sepakati dan setujui serta rela menerima
keputusanya untuk menyelesaikan persengketaan mereka berlindungnya dua pihak
yang bersengketa kepada orang yang mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk
memutuskan atau menyelesaikan erselisihan yang terjadi di antara mereka yang
sedang bersengketa.
Pasal 1851 KUH perdata dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
perdamaian adalah “suatu persetujuan dimana kedua belah pihak dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara
yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.”[3]
Suatu perdamaian harus ada timbal balik dalam pengorbanan pada diri
pihak-pihak yang berperkara maka tiada perdamaian apabila salah satu pihak
dalam suatu perkara mengalah seluruhnya dengan cara mengakui tuntutan pihak
lawan seluruhnya, demikian pula tidak ada suatu perdamaian apabila dua pihak
setuju untuk menyerahkan penyelesaian perkara kepada arbitrase (pemisah) setuju
tunduk pada suatu nasehat yang akan diberikan oleh orang ketiga (binded
advies).
Undang-undang No.3 tahun 2006 sudah dijelaskan dengan adanya asas
wajib mendamaikan. Ini sebagai pedoman untuk para hakim di Pengadilan Agama
untuk mengusahakan jalan damai dalam setiap perkara yang masuk di pengadilan.
Dari pengertian perdamaian di atas, dapat kita pahami bahwa yang
dimaksud dengan upaya damai yaitu usaha yang dilakukan oleh seseorang atau
suatu badan hukum untuk mengadakan pemecahan persoalan dengan cara menghindari
persoalan yang lebih fatal. Di mana dalam hal ini tidak boleh memaksakan
kehendak dari pihak-pihak yang bertikai sifat mendamaikan hanya memberi nasehat
dan anjuran untuk membatalkan gugatan tersebut dan menyelesaikanya dengan jalan
damai.
Pelaksanaan upaya perdamaian ini tidaklah mudah, sebab orang yang
sedang bersengketa hatinya masih tertutup dan diselimuti rasa tidak suka dan
kebencian yang sangat dalam. misalkan saja dalam kasus perceraian, yang mana
mereka sedang dilanda krisis rumah tangga yang sedang bermasalah. Dalam hal ini
Allah telah memerintahkan agar setiap keluarga yang menghadapi krisis rumah
tangganya untuk melihat jauh ke depan dan memikirkan segala akibatnya putusnya
perkawinan.
Anjuran damai dari hakim sudah dilakukan sejak sidang pertama
sebelum pembacaan surat gugatan, hal ini seperti kurang rasional, sebab
bagaimana hakim tahu dan bisa menganjurkan damai, jika hakim sendiri belum tahu
duduk perkaranya. Begitu pula, sebelum penggugat membacakan gugatan apakah
tidak mungkin penggugat mengubah gugatannya.
Anjuran damai sebenarnya dapat dilakukan kapan saja sebelum perkara
belum diputus, tetapi anjuran damai pada permulaan siding pertama adalah mutlak
dan wajib dilakukan dan dicantumkan dalam berita acara persidangan karena ada
keharusan yang menyatakan demikian, walaupun mungkin secara logika, kecil
sekali kemungkinanya. Dalam usaha mewujudkan perdamaian melibatkan beberapa
pihak antara lain:
1. Pihak yang berselisih.
2. Pendamai atau hakam yan diangkat dari pihak hakim atau hakamain.
Dari kedua
keluarga ahli fiqih dalam hal ini menetapkan bahwa hakim itu hendaknya orang
yang mempunyai sifat hakim, yaitu dapat dijadikan saksi dan benar-benar mempunyai
keahlian untuk bertindak sebagai hakam. Dalam hukum Islam usaha mendamaikan
sengketa merupakan usaha yang harus terus dilakukan agar jalinan keluarga
bertahan untuk selama-lamanya.
2.2
Syarat-syarat
Perdamaian
Sebagaimana telah dikemukakan di atas perdamaian adalah persetujuan
dari kedua belah pihak yang berperkara untuk mengakhiri suatu sengketa,
persetujuan perdamaian haruslah dibuat secara tertulis. Sehubungan dengan hal
ini, maka perdamaian yang dilaksanakan di muka persidangan haruslah timbal balik
dalam pengorbanan dari pihak-pihak yang berperkara. Bukan perdamaian apabila
salah satu pihak mengalah begitu saja dan mengakui semua tuntutan pihak lawan
seluruhnya. Demikian juga tidak ada perdamaian apabila dua pihak menyerahkan
penyelesaian perkara kepada arbitrase.[4]
Syarat formal dari suatu putusan perdamaian sebagaimana tersebut
dalam Pasal 1851 KUH perdata, pasa 130 HIR,dan Pasal 154 R.Bg dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Adanya persetujuan kedua belah pihak
Dalam usaha
melaksanakan perdamaian yang dilakukan oleh majelis hakim dalam persidangan,
kedua belah pihak harus bersepekat dan menyetujui dengan suka rela untuk
mengakhiri perselisihan yang sedang berlangsung. Persetujuan itu harus
betul-betul murni dating dari kedua belah pihak. Persetujuan yang memenuhi
syarat formil adalah sebagai berikut:
a. Adanya kata sepakat secara
sukarela (toestemming).
b. Kedua belah pihak cakap membuat
persetujuan (bekwanneid).
c. Obyek persetujuan mengenai
pokok yang tertentu (bapaalde onderwerp).
d. Berdasarkan alasan yang
diperbolehkan (georrlosofde oorzaak).
2. Mengakhiri sengketa
Apabila
perdamaian telah dapat dilaksanakan maka dibuat putusan perdamaian yang lazim
disebut dengan akta perdamaian. Putusan perdamaian yang dibuat dalam majelis
hakim harus betul-betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi diantara
pihak-pihak yang berperkara secara tuntas. Putusan perdamaian hendaknya
meliputi keseluruhan sengketa yang diperkarakan, hal ini dimaksudkan untuk mencegah
timbulnya perkara lagi dengan masalah yang sama.
3. Perdamaian atas sengketa yang telah ada
Syarat untuk
dijadikan dasar putusan perdamaian itu hendaknya persengketaan para pihak sudah
terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru
akan diajukan ke pengadilan sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak
mencegah terjadinya perkara di siding pengadilan.
4. Bentuk perdamian harus tertulis
Persetujuan
perdamaian itu sah apabila dibuat secara tertulis, syarat ini bersifat
imperative (memaksa), jadi tidak ada persetujuan perdamaian apabila
dilaksanakan dengan cara lisan dihadapan pejabat yang berwenang. Jadi akta
perdamaian harus dibuat secara tertulis sesuai dengan format yang telah
ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku.
Setelah upaya
damai telah ditempuh dan mencapai kesepakatan maka pihak Pengadilan Agama akan
segera membuatkan (actavan vergelijk) akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan putusan hakim dan dapat dieksekusi. Apabila ada pihak yang tidak
mau mentaati isi perdamaian, maka pihak yang dirugikan dapat memohon eksekusi
kepada Pengadilan Agama. Eksekusi dilaksanakan seperti menjalankan putusan
hakim biasa.
Akta perdamaian
hanya bisa dibuat dalam sengketa mengenahi kebendaan saja yang memungkinkan
untuk dieksekusi. Dan juga akta perdamaian tersebut tidak dapat dimintakan
banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. Demikian pula akat perdamaian tidak
dapat diajukan gugatan baru lagi.
2.3
Manfaat
Perdamaian dalam Gugatan Perdata
Suatu perdamaian banyak sekali manfaat yang didapat dari hasil perdamaian tersebut. Dalam kasus-kasus
perdata di pengadilan contohnya jika sengketa yang terjadi dalam masyarakat
efeknya pasti terjadi ketegangan terhadap hubungan antara puhak-pihak yang
bersengketa. Hal ini berarti hubungan antara yang bersengketa ini telah
bergeser dari posisi semula berlandaskan kekeluargaan, persaudaraan, dan
persahabatan menjadi hubungan yang berdasarkan rasa permusuhan dan kebencian.
Kalau sengketa tersebut tidak segera di selesaikan maka akan terjadi kehancuran
hubungan antara yang bersengketa. Penyelesaian melalui pengadilan sebenarnya
bukan cara yang paling tepat, memang pengadilan dapat menyelesaiakan perkara
dengan adanya putusan dari pengadilan, namun berakhirnya sengketa di pengadilan
hanyalah secara lahiriyah.[5]
Hal ini merupakan konsekuensi dari putusan pengadilan yang hanya
berdasarkan fakta obyektif, tidak menyangkut fakta subyektif, sehingga putusan
pengadilan selalu menyatakan ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang. Pihak
yang kalah akan merasakan kekecewaan dan tidak begitu saja mengakui
kekalahanya. Ketidakmauan pihak yang kalah menerima begitu saja dapat dilihat
pada sikapnya yang apriori menerima putusan hakim, dan juga didasari rasa emosi
demi menjaga nama baik dan harga dirinya. Sehingga ada upaya hukum yang banding
dan kasasi. Dengan adanya upaya hukum tersebut, maka akan memakan waktu yang
cukup lama dan juga biaya yang tidak sedikit. Semua ini bertolak belakang
dengan upaya perdamaian.
Upaya perdamaian diliput dengan suasana kekeluargaan diantara para
pihak yang bersengketa. Dalam suatu perdamaian tidak ditonjolkan faktor-faktor
siapa yang salah dan siapa yang benar, namun lebih menonjolkan rangkaian duduk
perkara yang sebenarnya, sehingga perumusan perdamaian tidak menghasilkan pihak
yang kalah maupun pihak yang menang dan yang lebih penting antara para pihak
ada niat " mau sama mau".
Manfaat sistem perdamaian menyelesaikan sengketa yang dilakukan
dengan perdamaian akan menghasilkan kepuasan lahiriyah dan batiniah serta
sengketa selesai sama sekali, penyelesaianya cepat dan ongkosnya ringan, selain
dari pada itu permusuhan antara kedua belah pihak yang berperkara menjadi
berkurang. Hal ini jauh lebih baik dari pada apabila perkara sampai diputus
dengan suatu putusan biasa, misalnya tergugat dikalahkan dan pelaksanaan
putusan harus dilaksanakan secara paksa.
Apabila perkara yang sudah diajukan di pengadilan, dan majlis hakim
dapat mendamaikan para pihak, maka hakim harus membuat putusan perdamaian.
Sehubungan dengan hal itu ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari wujud
perdamaian yang dibuat dalam bentuk putusan perdamaian yaitu:
1. Mempunyai kekuatan hukum tetap
Pasal 1851 KUHperdata dikemukakan bahwa semua putusan perdamaian
yang dibuat dalam sidang Majlis Hakim mempunyai kekuatan hukum tetap seperti
putusan pengadilan lainya dalam tingkat penghabisan.
2. Tertutup upaya banding dan kasasi
Sebagaimana
telah dikemukakan diatas bahwa putusan perdamaian itu adalah sama nilai nya dengan putusan pengadilan lainya
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti terhadap putusan
perdamaian ini tertutup upaya banding dan kasasi. Artinya sejak di tetapkanya
putusan tersebut maka sudah melekat bahwa putusan perdamaian itu adalah pasti
dan tidak ada penafsiran lagi langsung dapat dilaksanakan kapan saja.
3. Memiliki kekuatan eksekutorial
Putusan
perdamaian yang dibuat dalam persidangan Majelis Hakim mempunyai kekuatan hukum
mengikat, mempunyai hukum eksekusi, dan mempunyai nilai pembuktian.
2.4
Perdamaian
dalam Perkara Perceraian
Perdamaian
dalam perkara perceraian Jika para pihak hadir dalam persidangan, hakim wajib
mendamaikan. Usaha mendamaikan tidak terbatas pada hari pertama saja. Dapat
dilakukan setiap kali sidang (Psl 130HIR/154 R.Bg). Apabila upaya mendamaikan
berhasil, maka perkara dicabut dengan persetujuan kedua belah pihak. Sebelum
hakim menjatuhkan putusan menghukum para pihak mentaati isi perdamaian, hakim
harus membacakan isi perdamaian dihadapan para pihak. Hakim kemudian membuat
penetapan yang menyatakan “perkara telah dicabut karna perdamaian dan para
pihak masih dalam ikatan perkawinan yg sah berdasarkan akta nikah yg
dikeluarkan KUA Kecamatan setempat.” akta/penetapan perdamaian mempunyai
kekuatan. Terhadap penetapan ini tidak dpt dimintakan upaya hukum banding,
kasasi dan PK. Akta/penetapan perdamaian berkekuatan hukum tetap dan jika tidak
dilaksanakan eksekusi dapat dimintakan ke ketua PA setempat. [6]
Dengan
tercapainya perdamaian, maka tadak dapat diajukan perceraian lagi deng alasan
yang sama atau alasan lain yg telah diketahui pada saat perdamaian ini terjadi.
Perceraian hanya dpt diajukan lagi berdasarkan alasan baru yg terjadi setelah
perdamaian. Jika perdamaian tidak berhasil, hal tersebut dicatat dlm Berita
acara persidangan Persidangan. Selanjutnya pembacaan gugatan dalam bahasa anyg
dimengerti para pihak (Psl131 HIR/155 RBg). Khusus gugatan perceraian hakim
wajib mendamaikan para pihak yg sedapat mungkin dihadiri suami istri tersebut.
Khusus perkara perceraian diperiksa dalam sidang tertutup untuk umum.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dalam Islam perdamaian dikenal dengan al-islah yang berarti
memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa. Damai mempunyai arti tidak
bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, perdamaian dalam istilah adalah suatu
persetujuan dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau
menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah
timbulnya suatu perkara.
Syarat-syarat Perdamaian, adapun syarat sebagai berikut: 1. Adanya
persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengakhiri sengketa. 3. Perdamaian atas sengketa yang telah
ada. 4. Bentuk perdamian harus tertulis.
Manfaat Perdamaian dalam Gugatan Perdata, Suatu perdamaian banyak
sekali manfaat yang didapat dari hasil
perdamaian tersebut. 1. Perdamaian kembali dari yang bersengketa. 2. Putusan
pengadilan selalu menyatakan ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang. 3.
Manfaat sistem perdamaian menyelesaikan sengketa yang dilakukan dengan
perdamaian akan menghasilkan kepuasan lahiriyah dan batiniah serta sengketa
selesai sama sekali, penyelesaianya cepat dan ongkosnya ringan.
Perdamaian dalam perkara perceraian Jika para pihak hadir dalam
persidangan, hakim wajib mendamaikan. Usaha mendamaikan tidak terbatas pada
hari pertama saja. Dapat dilakukan setiap kali sidang (Psl 130HIR/154 R.Bg).
Apabila upaya mendamaikan berhasil, maka perkara dicabut dengan persetujuan
kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam,
Jakarta: PT. Intermansa, 1997
Aziz Dahlan, et.el., Ensiklopedi Hukum
Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996
R. Subekti, R. Citro Sudibyo, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya
Paramitra, 2005
http://jeritansangpenyair.blogspot.co.id/2010/04/upaya-penyelesaian-perkara-melalui.html
http://tiarasyaharani19.blogspot.co.id/2015/11/hukum-acara-peradilan-agama-tentang.html
http://elfatsani.blogspot.co.id/2009/04/upaya-perdamaian.html
[3] R. Subekti, R. Citro Sudibyo, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramitra, 2005, hlm. 468
[4] http://tiarasyaharani19.blogspot.co.id/2015/11/hukum-acara-peradilan-agama-tentang.html
[5] http://jeritansangpenyair.blogspot.co.id/2010/04/upaya-penyelesaian-perkara-melalui.html
[6] http://elfatsani.blogspot.co.id/2009/04/upaya-perdamaian.html