Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Kata “filsafat” berasal dari bahasa
Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “shopia”. Philos artinya cinta yang
sangat mendalam, dan shopia artinya kearifan atau kebijakan. Jadi, arti
filsaafat secara harfiah adalah cinta yang sangat mendalam terhadap kearifan
atau kebijakan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara popular dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam penggunaan
secara popular, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu), dan dapat juga disebut pandangan hidup (masyarakat).[1][1]
Pengertian filsafat menurut para
filosof antara lain, menurut Plato ialah “pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran asli.” Menurut Aristoteles mengartikan filsafat sebagai “ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika,
logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika.” Sedangkan menurut Al-Farabi
memaknai filsafat sebagai “pengetahuan tentang hakikat sebagai yang
sebenarnya”. Immanuel Kant mengartikan filsafat sebagai “pengetahuan yang
menjadi pangkal pokok segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya: apa yang
dapat diketahui (metafisika), apa yang seharusnya diketahui (etika), sampai di
mana harapan kita (agama), apa itu manusia (antropologi).”[2][2]
Orang-orang Yunani, lebih kurang 600
tahun SM, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah uasaha membantu manusia
menjadi manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama
“membantu” dan kedua “manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi
manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki
nilai (sifat) kemanusiaan. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi
manusia. Karena itulah sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi,
tujuan mendidik ialah me-manusia-kan manusia. Agar tujuan itu dapat dicapai dan
agar program dapat disusun maka cirri-ciri manusia yang telah menjadi manusia
itu haruslah jelas.[3][3]
Makna pendidikan dapat dilihat dalam
pengertian secara khusus dan pengertian secara luas. Dalam arti khusus,
Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh
orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaanya. Dalam
arti luas, pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan
hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat. Dalam GBHN 1973 dikemukakan
pengertian pendidikan bahwa, “pendidikan
pada hakekatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan didalam maupun diluar
sekolah, dan berlangsung seumur hidup”.[4][4]
Lebih lanjut, Soegarda Poerwakawatja
menguraikan bahwa pengertian pendidikan dalam arti yang luas sebagai semua
perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan,
pengalaman, kecakapan, dan keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha
menyiapkan generasi muda agar dapat memahami fungsi hidupnya, baik jasmani
maupun rohani. Upaya ini dimaksudkan agar dapat meningkatkan kedewasaan dan
kemampuan anak untuk memikul tanggung jawab moral dari segala perbuatannya.
Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang bertujuan. Dan tujuan dari
proses perkembangan itu secara alamiah ialah kedewasaan, kematangan, dari
kepribadian manusia. Dengan demikian, jelaslah bahwa pengertian pendidikan itu
erat kaitannya dengan masalah yang dihadapi dalam kehidupan manusia.[5][5]
Filsafat pendidikan menurut
Al-Syaibany adalah “pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam
bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu dari segi pelaksanaan
falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan
kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam
menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis”. Selanjutnya
Al-Syaibany berpandangan bahwa filsafat pendidikan, seperti halnya filsafat
umum, berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan
proses pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha untuk mendalami konsep-konsep
pendidikan dan memahami sebab-sebab yang hakikidari masalah pendidikan.
Filsafat pendidikan berusaha juga membahas tentang segala yang mungkin
mengarahkan proses pendidikan.[6][6]
Pendidikan islam adalah bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[7][7] Pedidikan Islam juga bisa diartikan
bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan
himah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya
semua ajaran Islam.
Menurut Marimba, sebagaimana dikutip Bawani, Pendidikan
Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam
menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Menurut definisi ini, ada tiga
faktor yang mendukung pendidikan Islam. Pertama,
harus ada usaha untuk mengembangkan potensi jasmani dan rohani yang dididik
secara seimbang. Kedua, usaha
tersebut didasarkan pada ajaran Islam, terutama didasarkan pada al-Qur’an dan
al-Hadits. Ketiga, usaha tersebut
bertujuan agar yang dididik pada akhirnya memiliki kepribadian utama menurut
ukuran Islam yang jelas. Maka pendidikan Islam itu adalah membimbing orang yang
dididik dengan berdasarkan ajaran Islam.[8][8]
Dengan terungkapnya beberapa
definisi tentang pendidikan Islam dan pendidikan itu sendiri maka dapatlah
kiranya menunjukkan kepada sebuah pengertian tentang Filsafat Pendidikan Islam,
yaitu seperti yang dinyatakan oleh Abdul Munir Mulkhan, bahwa Filsafat
Pendidikan Islam adalah usaha mencari asas-asas fundamental pendidikan Islam.[9][9]
Filsafat Pendidikan Islam juga bisa
diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari sistem dan aliran
filsafat dalam Islam terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana
pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia Muslim dan umat
Islam. Di samping itu, Filsafat Pendidikan Islam juga merupakan studi tentang
penggunaan dan penerapan metode dan sistem filsafat Islam dalam memecahkan
problematika pendidikan umat Islam, dan selanjutnya memberikan arah dan tujuan
yang jelas terhadap pelaksanaan pendidikan umat Islam.[10][10]
Dari beberapa definisi di atas dapat
pemakalah simpulkan bahwasannya Filsafat Pendidikan Islam adalah “usaha untuk
membimbing manusia secara mendalam, baik itu jasmani maupun rohani berdasarkan
agama Islam supaya terbentuk pribadi yang utama sesuai dengan ajaran Islam”.
KESIMPULAN
Filsafat pendidikan islam adalah “usaha untuk
membimbing manusia secara mendalam, baik itu jasmani maupun rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam supaya terbentuk pribadi yang utama sesuai dengan
ajaran Islam”.
SEJARAH
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Filsafat pendidikan dipandang
sebagai pembahasan yang sistematis tentang masalah-masalah pendidikan pada
tingkatan filosofis yaitu menyelidiki suatu persoalan pendidikan hingga direduksi
kedalam pokok persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika
maupun dari kombinasi dari semuanya itu.
Dalam pembahasan filsafat
pendidikan, persoalan-persoalan tersebut dapat disederhanakan kedalam ketiga
persoalan pokok yaitu :
1.
Masalah-masalah
pendidikan Islam yang menjadi perhatian metafisika atau ontologi bahwa dalam
penyelenggara pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan dunia,
manusia atau masyarakat yang bagimanakah yang diperlukan oleh pendidikan Islam.
2.
Pandangan
mengenai pengetahuan yang dipelajari oleh epistemologi, antara lain dalam
penyusunan dasar-dasar kurikulum, terutama dalam usahanya mengenai dan memahami
hakikat pengetahuan menurut pandangan Islam.
3.
Pandangan
mengenai nilai yang dipelajari oleh aksiologi, seperti masalah etika yang
mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat dekat dengan
pendidikan Islam, karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama
pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan
pendidikan Islam.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
sejarah filsafat pendidikan islam?
2.
Bagaimana
urgensi filsafat pendidikan islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Dalam lintasan sejarah, umat islam
pernah mengukir masa keemasan dan mencapai puncak peradaban dan kemajuan islam.
Pendidikan islam dalam teori dan praktik selalu mengalami perkembangan, hal ini
disebabkan karena pendidikan islam secara teoritik memiliki dasar dan sumber
rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar, melainkan juga wahyu. Kombinasi
nalar dengan wahyu ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal
manusia dan tuntunan firman Allah SWT. Terkait dengan masalah pendidikan.
Kombinasi ini menjadi ciri khas pendidikan islam yang tidak dimiliki oleh
konsep pendidikan pada umumnya yang hanya mengandalkan kekuatan akal dan budaya
manusia.
Harusnya dengan keterjalinan antara
sumber akal dan wahyu tersebut dapat menghasilkan konsep dan pemikiran
pendidikan islam yang sempurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui
upaya pengembangan konsep dan pemikiran pendidikan islam yang telah berjalan
sejak dahulu dengan banyaknya karya tulis para ulama tentang pendidikan yang
sebagian besar masih bisa diakses hingga saat ini. Hanya saja teori pendidikan
mereka seakan tenggelamkarena masuknya tema-tema baru yang muncul belakangan
ini terutama yang berasal dari referensi barat, sedemikian rupa sehingga timbul
kesan seolah-olah perintis penemuan keilmuan pendidikan itu seluruhnya dari
barat.[11][1]
Dalam sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, peradaban islam selalu dimasukkan dLm topik-topik
khusus. Di bukunya histiry of the arabs, penulisnya philip K. Hitti
(2006)mengungkapkan secara rinci mengenai peradaban islam dalam periodisasi
kesejarahannya. Buku yang berjudul pijar peradaban manusia: denyut harapan
revolusi yang disusun oleh franz dahler dan eka budianta, mengungkapkan zaman
keemasan islam sebagai puncak kedua dalam penggunaan kesadaran rasional yang
dicapai oleh kebudayaan islam abad pertengahan. Selain itu juga diketengahkan
sosok –sosok kepribadian tersohor yang telah menyatukan filsafat yunani dengan
ilmu alam, bumi, astrologi, matematika, kedokteran dan agama (franz dahler dan
eka buduanta: 282)
Buku dimensi kreatif dalam filsafat
ilmu yang disusun oleh tiga penulis: conny R. Semiawan, I made putrawan, dan
TH. I. Setiawan, tidak melupakan kelahiran zaman modern yang diawali oleh
perkembangan ilmu pengetahuan pada permulaan abad ke-14 di benua eropa. Perkembangan
ilmu pengetahuan itu sendiri terkait dengan tiga sumber utamanya, yaitu dunia
islam dan peradabannya (conny R. Semiawan: 21). Demikian pula yang dikemukakan
jerome R. Ravertz dalam bukunya filsafat ilmu: sejarah dan ruang lingkupnya.
Diantara ungkapan dinyatakan bahwa
kebudayaan islam paling relevan bagi ilmu eropa. Sejak abad ke-7 hingga abad
ke-10 bahasa arab menjadi bahasa kaum terpelajar bagi bangsa-bangsa yang
terentang dari peria hingag spanyol. Di baghdad, pada abad ke-9 dilakukan penerjemahan
terhadap sumber-sumber yunani ke bahasa arab,. Lalu pada abad ke-12 karya
berbahasa arab diterjemahkan kedalam bahasa latin, dalam berbagai bidang
keilmuan, dan akhirnya dalam bidang filsafat ilmu (jerome R. Ravertz: 21).
Diluar itu pengembangan ilmu pengetahuan juga ditopang oleh perpustakaan.
Keduanya berjalan seiring.
Dikemukakan oleh fazlur rahman ,
bahwa pertumbuhan yang tetap dan cepat dari perpustakan-perpustakaan semi
peblik adalah ciri dari pendidikan islam zaman pertengahan. Para pejabat yang
terkemuka dan mampu mengumpulkan buku-buku dalam jumlah yang besar dan
menyediakannya untuk diprgunakan oleh para pencari ilmu pengetahuan.
Kadang-kadang juga menyedekahkannya untuk dipergunakan oleh umum. Perpustakaan tersebut berisi buku tentang
segala macam masalah seperti, kesusteraan, ilmu-ilmu keislaman yang spesifik,
(fazlur rahman, 1984: 265-266).
Menurut jerome R. Revertz,
perpustakaan cordova di spanyol memiliki 500.000 buah buku, pada saat
bangsa-bangsa di pyrenia utara paling-paling hanya mempunyai 5.000 buah buku
jerome R. Ravertz: 20) melalui terjemahan dan karya para ilmuan muslim ini,
perkembangan ilmuan eropa mulai menggeliat. Pengaruh tersebut dinilai sangat
besar perannya dalam mendorong ide-ide yang revolusioner dan bersifat inovatif di
eropa. Pengaruh yang mampu mendobrak pemikiran keliru yang sudah baku, baik
yang menyangkut penafsiran fenomena alam maupun dalam melakuakan penalaran
(conny R. Semiawan: 21). Adapun pendobrak pemikiran dimaksud adalah teori
copernicus.
Teori copernicus membuka jalan bagi
terjadinya peristiwa kehebohan intelektual atau lebih dikenal sebagai revolusi
sains. Teori ini telah melahirkan tokoh-tokoh utamanya seperti tycho brahe
(1546-1601), johannes kepler (1571-1630), galileo galilei (1564-1642), dan isac
newton yang hidup antara tahun 1642- 1727 (john freely: 361). Menurut conny R.
Semiawan tokoh-tokoh ini merupakan perintis dalam membentuk mata rantai untuk
meneruskan perkembangan ilmu. Termasuk meletakkan dasar-dasar disiplin ilmu
yang kemudian dikenal sebagai filsafat ilmu (conny R. Semiawaan: 21-22).
Meskipun demikian, teori capernicus itu masih terangkai dengan karya para
pendahulunya.
Menurut george saliba, metode
matematika ibn al-shatir dan para pendahulunya membuka jalan untuk teori
copernican dengan memberikan kepadanya metode yang seragam dengan menggeser
model geosentris menjadi model heliosentris (john freely, 2002: 360).
Memang hampir seluruh publikasi yang
terkait dengan masalah ilmu pengetahuan dan para ilmuannya, sejarah, ataupun
kebudayaannya, andil dunia islam terhadap peradaban dunia, tampaknya takpernah
terlewatkan oleh penulisnya. Fakta sejarah ini setidaknya membuktikan bahwa
islam bukan semata-mata teramu dari ajaran-ajaran yang bersifat normatif. Islam
tidak hanya sebatas nama sebuah agama. Pemahaman terhadap islam, sebagai agama
samawi yang muatan ajarannya dianggap hanya berisi norma-norma yang mengacu
kepada kewajiban mematuhi perintah dan larangan tuhan semata.
Memisahkan nilai-nilai ajaran islam
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu pandangan yang keliru.
Apalagi kalau sampai menganggap bahwa islam hanya sebagai sebuah agama an sich.
Lebih nyasar lagi kalau pemahaman ini semakin dipersempit, hingga memberi kesan
bahwa ajaran islam hanya mengakomodasi kepentingan hidup di akhirat, padahal
al-quran dan al-hadis sebagai sumber utama ajaran islam, kandungannya tidak
hanya berisi masalah ibadah semata.[12][2]
Demikianpula hanya dengan praktik
pendidikan islam. Prektik pendidikan islam selalu mengalami dinamika dan pasang
surut. Teori perkembangan sejarah menyatakan bahwa hubungan anatra masa lalu,
sekarang, dan akan datang memiliki siklus yang saling bertautan. Julian marias
(filosof spanyol) menyatakan bahwa masa sekarang memuat pengaruh unsur-unsur
masa lampau, termasuk didalamnya adalah masa depan, unsur-unsur saat ini
mempengaruhi perjalanan arah masa depan. Ibn khaldun menyatakan teori
perkembangan sejarah berdasarkan pengamatannya pada kekuasaan raja-raja arab
sejalan dengan pertumbuhan manusia yang mengalami masa kelahiran, pertumbuhan,
dan kematian. Arnold toynbee menyebutkan bahwa tiap peradaban senantiasa
mengalami masa pertumbuhan (rise), puncak kejayaan (peak), dan kemunduran
(decline).tidak asalah kalau ada pepatah menyatakan bahwa hidup ini ibarat roda
sekali di atas, lain kali di bawah. Atau, betapapun tingginya burung terbang,
tentunya akan turun kepermukaan juga. Namun demikian, teori siklus perkembangan
tersebut bisa kita teruskan satu lagi periode pasca kemunduran, yaitu periode
pembaruan dan upaya kebangkitan kembali untuk mencapai puncak kejayaan.
Renaissance yang terjadi di barat merupakan contoh yang tepat untuk menjelaskan
hal ini.
Teori-teori perkembangan diatas
dapat digunakan untuk memahami dinamika pendidikan islam. Terkait dengnan
perkembangan pemikiran umumnya dan perkembangan islam khususnya, dapat
dikemukakan periodisasi sebagai berikut: 1) periode pertumbuhan (rise) yang
terjadi pada awal kemunculan islam sejak lahirnya nabi muhammad SAW. Sampai
akhir masa umayah; 2) periode kemajuan (peak) yang berlangsung pada masa
khilafah abbasiyah; dan 3) periode kemunduran (decline) yang terjadi setelah
jatuhnya kota baghdad oleh tentara tartar pada 1258 M; serta 4) periode
pembaruan yang berkembang secara intensifsejak abad ke-18 M.[13][3]
1.
PERIODE PERTMBUHAN
Masa ini merupakan masa awal
pertumbuhan dan persemaian nilai-nilai ke-islam-an, dimana karakteristik
pendidikan islam berpusat pada sumber al-qur’an dan hadis secara murni. Ketika
nabi muhammad SAW. Masih hidup, praktik pendidikan islam mengikuti tuntunan
firman Allah SWT. Dan teladan beliau. Tujuan pendidikan islam waktu itu adalah
untuk membentuk sikap takwa serta penanaman nilai akhlak mulia. Pada saat ini,
pendidikan islam belum terwujud dalam bentuk konsep dan pemikiran yang tertuang
dalam karya tulis atau disiplin ilmu secara spesifik, namun praktik pendidikan
yang dilakukan oleh nabi muhammad Saw. Baik keluarga maupun masyarakat,
menunjukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip pendidikan yang terus menerus
menjadi sumber inspirasi untuk dipelajari.
Setelah wafatnya nabi muhammad SAW.,
tampuk kepemimpinan umat dipegang oleh khulafa’ al-rasyidin. Abu bakar (632-634
M) merupakan halifa pertama yang melakukan konsolidasi kekuasaan terhadap
semenanjung arabia hingga masuk ke irak dan syria. Khalifah ke dua, umar bin
al-khattab (634-644 M) melanjutkan perkembangan islam sampai ke mesopotamia,
mesir, syria, palestina, dan sebagian besar wilayah persia, tabristan,
azerbaijan, armenia, serta beberapa bagian wilayah turki.
Usman bin Affan (644-656 M),
merupakan khalifah ke tiga dengan latar belakang pedagang kaya dan termasuk
diantara mereka yang pertama kali masuk islam. Ali bin abi talib (656-661 M),
keponakan dan menantu nabi muhammad Saw., merupakan khalifah ke empat yang
populer dengan ketakwaan, keluasan pengetahuan, keberanian, dan kedekatannya
dengan nabi muhammad saw. [14][4]
2.
PERIODE KEJAYAAN
Masa pertumbuhan diatas menuai
hasilnya terutama pada masa khalifah abbasiyah yang merupakan masa kedua, yaitu
peride kejayaan. Pada masa ini islam mengalami masa keemasan (golden ages).
Dubidang keilmuan, ilmu-ilmu
ke-islam-an yang bersumber dari wahyu tumbuh menjadi disiplin ilmu-ilmu agama
yang sangat rinci sehingga menjadi ilmu-ilmu cabang dan raningna. Munculnya
ilmu-ilmu al-Quran, ilmu-ilmu hadis, hukum islam, teologi, tasawuf, dan
lain-lain, benar-benar menandai bangkitnya ilmu pengetahuan dikalangan umat
islam.
Pada masa keemasan ini banyak
bermunculan para tokoh dan cendekiawan muslim yang produktif dalam keilmuan.
Dapat disebutkan sebagian kecil dari tokoh yang kajiannya terkait langsung
dengan pendidikan adalah ibnu miskawaih dan al-ghazali.
Menurut ibnu miskawaih, syariat
agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, karena rujukan
utamanya adalah al-qur’an dan hadis.
Dalam bidang astronomi, umat islam
dahulu telah berhasil memadukan tradisi bangsa india, persia, timur dekat kuno
khususnya yunani, menjadi sebuah sintesis yang mengukur babak baru dalam
sejarah astronomi sejak abad ke-8 dan seterusnya. Di bidang kelembagaan,
lembaga pendidikan yang ada pad periode kemajuan ini juga bersifat integral,
artinya tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama saja melainkan menyatu dengan
ilmu-ilmu umum yang kita sebut sekarang dengan ilmu modern.
Kegemilangan masa abbasiyah mulai
menurun seiring dengan munculnya konflik politik, perebutan kekuasaan, gaya
hidup mewah para penguasa, dan krisis ekonomi umat, sehingga memperlemah
kemajuan yang telah dicapai selama kurang lebig 5 abad sebelumnya.
3.
PERIODE KEMUNDURAN
Masa kemunduran terjadi setelah
jatuhnya kekuasaan abbasiyah akibat berbagai faktor yang saling berkaitan.
Diantaranya adalah:
a.
Persaingan
antar bangsa
b.
Kemerosotan
ekonomi
c.
Konflik
sosial-keagamaan
4.
PERIODE PEMBARUAN
Pembaruan pemikiran pendidikan islam
sebenarnya telah dilakukan para ulama dan cendekiawan muslim terdahulu, tanpa
dibatasi oleh periode terdahulu, tanpa dibatasi oleh periode tertentu.
Bila dicermati, kondisi umat dan
negara-negara islam saat ini masih dilanda oleh ketegangan politik, masalah
kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dibidang sains dan teknologi,
sekteranianisme, serta ketergantungan dengan negara asing, maka gerakan
pembaruan ini harus dilakukan secara intensif.
B.
URGENSI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Para ahli telah menyoroti dunia
pendidikan yang berkembang pada saat ini baik dalam pendidikan Islam pada
khususnya maupun pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanakan pendidikan
tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang
kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan ketidakjelasan arah dan
jalannya pelaksanakan pendidikan itu sendiri.
Abdurrahman (1995) misalnya,
mengemukan bahwa pelaksanakan pendidikan agama Islam selama ini berjalan
melalui cara didaktis-metodis seperti halnya pengajaran umum, dan lebih
didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasa dari filsafat pendidikan model
barat, sehingga lebih menekankan pada transmisi pengatahuan agama.” Untuk
menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan
Islam yang kokoh.
Ma’arif (1993) setelah menyajikan
dialog antara Iqbal dan Rumi dalam konteks pendidikan Islam, berkesimpulan
bahwa pondasi filosofis yang mendasari sistem pendidikan Islam selama ini masih
rapuh, terutama pada tampak pada adanya bentuk dualisme dikotomis antara apa
yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang menduduki fardu ‘ain, dan ilmu-ilmu
sekuler yang paling tinggi berada pada posisi fardu kifayah, yang sering kali
terabaikan dan bahkan tercampakan. Di samping itu, kegiatan pendidikan Islam
yang seharusnya berorentasi ke langit (orientasi transedental), tampaknya belum
tercermin secara tajam dan jelas dalam rumusan filsafat pendidikan Islam, dan
bahkan belum dimilikinya. Karena itu penyusunan suatu filsafat pendidikan Islam
merupakan tugas strategis dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Buchori (1994) juga berkesimpulan
bahwa ilmu pendidikan di Indonesia dewasa ini tampaknya mulai kehilangan jatih
diri yang antara lain di sebabkan karena penelitian-penelitian lebih concern
pada persoalan praktis operasional dan formal yang terdapat di sekolah.
Sedangkan pemikiran ilmu pendidikan yang lebih bersifat fondasional, termasuk
didalamnya filsafat pendidikan mengalami stagnasi, demikian pula riset-riset di
dalamnya.
Pendidikan merupakan persoalan hidup
dan kehidupan manusia, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah
proses pendidikan. Atau meminjam terma Lodge (1947) bahwa “Life is education
and education is life”. Sebagai persoalan hidup maka pendidikan dalam
pengembangan konsep-konsepnya perlu menggunakan sistem pemikiran filsafat
tersebut di atas menyangkut metafisika, epistemologi, aksiologi dan logika,
karena problema yang ada dalam lapangan
pendidikan juga berada dalam lapangan filsafat tersebut. Karena itu hubungan
antara filsafat dan pendidikan adalah sangat erat.
Dengan demikian, filsafat dan
mendidik adalah dua tahap kegiatan tapi dalam satu usaha. Berfilsafat ialah
memikirkan dengan seksama nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan
mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam
kehidupan dan dalam kepribadian manusia.
Sistem pemikiran filsafat tersebut
jika dikaitkan dengan pendidikan, maka sebagai berikut:
1.
Dalam
lapangan metafisika, antara lain diperlukan adanya pendirian mengenai pandangan
dunia yang bagaimanakah yang diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan[16][6].
2.
Dalam
lapangan epistemology, antara lain diperlukan dalam penyusunan dasar-dasar
kurikulum. Kurikulum yang biasa diartikan sebagai serangkaian kegiatan atau
sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, diibaratkan sebagai jalan raya yang
perlu dilewati oleh peserta didik dalam usaha mengenal dan memahami
pengetahuan. [17][7]
3.
Dalam
lapangan aksiologi, yakni yang mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat
dengan pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan
pendidikan, karena dunia nilai (etika dan estetika) juga menjadi dasar
pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan. Di
samping itu, pendidikan sebagai fenomena kehidupan social, kultual, dan
keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai.
4.
Dalam
lapangan logika, sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai
ajaran berpikir yang benar dan valid, sangat diperlukan dalam pendidikan
kecerdasan. Pelaksanaan pendidikan menghendaki seseorang mampu mengutarakan
pendapat dengan benar dan valid sehingga diperlukan penguasaan logika.
Karena itu, hubungan antara filsafat
dan pendidikan merupakan keharusan, terutama dalam menjawab persoala-persoalan
pokok dan mendasar yang dihadapi oleh pendidikan. Brubacher (1955) sebagaimana
dikutip oleh Ozmon dan Craver (1995) menyarankan agar persoalan-persoalan yang
mendasar tentang pendidikan dibahas dan dipecahkan menurut teori filsafat.
Sebagai implikasinya diperlukan bangunan filsafat pendidikan yang kokoh dalam
pelaksanaan sistem pendidikan. Jika tidak demikian, dikhawatirkan akan terjadi
:
1.
Pendidikan
akan terapung-apung (tanpa tujuan).
2.
Tujuan-tujuan
pendidikan akan samar-samar (meragukan), bertentangan, dan tidak menunjang
kesetiaan.
3.
Ukuran-ukuran
dasar pendidikan menjadi sangat longgar.
4.
Ketidakmenentuan
peranan pendidikan dalam suatu masyarakat.
5.
Sekolah-sekolah
akan memberikan banyak kebebasan kepada peserta didik dan tidak mampu memupuk
apresiasi terhadap otoritas dan kontrol.
6.
Sekolah akan
menjadi sangat sekular dan mengabaikan agama.
Ibarat sebuah bangunan rumah, maka
bangunan filsafat pendidikan Islam itu mencakup berbagai dimensi, yaitu :
a.
Dimensi
bahan-bahan dasar yang menentukan kuat atau tidaknya suatu fondasi bangunan.
Dalam konteks filsafat pendidikan Islam berarti sumber-sumber atau semangat
pemikiran dari para pemikir pendidikan Islam itu sendiri.
b.
Dimensi
fondasi bangunan itu sendiri, yang berupa prinsip atau dasar dan asas
(kebenaran yang menjadi pokok dasar) berpikir dalam menjawab persoalan-persoalan
pokok pendidikan yang termuat dalam sistem (komponen-komponen pokok aktivitas)
pendidikan Islam.
c.
Dimensi
tiang penyangga yang berupa struktur ide-ide dasar serta pemikiran-pemikiran
yang fundamental yang telah dirumuskan oleh pemikir pendidikan Islam itu
sendiri dalam mengembangkan, mengarahkan dan memperkokoh bangunan sistem
pendidikan Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Terkait dengnan perkembangan
pemikiran umumnya dan perkembangan islam khususnya, dapat dikemukakan periodisasi
sebagai berikut: 1) periode pertumbuhan (rise) yang terjadi pada awal
kemunculan islam sejak lahirnya nabi muhammad SAW. Sampai akhir masa umayah; 2)
periode kemajuan (peak) yang berlangsung pada masa khilafah abbasiyah; dan 3)
periode kemunduran (decline) yang terjadi setelah jatuhnya kota baghdad oleh
tentara tartar pada 1258 M; serta 4) periode pembaruan yang berkembang secara
intensifsejak abad ke-18 M..
Sistem pemikiran filsafat tersebut
jika dikaitkan dengan pendidikan, maka :
1.
lapangan
metafisika, diperlukan adanya pendirian mengenai pandangan dunia yang
bagaimanakah yang diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan.
2.
Dalam
lapangan epistemology, diperlukan dalam penyusunan dasar-dasar kurikulum.
3.
Dalam
lapangan aksiologi, yakni mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat dengan
pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan,
karena dunia nilai (etika dan estetika) juga menjadi dasar pendidikan, yang
selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan.
4.
Dalam
lapangan logika, sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai
ajaran berpikir yang benar dan valid, sangat diperlukan dalam pendidikan
kecerdasan.
DAFTAR PUSTAKA
Assegat Assegat, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2011,
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2013
Mustansyir Rizal Dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,
Celeban Timur: Pustaka Pelajar,2002,
Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya Di
Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2007,