BERKENALAN
DENGAN FIQH IBADAH
A. Definisi Fiqh Ibadah
Term
Fiqh Ibadah terdiri dari dua unsur kata, yaitu kata Fiqh dan Ibadah.
Dalam etimologi Islam, kata “Fiqh” berasal dari akar kata faqiha-yafqahu-fiqhan
yang berarti mengetahui, memahami dan mendalami sesuatu secara mutlak. Selain
itu, apabila kata “Fiqh” ini dikaitkan dengan agama Islam, maka
maksudnya ialah memahami ajaran-ajaran Islam (syari’at) secara totalitas.
Definisi etimologis semacam ini terpetik dari kurang lebih 19 kata “Fiqh”
yang disebutkan dalam al-Qur’an, dan kesemuanya disebut dalam bentuk kata kerja
(fi’il). Di antaranya ialah firman Allah berikut:
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ
طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِيْ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah: 122).
Sejalan
dengan ayat di atas, Rasulullah saw., juga pernah menyebutkan kata “Fiqh”
dalam sabdanya berikut ini:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari
Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw., bersabda: Barangsiapa yang
dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberinya pemahaman dalam (ilmu)
agama. (Muttafaq
‘Alaih).
Sedangkan
secara terminologis, Fiqh adalah bidang ilmu yang mengkaji tentang berbagai
hukum dan aturan (syari’at) Islam yang telah Allah tetapkan menyangkut perintah
dan larangan bagi manusia dalam menjalani kehidupan duniawi dan ukhrawi, baik yang
bersifat horizontal maupun bersifat vertikal dengan memakai dalil-dalil terperinci
(tafshili) sebagaimana telah tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an,
al-Hadits dan al-Ijtihad (ijma’ dan qiyas).[1]
Sementara
kata “Ibadah”, secara bahasa merupakan bentuk ketiga (mashdar) yang
terpetik dari akar kata abada-ya’budu-‘abdan/’ibadatan yang berarti menyembah,
menghambangkan diri dan mengabdi. Sedangkan menurut istilah, ibadah adalah
suatu ritual yang dilakukan oleh seorang hamba dalam rangka mengabdi, menyembah
dan menghambakan diri kepada Allah swt., dengan cara mengerjakan segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Alhasil, jika kata Fiqh dan Ibadah
digabung menjadi satu (Fiqh Ibadah), maka dapat didefinisikan sebagai sebuah
bidang ilmu fiqh yang secara khusus mengkaji dan mengatur cara-cara pengabdian,
penyembahan dan penghambaan diri seorang manusia kepada Allah swt., dengan cara
mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, baik yang bersifat
horizontal maupun vertikal melalui dalil-dalil yang terperinci seperti
termaktub dalam al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad.[2]
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa Fiqh Ibadah merupakan bidang ilmu yang
mempelajari tata cara mengabdi dan menyembah Allah dan manusia sesuai ketentuan
syari’at Islam melalui dalil-dalil yang terperinci, seperti shalat, zakat,
puasa dan haji dan berbagai ritual lainnya yang dimaksudkan untuk Allah, baik
yang bersifat horizontal maupun vertikal.
B. Dasar Hukum Fiqh Ibadah
Pada
esensinya, setiap persoalan yang terkait dengan ibadah dan berbagai ritual
lainnya tidak bisa terlepas dari aturan Islam. Sebab itu, setiap persoalan
ibadah haruslah di-rever-kan (dirujuk) terhadap sumber hukum Islam yang
otoritatif dan berlaku, yakni al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad. Allah
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ
آَمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلًا.
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amri di antaramu. Lalu jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (al-Hadits), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59).
Dalam mengomentari ayat ini, Wahhab
Khalaf beropini bahwa perintah untuk taat kepada Allah swt., dan Rasul-Nya, adalah
perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan al-Hadits. Sedangkan perintah untuk
mengikuti Uli al-Amri merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang
telah disepakati oleh para mujtahid dan
intelektual muslim (ijma’), karena merekalah yang menjadi Uli al-Amri
dalam masalah-masalah hukum agama bagi kaum Muslimin. Dan perintah untuk
mengembalikan semua persoalan yang masih diperselisihkan kepada Allah dan
Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada argumentasi nash
(al-Qur’an dan al-Hadits[3])
dan ijma’.[4]
Selain itu, Allah swt., juga
pernah menjelaskan beberapa fungsi al-Qur’an bagi umat
manusia, utamanya umat Islam. Hal ini seperti
telah ditegaskan Allah melalui firman-Nya berikut:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِيْ
كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيْدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيْدًا
عَلَى هَؤُلَاءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ.
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat
seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu
(Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu
al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl: 89).
Dalam ayat ini, setidaknya terdapat 4 fungsi yang
terkandung di dalam kehujahan al-Qur’an bagi umat manusia, antara lain: 1).
Sebagai penjelas terhadap segala sesuatu yang telah Allah ciptakan, mulai dari kelahiran dan perkembangan hingga kemajuan ilmu pengetahuan dan
karya-karya umat manusia. Sebab itu, pada esensinya al-Qur’an
lah yang pertama kali telah menginformasikan dan menginspirasikan mereka
terhadap apa yang telah, akan, dan sedang mereka lakukan di dunia ini; 2).
Sebagai petunjuk bagi umat manusia dari kesesatan menuju kebenaran. Sebab itu,
jika umat manusia mau mengamalkan perintah dan mau menjauhi larangan yang
terkandung di dalam al-Qur’an, maka mereka akan senantiasa diarahkan menuju
keridlaan-Nya. Namun sebaliknya, apabila mereka meninggalkan perintah dan malah
mengerjakan larangan yang terkandung di dalamnya, maka mereka akan digiring
menuju kemurkaan dan adzab-Nya yang pedih; 3). Sebagai rahmat (kasih sayang)
dari Allah bagi seluruh umat manusia. Karena itu, jika mereka mengalami ujian,
cobaan dan kesulitan-kesulitan yang merintangi dan menghambat kehidupannya,
maka sepantasnyalah bagi mereka untuk senantiasa membaca sekaligus mentadabburi
isi kandungan dari al-Qur’an, sehingga mereka akan diberi kesabaran dan
ketabahan, bahkan kesadaran dalam menghadapi ujian dan coabaan tersebut serta
mendapatkan solusi dari persoalan yang mengahambat kehidupan mereka itu; dan
4). Sebagai berita gembira bagi umat manusia yang mengamalkan ajakan dan ajaran
sekaligus menjauhi larangan yang terkandung di dalam al-Qur’an bahwa mereka
akan mendapatkan surga dan keridlaan-Nya sebagai balasan yang setimpal dengan
usaha dan jerih payah yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia.
Di sisi lain, secara
lebih jelas dan terperinci mengenai hirarki dan otoritas kehujahan 4 sumber
hukum dalam Islam tersebut juga ditegaskan oleh Rasulullah saw., dalam sabdanya berikut ini:
عَنْ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ
قَالَ لَهُ: كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِيْ
بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِيْ كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: أَقْضِيْ
بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ
تَجِدْهُ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ؟ قَالَ:
أَجْتَهِدُ بِرَأْيِيْ وَلاَ آلُوْ. قَالَ: فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَدْرِهِ وَقَالَ: الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ وَفَّقَ
رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ
وَالدَّارِمِيْ.
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal r.a., bahwa pada saat
Rasulullah saw., mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya: Bagaimana cara
kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu suatu masalah? Dia menjawab: Saya memutuskannya
dengan kitab Allah. Nabi saw., bertanya: Jika kamu tidak menemukan di dalam
Kitabullah? Mu’adz menjawab: Maka dengan sunnah Rasullah saw., Nabi saw.,
bertanya lagi: Jika tidak menemukan di dalam sunnah? Dia menjawab: Saya akan
berijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang. Lalu Mu’adz berkata: Maka
Rasulullah saw., menepuk dadanya seraya bersabda: Segala puji bagi Allah yang
telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan apa yang telah
diridlai Rasulullah. (HR.
Ahmad, Abu Dawud dan al-Darimi).[5]
Rasulullah saw., juga bersabda dalam teks hadits yang lain:
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تَرَكْتُ فِيْكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ.
رَوَاهُ مَالِكٌ.
Diriwayatkan dari Malik bin
Anash bahwa Rasulullah saw., bersabda: Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian
semua, yang jika kalian berpedoman terhadap keduanya, niscaya tidak akan
tersesat (selamanya), yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya
(al-Hadits). (HR. Imam Malik).[6]
Hadits di atas, secara konkrit
menjelaskan bahwa dalam memutuskan segala persoalan umat manusia, 4 referensi tersebut harus dioperasionalkan secara berurutan. Artinya, referensi yang pertama kali harus dilihat adalah al-Qur’an. Lalu melihat hadits Nabi saw., jika tidak ditemukan dalam keduanya, maka
menelaah ijma’ ulama dan yang terakhir adalah menggunakan qiyas para ulama.
Hirarki (urutan) ini sesuai dengan orisinilitas dan otoritas serta level
kekuatan dan kehujahan dalilnya bahwa dalil syar’i yang pertama dan
utama adalah al-Qur’an, sebab ia datang langsung dari Allah sebagai musyarri’
(pembuat hukum). Sedangkan urutan kedua adalah al-Hadits, sebab ia
berfungsi sebagai penguat, penjelas, pembatas (muqayyid), pengkhusus (mukhashsih)
dalam memahami firman dan hukum Allah swt., yang global dan mutlak, bahkan
al-Hadits dapat menetapkan hukum-hukum yang tidak tercover dalam al-Qur’an,
seperti larangan memakai kain sutera dan emas bagi kaum lelaki. Lalu setelah
itu adalah ijma’ ulama, sebab ijma’ senantiasa berpijak pada nash (al-Qur’an dan al-Hadits). Lalu yang terakhir adalah qiyas, sebab proses qiyas senantiasa berpedoman pada nash dan ijma’ para ulama sesuai kualifkasi bidang
keilmuannya masing-masing. Khususnya para fuqaha.
Dari deskripsi di atas, menjadi jelas dan konkrit bahwa
Allah swt., menginstruksikan kepada seluruh umat manusia untuk senantiasa
menaati dan megikuti perintah Allah, Rasul dan Uli al-Amri (ulama dan
umara) yang sesuai dengan al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad (ijma’ dan qiyas)
dan menjadikan keempatnya sebagai pijakan, dasar dan sumber hukum Islam dalam
menjalani dan menetapkan segala urusan duniawi dan ukhrawi mereka, apapun jenis
urusannya mulai urusan tidur hingga tidur kembali.[7]
Di
antara salah satu pijakan atau sumber hukum Islam yang digunakan untuk mengatur
tata cara ibadah tersebut adalah firman Allah swt., dan sabda Rasulullah saw.,
berikut ini.
Pertama,
adalah firman Allah dalam QS. Al-Bayyinah: 5-8 berikut:
وَمَا أُمِرُوْا
إِلَّا لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوْا
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ. إِنَّ الَّذِيْنَ
كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ
خَالِدِيْنَ فِيْهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ. إِنَّ الَّذِيْنَ آَمَنُوْا
وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
جَزَاؤُهُمْ
عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ
فِيْهَا أَبَدًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ
رَبَّهُ.
Dan
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus. Sesungguhnya
orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan
masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan
mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha
kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada
Tuhannya. (QS.
Al-Bayyinah: 5-8).
Kedua,
adalah Sabda Rasulullah saw., berikut ini:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ
الثِّيَابِ، شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ
يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ:
يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ
رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ: صَدَقْتَ.
فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِيْمَانِ؟
قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ
عَنِ الْإِحْسَانِ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ؟ قَالَ: مَا الْمَسْئُولُ
عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَتِهَا؟ قَالَ:
أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ
الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ. قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْنَا مَلِيًّا
ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلُ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ.
قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Umar bin Khathab ra., dia
berkata: Ketika kami duduk bersama Rasulullah saw., pada suatu hari, tiba-tiba
datanglah seorang lelaki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut
sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tiada
seorangpun di antara kami yang mengenalnya hingga kemudian dia duduk di hadapan
Nabi saw., lalu menempelkan kedua lututnya terhadap lutut Rasulullah seraya
berkata: Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam? Maka beliau
bersabda: Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat,
menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah jika
mampu. Lalu dia berkata: Anda benar. Kami semua heran, dia yang bertanya dia
pula yang membenarkan. Lalu dia bertanya lagi: Beritahukan aku tentang Iman? Beliau
bersabda: Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, hari akhir dan takdir baik dan buruk. Lalu dia berkata: Anda benar.
Dia berkata lagi: Beritahukan aku tentang ihsan? Beliau bersabda: Ihsan adalah
kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak
melihat-Nya, maka Dia Melihat engkau. Lalu dia berkata: Beritahukan aku tentang
hari kiamat (kapan kejadiannya)? Beliau bersabda: Yang ditanya tidak lebih tahu
dari penanya. Diapun berkata: Beritahukan aku tentang ciri-cirinya? Beliau
bersabda: Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang
bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)
berlomba-lomba meninggikan bangunannya, lalu orang itu berlalu dan kami berdiam
sebentar. Lalu Rasul bertanya: Tahukah engkau siapa yang bertanya? Aku berkata:
Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: Dia adalah Jibril datang
kepada kalian bermaksud mengajarkan agama kalian. (HR. Muslim).[8]
Dari deskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam yang
digunakan dalam mengatur tata cara ibadah kepada Allah dan berbagai problematikanya tidak hanya terbatas pada al-Qur’an dan al-Hadits saja, namun masih ada
ijma’ dan qiyas yang juga bisa dipakai untuk menjawab problematika yang tidak dijelaskan secara detail dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dalil utama dan grand theory
di segala bidang kehidupan yang senantiasa akan tetap relevan likulli zaman
wa makan.
C. Sejarah Perkembangan Fiqh Ibadah:
Dari Jazirah Arab Hingga Nusantara
Tidak
dapat diragukan dan dipungkiri lagi bahwa Rasulullah saw., (570-632 M) merupakan
peletak dasar dan pionir utama yang pertama kali mengajarkan tata cara
beribadah dan berbagai problematikanya, baik secara teoritis maupun praktis,
sebagaimana telah dijelaskan secara konkrit pada pembahasan dasar hukum ibadah di
atas. Selain itu, pada waktu itu, Rasulullah juga berfungsi sebagai musyarri’
(pembuat aturan) kedua setelah Allah swt., melalui al-Qur’an yang diturunkan
kepada beliau, selain juga dilengkapi dengan keberadaan al-Hadits, sehingga
setiap ada persoalan apapun pada saat itu langsung terobati dan menemui solusi
sekaligus jawaban yang konkrit, bahkan menjadi sebuah landasan dan ketetapan
hukum, termasuk juga persoalan terkait tata cara beribadah, meskipun saat itu
belum dibukukan dan dibakukan sebagai sebuah disiplin ilmu. Apalagi ilmu fiqh,
al-Qur’an dan al-Hadits saja belum dikodifikasikan saat itu.
Sebagai
salah satu bukti historis nyata yang ada pada masa Rasulullah adalah diperintahkannya
beliau untuk menyebarkan agama Islam dan ajarannya secara sembunyi-sembunyi
dari rumah ke rumah, termasuk rumah sahabat al-Arqam bin Abi al-Arqam yang juga
sering beliau tempati untuk menyampaikan ajaran Islam dan menunaikan shalat
secara berjamaah dengan sahabat-sahabat beliau yang lain. Bahkan wahyu yang
pertama kali turun pun juga menyeru beliau agar menunaikan ibadah sebagaimana
dalam QS. Al-Alaq dan QS. Al-Muddatstsir.
Kemudian
setelah masa Rasulullah selesai, berbagai ajaran dan ilmu keislaman, termasuk Fiqh
Ibadah dilanjutkan oleh para khulafaurrasyidin (632-661 M) dengan tetap
berpedoman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila dalam kedua pedoman
tersebut tidak ditemukan nash (jawaban) terkait tata cara ibadah tersebut, maka
para sahabat melakukan ijtihad yang senantiasa merujuk pada kedua pedoman utama
tersebut. Misalnya
saja ketentuan shalat tarawih yang kemudian dilakukan secara berjamaah pada
masa Umar bin Khaththab ra., dan penambahan adzan yang kedua pada shalat jum’at
di masa Utsman bin Affan ra.
Setelah
masa khulafaurrasyidin usai, ilmu-ilmu keislaman, termasuk Fiqih Ibadah
dilanjutkan oleh para tabi’in dan seterusnya, yakni para khalifah dinasti
Umayyah (661-750 M)
dan dinasti Abbasiyah (750-1250 M)
yang merupakan abad kejayaan Islam, dimana pada masa kedua dinasti tersebut banyak
bermunculan para ilmuan dan intelektual muslim brilian di segala bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, termasuk para fuqaha dan para mujtahid handal dengan
tetap berpedoman pada konsepsi Islam (al-Qur’an dan al-Hadits). Khususnya pada
masa khalifah Abdul Malik bin Marwan dan lebih-lebih pada masa khalifah Umar
bin Abdul Aziz memimpin Negara, sehingga wajar jika sosok khalifah yang satu
ini digelari sebagai al-Khalifah al-Khamisah (pemimpin kelima) setelah
Sayyidina Ali ra., lantaran kharisma, kewibawaan, ketegasan, kearifan dan
keadilannya dalam menjalankan roda kepemimpinan Negara saat itu yang senantiasa
berpedoman terhadap al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad, bahkan pada puncak
keemasan dinasti Abbasiyah ini, pembinaan dan pembukuan hukum Islam mulai
digalakkan, kedokteran dan perpustakaan dibangun, forum diskusi keagamaan
digelar, sastra dan puisi dipentaskan. Karena selain ada perhatian yang serius
pada masa ini, para khalifah sendiri gemar dan seringkali ikut terlibat
langsung di dalamnya, sehingga para intelektual muslim banyak melahirkan
karya-karya monumental saat itu, termasuk di bidang Fiqh, misalnya, Kitab
al-Mabsuth karya Imam Abu Hanifah, Kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik, Kitab
al-Um karya Imam Syafi’i, Kitab al-Musnad al-Kabir karya Imam Ahmad bin Hanbal.
Bahkan saat itu, ilmu fiqh sudah diklasifikan menjadi beberapa bidang, yakni
ibadah, mu’amalah, munakahat, mawarits, jinayah dan siyasah, selain juga sambil
lalu dirumuskan pedoman dalam ilmu fiqh yang dikenal dengan ilmu ushul fiqh, sehingga
persoalan fiqh yang semakin berkembang secara dinamis dapat diqiyaskan kepada
ilmu ushul fiqh dan berbagai hasil ijtihad para fuqaha tersebut. Sebab itu,
sangatlah wajar jika keempat tokoh tersebut digelari sebagai al-Mujtahid
al-Muthlaq yang kemudian opini dan aliran mereka disebut dengan al-Madzahib
al-Arba’ah. Dan masih banyak karya-karya mereka di bidang ilmu yang lain.
Selanjutnya,
setelah masuk dan tersebarnya Islam melalui jalur laut ke berbagai belahan
wilayah nusantara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sekitar tahun 1250
M-Sekarang, baik dalam sektor perdagangan, pernikahan, pendidikan dan dakwah
akhirnya tersebarlah
ajaran-ajaran Islam, termasuk ilmu fiqh melalui para pedagang yang juga
sekaligus merupakan para penyebar dakwah dan risalah Rasulullah saw., dengan
senantiasa berpedoman pada al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad tersebut melalui
karya-karya para mujtahid yang dibawa para da’i yang lalu lalang ke berbagai
wilayah nusantara, bahkan ada yang menetap di nusantara tercinta ini, termasuk
juga ajaran dan dakwah Islamiyah diajarkan dan disebarkan oleh para wali songo
dan kerajaan-kerajaan Islam, baik di pulau jawa, luar jawa maupun di daerah
tapal kuda.
D. Objek dan Ruang Lingkup Fiqh Ibadah
Objek
kajian dalam Fiqh Ibadah adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan
dengan berbagai cara pengabdiannya kepada Allah sesuai ketentuan syari’at Islam.
Sedangkan ruang lingkup pembahasan materi Fiqh Ibadah adalah mengenai beberapa
ritual (ibadah), baik ibadah mahdlah, meliputi: shalat fardlu, zakat,
puasa ramadlan dan haji bagi yang mampu sesuai ketentuannya masing-masing,
termasuk juga tata cara bersuci dari hadats dan najis, tata cara adzan dan
iqamah maupun ibadah ghairu mahdlah, seperti umrah, puasa sunah, sedakah
dan segala ritual dan amal shaleh lainnya yang diniatkan untuk mendapat ridla
Allah swt., yang kuantitasnya sangat banyak dan beragam.
E. Hubungan Fiqh Ibadah dengan Fiqh
Lainnya
Sebagaimana
telah dijelasakan dalam definisi Fiqh di atas, bahwa Fiqh merupakan suatu
bidang ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syari’at Islam dengan
dalil-dalil yang terperinci melalui sumber hukum Islam yang berkaitan dengan
segala perbuatan seorang mukallaf, baik secara vertikal maupun horizontal. Maka
bisa dipahami dengan mudah bahwa koneksi Fiqh Ibadah dengan Fiqh lainnya,
seperti Fiqh Jinayah, Mu’amalah, Munakahat dan Siyasah merupakan
suatu keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan, bahkan saling terkait dan saling
melengkapi satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan yang nyata
satu sama lain dan kesamaan objeknya, yakni dalam hal-hal yang berkaitan dengan
segala perbuatan seorang mukallaf tersebut.
Misalnya
saja keterkaitannya dengan Fiqh Jinayah bahwa setiap orang yang sengaja
meninggalkan shalat wajib, bersetubuh di siang hari pada bulan ramadlan dan
lain-lain, maka akan dikenai sanksi. Begitu juga keterkaitannya dengan Fiqh
Mu’amalah bahwa setiap orang yang ingin diterima ibadahnya, maka diharuskan
mencari rizki yang halal melalui proses transaksi yang benar. Tak lain pula
keterkaitannya dengan Fiqh Munakahat bahwa setiap orang yang ingin mendapatkan
kesempunaan hidup dan pahala yang berlipat ganda dalam ibadahnya, maka
disunahkan untuk menikah secara Islami. Begitu pula keterkaitannya dengan Fiqh
Siyasah bahwa setiap orang yang taat terhadap aturan Allah dan Rasul-Nya,
sehingga ibadah yang direalisasikan semakin bermakna dan lebih sempurna.
Dengan
demikian, dapat dikonklusikan bahwa Fiqh Ibadah memiliki interkoneksi yang
sangat erat dengan cabang-cabang Fiqh yang lain, yakni Fiqh Jinayah, Fiqh
Mu’amalah, Fiqh Munakahat dan Fiqh Siyasah, sehingga interkoneksi antar
kelimanya terletak pada kesamaan objek kajiannya, yakni sama-sama mengkaji
mengenai segala perbuatan seorang mukallaf, baik berupa perintah atau larangan,
baik yang menyangkut hubungan individu atau sesama manusia (horizontal) maupun
hubungan manusia dengan Allah (vertikal).
F. Macam-Macam Ibadah
Demi
mendapat pemahaman yang komplit mengenai macam-macam ibadah, maka dapat
ditinjau melalui berbagai seginya, antara lain, sebagaimana deskripsi berikut
ini.
Pertama,
ditinjau dari segi sifatnya, ada dua: 1). Ibadah mahdlah, seperti shalat
fardlu, puasa ramadlan, zakat dan haji; dan 2). Ibadah ghairu mahdlah,
banyak sekali jenisnya, seperti thaharah, merawat jenazah, puasa sunnah dan
shalat nawafil. Intinya adalah setiap
amal shaleh yang diniatkan untuk Allah.
Kedua,
ditinjau dari segi hukumnya, ada dua: 1). Ibadah fardlu ‘ain, yaitu
suatu ibadah yang diwajibkan kepada setiap individu manusia mukallaf. Jika
dikerjakan, ia mendapat pahala dan jika ditinggalkan, ia mendapat siksa dan
berdosa, seperti shalat fardu, zakat, puasa dan haji; dan 2). Ibadah fardlu
kifayah, yaitu ibadah yang diwajibkan secara kolektif. Jika dalam satu desa
telah ada beberapa orang yang mengerjakannya, maka individu yang lain tidak
berdosa, tapi jika dalam satu desa tersebut tidak ada orang yang
mengerjakannya, maka semua penduduk desa tersebut berdosa, seperti pelestarian
jenazah seorang muslim.
Ketiga,
ditinjau dari segi alatnya, ada tiga: 1). Jasadiyah ruhiyah, seperti shalat dan
berbagai amal shaleh yang diniatkan untuk Allah; 2). Ruhiyah maliyah, seperti
zakat fitrah dan zakat maal; 3). Konvergensi antara ketiganya, seperti haji,
umrah dan berbagai amal shaleh yang diniatkan untuk Allah.
G. Syarat Diterimanya Ibadah
Adapun
syarat umum diterimanya ibadah, antara lain: 1). Ibadah harus diniatkan karena
Allah (ikhlas); 2). Ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan dan
konsepsi syari’at Islam; dan 3). Piranti yang digunakan untuk beribadah harus
diperoleh melalui cara yang benar dan halal. Sedangkan syarat umum diterimanya
ibadah, maka perlu disesuaikan dengan jenis, hukum dan cara pelaksanakannya,
sebagaimana akan dibahas pada babnya masing-masing berikut ini. InsyaAllah.
H. Tujuan dan Kegunaan Mempelajari
Fiq Ibadah
Setiap
ilmu pengetahuan yang telah menjadi sebuah teori, disiplin ilmu dan landasan
hukum, pasti memiliki tujuan yang menjadi target pemahaman yang akan diperoleh setelah
mempelajarinya. Begitu pula dengan Fiqh Ibadah juga memiliki tujuan-tujuan yang
konkrit. Setidaknya, di antara tujuan tersebut, antara lain: 1). Untuk
mengetahui dan memahami secara detail dan komprehensif terkait ketentuan dan
tata cara pelaksanaan masing-masing ibadah, baik secara teoritis maupun praktis
sebagaimana telah tercantum dalam sumber hukum Islam secara terperinci,
sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata sebagaimana mestinya, baik
dalam kehidupan pribadi, sosial, beragama maupun bernegara; 2). Untuk
memperjelas akan eksistensi dan substansi dari Maqasid Al-Syari’ah, yang
juga sering disebut dengan adl-Dlaruri al-Khamsah (5 tujuan pokok
syari’at), meliputi: a). Menjaga/melindungi agama. Dengan disyari’atkannya
shalat fardlu, maka janji-janji pahala dan ancaman Allah akan dianugerahkan
kepada pelaksananya, seperti pahala dan surga. Namun begitu juga sebaliknya; b).
Menjaga jiwa. Dengan penerapan zakat, maka jiwa dan raga manusia menjadi fitrah
(suci) kembali; c). Menjaga akal. Dengan penerapan ibadah, maka akal manusia
dapat berfungsi dengan normal, jernih dan optimal; d). Menjaga keturunan.
Dengan penerapan ibadah, maka setiap individu diwajibkan untuk melindungi dan
menjalankan tugas dan tanggungjawab bagi keluarganya; dan e). Menjaga harta.
Dengan penerapan zakat dan shadaqah, maka ekonomi menjadi stabil, harta semakin
barokah, terhindar dari fitnah dan kezdaliman orang lain, sehingga setiap
persoalan terkait 5 tujuan itu bila dikerjakan dan dilanggar, maka pelakunya
akan mendapat konsekuensi yang setimpal (pahala atau siksa); dan 3). Untuk
memahamkan setiap muslim atau umat manusia akan urgensi mematuhi syari’at
Islam, agar mereka dapat bertindak sesuai ketentuan syari’at Islam dalam
menjalani kehidupan, baik berupa larangan, perintah, hak maupun kewajiban, baik
individu maupun kolektif, baik vertikal maupun horizontal;
Sedangkan
kegunaan mempelajari Fiqh Ibadah, antara lain, demi: 1). Terciptanya agama yang
lurus, negara yang makmur dan masyarakat yang madani dengan pelaksanaan ibadah
yang sesuai dengan konsepsi syari’at Islam; 2). Terpeliharanya hak-hak Allah
dan hak-hak manusia dari berbagai bentuk pelanggaran dan kemaksiatan; dan 3). Terbentuknya
insan-insan yang bertanggungjawab, bermoral, bermartabat dan taat hukum agama,
negara dan norma masyarakat, sehingga dapat terwujud stabilitas, keamanan, responsibilitas,
kemakmuran, kemajuan dan kemaslahatan di segala bidang.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan dan kegunaan mempelajari Fiqh Ibadah
tidak lain adalah untuk menciptakan, memelihara dan melindungi hak Allah dan hak
manusia yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam, agar senantiasa dilaksanakan
dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
[1] Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan
(Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1929), 3-4.
[2] A. Djazuli, Ilmu Fiqh:
Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana PMG,
2006), 51.
[3] Al-Qur’an
adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai
mukjizat dengan satu surat darinya, dan bernilai ibadah apabila membacanya.
(Baca Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’ fi Nazhm Jam’i al-Jawami’ (Makkah
al-Mukarramah: Nizar Mushthafa al-Baz, 1999) Juz I, 69. Secara keseluruhan
al-Qur’an terdiri dari 6.666 ayat, 114 surat dan terbagi dalam 30 Juz. Hal ini
telah diuji dengan menggunakan metode ilmiah oleh para ahli filologi (ahli
tentang manuskrip) dunia. (Baca Muhammad Mushthafa al-A’zhami, Mukjizat
al-Qur’an dan al-Sunnah Tentang Iptek (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),
57. Al-Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa
perbutan, ucapan dan pengakuan Nabi saw. (Baca Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas
al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif
(Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 51.
[4]
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan
hukum yang terajadi ketika itu, baik ijma’ sharih maupun sukuti.
(Baca Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Beirut: Dar al-Qalam, 1978),
21 dan 44. Qiyas adalah
menyamakan hukum cabang terhadahap hukum asalnya karena ada kesamaan sebab (‘illat)
hukumnya. (Baca Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam
(Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1998), 208.
[6] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ wal Marjan Fima Ittafaqa
’Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Wa Muslim (Solo: Insan Kamil, 2010), v.
[7] Ainul Yaqin, Pendidikan Islam
dalam Sorotan Al-Qur’an dan Al-Hadits: Kajian Komprehensif Tafsir dan Hadits
Tarbawi (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2015), 30-34.
[8] Yahya bin Syarafuddin al-Nawawi,
al-Arba’in al-Nawawiyah (Surabaya: al-Hidayah, tt), 16.