Wednesday 23 November 2016

Definisi Fiqh Ibadah Dasar Hukum Fiqh Ibadah dan Sejarah Perkembangan Fiqh Ibadah: Dari Jazirah Arab Hingga Nusantara


BERKENALAN DENGAN FIQH IBADAH

A.     Definisi Fiqh Ibadah
Term Fiqh Ibadah terdiri dari dua unsur kata, yaitu kata Fiqh dan Ibadah. Dalam etimologi Islam, kata “Fiqh” berasal dari akar kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti mengetahui, memahami dan mendalami sesuatu secara mutlak. Selain itu, apabila kata “Fiqh” ini dikaitkan dengan agama Islam, maka maksudnya ialah memahami ajaran-ajaran Islam (syari’at) secara totalitas. Definisi etimologis semacam ini terpetik dari kurang lebih 19 kata “Fiqh” yang disebutkan dalam al-Qur’an, dan kesemuanya disebut dalam bentuk kata kerja (fi’il). Di antaranya ialah firman Allah berikut:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِيْ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah: 122).
Sejalan dengan ayat di atas, Rasulullah saw., juga pernah menyebutkan kata “Fiqh” dalam sabdanya berikut ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw., bersabda: Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberinya pemahaman dalam (ilmu) agama. (Muttafaq ‘Alaih).
Sedangkan secara terminologis, Fiqh adalah bidang ilmu yang mengkaji tentang berbagai hukum dan aturan (syari’at) Islam yang telah Allah tetapkan menyangkut perintah dan larangan bagi manusia dalam menjalani kehidupan duniawi dan ukhrawi, baik yang bersifat horizontal maupun bersifat vertikal dengan memakai dalil-dalil terperinci (tafshili) sebagaimana telah tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad (ijma’ dan qiyas).[1]
Sementara kata “Ibadah”, secara bahasa merupakan bentuk ketiga (mashdar) yang terpetik dari akar kata abada-ya’budu-‘abdan/’ibadatan yang berarti menyembah, menghambangkan diri dan mengabdi. Sedangkan menurut istilah, ibadah adalah suatu ritual yang dilakukan oleh seorang hamba dalam rangka mengabdi, menyembah dan menghambakan diri kepada Allah swt., dengan cara mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Alhasil, jika kata Fiqh dan Ibadah digabung menjadi satu (Fiqh Ibadah), maka dapat didefinisikan sebagai sebuah bidang ilmu fiqh yang secara khusus mengkaji dan mengatur cara-cara pengabdian, penyembahan dan penghambaan diri seorang manusia kepada Allah swt., dengan cara mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal melalui dalil-dalil yang terperinci seperti termaktub dalam al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad.[2]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Fiqh Ibadah merupakan bidang ilmu yang mempelajari tata cara mengabdi dan menyembah Allah dan manusia sesuai ketentuan syari’at Islam melalui dalil-dalil yang terperinci, seperti shalat, zakat, puasa dan haji dan berbagai ritual lainnya yang dimaksudkan untuk Allah, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal.

B.     Dasar Hukum Fiqh Ibadah
Pada esensinya, setiap persoalan yang terkait dengan ibadah dan berbagai ritual lainnya tidak bisa terlepas dari aturan Islam. Sebab itu, setiap persoalan ibadah haruslah di-rever-kan (dirujuk) terhadap sumber hukum Islam yang otoritatif dan berlaku, yakni al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلًا.
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amri di antaramu. Lalu jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (al-Hadits), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59).
Dalam mengomentari ayat ini, Wahhab Khalaf beropini bahwa perintah untuk taat kepada Allah swt., dan Rasul-Nya, adalah perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan al-Hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti Uli al-Amri merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati  oleh para mujtahid dan intelektual muslim (ijma’), karena merekalah yang menjadi Uli al-Amri dalam masalah-masalah hukum agama bagi kaum Muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua persoalan yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada argumentasi nash (al-Qur’an dan al-Hadits[3]) dan ijma’.[4]
Selain itu, Allah swt., juga pernah menjelaskan beberapa fungsi al-Qur’an bagi umat manusia, utamanya umat Islam. Hal ini seperti telah ditegaskan Allah melalui firman-Nya berikut:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيْدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيْدًا عَلَى هَؤُلَاءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ.
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl: 89).
Dalam ayat ini, setidaknya terdapat 4 fungsi yang terkandung di dalam kehujahan al-Qur’an bagi umat manusia, antara lain: 1). Sebagai penjelas terhadap segala sesuatu yang telah Allah ciptakan, mulai dari kelahiran dan perkembangan hingga kemajuan ilmu pengetahuan dan karya-karya umat manusia. Sebab itu, pada esensinya al-Qur’an lah yang pertama kali telah menginformasikan dan menginspirasikan mereka terhadap apa yang telah, akan, dan sedang mereka lakukan di dunia ini; 2). Sebagai petunjuk bagi umat manusia dari kesesatan menuju kebenaran. Sebab itu, jika umat manusia mau mengamalkan perintah dan mau menjauhi larangan yang terkandung di dalam al-Qur’an, maka mereka akan senantiasa diarahkan menuju keridlaan-Nya. Namun sebaliknya, apabila mereka meninggalkan perintah dan malah mengerjakan larangan yang terkandung di dalamnya, maka mereka akan digiring menuju kemurkaan dan adzab-Nya yang pedih; 3). Sebagai rahmat (kasih sayang) dari Allah bagi seluruh umat manusia. Karena itu, jika mereka mengalami ujian, cobaan dan kesulitan-kesulitan yang merintangi dan menghambat kehidupannya, maka sepantasnyalah bagi mereka untuk senantiasa membaca sekaligus mentadabburi isi kandungan dari al-Qur’an, sehingga mereka akan diberi kesabaran dan ketabahan, bahkan kesadaran dalam menghadapi ujian dan coabaan tersebut serta mendapatkan solusi dari persoalan yang mengahambat kehidupan mereka itu; dan 4). Sebagai berita gembira bagi umat manusia yang mengamalkan ajakan dan ajaran sekaligus menjauhi larangan yang terkandung di dalam al-Qur’an bahwa mereka akan mendapatkan surga dan keridlaan-Nya sebagai balasan yang setimpal dengan usaha dan jerih payah yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia.
Di sisi lain, secara lebih jelas dan terperinci mengenai hirarki dan otoritas kehujahan 4 sumber hukum dalam Islam tersebut juga ditegaskan oleh Rasulullah saw., dalam sabdanya berikut ini:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ: كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِيْ كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: أَقْضِيْ بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِيْ وَلاَ آلُوْ. قَالَ: فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَدْرِهِ وَقَالَ: الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَالدَّارِمِيْ.
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal r.a., bahwa pada saat Rasulullah saw., mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya: Bagaimana cara kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu suatu masalah? Dia menjawab: Saya memutuskannya dengan kitab Allah. Nabi saw., bertanya: Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitabullah? Mu’adz menjawab: Maka dengan sunnah Rasullah saw., Nabi saw., bertanya lagi: Jika tidak menemukan di dalam sunnah? Dia menjawab: Saya akan berijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang. Lalu Mu’adz berkata: Maka Rasulullah saw., menepuk dadanya seraya bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan apa yang telah diridlai Rasulullah. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Darimi).[5]
Rasulullah saw., juga bersabda dalam teks hadits yang lain:
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ. رَوَاهُ مَالِكٌ.
Diriwayatkan dari Malik bin Anash bahwa Rasulullah saw., bersabda: Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian semua, yang jika kalian berpedoman terhadap keduanya, niscaya tidak akan tersesat (selamanya), yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya (al-Hadits). (HR. Imam Malik).[6]
Hadits di atas, secara konkrit menjelaskan bahwa dalam memutuskan segala persoalan umat manusia, 4 referensi tersebut harus dioperasionalkan secara berurutan. Artinya, referensi yang pertama kali harus dilihat adalah al-Qur’an. Lalu melihat hadits Nabi saw., jika tidak ditemukan dalam keduanya, maka menelaah ijma’ ulama dan yang terakhir adalah menggunakan qiyas para ulama. Hirarki (urutan) ini sesuai dengan orisinilitas dan otoritas serta level kekuatan dan kehujahan dalilnya bahwa dalil syar’i yang pertama dan utama adalah al-Qur’an, sebab ia datang langsung dari Allah sebagai musyarri’ (pembuat hukum). Sedangkan urutan kedua adalah al-Hadits, sebab ia berfungsi sebagai penguat, penjelas, pembatas (muqayyid), pengkhusus (mukhashsih) dalam memahami firman dan hukum Allah swt., yang global dan mutlak, bahkan al-Hadits dapat menetapkan hukum-hukum yang tidak tercover dalam al-Qur’an, seperti larangan memakai kain sutera dan emas bagi kaum lelaki. Lalu setelah itu adalah ijma’ ulama, sebab ijma’ senantiasa berpijak pada nash (al-Qur’an dan al-Hadits). Lalu yang terakhir adalah qiyas, sebab proses qiyas senantiasa berpedoman pada nash dan ijma’ para ulama sesuai kualifkasi bidang keilmuannya masing-masing. Khususnya para fuqaha.
Dari deskripsi di atas, menjadi jelas dan konkrit bahwa Allah swt., menginstruksikan kepada seluruh umat manusia untuk senantiasa menaati dan megikuti perintah Allah, Rasul dan Uli al-Amri (ulama dan umara) yang sesuai dengan al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad (ijma’ dan qiyas) dan menjadikan keempatnya sebagai pijakan, dasar dan sumber hukum Islam dalam menjalani dan menetapkan segala urusan duniawi dan ukhrawi mereka, apapun jenis urusannya mulai urusan tidur hingga tidur kembali.[7]
Di antara salah satu pijakan atau sumber hukum Islam yang digunakan untuk mengatur tata cara ibadah tersebut adalah firman Allah swt., dan sabda Rasulullah saw., berikut ini.
Pertama, adalah firman Allah dalam QS. Al-Bayyinah: 5-8 berikut:
وَمَا أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ. إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ. إِنَّ الَّذِيْنَ آَمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ.
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus. Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (QS. Al-Bayyinah: 5-8).
Kedua, adalah Sabda Rasulullah saw., berikut ini:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِيْمَانِ؟ قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِحْسَانِ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ؟ قَالَ: مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَتِهَا؟ قَالَ: أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ. قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْنَا مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلُ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Umar bin Khathab ra., dia berkata: Ketika kami duduk bersama Rasulullah saw., pada suatu hari, tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tiada seorangpun di antara kami yang mengenalnya hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi saw., lalu menempelkan kedua lututnya terhadap lutut Rasulullah seraya berkata: Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam? Maka beliau bersabda: Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah jika mampu. Lalu dia berkata: Anda benar. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Lalu dia bertanya lagi: Beritahukan aku tentang Iman? Beliau bersabda: Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir dan takdir baik dan buruk. Lalu dia berkata: Anda benar. Dia berkata lagi: Beritahukan aku tentang ihsan? Beliau bersabda: Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka Dia Melihat engkau. Lalu dia berkata: Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)? Beliau bersabda: Yang ditanya tidak lebih tahu dari penanya. Diapun berkata: Beritahukan aku tentang ciri-cirinya? Beliau bersabda: Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya, lalu orang itu berlalu dan kami berdiam sebentar. Lalu Rasul bertanya: Tahukah engkau siapa yang bertanya? Aku berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: Dia adalah Jibril datang kepada kalian bermaksud mengajarkan agama kalian. (HR. Muslim).[8]
Dari deskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam yang digunakan dalam mengatur tata cara ibadah kepada Allah dan berbagai problematikanya tidak hanya terbatas pada al-Qur’an dan al-Hadits saja, namun masih ada ijma’ dan qiyas yang juga bisa dipakai untuk menjawab problematika yang tidak dijelaskan secara detail dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dalil utama dan grand theory di segala bidang kehidupan yang senantiasa akan tetap relevan likulli zaman wa makan.

C.     Sejarah Perkembangan Fiqh Ibadah: Dari Jazirah Arab Hingga Nusantara
Tidak dapat diragukan dan dipungkiri lagi bahwa Rasulullah saw., (570-632 M) merupakan peletak dasar dan pionir utama yang pertama kali mengajarkan tata cara beribadah dan berbagai problematikanya, baik secara teoritis maupun praktis, sebagaimana telah dijelaskan secara konkrit pada pembahasan dasar hukum ibadah di atas. Selain itu, pada waktu itu, Rasulullah juga berfungsi sebagai musyarri’ (pembuat aturan) kedua setelah Allah swt., melalui al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau, selain juga dilengkapi dengan keberadaan al-Hadits, sehingga setiap ada persoalan apapun pada saat itu langsung terobati dan menemui solusi sekaligus jawaban yang konkrit, bahkan menjadi sebuah landasan dan ketetapan hukum, termasuk juga persoalan terkait tata cara beribadah, meskipun saat itu belum dibukukan dan dibakukan sebagai sebuah disiplin ilmu. Apalagi ilmu fiqh, al-Qur’an dan al-Hadits saja belum dikodifikasikan saat itu.
Sebagai salah satu bukti historis nyata yang ada pada masa Rasulullah adalah diperintahkannya beliau untuk menyebarkan agama Islam dan ajarannya secara sembunyi-sembunyi dari rumah ke rumah, termasuk rumah sahabat al-Arqam bin Abi al-Arqam yang juga sering beliau tempati untuk menyampaikan ajaran Islam dan menunaikan shalat secara berjamaah dengan sahabat-sahabat beliau yang lain. Bahkan wahyu yang pertama kali turun pun juga menyeru beliau agar menunaikan ibadah sebagaimana dalam QS. Al-Alaq dan QS. Al-Muddatstsir.
Kemudian setelah masa Rasulullah selesai, berbagai ajaran dan ilmu keislaman, termasuk Fiqh Ibadah dilanjutkan oleh para khulafaurrasyidin (632-661 M) dengan tetap berpedoman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila dalam kedua pedoman tersebut tidak ditemukan nash (jawaban) terkait tata cara ibadah tersebut, maka para sahabat melakukan ijtihad yang senantiasa merujuk pada kedua pedoman utama tersebut. Misalnya saja ketentuan shalat tarawih yang kemudian dilakukan secara berjamaah pada masa Umar bin Khaththab ra., dan penambahan adzan yang kedua pada shalat jum’at di masa Utsman bin Affan ra.
Setelah masa khulafaurrasyidin usai, ilmu-ilmu keislaman, termasuk Fiqih Ibadah dilanjutkan oleh para tabi’in dan seterusnya, yakni para khalifah dinasti Umayyah (661-750 M) dan dinasti Abbasiyah (750-1250 M) yang merupakan abad kejayaan Islam, dimana pada masa kedua dinasti tersebut banyak bermunculan para ilmuan dan intelektual muslim brilian di segala bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk para fuqaha dan para mujtahid handal dengan tetap berpedoman pada konsepsi Islam (al-Qur’an dan al-Hadits). Khususnya pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan dan lebih-lebih pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz memimpin Negara, sehingga wajar jika sosok khalifah yang satu ini digelari sebagai al-Khalifah al-Khamisah (pemimpin kelima) setelah Sayyidina Ali ra., lantaran kharisma, kewibawaan, ketegasan, kearifan dan keadilannya dalam menjalankan roda kepemimpinan Negara saat itu yang senantiasa berpedoman terhadap al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad, bahkan pada puncak keemasan dinasti Abbasiyah ini, pembinaan dan pembukuan hukum Islam mulai digalakkan, kedokteran dan perpustakaan dibangun, forum diskusi keagamaan digelar, sastra dan puisi dipentaskan. Karena selain ada perhatian yang serius pada masa ini, para khalifah sendiri gemar dan seringkali ikut terlibat langsung di dalamnya, sehingga para intelektual muslim banyak melahirkan karya-karya monumental saat itu, termasuk di bidang Fiqh, misalnya, Kitab al-Mabsuth karya Imam Abu Hanifah, Kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik, Kitab al-Um karya Imam Syafi’i, Kitab al-Musnad al-Kabir karya Imam Ahmad bin Hanbal. Bahkan saat itu, ilmu fiqh sudah diklasifikan menjadi beberapa bidang, yakni ibadah, mu’amalah, munakahat, mawarits, jinayah dan siyasah, selain juga sambil lalu dirumuskan pedoman dalam ilmu fiqh yang dikenal dengan ilmu ushul fiqh, sehingga persoalan fiqh yang semakin berkembang secara dinamis dapat diqiyaskan kepada ilmu ushul fiqh dan berbagai hasil ijtihad para fuqaha tersebut. Sebab itu, sangatlah wajar jika keempat tokoh tersebut digelari sebagai al-Mujtahid al-Muthlaq yang kemudian opini dan aliran mereka disebut dengan al-Madzahib al-Arba’ah. Dan masih banyak karya-karya mereka di bidang ilmu yang lain.
Selanjutnya, setelah masuk dan tersebarnya Islam melalui jalur laut ke berbagai belahan wilayah nusantara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sekitar tahun 1250 M-Sekarang, baik dalam sektor perdagangan, pernikahan, pendidikan dan dakwah akhirnya tersebarlah ajaran-ajaran Islam, termasuk ilmu fiqh melalui para pedagang yang juga sekaligus merupakan para penyebar dakwah dan risalah Rasulullah saw., dengan senantiasa berpedoman pada al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijtihad tersebut melalui karya-karya para mujtahid yang dibawa para da’i yang lalu lalang ke berbagai wilayah nusantara, bahkan ada yang menetap di nusantara tercinta ini, termasuk juga ajaran dan dakwah Islamiyah diajarkan dan disebarkan oleh para wali songo dan kerajaan-kerajaan Islam, baik di pulau jawa, luar jawa maupun di daerah tapal kuda.

D.    Objek dan Ruang Lingkup Fiqh Ibadah
Objek kajian dalam Fiqh Ibadah adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan berbagai cara pengabdiannya kepada Allah sesuai ketentuan syari’at Islam. Sedangkan ruang lingkup pembahasan materi Fiqh Ibadah adalah mengenai beberapa ritual (ibadah), baik ibadah mahdlah, meliputi: shalat fardlu, zakat, puasa ramadlan dan haji bagi yang mampu sesuai ketentuannya masing-masing, termasuk juga tata cara bersuci dari hadats dan najis, tata cara adzan dan iqamah maupun ibadah ghairu mahdlah, seperti umrah, puasa sunah, sedakah dan segala ritual dan amal shaleh lainnya yang diniatkan untuk mendapat ridla Allah swt., yang kuantitasnya sangat banyak dan beragam.

E.      Hubungan Fiqh Ibadah dengan Fiqh Lainnya
Sebagaimana telah dijelasakan dalam definisi Fiqh di atas, bahwa Fiqh merupakan suatu bidang ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syari’at Islam dengan dalil-dalil yang terperinci melalui sumber hukum Islam yang berkaitan dengan segala perbuatan seorang mukallaf, baik secara vertikal maupun horizontal. Maka bisa dipahami dengan mudah bahwa koneksi Fiqh Ibadah dengan Fiqh lainnya, seperti Fiqh Jinayah, Mu’amalah, Munakahat dan Siyasah merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan, bahkan saling terkait dan saling melengkapi satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan yang nyata satu sama lain dan kesamaan objeknya, yakni dalam hal-hal yang berkaitan dengan segala perbuatan seorang mukallaf tersebut.
Misalnya saja keterkaitannya dengan Fiqh Jinayah bahwa setiap orang yang sengaja meninggalkan shalat wajib, bersetubuh di siang hari pada bulan ramadlan dan lain-lain, maka akan dikenai sanksi. Begitu juga keterkaitannya dengan Fiqh Mu’amalah bahwa setiap orang yang ingin diterima ibadahnya, maka diharuskan mencari rizki yang halal melalui proses transaksi yang benar. Tak lain pula keterkaitannya dengan Fiqh Munakahat bahwa setiap orang yang ingin mendapatkan kesempunaan hidup dan pahala yang berlipat ganda dalam ibadahnya, maka disunahkan untuk menikah secara Islami. Begitu pula keterkaitannya dengan Fiqh Siyasah bahwa setiap orang yang taat terhadap aturan Allah dan Rasul-Nya, sehingga ibadah yang direalisasikan semakin bermakna dan lebih sempurna.
Dengan demikian, dapat dikonklusikan bahwa Fiqh Ibadah memiliki interkoneksi yang sangat erat dengan cabang-cabang Fiqh yang lain, yakni Fiqh Jinayah, Fiqh Mu’amalah, Fiqh Munakahat dan Fiqh Siyasah, sehingga interkoneksi antar kelimanya terletak pada kesamaan objek kajiannya, yakni sama-sama mengkaji mengenai segala perbuatan seorang mukallaf, baik berupa perintah atau larangan, baik yang menyangkut hubungan individu atau sesama manusia (horizontal) maupun hubungan manusia dengan Allah (vertikal).

F.      Macam-Macam Ibadah
Demi mendapat pemahaman yang komplit mengenai macam-macam ibadah, maka dapat ditinjau melalui berbagai seginya, antara lain, sebagaimana deskripsi berikut ini.
Pertama, ditinjau dari segi sifatnya, ada dua: 1). Ibadah mahdlah, seperti shalat fardlu, puasa ramadlan, zakat dan haji; dan 2). Ibadah ghairu mahdlah, banyak sekali jenisnya, seperti thaharah, merawat jenazah, puasa sunnah dan shalat nawafil.  Intinya adalah setiap amal shaleh yang diniatkan untuk Allah.
Kedua, ditinjau dari segi hukumnya, ada dua: 1). Ibadah fardlu ‘ain, yaitu suatu ibadah yang diwajibkan kepada setiap individu manusia mukallaf. Jika dikerjakan, ia mendapat pahala dan jika ditinggalkan, ia mendapat siksa dan berdosa, seperti shalat fardu, zakat, puasa dan haji; dan 2). Ibadah fardlu kifayah, yaitu ibadah yang diwajibkan secara kolektif. Jika dalam satu desa telah ada beberapa orang yang mengerjakannya, maka individu yang lain tidak berdosa, tapi jika dalam satu desa tersebut tidak ada orang yang mengerjakannya, maka semua penduduk desa tersebut berdosa, seperti pelestarian jenazah seorang muslim.
Ketiga, ditinjau dari segi alatnya, ada tiga: 1). Jasadiyah ruhiyah, seperti shalat dan berbagai amal shaleh yang diniatkan untuk Allah; 2). Ruhiyah maliyah, seperti zakat fitrah dan zakat maal; 3). Konvergensi antara ketiganya, seperti haji, umrah dan berbagai amal shaleh yang diniatkan untuk Allah.
G.    Syarat Diterimanya Ibadah
Adapun syarat umum diterimanya ibadah, antara lain: 1). Ibadah harus diniatkan karena Allah (ikhlas); 2). Ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan dan konsepsi syari’at Islam; dan 3). Piranti yang digunakan untuk beribadah harus diperoleh melalui cara yang benar dan halal. Sedangkan syarat umum diterimanya ibadah, maka perlu disesuaikan dengan jenis, hukum dan cara pelaksanakannya, sebagaimana akan dibahas pada babnya masing-masing berikut ini. InsyaAllah.

H.    Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Fiq Ibadah
Setiap ilmu pengetahuan yang telah menjadi sebuah teori, disiplin ilmu dan landasan hukum, pasti memiliki tujuan yang menjadi target pemahaman yang akan diperoleh setelah mempelajarinya. Begitu pula dengan Fiqh Ibadah juga memiliki tujuan-tujuan yang konkrit. Setidaknya, di antara tujuan tersebut, antara lain: 1). Untuk mengetahui dan memahami secara detail dan komprehensif terkait ketentuan dan tata cara pelaksanaan masing-masing ibadah, baik secara teoritis maupun praktis sebagaimana telah tercantum dalam sumber hukum Islam secara terperinci, sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata sebagaimana mestinya, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, beragama maupun bernegara; 2). Untuk memperjelas akan eksistensi dan substansi dari Maqasid Al-Syari’ah, yang juga sering disebut dengan adl-Dlaruri al-Khamsah (5 tujuan pokok syari’at), meliputi: a). Menjaga/melindungi agama. Dengan disyari’atkannya shalat fardlu, maka janji-janji pahala dan ancaman Allah akan dianugerahkan kepada pelaksananya, seperti pahala dan surga. Namun begitu juga sebaliknya; b). Menjaga jiwa. Dengan penerapan zakat, maka jiwa dan raga manusia menjadi fitrah (suci) kembali; c). Menjaga akal. Dengan penerapan ibadah, maka akal manusia dapat berfungsi dengan normal, jernih dan optimal; d). Menjaga keturunan. Dengan penerapan ibadah, maka setiap individu diwajibkan untuk melindungi dan menjalankan tugas dan tanggungjawab bagi keluarganya; dan e). Menjaga harta. Dengan penerapan zakat dan shadaqah, maka ekonomi menjadi stabil, harta semakin barokah, terhindar dari fitnah dan kezdaliman orang lain, sehingga setiap persoalan terkait 5 tujuan itu bila dikerjakan dan dilanggar, maka pelakunya akan mendapat konsekuensi yang setimpal (pahala atau siksa); dan 3). Untuk memahamkan setiap muslim atau umat manusia akan urgensi mematuhi syari’at Islam, agar mereka dapat bertindak sesuai ketentuan syari’at Islam dalam menjalani kehidupan, baik berupa larangan, perintah, hak maupun kewajiban, baik individu maupun kolektif, baik vertikal maupun horizontal;
Sedangkan kegunaan mempelajari Fiqh Ibadah, antara lain, demi: 1). Terciptanya agama yang lurus, negara yang makmur dan masyarakat yang madani dengan pelaksanaan ibadah yang sesuai dengan konsepsi syari’at Islam; 2). Terpeliharanya hak-hak Allah dan hak-hak manusia dari berbagai bentuk pelanggaran dan kemaksiatan; dan 3). Terbentuknya insan-insan yang bertanggungjawab, bermoral, bermartabat dan taat hukum agama, negara dan norma masyarakat, sehingga dapat terwujud stabilitas, keamanan, responsibilitas, kemakmuran, kemajuan dan kemaslahatan di segala bidang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan dan kegunaan mempelajari Fiqh Ibadah tidak lain adalah untuk menciptakan, memelihara dan melindungi hak Allah dan hak manusia yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam, agar senantiasa dilaksanakan dan dipergunakan sebagaimana mestinya.



[1] Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan (Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1929), 3-4.
[2] A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana PMG, 2006), 51.
[3] Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai mukjizat dengan satu surat darinya, dan bernilai ibadah apabila membacanya. (Baca Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’ fi Nazhm Jam’i al-Jawami’ (Makkah al-Mukarramah: Nizar Mushthafa al-Baz, 1999) Juz I, 69. Secara keseluruhan al-Qur’an terdiri dari 6.666 ayat, 114 surat dan terbagi dalam 30 Juz. Hal ini telah diuji dengan menggunakan metode ilmiah oleh para ahli filologi (ahli tentang manuskrip) dunia. (Baca Muhammad Mushthafa al-A’zhami, Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah Tentang Iptek (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 57. Al-Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perbutan, ucapan dan pengakuan Nabi saw. (Baca Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 51.
[4] Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan hukum yang terajadi ketika itu, baik ijma’ sharih maupun sukuti. (Baca Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Beirut: Dar al-Qalam, 1978), 21 dan 44. Qiyas adalah menyamakan hukum cabang terhadahap hukum asalnya karena ada kesamaan sebab (‘illat) hukumnya. (Baca Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1998), 208.
[5] Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU (Surabaya: Khalista, 2008), 38-39.
[6] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ wal Marjan Fima Ittafaqa ’Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Wa Muslim (Solo: Insan Kamil, 2010), v.
[7] Ainul Yaqin, Pendidikan Islam dalam Sorotan Al-Qur’an dan Al-Hadits: Kajian Komprehensif Tafsir dan Hadits Tarbawi (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2015), 30-34.
[8] Yahya bin Syarafuddin al-Nawawi, al-Arba’in al-Nawawiyah (Surabaya: al-Hidayah, tt), 16.